Hari ini, Reyhan datang ke rumahku untuk meminta daftar tamu undanganku. Setelah kemarin kami mengukur cincin dan memesan undangan, hari ini aku dan dia harus membawanya ke percetakan untuk melengkapi permintaan percetakan. Kami duduk di sofa ruang tengah sambil melihat daftar nama-nama yang akan kami undang ke pesta pernikahan.
Kusodorkan daftar nama milikku ke padanya, dia mengernyit.
"Kenapa cuman sedikit?" tanyanya yang kujawab dengan mengangkat bahu acuh.
"Aku memang tidak punya banyak teman," gumamku, Reyhan menyipitkan matanya curiga.
"Kau malu dengan pernikahan ini?"
Aku terkejut dan sedikit tersinggung dengan pertanyaannya itu. Apa maksud dia dengan mengatakan ‘Aku malu dengan pernikahan ini?’ Justru, aku merasa menjadi wanita paling beruntung karena akan dinikahi oleh seorang Miliuner.
"Bukan begitu, aku memang tidak punya banyak teman, semuanya cuma kenalan, tidak sepertimu." Kulirik daftar tamu yang dibuatnya.
"Kenapa kebanyakan pria?" tanyanya lagi. Oh, Tuhan! Ada apa dengan pria ini??
"Tidak boleh ya? Bukannya itu bagus? Mereka bisa tahu kalau aku jadi milikmu sekarang," komentarku sambil menatapnya, mencoba untuk tidak membuatnya marah. Reyhan meletakkan daftar tamu milikku di atas daftar tamu miliknya, kemudian tanpa kuduga ia menciumku sedikit kasar dan b*******h.
Aku mulai terbiasa dengan perlakuannya, kulingkarkan kedua lenganku ke leher kokohnya, salah satu tangannya meremas payudaraku, gairahku melesat dengan cepat dan pangkal pahaku berdenyut. Ciuman Reyhan berpindah ke leherku dan terus turun hingga ke gundukan payudaraku, tanpa malu aku mendesahkan namanya, ini sangat nikmat, perutku seperti digelitik oleh jutaan kupu-kupu yang sedang terbang. Reyhan melepas kaitan bra-ku yang berada di depan yang tanpa kusadari sejak tadi jika kancing kemejaku telah terbuka sepenuhnya. Posisiku saat ini telah berbaring di sofa dan Reyhan sedang mencumbu payudaraku, kuremas rambutnya sambil menikmati cumbuannya, pangkal pahaku semakin berdenyut dan tubuhku pun menginginkan lebih, lalu terdengar suara mobil memasuki garasi, mataku terbuka dengan terkejut.
"R-rey, eenghh, aaahh." Aku berusaha untuk melawan kenikmatan ini, ciuman Reyhan turun ke perutku.
"Rey, Mamaaahh.” Desahanku tertahan, ciuman Reyhan berhenti di depan pangkal pahaku yang masih tertutup hotpants, terdengar suara pintu mobil tertutup. Kami pun buru-buru membenahi penampilan kami, Reyhan mengecup puncak payudaraku sebelum ia mengaitkan kembali pengait bra-ku.
"Milikku," bisiknya sensual di hadapan payudaraku, aku menahan nafas sebentar lalu menghembuskannya lagi saat Reyhan mengaitkan kembali braku dan membantu mengancingkan kemejaku, mama datang setelah beberapa detik kami selesai berbenah.
"Ciiieee, yang lagi mesra-mesra, Mama cemburu loo…," ejek mama, kuhela nafasku dengan berat kemudian berdecak, kulirik Reyhan yang sedang tersenyum menahan tawanya.
"Bagaimana undangannya? Sudah jadi?" tanya mama.
"Hari ini jadinya, Ma." jawabku.
"Ya sudah, Mama ke kamar dulu, mau istirahat sebentar," ujar mama kemudian berlalu dari hadapan kami, kuhembuskan nafas legaku.
"Boleh lanjut yang tadi?"
Satu pukulan mendarat di lengan Reyhan, pria itu mengaduh kesakitan.
"Rasakan itu! Siapa suruh m***m," ketusku sambil mendelikkan mataku dengan sebal.
"Tapi kamu maukan?!" kekeh Reyhan, kucemberutkan bibirku, dia menyebalkan kalau sedang dalam mode menggangguku seperti ini. Ia pun menyelipkan rambutku yang terjuntai menutupi sedikit wajahku ke belakang telinga. Ia pun meraih daguku dan membuatku seketika menatapnya lalu kembali menciumku seperti beberapa saat yang lalu. Kucoba untuk mendorong tubuhnya tetapi tidak berefek sama sekali, aku takut mama akan melihat kami. Saat ciumannya kembali berpindah ke leherku aku berusaha membuat Reyhan berhenti.
"Nanti Mama lihat, Rey!" kataku berusaha menahan desahanku.
"Aku menginginkanmu sekarang, Mikaila," pinta Reyhan di leherku.
"Jangan sekarang,” tolakku, dan Reyhan pun menjauhkan wajahnya dari leherku dan menatapku.
"Kenapa??"
Kugigit bibirku gugup, aku belum siap melakukannya lagi pula, dia akan jadi pria pertamaku jika dia akan melakukannya nanti setelah kami menikah.
"Aku … belum siap," akuku malu, kutatap Reyhan dengan gugup bercampur malu, aku tahu pasti dia telah sering melakukan seks dengan wanita.
"Apa kau pernah melakukan seks sebelumnya dengan seorang pria??"
Entah warna apa wajahku sekarang, mendengar pertanyaan vulgar itu, sudah pasti aku malu. Menggelengkan kepalaku sambil tertunduk, Reyhan mengangkat daguku, dia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Benarkah??" tanyanya seolah tidak mempercayaiku. Kupalingkan wajahku dan berusaha mengalihkan pikiran dan perhatianku ke daftar tamu undangan kami. Aku sedang merasa malu sekarang, baru kali ini seorang pria bertanya dengan sangat terang-terangan tentang kehidupan seksku. Reyhan meraih salah satu tanganku yang saat ini sedang memegang kertas, ia meletakkan kertas yang kupegang itu di atas meja, ia pun mengecup jari-jari tanganku yang berada di dalam genggamannya.
"Aku ingin jadi yang pertama untukmu," ucap Reyhan sambil menatapku dengan tatapan tulusnya, aku tertegun. Tiba-tiba aku ragu untuk mengambil keputusan.
"Jangan sekarang, aku belum siap." Hanya itu yang bisa kukatakan, dan itu fakta. Menyerahkan keperawanan bukan seperti menyerahkan sebungkus permen, tetapi ini tentang harga diri dan kehormatan seorang perempuan.
***
Dalam perjalanan kami menuju ke percetakan undangan, Reyhan masih saja ingin tahu tentang kehidupan seks dan tentang hubungan asmaraku. Aku pun mulai terbuka dengannya, ini lebih baik ketimbang aku menyembunyikan sesuatu darinya, tetapi bisakah aku membuatnya terbuka juga untukku seperti yang kulakukan?
"Maaf kalau aku tidak seperti yang kau bayangkan.” Tiba-tiba saja aku gugup karena khawatir Reyhan tidak menyukai wanita sepertiku, kuper dan tidak seperti wanita di zaman sekarang yang memiliki pergaulan luas dan bebas. Reyhan tersenyum dan itu membuatku bertanya.
"Mungkin itu sebabnya kau masuk jadi calon menantu idaman keluargaku," puji Reyhan, ada kebanggaan di dalam diriku sedikit, tetapi kenapa hanya calon menantu? Kenapa bukan calon istri?
"Aku pernah menjalin hubungan serius dengan seorang wanita tapi gagal, mungkin kami memang tidak berjodoh," ceritanya, aku hanya diam mendengarkan, tidak ingin menyela.
Kami pun tiba di tempat yang kami tuju, setelah urusan kami selesai, Reyhan mengajakku ke kantornya. Semua mata seolah menilaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki saat aku dan Reyhan memasuki gedung pencakar langit yang elegan itu. Seolah mengerti ke gugupanku, Reyhan semakin merapatkan tubuhku padanya.
"Untung saja di kantor ini tidak ada penggemarmu, jadi aku bisa bernafas lega," ujarnya saat kami hanya berdua di dalam lift.
"Kau tidak suka para penggemarku, ya?" tanyaku, Reyhan memasukkan kedua tangan ke saku celananya.
"Aku punya masalah dengan orang-orang yang berlaku seenaknya pada orang lain," dalihnya, aku merasa dia cemburu tetapi aku masih ragu dengan asumsiku ini.
"Aku hanya berusaha menghargai orang-orang yang mau mendukungku selama aku menjalani profesiku, bagiku penggemar adalah bagian penting untuk seseorang yang punya pekerjaan di Entertainment."
Aku tidak bermaksud membela siapapun, hanya saja aku ingin menghargai orang-orang yang telah mendukungku selama ini.
"Setelah kita menikah, kau tidak butuh penggemarmu lagi," simpulnya yang bernada tidak ingin dibantah, raut wajahnya mengubah atmosfer yang berada di sekitarku menjadi tidak nyaman, apa seserius itu dampak para penggemar untuknya? Dewi Batinku melipat bibir ke dalam mulutnya.
Reyhan menggenggam tanganku saat kami berjalan keluar dari lift. Aku suka genggaman tangannya yang terasa hangat dan melindungi tanganku yang kecil. Reyhan memperkenalkanku pada sekretarisnya, dan aku merasa tidak setuju dengan dia yang memiliki sekretaris wanita.
"Bisakah kau mengganti sekretarismu?" tanyaku ketika kami berada di dalam ruang kerjanya yang nyaman. Reyhan menatapku dengan tatapan bertanya.
"Kenapa? Dia termasuk orang yang berkompeten dalam mengerjakan tugasnya." Reyhan duduk di kursi kerja miliknya sementara aku duduk di sofa. Aku merasa malu, bodoh dan juga gugup dalam satu waktu, tetapi aku juga harus meletakkan aturan disini, setelah dia ingin aku berhenti dari profesiku dan membenci penggemarku, aku merasa aku juga punya hak untuk menetralkan kecemburuanku.
Wait a minute, apa aku cemburu??
Ini memalukan sekali! Dewi Batinku tersipu malu sambil mengipasi wajahnya dengan anggun.
"Aku rasa, aku punya masalah dengan sekretaris wanita yang dipimpin oleh seorang bos pria sepertimu," tandasku sambil melipat kedua tangan di depan dadaku, kupalingkan wajahku menatap ke arah salah satu bahuku.
"Masalah?? Masalah apa yang bisa muncul antara bos dan sekretaris?"
Aku merasa bodoh menyuarakan pendapatku ini, apa dia benar-benar tidak mengerti atau dia mencoba mempermalukanku dengan memaksaku mengakui kalau aku memang cemburu?? Moodku tiba-tiba berubah secara drastis, Tuan tampan pengubah suasana hati, ini sangat menyebalkan.
"Aku sering mendengar, bos terlibat affair dengan sekretarisnya," dugaku.
"Itu konyol, Mikaila."
"Itu bukan kekonyolan, aku tidak ingin punya masalah itu di kemudian hari, apalagi yang paling buruk dari sebuah hubungan selain pengkhianatan?"
"Kau cantik saat kau marah dan cemburu dalam satu waktu."
Lihat, dia menggombalku saat aku marah. Betapa menyebalkannya ini, apa pria memang seperti ini?
"Aku tidak akan mengganti sekretarisku," tutupnya, dan aku merasa kecewa. Aku bangkit dengan perasaan marah bercampur kecewa.
"Kalau begitu, jangan melarangku bertemu penggemarku dan meninggalkan profesiku," timpalku, kemudian melangkah keluar dari ruangan yang sudah tidak nyaman lagi untukku.
Saat pintu lift akan tertutup, kulihat Reyhan berusaha mengejarku tetapi sia-sia, lift telah membawaku turun hingga ke lobi. Aku tidak suka jika hanya aku yang harus mengikuti aturan. Kakiku membawaku ke halte bus yang tidak jauh dari kantor milik Reyhan, ponselku berdering dan aku tahu itu darinya.
Kenapa aku cemburu?? Apa karena dia juga cemburu pada penggemarku?? Tetapi itu hanya asumsiku, tetapi tanda-tandanya seperti orang cemburu.
Aku mengunjungi sebuah kafe milik seorang teman dekat, tidak terhitung kunjunganku ke tempat ini, saat sedang ingin sendiri dan memikirkan sesuatu, tempat ini menjadi pilihan utamaku. Pemilik kafe yang seorang pria tinggi dengan senyum menyenangkan menyambutku, Eden selalu menyambutku dengan senyuman itu saat aku datang kesini.
"Wouw! Lihat, siapa yang datang, calon jutawan kita yang memesona," seru Eden yang membuatku memutar mata, aku tahu dia mengejekku.
"Dimana calon suamimu? Kenapa kau tidak mengajaknya ke sini?" Eden bertingkah seperti mencari seseorang.
"Dia sedang sibuk," bohongku, aku segera mengalihkan perhatiannya dengan pesananku.
Eden pun menemaniku berbincang, aku selalu suka menumpahkan unek-unekku padanya.
"Wanita memang sangat posesif terhadap pria yang dicintainya."
Aku rasa dia terlalu jauh mengambil kesimpulan.
"Aku? Mencintainya? Ed, kami bahkan baru bertemu beberapa hari lalu dalam acara perjodohan yang sangat mendadak itu."
Eden menatapku dengan sikap sabarnya, ini yang kusuka darinya dia bisa bersabar untukku saat aku berdebat dengannya.
"Kalian akan menjalani pernikahan, Mika, kau pasti tahu kalau itu bukan main-main dan kau mencoba mengambil langkah defensi karena dia juga begitu terhadapmu, kalian mencoba untuk membuat hubungan kalian berjalan nantinya."
Kuhela nafasku dan bertanya dalam benakku, kenapa Eden tidak menjadi psikiater dan membuka layanan konsultasi? Aku iri dengan Carmen--istrinya--yang mempunyai suami seperti Eden. Ponsel pria itu berdering, dia pun mohon pamit untuk menjawab panggilan ponselnya. Kembali memikirkan kata-kata Eden, aku setuju itu sepenuhnya, benar aku mencoba agar hubungan kami berjalan tanpa ada masalah di awalnya, aku mencoba memberi peringatan sama seperti yang dia lakukan.
Eden kembali, dan kami pun melanjutkan obrolan serius ini. Aku seperti berkonsultasi dengan psikiater sekarang, tentang bagaimana memahami suatu hubungan dan perilaku yang ditimbulkan karenanya.
"Aku tahu kau merasa tidak mendapatkan keadilan di sini, tapi cobalah untuk mengerti, mungkin penilaiannya benar, dia yang lebih tahu tentang orang-orang yang bekerja dengannya."
"Aku mencoba meminimalkan cela untuk orang asing yang berusaha merusak rumah tanggaku, itu saja, aku akui keputusannya agar aku berhenti dari dunia yang membesarkan namaku adalah asumsi yang kuat tetapi apakah tidak sepadan dengan permintaanku??!" Entah kenapa aku masih mencoba membela tindakanku.
"Aku rasa, kau harus melihat dari semua sudut pandang, kau harus bicara padanya, kalian harus bicara."
Bicara padanya??! Aku gengsi. Sepasang kekasih memasuki kafe dan beberapa pengunjung lain, itu memberiku jeda panjang untuk berpikir, sementara Eden sibuk menyiapkan makanan ditemani seorang pegawai wanita dan pria. Aku menatap keluar dinding kaca, pertama kali untukku dalam menjalin sebuah hubungan, suatu lompatan besar bagiku karena tidak perlu membuang waktu terlalu banyak untuk pacaran, tetapi aku juga merasa ini sedikit gegabah. Tanpa kusadari Reyhan telah duduk di tempat Eden duduk sebelumnya, aku terkejut saat ia menatapku dengan tatapannya yang selalu saja memberikan reaksi mendalam hingga ke dalam jiwaku.
"Apa kau masih marah padaku?" tanyanya, aku mengangguk, mungkin Eden benar, kami harus bicara.
"Aku hanya mencoba untuk agar hubungan kita berjalan dengan sedikit risiko ke depannya," ungkapku menyuarakan pemikiran.
"Aku juga," lirihnya yang membuatku takjub. Dia punya keinginan yang sama denganku, Dewi Batinku seperti seorang remaja yang baru saja diberikan kata-kata romantis oleh seorang pemuda.
"Aku akan mencoba mempertimbangkan usulanmu, tapi kau tahu, mengganti karyawan tidak semudah mengganti pakaian dalam, jika dia berkompeten itu akan menjadi sangat sulit."
Reyhan meraih tanganku kemudian menggenggamnya, ada kesungguhan di matanya, dan seperti sebuah sihir yang membuatku ingin melakukan apa saja untuk pria ini.
"Aku menginginkanmu, Mikaila, lebih dari yang kau tahu, kau seperti harapan baru bagiku."
Aku terkesima, dan gelembung harapan di dalam diriku perlahan membesar. Aku menatap netra emasnya yang indah, mencoba mencari sesuatu untuk bisa berdebat dengannya, tetapi sesuatu dalam diriku seolah mencair, dan perasaan hangat perlahan memenuhiku.
"Menikahlah denganku, Mikaila."
Dan aku seperti dihujani oleh ribuan kelopak bunga mawar dengan wangi surgawi, seorang pria yang bahkan tidak pernah kubayangkan kehadirannya, melamar dan memintaku menikah dengannya, ini lebih dari sekedar mendengarkan nomor lotremu disebutkan kemudian mendapatkan hadiah utama, semua perdebatan yang sudah kupersiapkan pun menghilang begitu saja, dan tawaran itu menjadi penyelesaian untuk masalah ini.
***