BAB 23

1113 Kata
            Viola menghentikan langkahnya. Rasa kaget menghampirinya. Kedua matanya terbelalak dan mulutnya menganga mendengar kalimat Panji. Air mata jatuh membasahi pipinya. Panji melangkah dan berhenti tepat di depannya. Menarik dagu Viola agar bisa menatap kedua mata teduh Viola yang kini sudah dibanjiri air mata.             “Yang abang cintai itu, Viola. Bukan wanita lain,” ucapnya lagi. “Kata cinta waktu malam itu, semuanya gak main-main, Dek. Abang mencintai Viola, lebih dari sekedar seorang abang ke adiknya.”             “Mungkin rasa itu cuma sayang dan bukan cinta. Abang harus bisa membedakan keduanya.”             Panji membelai lembut kepala Viola. Air matanya jatuh membasahi pipi, “Abang sudah yakini berulang kali, kalau rasa ini cinta. Bukan sekedar sayang,” ucapnya tenang. “Cinta itu untuk satu orang sedangkan sayang, untuk umum. Untuk semua orang. Itu yang sering kamu bilang ke abang, kan?”             Bibir Viola bergetar. Tangis tak mampu ia tahankan. Satu rasa menguat di hatinya. Kini dia mengetahui segalanya. Bahwa rasa yang selama ini sulit ia artikan, ternyata rasa cinta untuk abangnya sendiri.             “Tapi kita gak mungkin bersatu, Bang,” isak Viola.             “Abang tahu itu, Vi. Tapi sampai waktu tak lagi bisa mendukung kita, boleh kan kita jalani lembaran hari sebagai … sepasang kekasih?”             Viola memeluk erat tubuh Panji. Sesak di dadanya, dia keluarkan melalui air mata. Panji sendiri memejamkan matanya yang kini menjatuhkan sebening air membasahi kedua pipi.             “Viola juga cinta sama Abang. Tapi kita harus gimana, Bang. Siapa pun orangnya, gak bakalan ngerestui hubungan kita.”             “Untuk saat ini, waktulah yang masih merestui kita, Vi. Tenang aja ya, kita berjalan dengan sembunyi-sembunyi.”             Viola melepaskan pelukannya dan menatap Panji yang kini menghapus air mata di pipinya lalu mengusap kepala Viola lembut, “Backstreet?”             Panji mengangguk, “Viola tetap jalan sama Aldo dan abang, tetap jalan sama Nikita. Kita buat mereka percaya kalau kita mencintai pasangan kita. Tapi di belakang mereka, kita adalah sepasang kekasih. Gimana?”             Sesaat Viola mengalihkan tatapannya ke arah lain. Rasa ragu hadir di hatinya, namun beberapa detik kemudian, senyumannya hadir. Panji mengusap kepala Viola lalu memeluknya erat.             “Maafin abang yang gak bisa mengumumkan ke dunia kalau peri kecil ini, pacar abang yah.”             Viola tertawa seraya mengangguk di dalam eratnya pelukan Panji. Apa pun yang akan terjadi, bagi Viola saat ini dia ingin merasakan kebahagiaan bersama Panji. Pangeran masa kecilnya saat permainan putri-putrian dulu mereka jalani bersama. Hingga saat nanti, waktu tak lagi berpihak pada keduanya. ***             “Double date?” tanya Aldo tak percaya. Viola yang saat itu memintanya bertemu sepulang sekolah, mengajaknya untuk melakukan double date bersama Panji dan Nikita. Aldo masih saja menantapnya saat senyuman tergaris di bibir Viola.             “Mau kan?” Wajah memelas itu hadir menyentuh kedua bola mata Aldo.             “Tapi bukannya kamu ….”             “Aku masih sayang kamu kok, Al,” ucap Viola. Sayang dan bukan cinta, maafin aku, Al.             Aldo terdiam. Dia benar-benar bingung apa yang harus dijawabnya. Satu sisi hatinya meyakini bahwa Viola sama sekali tidak mencintainya dan malah mencintai Panji. Namun akibat ajakan Viola kali ini, satu sisinya yang semula sepakat, mulai meyakini bahwa Viola masih sama seperti dulu. Masih mencintainya dan bukan Panji.    Viola sendiri mengalihkan tatapannya dari Aldo. Penyesalan hadir di wajahnya. Satu kebohongan pertama yang dia lakukan, pasti akan menimbulkan kebohongan baru yang akan berderet panjang setelahnya.             Acara double date pun terjadi saat malam tiba. Viola yang saat itu memilih dijemput Aldo, sesaat membuat Panji enggan melakukannya. Namun sosok mama yang berdiri di belakangnya, membuatnya mau tidak mau lebih dulu pergi menjemput Nikita dan membiarkan Viola berlalu dengan sepeda motor milik Aldo.             Viola hadir di satu rumah makan tempat mereka melangsungkan dinner malam itu. Terlihat sudah ada Panji dan Nikita di sana. Nikita tersenyum sumeringah. Dia tampak cantik dengan balutan serba putih dan rambut tebal kepirangannya itu ia biarkan terurai dengan sebuah bando putih di kepala. Make up yang sempurna semakin menambah kecantikan di dirinya. Sedangkan Viola, hanya memakai gaun berwarna biru. Warna kesukaan Panji dan dirinya dan jelas gaun itu adalah pemberian Panji setahun yang lalu. Saat dia ulang tahun.             Ayam bakar, ikan gurami asam manis serta beberapa jus pesanan yang mereka pesan sebelum datang sudah terpampang di atas meja. Viola duduk di hadapan Panji sedangkan Aldo duduk di hadapan Nikita. Sesaat suasana sedikit kaku ketika Nikita berbasa-basi menanyakan perihal ketelatan mereka. Dan dengan santai, Aldo menjawab bahwa sempat terhalang macet saat menuju ke tempat acara yang mereka adakan. Panji hanya tersenyum tipis sambil mengetik pesan singkat di handphonenya. Dan beberapa saat kemudian, terdengar suara deringan pesan singkat di handphone Viola.             ‘Kamu cantik malam ini, Peri kecilku.’                      Pesan singkat dari Panji itu menarik kedua sudut bibir Viola. Dia langsung membalasnya lalu berpura-pura masuk ke pembicaraan Nikita dan Aldo sesaat setelah pesan melesat ke handphone Panji.             ‘Baru sadar? Atau pujian itu karena sekarang udah resmi pacaran makanya sok muji. Biasanya juga ngeledekin mulu. :p .’             Icon meledek dari Viola, berhasil membuat Panji tersenyum. Dia ingin membalas, tapi Nikita keburu mengajak memulai makan malam. Alhasil Panji memasukkan handphonenya ke dalam saku celana dan mulai meraih sendok nasi.             “Biar abang ambilin ya, Dek.” Panji langsung menuangkan nasi ke atas piring Viola. Aldo menatapnya dengan tatapan dingin sedangkan Viola terlihat kikuk dengan sikap Panji.             “Gak usah, Bang. Adek bisa sendiri.”             “Gak pa-pa, di rumah juga selalu abang ambilin, kan?”             Panji sengaja. Ya, semua itu tampak jelas di kedua mata Viola. Viola melirik ke arah Nikita yang hanya melihat dengan ekspresi iri. Viola tersenyum lalu melakukan hal yang sama ke Aldo agar cowok di sampingnya itu tidak menaruh curiga padanya. Panji sendiri menatap kesal, namun sesaat kemudian dia mulai melahap santapan makan malamnya dengan sikap tenang.             “Kak Niki, mau apa?” tanya Viola yang masih dirundung perasaan tidak enak.             “Biar aku aja yang ambil sendiri, Vi,” tolak Nikita saat melihat Viola siap-siap mau mengambilkan ayam bakar untuknya. Viola tersenyum lalu meletakkan ayam bakar itu ke piring Aldo.             “Buat abang mana?” Panji nyeletuk sambil mengangkat piringnya ke hadapan Viola. Viola mendelikkan kedua matanya memberi isyarat, namun Panji tak peduli.             “Ini, Ji. Biar aku aja yang ambilkan.” Nikita meraih bagian ayam dan berniat meletakkan ke piring Panji.             “Gak usah, biar Viola aja,” tolak Panji. “Cepetan, Dek!”             Viola menghela napas kesal melihat sikap Panji yang sudah terlalu kelewatan. Ternyata rencana Panji mengadakan double date hanya ingin memperlihatkan kedekatan keduanya. Di satu sisi Viola senang namun di sisi lain dia takut kalau Aldo dan Nikita malah mampu membaca gelagat keduanya. Viola hanya tersenyum terpaksa sambil meletakkan ayam ke atas piring Panji. Panji menaruh piringnya kembali di tempat semula, dan langsung melahapnya seakan tanpa beban.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN