Bab 4

1372 Kata
Mikaila POV Caroline menatapku dengan wajah serius. Saat ini, kami sedang berada di salah satu kafetaria yang cukup sepi. Wanita itu mendesakku untuk bicara empat mata dan serius tentang hubunganku bersama Reyhan. "Mika, pernikahan bukan eksperimen, jangan berbuat nekat, kau tidak mengenalnya apalagi mencintainya." Caroline memulai, aku tahu dia menahan emosinya saat ini, aku bisa merasakan aura kekesalan nyata yang ia pancarkan. Aku hanya bisa termangu. "Aku tidak punya nyali untuk membantah, semuanya adalah kemauan orang tuaku dan hal ini sepertinya sudah direncanakan sejak aku kecil, well, bahkan sebelum aku lahir," kataku jujur sekaligus pasrah, Caroline berdecak tidak suka. "Di mana sikap tegasmu?? Di mana Mikaila yang mandiri?? Apa kalian saling mencintai??" Caroline memberondongku dengan pertanyaan, aku menggeleng. "Aku tidak tahu, tapi aku tidak membencinya saat pertama kali kutahu, kalau dia calon suamiku, tidak seperti kebanyakan orang yang akan langsung menolak." Kami terdiam cukup lama, lalu Caroline memecah kebisuan di antara kami. Pikiranku penuh. "Jika suatu hari nanti kau mulai mencintainya jujurlah dengan perasaanmu sendiri, jangan menyakiti dirimu sendiri." Caroline menggenggam tanganku, aku mengangguk. "Dan semoga saja kau tidak mengalami lagi yang namanya cinta tak terbalas." Aku pun teringat dengan Phillip, bisa dikatakan dia adalah orang yang pertama kali membuatku merasakan perasaan suka dengan seorang pria, tetapi sayang, perasaanku tidak terbalas. Phillip hanya menganggapku sebagai adiknya dan dia menyukai gadis lain. Sejak saat itu, aku menjadi trauma untuk memulai perasaan baru kepada pria lain, aku takut ditolak. Kutopang dagu dengan kedua tanganku, aku masih bingung dengan keputusanku menjalani hubungan bersama Reyhan yang sebentar lagi akan memasuki jenjang pernikahan. Ponselku berdering, nama Reyhan tertera di layar, aku hanya menatap ponselku yang tergeletak di atas meja tanpa mau menjawabnya, aku butuh waktu untuk memikirkan kembali semua ini, akhirnya ponsel itu pun kembali senyap. "Kenapa tidak diangkat?" tanya Caroline, kuhela napas beratku. "Aku butuh waktu untuk berpikir." Hanya itu yang bisa kukatakan, dan memang benar, aku butuh waktu untuk berpikir, entah berapa banyak waktu yang tersisa untukku sebelum semuanya kubiarkan berjalan sesuai takdir(?) Yang telah ditentukan untukku, aku tidak yakin. Ponselku kembali berdering dengan pemanggil yang sama, kuputuskan untuk mengubahnya ke mode hening. "Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?" Pertanyaan itu keluar begitu saja, karena saat ini aku memang sedang memikirkan keadaan terburuk. "Kalian baru ingin memulai, kenapa kau selalu memikirkan yang terburuknya lebih dulu?" Mengangkat bahuku. Terkadang itu menjadi kebiasaanku, memikirkan yang terburuk agar aku siap jika hal itu terjadi, tetapi Caroline selalu mengoceh tentang hal itu dan menentangku untuk selalu berpikir begitu, katanya itu memudarkan sikap optimisku, aku hanya bersiap-siap bukannya ingin menyerah. "Jalani ini dengan sebaik-baiknya, jika dia mempermainkanmu, aku sendiri yang akan membunuhnya." Aku tersenyum sambil menatap Caroline, dia sepupuku yang sangat pengertian dan sudah seperti kakakku sendiri. "Dia ingin aku berhenti dari dunia Entertainment," beritahuku padanya, dan Caroline menatapku tidak percaya, dia hampir saja terlonjak dari kursinya. Aku tahu, berita ini pasti mengguncangnya juga. "Apa??? Dan kau menerimanya???" Aku mengangguk, Caroline menghempaskan tubuhnya dengan lesu ke sandaran kursinya. "Kau tidak apa-apa kalau aku berhenti??" tanyaku khawatir, Caroline tersenyum remeh sembari mengibaskan salah satu tangannya. "Aku bukan manajer yang tidak punya nama, Mika, bahkan tanpa mencari artis pun artis-artis itu yang berdatangan padaku," pungkasnya sombong, kumajukan bibir bawahku untuk mengejek sikap sombongnya itu, tetapi apa yang dikatakannya benar. Dia salah satu manajer artis yang berpengalaman dan paling banyak diincar oleh artis-artis di luar sana. "Sebaiknya kuantar kau pulang, aku juga ingin ketemu tante Alina," ujar Caroline, kami pun beranjak meninggalkan tempat duduk kami. Baru saja kami akan melewati pintu kafe, sosok Reyhan menghalangi jalan kami dan aku bisa lihat dengan jelas kalau pria itu sedang menahan emosinya. "Aku ingin bicara denganmu, Mikaila," ucapnya dengan sedikit mendesis, aku seperti seekor kelinci yang akan dimangsa oleh seekor anaconda sekarang. "Kutunggu di rumah." Caroline berlalu tanpa berusaha menolongku. Saat sosok Caroline tidak terlihat lagi, Reyhan meraih pergelangan tanganku kemudian sedikit menyeretku menuju ke mobilnya. Untung saja aku tidak bawa Audiku kesini, aku berangkat bersama Caroline setelah acara peluncuran single keduaku. Kurasakan sakit di pergelangan tanganku akibat cengkeraman Reyhan. Saat kami tiba di samping mobilnya, Reyhan menyentak pergelangan tanganku. "Kenapa kau tidak menjawab teleponku??" tanyanya dengan ekspresi yang menakutkan, kutundukkan wajahku karena tidak berani menatapnya, dia mengerikan jika sedang marah. "JAWAB MIKAILA!!" bentaknya yang membuat tubuhku juga ikut berguncang karena terkejut dengan bentakannya, aku tidak suka dibentak seperti ini. "M-ma-af, a-aku-" Air mataku mulai berdesakan keluar, aku tahu ini salahku, tetapi bisakah dia tidak membentakku seperti ini? Di sini? Reyhan mencengkeram rahangku kemudian memaksaku untuk menatapnya, air mataku menetes tepat saat aku menatapnya. Tanpa kuduga, Reyhan melepas cengkeramannya di rahangku kemudian berbalik dan memukul bodi mobilnya dengan keras, aku kembali terkejut. Detik berikutnya aku sudah berada di dalam dekapannya, hal itu membuatku bingung, Reyhan mengusap lembut kepalaku. "Maaf, aku hanya tidak suka kalau kau tidak menjawab teleponku, aku mengkhawatirkanmu," lirihnya yang membuat jantungku berdebar, setelah perasaan takut yang kurasakan berkurang, Reyhan mengurai pelukannya kemudian ia menangkup kedua pipiku dan mengangkat wajahku, lalu bibirnya yang merah itu menciumku, kubalas ciumannya yang memabukkan itu hingga akhirnya kami harus mengakhirinya akibat paru-paru kami yang seakan ingin meledak. Reyhan menatapku, kemudian menyeka sisa air mataku dengan ibu jarinya. "Aku bisa gila kalau aku sedang khawatir, Mikaila," bisiknya, dan aku lagi-lagi tersesat di dalam netra emasnya. Jantungku bertalu seperti genderang yang terdengar saat akan berperang, perasaan asing itu melandaku. "Maaf." Hanya itu yang bisa kuucapkan, kemudian ia mengecup keningku lembut dan aku seperti es yang mencair. Keheningan melanda kami saat perjalanan menuju ke sebuah toko perhiasan. Kami akan mengukur cincin pernikahan, benakku seperti ditimbun oleh kertas, ada banyak hal yang menumpuk untuk kupikirkan kembali. "Maaf karena tidak datang di peluncuran singlemu." Reyhan memecah keheningan di antara kami, kutolehkan pandanganku ke arahnya kemudian tersenyum. "Tidak apa-apa," jawabku. "Kita harus merayakan hal itu," katanya lagi, aku menatapnya bingung, Reyhan tersenyum kemudian menoleh sekilas padaku. "Kita harus merayakan kesuksesan singlemu, kau ingin merayakannya di mana?" Ia tampak antusias, dan aku sedikit terpengaruh oleh antusiasmenya itu. Aku tidak menyangka dia peduli tentang hal ini, bukannya kemarin dia ingin aku berhenti dari dunia yang membesarkan namaku? Lalu, kenapa dia ingin merayakan kesuksesan singleku? Bukankah dia tidak suka dengan hal ini?? "Terserah kau saja, biasanya aku hanya makan dengan para kru di manajemen dan teman-temanku." Aku teringat akan perayaan single pertamaku, Caroline dan Jessica mabuk dan bertingkah seperti orang gila, malam yang kacau. "Apa kau merayakannya bersama teman-teman priamu juga?" Aku mengangguk dan kulihat perubahan ekspresi di wajahnya, ada apa dengannya? Apa aku salah bicara? "Kalau begitu kita rayakan ini berdua saja tanpa teman-temanmu." Nada bicaranya dingin. "Kenapa? Bukannya ramai lebih bagus?" "Aku tidak mau kejadian kau hampir dicium teman priamu terulang lagi." Aku terkejut mendengar apa yang baru saja dia katakan, dia tahu insiden yang hampir terjadi antara aku dan Edward. "Kau tahu??" tanyaku terkejut sekaligus ingin tahu. "Kulihat itu di media, dia hampir saja menciummu tetapi kau mendorongnya, pilihan yang bijak," pujinya sambil memamerkan smirk-nya yang memesona itu. Aku tampak tidak yakin dengan jawabannya itu, tetapi mungkin ini hanya perasaanku saja. "Kenapa kau tidak mendorongku saat aku menciummu? Seperti yang kau lakukan ke temanmu itu?" Apa dia sedang menjebakku sekarang? Atau dia ingin mempermalukanku?? kuangkat bahuku. "Karena aku ingin," jawabku jujur, lebih baik jujur daripada aku harus diberondong pertanyaan, berharap dengan kejujuranku ini dia berhenti bertanya dengan pertanyaan yang membuatku malu. "Jadi, kau ingin dicium olehku?" Kuhela napasku dengan perasaan menyesal, kuhempaskan punggungku pada jok mobil dengan pasrah seraya melipat tanganku di depan d**a. Great! Aku salah karena berkata jujur dengannya. "Apa itu sebuah masalah untukmu?" Aku ingin tahu. "Sedikit, kau terlihat murahan." Aku menoleh dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya, kemudian memberinya pukulan keras di salah satu lengannya, Reyhan terkekeh, aku mendengus melihat reaksinya. "Lagi pula kalau aku menolaknya pasti kau tidak menyukainya," kataku lagi. "Kau belum mencobanya," katanya dengan mimik setengah tersenyum dan menantang, seolah, ini akan menjadi hal yang menarik. Baiklah, aku menyerah. Kuangkat kedua tanganku sebatas dadaku. "Baiklah, aku akan menolakmu jika nanti kau akan menciumku." Kuucapkan itu dengan sedikit niat di dalam diriku untuk menepatinya. "Kita lihat saja nanti." Kuputar mataku mendengar sikap percaya dirinya yang sangat tinggi. Sebenarnya, pria jenis apa yang sedang kuhadapi saat ini? Kenapa dia bisa menjadi sangat manis dan menyebalkan dalam satu waktu? Apa semua pria bersikap seperti ini? Aku jadi pusing sendiri memikirkannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN