Suasana mencekam hadir di semua murid SMA kelas tiga. Ujian nasional yang diadakan, akan menjadi satu permulaan babak baru untuk kehidupan kelak. Viola tampak serius menyelesaikan semua soal yang ada di hadapannya. Sesekali dia menghela napas saat rasa pusing mulai mendera kepalanya. Soalnya terlihat susah-susah gampang, dan hal itulah yang membuatnya harus lebih hati-hati.
Sesaat kemudian, Viola tersenyum. Kejadian di mobil bersama Panji, membuatnya benar-benar nyata memiliki seorang pacar yang begitu mencintainya. Kalimat Panji dan sentuhan tangan kirinya di pipi kanan Viola, masih terasa jelas kehangatannnya di pipi.
“Yang teliti ya nyelesaikannya. Kalau ada soal yang susah, jangan lupa Sholawatan. Terus ingat abang deh, pasti langsung ingat jawabannya.”
Viola kembali menarik napas panjang dan mencoba menepis bayangan itu dari kepalanya. Dia mulai kembali fokus ke lembar soal di hadapannya. Menyelesaikan sebelum waktu yang ia punya, habis beberapa jam lagi.
Ujian selesai, bersama Mawar, Viola keluar dari kelas dan berjalan ke tempat parkir. Hari ini adalah hari terakhir ujian nasional. Sudah tiga hari Viola bergelut dengan berbagai soal yang memusingkan kepala. Dan untuk hari ini, Viola ingin melepaskan kepenatan yang terasa di kepalanya. Panji sendiri berjanji untuk mengajaknya duduk di pinggir danau seperti yang mereka lakukan dulu. Namun langkah Viola terhenti saat Aldo, menghampirinya.
“Gimana ujiannya, berhasil?” tanyanya dengan senyuman lebar.
“Berhasil kok,” jawab Viola.
“Em … aku pergi duluan ya.” Mawar berniat pergi, namun dengan cepat Viola menahannya dengan menarik tangannya. Mawar menatapnya heran sedangkan Viola menarik kedua sudut bibirnya mengarah ke Aldo.
“Al, aku duluan ya.”
“Tapi, Vi. Aku ingin ngajak kamu makan siang,” Aldo mencoba menahannya.
“Maaf, Al. Aku udah janji sama Bang Panji buat jalan-jalan, maaf ya.” Viola menangkap raut wajah kecewa di wajah Aldo. Namun dia tidak bisa melakukan apa pun. Hatinya, lebih memilih berdekatan dengan Panji dibandingkan Aldo. Viola melangkah pergi. Aldo hanya menatap kepergiannya dengan tatapan menyedihkan. Sedangkan Mawar yang terus melangkah di samping Viola, mencoba melihat ke belakang untuk memastikan keadaan Aldo baik-baik saja.
“Kenapa loe nolak?” Mawar memberanikan diri membuka suara saat masih melangkah di samping Viola.
“Gue udah lebih dulu janji sama Bang Panji. Jadi gak mungkin gue batalin kan?”
“Tapi seharusnya, loe harus lebih utamakan Aldo, Vi!”
Viola menghentikan langkah dan menatap Mawar yang masih tidak terima dengan keputusannya, “Loe salah, War. Panji itu abang kandung gue sedangkan Aldo, masih orang lain buat gue. Dia pacar gue. Tapi bukan suami kan?” Viola mempertegas kalimatnya. “Jadi gue harus lebih utamain keluarga dari pada orang lain, walaupun dia pacar gue sendiri.”
Mawar terdiam. Bahkan saat Viola melangkah pergi meninggalkannya, Mawar hanya tetap berdiri mencoba mencerna kalimat Viola yang terasa ada amarah di setiap kalimatnya. Mawar menghela napas dan memutuskan untuk berbalik menemui Aldo yang ternyata masih berdiri terpaku.
“Al.” Aldo mengangkat kepalanya dan menatap mawar yang kini berdiri di depannya. “Loe baik-baik aja?”
“Aneh ya, gue ini pacarnya atau bukan sih. Kenapa harus selalu gue yang ngalah.” Kalimat Aldo menghadirkan kesedihan di hati Mawar. Dia mengajaknya duduk di bangku panjang dan mencoba menemaninya dalam diam. Dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Perbuatan Viola sudah terlalu menyakitkan untuk Aldo.
“Gue gak tahu harus gimana, Al. gue temanin aja ya, gue janji gak bakalan bising kok.” Ada senyuman di bibir Mawar yang mampu ditangkap Aldo. Begitu tulus hingga membuat Aldo semakin bertambah sedih karenanya.
“Kenapa harus elo yang selalu ngertiin gue, War. Kenapa bukan Viola.”
Mawar memudarkan senyumannya. Suara lirih Aldo seakan mengoyak hatinya. Begitu sakit hingga dia tidak berani kembali menatap Aldo yang kini mulai menundukkan kepala. Mencoba menahan segala perih di d**a akibat perbuatan Viola.
Acara malam perpisahan diadakan seminggu setelah ujian nasional berakhir. Mobil Panji berhenti tepat di depan pintu gedung Aula di sekolah Viola. Panji mengalihkan tatapannya ke Viola yang masih di sampingnya. Viola tampak cantik dengan balutan gaun putih dipadu dengan high heels yang juga putih. Rambutnya yang hanya sepunggung dan ikal, tertata rapi tanpa pernak pernik di kepala. Panji sendiri selalu menyukai Viola yang apa adanya, tanpa hiasan yang membuatnya pusing bukan main.
“Jangan macem-macem ya sama Aldo.” Panji membelai lembut kepala Viola.
“Iya, Vio janji kok.” Viola mengangkat kedua jari tangannya membentuk huruf V. Panji tersenyum lalu melihat Viola turun dari mobil dan melambaikan tangannya saat mobilnya berlalu. Viola membalikkan tubuhnya dan berniat masuk ke dalam. Namun suara seseorang yang berteriak di samping kanannya, membuat langkahnya terhenti dan beralih ke asal suara. Tampak Mawar dengan gaun merah menyala mendekat. Sesaat kecanggungan terjadi. Kejadian terakhir di hari akhir ujian, masih membekas di hati keduanya. Viola menatapnya dengan tatapan menyesal, begitu juga dengan Mawar.
“War, maaf ya soal kemarin, gue ….”
“Gue lagi yang harus minta maaf, gak seharusnya gue ngomong gitu ke elo.” Mawar menggenggam tangan Viola erat. “Masih mau bersahabat dengan gue, kan?”
Viola mengangguk dan langsung memeluk Mawar. Mawar melepaskannya setelah beberapa detik berlalu. Mengarahkan taapannya ke sana dan kemari seakan mencari sesuatu.
“Aldo mana?” Viola mengangkat kedua bahunya bersamaan tanda dia tidak tahu keberadaan Aldo. Mawar mengerutkan dahi. “Lho, jadi elo pergi sama siapa?”
“Bang Panji.” Dengan santai, Viola menjawabnya. Matanya mengarah ke semua murid yang mulai hadir dan melangkah memasuki aula, tempat acara diadakan. Kedua tangannya meremas gaunnya. Tersenyum sesaat ketika seorang cewek menyapanya.
Mawar terdiam, lalu langsung menarik tangan Viola untuk sedikit menjauh dari depan aula, “Loe sebenarnya anggap Aldo apaan, sih?” Mawar menatap Viola yang mulai terlihat gugup. “Semenjak loe nolak ajakan dia sepulang ujian, dia selalu aja datang ke rumah gue. Bilang kalau dia bingung harus gimana ngadepin elo!”
“Memangnya gue kenapa?” tanya Viola, gugup. “Gue biasa aja. Dia telepon, gue angkat. Sms gue balas. Apalagi coba.”
“Waktu loe berkurang buat dia, Vi!” bentak Mawar. “Loe dan dia udah jarang pergi berduaan.”
“Soal itu, gue akui memang gue gak punya waktu.”
“Tapi kenapa buat Panji selalu ada waktu!” Viola menundukkan kepalanya. “Loe sendiri kan yang dulu bilang sama gue, kalau loe pengen banget bisa jalan-jalan sama Aldo, kenapa sekarang setelah udah dapetin hatinya, loe nyia-nyiain gitu aja?!”