BAB 22

1112 Kata
           Viola turun dari tangga dengan langkah gontai. Akibat tangisan tadi malam, membuat kedua matanya bengkak dan wajahnya yang kusut tidak tidur satu malaman. Untung saja hari itu hari minggu, kalau tidak dia gak tahu apa yang bakalan terjadi padanya selama di sekolah. Apalagi kalau harus bertemu dengan Aldo.             Pemandangan mengherankan tertangkap oleh Viola. Tante July berserta Nikita hadir di ruang tamu. Duduk bersama mama dan papa sembari tertawa ringan. Viola mendekat dan satu objek yang mampu ditangkapnya, membuat darah berdesir menyakitkan di dalam tubuh. Panji duduk tepat di samping Nikita. Viola menutup mulutnya yang menganga.             Panji sendiri yang pertama kali menangkap sosok Viola, langsung mengarahkan tatapannya dengan wajah datar. Akibat perbuatannya semalam, Nikita malah dengan seenaknya mengatakan kalau Viola telah menyetujui hubungan keduanya. Dan hal itu membuka jalan bagi Panji untuk tidak akan mampu lagi melakukan apapun.             “Viola, udah bangun?” Seruan mama mengagetkan Viola. Mama yang melihat tatapan Panji mengarah ke sudut ruangan, membuatnya mengikuti arah tatapan itu dan menemui Viola yang masih berdiri di sana. “Tadinya mama mau bangunin, tapi kata Bang Panji, Viola ngerjain tugas sampai pagi. Makanya mama gak tega.”             Viola menatap ke Panji yang masih menatapnya. Senyuman diukir Viola di bibirnya sembari melangkah mendekat, “Iya, Ma. Viola ngerjain tugas sekolah.”             “Vi, kamu ke mana semalem?” Nikita membuka suara. “Kenapa gak bilang?”             Viola duduk di samping papa. Dengan sedikit ragu, dia tersenyum lalu menjawab pertanyaan Nikita, “Iya, Kak. Baru ingat ada tugas. Mau masuk, gak enak sama penonton yang lain kalau harus keluar lagi nantinya. Mau sms, handphone Vio lowbatt.” Viola mengarahkan tatapannya ke Panji yang kini tertunduk.             “Viola rajin sekali ya,” puji July.             “Maklum, Jul, dia kan bentar lagi mau ujian nasional. Lagian Viola ini sama kayak Panji, bawaannya belajar mulu.”             Viola hanya tersenyum tipis. July tertawa mendengarnya sedangkan Nikita, melirik ke Panji yang masih menundukkan kepala di sampingnya.             “Oh iya, Vi. Mama mau ngasih kamu kabar bagus nih.”             “Kabar apa, Ma?”             “Ma!” seru Panji hingga membuat semuanya mengalihkan tatapan ke arahnya. “Biar nanti Panji aja yang ngasih tahu!”             “Mama kan maunya sekarang, Ji,” ucap mama. “Gini, Vi. Mama dan Tante July berniat mau ngadain acara pertunangan Panji dan Nikita. Gimana, kamu setuju kan?”             Betapa kagetnya Viola mendengar kalimat mama. Rasa sakit menghujam jantungnya. Perih. Ingin rasanya air mata menetes entah dengan alasan apa. Kedua matanya teralih ke Panji yang kini menatapnya tanpa mengandung arti apa pun di kedua matanya. Panji sendiri mampu menangkap kedua mata Viola berkaca-kaca saat itu. mulutnya menganga yang semakin mampu terbaca kalau saat ini, Viola benar-benar dihadapkan dengan satu pertanyaan yang paling sulit untuk dia jawab.             “Gimana, Vi. Kamu setuju?” Mama kembali bertanya.             Viola mengalihkan tatapannya ke mama sambil menarik paksa kedua sudut bibirnya, “Kalau bagi mama itu yang terbaik, Viola setuju aja, Ma.” Lirih terdengar suara Viola saat itu. Membuat Panji sesaat memejamkan kedua matanya sambil menundukkan kepala. Pasrah, hanya itu yang mampu dia lakukan.             Semuanya langsung lega akibat jawaban Viola. Papa merangkulnya hangat. Namun tatapan papa seakan menyiratkan sesuatu. Dia tahu jelas apa yang kini dihadapi Viola. Dari kedua matanya, dia menangkap bahwa anak perempuan satu-satunya itu sedang menghadapi satu masalah. Viola yang melihat tatapan papa menjurus kepadanya, langsung menuai senyuman di bibir, mencoba menyembunyikan luka di hatinya. Panji sendiri hanya mampu terdiam melihat Viola yang kini menyandarkan kepalanya di d**a bidang sang papa. Dengan kedua mata mengarah padanya.             Panji mondar mandir di kamar. Jam dinding yang menunjukkan pukul dua siang, semakin membuatnya mempercepat langkah di depan tempat tidur. Ini semua tak bisa dibiarin begitu saja. Dia harus melakukan satu hal agar Viola tidak semakin tersakiti.             Suara deru mobil terdengar di luar kamar. Panji melangkah menuju balkon kamarnya dan melihat mobil papa pergi meninggalkan pekarangan. Tidak berapa lama, nada pesan singkat masuk ke handphonenya. Panji kembali masuk dan meraih handphone yang sejak tadi ada di meja komputer.             Kedua matanya terbelalak saat mengetahui siapa sang pengirim pesan. Ditambah lagi isi pesannya yang membuat Panji semakin tidak percaya kalau sang pengirim, berada di pihaknya. Berulang kali Panji memastikan apakah kalimat itu nyata atau tidak. Dan ternyata, semua itu bukan sekedar khayalan. Karena kalimat itu jelas hadir di dalam handphonenya.             ‘Bicarakan sama Viola. Biar papa ngajak mama jalan-jalan dulu. Kasihan Viola, pasti dia tertekan karena harus menyiapkan diri untuk ditinggal sama kamu. Papa tahu sejak dulu, Viola gak bisa jauh dan malah meminta kamu untuk tidak punya pacar agar bisa terus dekat dengannya. Jadi papa minta, beri pengertian ke Viola kalau semua ini, gak akan membuat kalian jauh. Papa percaya sama kamu, Nak. Hanya kamu yang bisa menenangkan hati Viola.’             Panji tersenyum lalu melempar handphonenya ke atas tempat tidur. Berlari keluar dari kamar dan berhenti tepat di hadapan Viola yang saat itu baru saja selesai menaiki tangga. Viola menundukkan kepala dan melangkah meninggalkan Panji. Namun dengan cepat. Panji menariknya sampai di kamarnya. Menutupnya dan menatap Viola tajam.             “Kenapa Vio malah setuju sama rencana itu?”             Viola tersenyum tipis, “Karena Viola tahu, Nikita anak yang baik.”             “Tapi abang belum mau terikat sama orang lain!”             “Bang, cepat atau lambat abang juga harus menikah. Kalau Viola terus memaksa abang untuk ada di samping Viola, kapan abang memikirkan masa depan abang?”             “Vi, abang kan udah janji sampai kamu lulus kuliah, baru abang akan menikah!”             “Tapi itu masih lama, Bang. Empat tahunan lagi!” balas Viola. “Abang harus ingat, sekarang usia abang itu udah dua puluh tiga tahun. Kalau harus menunggu sampai empat atau lima tahun lagi, abang mau jadi apa?!”             “Masih dua tujuh tahun kan, masih wajar buat seorang lelaki belum menikah.” Panji memegang erat kedua lengan Viola. Mencoba meyakinkannya.             “Tapi tidak untuk mama!”             Panji terdiam. Kalimat Viola memang benar adanya. Mama selalu bilang kalau dia ingin segera menimang cucu. Dia ingin anak-anaknya tidak terlalu lama menikah. Dan semua itu, membebani Panji yang jelas harus lebih dulu menikah dari pada Viola.             “Tapi kita udah janji saat kecil, untuk menikah di hari yang sama kan, Dek?” Panji mencoba mengingatkan dan hal itu membuat Viola tertawa lucu.             “Itu perjanjian masa kecil, Bang. Lagian dalam satu rumah, gak boleh menikah bersamaan kan?”             Panji terdiam. Viola memeluk Panji dengan setetes air mata jatuh di pipinya. Dia tidak ingin air matanya, melemahkan Panji. Secepat mungkin Viola menghapusnya lalu memeluknya erat.             “Viola akan baik-baik aja, Bang. Udah saatnya wanita lain yang harus abang cintai, Oke.” Viola melepaskan pelukannya, tersenyum lalu melangkah pergi.             “Yang abang inginkan, itu Viola. Bukan wanita lain!” Dingin terdengar nada Panji saat itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN