Bab 6

2452 Kata
Semua orang bertepuk tangan saat Reyhan menciumku setelah kami mengucapkan janji suci pernikahan. Aku hanyut dalam ciuman yang membara dan penuh sensasi itu, jika saja Rani tidak menegur kami dengan tenggorokannya yang pura-pura gatal, sudah kupastikan akan berlama-lama dengan ciuman itu. kutatap wajah Reyhan yang sempurna bagiku. Mungkin, sempurna juga bagi alam semesta ini. Seorang Dewa seakan berdiri di hadapanku sekarang dengan tatapan tajam, dingin, b*******h dan menyala. Aku tersipu mendapati fakta bahwa pria tampan nyaris tanpa cela ini adalah milikku. "Sudah selesai mengagumiku? Karena kita punya dansa," ucapnya membangunkanku dari fantasi yang indah itu, aku mengangguk dengan wajah malu dan memerah. "Apa kau bahagia?" tanyanya saat kami berdansa, aku tersenyum dan mengangguk tulus. "kau?" tanyaku yang masih terperangkap di dalam pesonanya, dan akan selalu begitu. "Menikahi wanita yang kuinginkan sejak lama, tentu aku bahagia, aku berjanji hubungan ini akan berjalan dan berhasil," janjinya, aku tersenyum sedikit kecewa. "Tidak, pastikan saja kalau kau selalu bersamaku," sambungku cepat, seketika suasana ini berubah emosional, entah dari mana datangnya ketakutan itu, tetapi aku takut ditinggalkan olehnya, aku takut dia akan membuangku suatu saat nanti. Air mata mengancam akan keluar dari pelupuk mata. "Hei, jangan menangis. Aku menginginkanmu untuk selamanya di sisiku, aku membutuhkanmu jadi aku tidak akan meninggalkanmu," ucapnya yang membuatku semakin emosional, dan pertahananku pun goyah. Satu bulir air lolos dari kedua mataku, Reyhan lalu membawaku ke pelukannya yang akhir-akhir ini telah menjadi tempat favoritku, kami berhenti berdansa, saling memeluk. "Aku tidak ingin merusak hasil kerja keras Rani di wajahmu, sayang, kau tampak sangat cantik, dan jika kita tidak harus menerima secara langsung ucapan selamat dari para tamu undangan, aku ingin mengeluarkanmu dari gaun itu saat ini juga." Aku tiba-tiba saja berhenti terisak, jantungku berpacu dengan kecepatan abnormal, dia akan jadi pria pertamaku. Menjauhkan sedikit tubuhku darinya, Reyhan mengambil sapu tangan di saku celananya lalu memberikannya padaku, kuseka mataku yang basah dengan hati-hati agar tidak merusak make-upku. Reyhan meraih daguku untuk mengangkat wajahku sehingga aku menatapnya. "Aku tidak yakin bisa memuaskanmu," bisikku menyuarakan ketakutan itu, Reyhan tersenyum lembut yang sanggup mencairkan iceberg di Kutub Utara. "Aku hanya ingin kau dan aku menikmatinya, dengan begitu kita akan merasa puas." "Tapi aku tidak berpengalaman sepertimu," kilahku sedikit panik, gugup dan malu, Reyhan mengecup ujung bibirku, jika aku adalah sebuah es aku sudah mencair sekarang. "Aku akan mengajarimu sampai kau bisa melakukannya dengan baik, tetapi ada syaratnya." "Apa?" Mengerutkan sedikit keningku saat bertanya. "Kau hanya boleh melakukannya denganku karena setelah malam ini, kau adalah milikku, Mikaila." Aku seperti berada di atas angin saat Reyhan menyebut namaku, dia seperti membelai setiap hurufnya dengan lidah dan bibirnya, betapa seksinya itu terdengar di telingaku dan itu sanggup membangkitkan gairah dan sisi erotisku yang terdalam. "Kau mengerti, Mikaila?" Aku mengangguk gugup bercampur terlalu senang, otot bawah perutku mengencang dengan nikmat, pria ini sangat memengaruhiku. Kami menerima semua ucapan selamat dari berbagai kalangan, namun Reyhan menunjukkan sikap tenang, tidak begitu terpengaruh dengan ucapan selamat itu dia seolah mengawasi dan tidak mempercayai, kecuali ke beberapa orang, dia tampak mengeluarkan senyum tulusnya selebihnya hanya senyum sopan dan formal. Salah satu lengannya tidak pernah meninggalkan pinggangku sehingga aku tetap di dekatnya, sangat menempel dan posesif. Aku memperhatikan responsnya terhadap wanita-wanita yang datang mengucapkan selamat pada kami, tetapi tidak ada tanggapan spesial, kecuali dengan seorang wanita. Dia berwajah khas Timur Tengah seperti Rani, datang bersama seorang pria yang cukup tampan, tetapi terlihat tidak menyenangkan untuk perasaanku, mungkin, dan wanita itu seperti bisa mempengaruhinya, seperti tersadar sesuatu aku ingat ketika dia pernah berbicara tentang seorang mantan kekasih yang kuanggap cukup berkesan baginya. "Mungkinkah dia??" Aku bertanya pada Dewi Batin dan akal sehatku semua mengatakan ‘mungkin’, aku seketika dilanda kecemasan. Dia seperti sengaja datang di akhir acara agar punya kesempatan lebih banyak untuk mengobrol dengan Reyhan, sehingga aku merasa tersisihkan, ganjil dan tidak diinginkan. Perasaan itu mengganggu, hingga mengirim sinyal tanda bahaya di benakku. Tidak, aku tidak ingin wanita ini menjadi kendala awal di hubungan kami yang masih rapuh. Akhirnya, aku pamit untuk mengambil segelas minuman, sepertinya Reyhan hanya terpengaruh sedikit dengan kepergianku dari sampingnya. Hatiku seperti mendapatkan tusukan kecil yang terbilang samar namun masih terasa, tetapi aku berusaha menepisnya agar tidak berpengaruh lebih kejam terhadapku. Kuteguk cairan berwarna kuning, rasa buah tropis menyambutku, ini menyegarkan. Aku mengambil sebuah cake kecil hendak mencobanya, tetapi Rani menghentikanku sebelum makanan lezat itu masuk ke dalam mulutku. "Kenapa?" Aku sedikit kesal karena aksinya, Rani membentuk bibirnya menjadi garis lurus. "Kau bisa makan punyamu sendiri di sana, ini untuk tamu," omelnya, lalu dia menyeretku ke suatu tempat. Orang-orang sudah semakin berkurang, kusapukan pandangan ke taman belakang, vila milik Reyhan yang disulap begitu menakjubkan, dan mataku tertuju pada Reyhan yang sangat menikmati obrolannya dengan wanita itu. "Oh, tidak! Apa yang wanita jalang itu lakukan di sini??" Pertanyaan sinis dari Rani sontak mengalihkan perhatianku ke dirinya. "Siapa dia?" Aku ingin tahu. "Dia Atika, mantan pacar Rey wanita itu meninggalkan Rey untuk pria di sampingnya, Atika berselingkuh di belakang Rey, tetapi si bodoh itu tidak percaya, dia lebih percaya omongan Atika kalau wanita itu dijodohkan oleh orang tuanya." Rani mendengus di akhir ceritanya. "Kenapa kau tahu banyak?" Aku tertarik dengan pembahasan ini. "Karena, aku orang yang mendapati wanita itu sedang jalan bersama pria yang saat ini menjadi suaminya, saat itu Reyhan pergi ke sini untuk menghadiri peresmian yayasan Orchid Cancer miliknya." Aku tertegun mencoba mencerna informasi ini. Apakah Reyhan masih sangat mencintai wanita itu sehingga dia tidak percaya dengan fakta yang Rani katakan?? Kecemasanku semakin meningkat dan tiba-tiba saja aku merasa sesak, dosis ketakutan di dalam diriku pun semakin meningkat. "Apa Reyhan pernah cerita tentang wanita itu padamu?" Topik ini mengeringkan tenggorokan dan mulutku, aku mengangguk mencoba menguatkan diri. "Tapi tidak banyak cerita." Kuteguk jus buahku sedikit lebih banyak, kami terdiam dan aku membuang muka untuk tidak melihat Reyhan yang seolah lupa di mana dia berpijak saat ini. "Aku sepertinya lelah, bisa bantu aku melepas riasanku, Kakak Ipar?" pintaku sambil berusaha tersenyum, aku memang lelah, tetapi itu karena melihat Reyhan dengan mantan kekasihnya yang sangat akrab di depan mataku. Rani dengan senyum cerianya menggamit lenganku menuju ke salah satu kamar di vila ini yang menjadi kamar pengantin. Mama menatapku dengan keadaan melankolisnya, kuputar mataku saat dia menghampiri dan memelukku. Dia begini sejak acara pernikahanku dimulai tadi pagi, aku rasa matanya sembab dan hidungnya memerah. Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku juga, dia satu-satunya orang yang akan tetap bersamaku di saat semua orang pergi meninggalkanku. Mama mengurai pelukannya dan menatapku dengan mata berkaca-kaca, kami tersenyum konyol saat kami bertatapan. Caroline datang menginterupsi kami, dia sempat bingung dengan situasi kami, kemudian ia menghampiriku dan aku berpindah memeluknya. "Kami akan selalu ada bersamamu, tidak peduli Reyhan membawamu ke mana, Home is always home baby." Caroline tersenyum dan air mataku tidak berhenti, seperti keran rusak. Rani mendekat sehingga kami seperti para girlband, mereka semua merangkulku. "Kita satu keluarga sekarang, aku bahagia karena hal itu." Rani tulus mengatakannya dan sekali lagi mama menangis, kami semua berdecak karena melihat betapa cengengnya mamaku, oh! mamaku yang cengeng, tetapi sangat peduli dan mandiri. "Mam, sudah, jangan menangis, ini bukan pemakaman ini pernikahan, home is always home and i always be your daughter," kataku mencoba menghentikan keadaan melankolisnya yang menurutku sangat berlebihan ini. Rani dan Caroline membantu membuka hiasan rambutku, melepas tiara dan kain tule milikku, lalu mereka melepas tatanan rambutku. "Apa kau lihat Reyhan? Dia tampaknya sangat menikmati obrolannya dengan seorang wanita." Caroline membuka suara, oh tidak! Jangan tentang Reyhan dan mantan pacar sialannya itu, aku berusaha mengantisipasi serangan dari apa yang akan kudengar dan rasakan saat akan membicarakan ini. Rani mendengus, terlihat sekali kalau dia sangat tidak suka dengan wanita yang bernama Atika itu. "Wanita jalang itu adalah mantan pacarnya." Rani mengatakan itu dengan nada permusuhan yang sangat kentara, aku jadi ingin tahu seberapa parah akibat yang ditimbulkan oleh wanita itu, akibat perbuatannya pada Reyhan. "Apa?? Mantan pacarnya?? Tapi kelihatannya dia masih sangat tertarik." Caroline melepas salah satu jepitan rambutku. Hatiku seakan pecah berkeping-keping mendengar asumsi Caroline. Kutatap pantulan wajahku di cermin dengan tatapan kosong. Dewi Batinku kehilangan keseimbangannya dan jatuh tersungkur karena tersandung oleh gaunnya di bagian bawah, sementara akal sehatku bersembunyi di balik selimut yang tebal. "Aku akan mengulitinya jika dia ingin kembali dengan wanita itu." Rani seperti seorang penyihir jahat yang suka menyiksa manusia dengan sadis, terdengar mengerikan jika dia dalam keadaan marah. Pikiranku lumpuh, aku tidak bisa memikirkan rasa sakitnya lebih jauh lagi atau memikirkan hal positif yang dapat memotivasiku. Entah berapa lama aku duduk seperti orang kehilangan nyawa, guncangan Rani pada tubuhku membawaku kembali dari negeri antah berantah yang baru saja kukunjungi. "Kau baik-baik saja? Jangan khawatir sayang, jika Reyhan berani menyakitimu secara fisik maupun batin, hidupnya akan kubuat seperti di neraka seumur hidupnya." Kutatap Rani melalui cermin, aku senang semua orang ingin melindungiku dari pengkhianatan yang sewaktu-waktu dapat Reyhan lakukan padaku, aku mencoba tersenyum, tetapi wajahku terasa kaku. Perasaan ini adalah hal baru bagiku, jadi seperti ini rasanya jika seseorang yang kita cintai mengkhianati kita?? Tunggu, apa aku baru saja mengatakan seseorang yang kita cintai? Apakah aku sudah jatuh cinta padanya? Dewi Batinku menatapku dengan tatapan menghina ke arahku, kemudian ia bangkit dan duduk di sofa merah empuk miliknya. Kugigit bibirku, ini sangat cepat, tapi bisakah cinta datang secepat ini? Apakah ini cinta, atau aku hanya takut kehilangan dia dan takut sendirian lagi?? Caroline dan Rani selesai dengan rambutku, mereka menyuruhku untuk berdiri, Rani berdiri di belakangku untuk membuka ritsleting gaunku, di saat yang sama Reyhan masuk, kami semua pun menatap ke arahnya, suasana hening selama beberapa saat, hingga ponsel mamaku memecah keheningan yang terjadi, mama pun keluar untuk menerima panggilan telepon. "Sudah selesai dengan wanita itu? Aku pikir kau akan pergi dan menghabiskan waktu bersamanya." Rani mengibarkan bendera perangnya, memalingkan wajahku agar tidak menatap Reyhan, ada tusukan kecil yang terasa di hatiku, Dewi Batinku terlonjak dari sofanya. "Aku ingin berdua saja dengan istriku, dan jauhkan tanganmu dari gaunnya, aku sendiri yang akan mengeluarkannya dari gaun itu." Tenang, terkontrol, dingin dan mengintimidasi, suasana berubah tegang di ruangan ini. "Jadi sekarang kau ingat dengan istrimu?? Ke mana saja kau selama dua jam ini??" bentak Rani. Tenggorokanku seakan memiliki benjolan yang sangat besar karena menahan serangan emosi yang berusaha keluar. "Aku tidak ingin kau ikut campur dengan rumah tanggaku juga, Rani, tinggalkan kami berdua atau aku akan menyeret Mikaila dengan tanganku sendiri." Ancaman yang menakutkan, Reyhan bisa saja membunuh seseorang dengan kata-kata dan cara dia berbicara. Caroline dan Rani pun menyerah, mereka bergantian memelukku sebelum keluar, pandanganku mengikuti kedua wanita itu keluar hingga menghilang di balik pintu. Keheningan tercipta di antara kami beberapa detik sebelum Reyhan menghembuskan napas berat kemudian menghampiriku, mata kami saling terkunci satu sama lain, aku merasakan gelombang perasaan yang sangat jelas tercipta di antara kami. Reyhan berdiri tepat di hadapanku tanpa jarak, kemudian meraih daguku lalu menciumku. Saat ia memperdalam ciumannya kulingkarkan lenganku ke lehernya, detik berikutnya pertahananku goyah. Tidak! Jangan sekarang! Jangan menangis sekarang, Mikaila. Kurapalkan mantra itu untuk menjauhkan emosi yang akan keluar melalui air mata ini. Saat ciuman kami berakhir, netra emas milik Reyhan seakan bercahaya dan mengirimkan getaran magis hingga ke dalam jiwaku. Ia menyatukan dahinya ke dahiku lalu memejamkan matanya, begitu juga aku. "Maaf," ucapnya lirih, dan aku merasa tidak cukup hanya dengan kata maaf, aku ingin penjelasan. Reyhan mengembuskan napasnya melalui mulutnya, aku bisa mencium aroma yang manis, sepertinya, dia telah menghabiskan beberapa teguk Wine, aku tidak tahu berapa banyak yang di minumnya, aromanya mengganggu indera penciumanku. "Aku terbawa suasana, aku janji itu tidak akan terjadi lagi." Aku tidak mampu mengucapkan satu kata pun, bisakah aku mempercayainya? Bagaimana jika nanti aku dalam kondisi membutuhkannya, tetapi justru dia sedang bersama Atika? Akankah dia memilih dan mengutamakanku?? Asumsi Caroline kembali terputar di benakku, hal itu sangat mengganggu. "Apa dia sangat berarti bagimu?" Dewi Batinku memberikan tatapan melotot ke arahku karena pertanyaan itu, lalu tatapannya berubah menghinaku, aku seperti menikam pisau ke jantungku sendiri. Reyhan menjauhkan sedikit wajahnya dari wajahku, kami pun saling menatap, dia tampak bingung terlihat dari keningnya yang sedikit berkerut. "Apa?" tanyaku tidak mengerti. Apa ini? Dia tidak mengerti dengan perasaannya terhadap wanita itu atau apa? "Jawaban dari pertanyaanmu sangat sulit," tukasnya, dan aku dilanda keterkejutan, kemudian berubah bingung. Ini di luar dugaanku, Dewi Batinku berbaring malas di sofa empuk miliknya, sementara akal sehatku menatap dengan tatapan tidak mengerti akan sesuatu. "Aku akan menjawab pertanyaanmu nanti karena aku belum mendapatkan jawaban yang tepat." "Belum??" sergahku cepat, aku tidak bisa menahan lidah dan akal sehatku yang penasaran, Dewi Batinku mengubah posisi berbaringnya menghadap ke depan, seperti sedang menonton film drama Korea. Aku mundur perlahan dengan langkah kecil, Reyhan menatapku dengan tatapan tergores. "Kau tinggal menjawab ya atau tidak, ini bukan soal yang sulit," kataku mulai marah. Tatapannya berubah, sedikit melunak, ia pun memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana bahannya, bahunya ikut turun saat ia membuang napas berat. "Hubungan kami rumit setelah kami berakhir dengan hubungan asmara." "Rumit?" Aku mulai frustrasi sekarang, kuputar mataku karena merasa lelah dengan perdebatan ini, tetapi juga merasa marah mendengar jawaban itu. "Dia mantan pacarmu, dan kau mengatakan hubunganmu dengan dia rumit? Hubungan rumit macam apa yang ada di antara sesama mantan pacar??" Nada suaraku naik satu oktaf, aku berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di tepinya, kemudian dengan perasaan marah mencoba melepas higheels yang masih terpasang di kakiku, tetapi sialnya aku kehilangan konsentrasi dalam usahaku melepasnya, terkutuklah! higheels ini, pikiranku kacau aku seperti badai yang siap mengamuk. "Terkutuklah! higheels ini!" umpatan itu akhirnya terlontar, sepasang tangan membantuku, gerakan tangan pada higheelsku terhenti, kutatap Reyhan yang membantu melepas benda terkutuk ini dari kakiku. Menegakkan tubuhku, kemudian melipat tangan di depan dadaku, kupalingkan wajahku agar sejajar dengan bahu kananku. "Mikaila, tatap aku." Aku tidak menghiraukan perintahnya, aku ingin memperdebatkan masalah ini dengannya. "Kau punya kaki yang indah," pujinya, kurasakan ia membelai lembut kakiku dan mengirimkan sensasi ke seluruh tubuhku. Tatapanku beralih dengan cepat ke arahnya. Reyhan mengangkat wajahnya, dan menatapku dengan senyum penuh misteri, tetapi menggoda, netra emasnya perlahan menggelap, jantungku merespons tatapan itu. Dewi Batinku menggigit bibir bawahnya dengan seksi, lalu ia menjalankan sentuhannya ke betisku dengan perlahan. Aku terkesiap dengan gairah yang tiba-tiba datang seperti kilat. Reyhan berhenti kemudian berdiri, aku otomatis mendongak menatapnya lalu ia membungkuk dan mengurungku dengan kedua lengan kokohnya di sisiku dengan posisinya yang membungkuk, wajahnya sejajar dengan wajahku. "Bercintalah denganku, Mikaila." Kata-kata itu seperti bisikan setan untuk hawa saat akan memakan buah terlarang di surga, terdengar manis dan penuh janji sensual. Gairah terbangun dengan cepat di dalam diriku. Aku terkejut saat Reyhan melingkarkan salah satu lengannya ke pinggangku, membawaku lebih dekat dengannya. Serangan yang tak terduga menghampiriku, sebuah ciuman panas lagi b*******h darinya, akal sehatku pingsan di tempatnya, sementara Dewi Batinku mendengkur di sofa sambil tertidur pulas, satu hal yang akan terjadi, aku akan bercinta dengan Reyhan sekarang, di sini, dan menyerahkan diriku sepenuhnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN