BAB 21

999 Kata
            Kebingungan hadir seketika. Viola sendiri tidak jelas dengan perasan yang hadir di hatinya. Dulu, dia jelas mencintai Aldo dengan setulus hati. Bahkan hanya sekedar melihat Aldo walau sesaat, sudah mampu mengobati rindu di hatinya. Tapi kali ini, di saat dia telah mendapatkan sosok pujaan hatinya itu, hatinya seakan memudarkan rasa tulus itu. perlahan tapi pasti terkikis seiring waktu yang kini malah tertuju hanya untuk sosok Panji.             “Kamu pacar aku, Al. itu sudah jelas kan?” Viola memberanikan diri menatap Aldo.             “Tapi yang ada dipikiranmu hanya Panji, bukan aku!” Aldo mencoba menahan gejolak emosi di dadanya. Dia takut Viola sampai pergi meninggalkannya akibat nada tinggi yang akan keluar jika mengikuti arah emosinya.             “Panji itu abangku, jelas aku memikirkannya!” Viola mulai terpancing emosi.             “Tapi tidak sampai melupakan aku kan?” Aldo mengalihkan tatapannya ke arah lain. “Sampai saat kamu masuk rumah sakit pun, aku gak diberitahu. Bahkan kamu melarang aku datang, apa itu pantas?!”             Viola mereda. Kalimat Aldo memang jelas mengatakan bahwa sebenarnya kesalahan itu, ada pada dirinya. Terdengar helaan napas Aldo saat itu yang membuat Viola semakin tak tenang.             “Aku hanya ingin penjelasan, Vi. Kalau seandainya kamu tidak mencintaiku lagi, aku siap mundur.” Suara Aldo melemah. “Aku bisa kan minta jawaban kamu?”             “Aku gak bisa kasih jawaban sekarang, maaf!”             “Tapi, Vi. Aku lelah kalau harus mendapati perlakuan seperti ini!”             “Al, bisa gak sih kamu ngertiin aku?” Viola kembali memanas. “Aku benar-benar bingung dengan perasaanku sendiri. Tolong kasih aku waktu!”             Aldo menatapnya dengan tatapan curiga, “Kamu mencintai Panji kan?”             Viola kaget bukan main. Kalimat Aldo membuatnya sulit bernapas. Detakan jantungnya kian cepat. Tatapan Aldo yang mengarah seakan menjebaknya, membuat Viola tak bisa berbuat apa-apa.             “Jawab aku, Vi!” ucap Aldo lagi. “Kamu mencintai Panji lebih dari sekedar abang kan?”             “Jangan yang aneh-aneh, Al. aku gak suka!!!” Viola berlari meninggalkan Aldo yang memilih berdiri terpaku dan membiarkan Viola pergi darinya. Viola sendiri sengaja melakukan hal itu agar Aldo tidak lagi menghadangnya dengan berbagai pertanyaan yang dia sendiri tak tahu apa jawabannya. Viola berlari menuruni tangga dan menuju gerbang sekolah. Sementara Aldo yang masih di dalam kelas, melangkah keluar dari pintu dan menyaksikan Viola yang berlari menuju gerbang sekolah. Senyuman getir tergaris di bibirnya.             “Aku udah tahu jawabannya, Vi. Mata kamu udah memberikan jawaban,” ucapnya lirih sembari terus menatap Viola dari atas hingga dia masuk ke dalam taksi dan pergi diiringi tatapan Aldo.    ***  Panji membuka pintu kamar Viola tanpa aba-aba terlebih dulu. Viola yang baru saja menutup buku pelajarannya di atas meja belajar, kaget bukan main dan mengarahkan tatapannya ke Panji. Langkah Panji tegap mendekatinya dan berhenti tepat di hadapan. Wajah memerah karena emosi serta kilatan amarah di matanya, mampu ditangkap Viola hingga melesatkan air liur ke tenggorokannya.             Napas Panji memburu hebat. Detakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kejadian di bioskop tadi sore, jelas membuatnya marah bukan main. Ditambah lagi langkah sialnya yang malah mencari Viola ke toko mama, malah berakibat buruk. Mama mengajak keduanya mengobrol di salah satu café dekat dengan toko. Alhasil Panji belum bisa mencari di mana Viola berada.             “Apa maksudnya ninggalin bioskop tadi sore?”             Viola mengalihkan tatapannya. Kebingungan mendera. Belum lagi satu masalah dengan Aldo selesai, kini Panji kembali marah gara-gara sikap beraninya tadi sore.             “Tadi sore … Viola buru-buru pulang karena baru ingat ada tugas. Banyak banget, Bang. Beneran deh.”             “Jangan bohong!” bentak Panji. “Harus berapa kali lagi abang bilang, jangan pernah coba bohong depan abang!!!             “Viola gak bohong, Viola serius.”             Panji menepis buku-buku Viola di atas meja hingga terjatuh ke lantai. Bukan hanya buku, beberapa alat tulis bahkan handphone milik Viola pun ikut terjun bebas. Viola menundukkan kepala. Air matanya mulai jatuh. Rasa takut menyergapnya erat.             “Vio sengaja kan?!!” Kasar terdengar suara Panji saat itu.             Viola terisak. Panji seketika melemah. Isakan Viola membuatnya bingung harus melakukan apa. Bisa jadi Panji langsung duduk tak kuasa berdiri saat isakan itu, melesat ke telinganya.             “Jawab!!” Panji berusaha mengeluarkan seluruh emosinya sebelum mama dan papa pulang. Kali ini, dia benar-benar melarang tubuhnya untuk lemah. Rasa sesak di dadanya harus dia keluarkan.             “Maafin Viola, Bang. Viola cuma ….”             “Viola siapanya abang sih?!” potong Panji. “Kenapa Viola seakan gak kenal abang. Viola sendiri tahu kan kalau abang gak suka sama Nikita!!” Panji terus membentaknya tiada henti. Seolah ingin mengeluarkan semua unek-unek di dadanya yang berhasil menyesakkan dadanya. Viola sendiri tertunduk. Air matanya menetes yang membuatnya terlihat lemah. Sedangkan Panji masih menderukan napasnya tanda bahwa dia benar-benar dipacu emosi yang tak lagi bisa dia tahankan walau hanya sesaat.              Viola diam, tak ada sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya.. Panji yang mulai bingung harus berkata apa lagi, langsung memukul dinding dengan kepalan tangannya lalu keluar meninggalkan Viola yang semakin terisak.             Panji sendiri masuk ke kamarnya. Bersandar di pintu dan mencoba mengatur napas yang masih tidak seirama. Emosinya seketika luntur. Hanya dua hal yang mampu melunakan dirinya dari emosi. Yang pertama air mata Viola. Dan yang kedua pukulan atau sikapnya merusakan sesuatu yang ada di dekatnya. Termasuk menghantamkan tinjuannya ke dinding.             Viola sendiri berlutut di lantai dan membereskan barang-barang yang jatuh akibat emosi Panji. Air matanya masih saja keluar. Bukan hal ini yang dia inginkan. Dia hanya ingin menolong Nikita yang terlalu baik dan manis untuk disakiti. Bukan bermaksud menyakiti Panji yang dia tahu bahwa secuil pun rasa, tak ada di hatinya.             Panji menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut yang ia tekuk. Entah kenapa malam ini, air matanya mengalir tak tertahankan. Isakan Viola yang masih terngiang di telinga ditambah sikap Viola yang dengan sengaja meninggalkannya bersama Nikita, berhasil menggoreskan luka di hatinya terdalam. Menyakitkan. Hanya itu yang dia ketahui saat ini. Entah apa yang kini terjadi, Panji hanya tahu rasa sakit menghujam hatinya terdalam. Ada rasa yang sulit dia gambarkan dengan kata-kata. Kekecewaan begitu nyata dia rasakan hingga sulit untuk sekedar bernapas lega. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN