Terbangun karena kelaparan adalah hal yang jarang terjadi padaku. Kutatap Reyhan yang tertidur di sampingku dengan wajah damai, bergegas aku turun dari tempat tidur tanpa menimbulkan hal yang dapat membangunkannya. Aku berjalan seperti orang pincang akibat rasa perih di bagian selangkanganku, bercinta ternyata membutuhkan banyak tenaga, aku menyesali perilaku akhir-akhir ini yang jarang berolahraga.
Kubuka lemari pakaian yang terdapat di dalam kamar ini, aku tidak menemukan satu pakaian yang layak kupakai untuk sekadar berjalan ke dapur, siapa yang sangat tega meletakkan lingerie begitu banyak di lemari ini??! Kuputar mataku ketika wajah Rani dan Caroline terlintas di benakku. Dengan putus asa, kututup lemari yang isinya tidak senonoh itu, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitarku yang bermandikan cahaya temaram dari lampu tidur kamar ini, aku berhasil menemukan kemeja putih milik Reyhan yang kemarin dipakainya saat pernikahan kami, segera kupakai kemeja itu untuk menutupi tubuh polosku. Kemeja itu tampak sangat besar di tubuhku, tetapi ini lebih baik ketimbang harus ke dapur dengan menggunakan lingerie sialan itu, aku akan tampak seperti jalang.
Kugulung lengan kemeja ini hingga sebatas siku, setelah mengancingkan semua kancingnya, aku berjalan ke arah pintu dengan langkah yang tidak menimbulkan suara berisik. Tiba di luar kamar, bergegas aku ke dapur dengan sedikit berlari, perutku sudah tidak sabar untuk segera diisi oleh sesuatu yang mengenyangkan. Dapur vila ini tampak sangat higienis dengan nuansa monokrom, kubuka kulkas empat pintu dengan hati-hati, seulas senyum kemenangan terbit di wajahku, seperti seorang pencuri yang mendapatkan apa yang akan dicurinya. Kuambil sebuah apel berwarna merah lalu menggigitnya dengan gigitan besar, setelah itu membuka pintu kulkas yang lain, detik itu juga aku terserang euforia ketika melihat isi kulkas ini yang sangat lengkap. Aku menemukan saus bolognese yang tampak lezat, mengeluarkannya dari dalam kulkas, aku ingin memasak pasta, menu ringkas dan yang pasti cepat untuk segera mengisi perutku yang kelaparan. Aku belum makan apa pun sejak pesta pernikahanku usai. Aku hanya berhasil memasukkan dua buah cupcake coklat yang hanya habis dalam dua kali gigitan.
Apel yang tadi kumakan sudah habis saat pastaku terhidang dengan aroma yang mampu meneteskan air liurku, mengambil duduk di meja bar yang ada di dapur ini, sebelum itu aku merasa kekurangan sesuatu, aku melompat turun dari kursi model dan tingginya seperti kursi di bar kemudian kembali menuju ke kulkas untuk mengambil minuman, aku tidak punya pilihan lain selain jus jeruk, kulkas itu berisi sebagian besar anggur dan sampanye, aku penasaran dengan rasa minuman berkelas itu, tetapi aku benci mabuk.
Setelah semua siap, aku mulai menyantap makananku. Reyhan mengejutkanku dengan menampakkan sosoknya yang shirtless di hadapanku.
"Kau curang tidak membangunkanku, padahal aku juga lapar," rajuknya yang kini duduk di hadapanku.
"Aku tidak tahu kalau kau lapar, pasta??" tawarku sambil menatapnya, senyum ceria pun terbit di wajahnya, Reyhan pun berlalu dari hadapanku, mungkin dia akan mengambil peralatan makan untuk dirinya sendiri, dan pasta buatanku cukup untuk kami berdua.
"Di mana piringmu?" tanyaku bingung saat dia hanya membawa garpu, Reyhan menunjuk piringku kemudian menariknya ke tengah agar kami bisa makan dengan piring yang sama. Aku memerah ketika tahu ide itu, kutatap Reyhan yang sedang mengunyah pasta, aku ingin mengukur reaksinya tentang masakanku, selama beberapa saat, dia tidak berkata apa pun dan terus saja makan, aku terselamatkan dari judge-menjudge makanan.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Reyhan di sela makan kami, aku berhenti makan dan menatapnya bingung, apa yang coba dia tanyakan?
"Perasaan seperti apa? Pasca pernikahan atau pasca kita bercinta?" tanyaku polos, Reyhan tersenyum menahan tawanya, hal itu membuatku tambah bingung, Dewi Batinku menutupi wajahnya dengan ekspresi dan perasaan malu.
"Dua-duanya," jawab Reyhan, aku berpikir sejenak, sulit untuk menggambarkan perasaanku saat ini.
"Aku baik-baik saja," ungkapku sekenanya, karena aku tidak menemukan jawaban yang tepat, lalu melanjutkan makanku.
"Kecuali saat kau menikmati obrolanmu dengan mantan pacar sialanmu itu."
Dobel sialan! kenapa aku tiba-tiba tidak bisa mengontrol ucapanku?? Dewi Batinku menjatuhkan dirinya di atas sofa dengan wajah sebal, akal sehatku menatap dengan persetujuan sebab aku mengangkat topik ini, ia ingin aku membahas hal itu lagi.
"Jaga ucapanmu, Mikaila." Reyhan berkata dengan suara rendah yang mengancam, hal itu membuatku semakin ingin menantangnya, berani sekali dia membela wanita lain di depanku.
"Apa yang salah dengan ucapanku? Aku hanya mencoba untuk jujur dan terbuka di awal hubungan kita," raungku, kemudian meneguk jus jerukku, pasta kami sudah habis dan kami saling menatap.
"Apa yang kau inginkan sebagai langkah awal hubungan kita, Mikaila?" Reyhan mencoba sabar dan menahan emosinya.
"Aku ingin, seseorang dari masa lalu tidak mengacaukan hubungan kita," tandasku sambil menentang tatapannya.
"Mikaila, dia bukan pengacau, dia-"
"Dia hanya pembawa masalah," potongku cepat.
Aku tidak akan mundur kali ini, wanita itu harus kujauhkan dari kehidupan rumah tangga kami. Reyhan menatapku dengan tatapan sekeras baja, nyaliku sedikit menciut tetapi aku tidak ingin mundur seinci pun.
"Dia rekan bisnisku saat ini," desisnya dengan ketegangan yang bisa kulihat, aku berdecak sembari memutar mataku. Ini lebih buruk dari sekadar mantan pacar, aku melompat turun dari kursi meja barku, kemudian mengambil piring kami yang telah kosong, membawanya ke bak cuci piring. Mencucinya cepat dan meletakkannya di rak piring yang tergantung di dekat bak cuci.
"Dia satu-satunya orang yang kurasa cocok untuk kujadikan rekan bisnis dan teman."
Kutatap Reyhan sambil bersandar pada bak cuci piring. Alasan apa itu? Aku tidak bisa menerimanya.
Jangan mundur sekarang, Mikaila!
"Apa kau cemburu?" tanya Reyhan dan aku tertawa seperti orang i***t, di mana otak cerdasnya sebagai seorang CEO terkemuka? Apakah keadaanku sekarang seperti orang yang baru saja memenangkan lotre?? Aku berjalan ke kursi tempatku duduk saat makan.
"Apa perdebatan ini terlihat seperti kita membahas film komedi??" tanyaku dengan nada sarkastis yang sangat terlihat, Reyhan menatapku dengan tatapan dinginnya.
"Berusahalah untuk menerima keadaan ini."
Aku bisa gila hanya dengan membahas hal ini. Menyugar rambutku dengan perasaan frustrasi kemudian menghirup udara dengan keras kemudian menghembuskannya dengan cara yang sama.
"Aku berusaha menerima keadaan di mana kau bebas menentukan apa pun untukku, kau menyuruhku melepaskan karierku, aku mematuhimu, kau menyuruhku untuk tidak peduli dengan penggemarku, aku menurutimu dan saat aku memintamu untuk menjauhi mantan pacarmu, kau menyuruhku untuk menerima keberadaannya di antara kita???"
Belum pernah seumur hidupku aku merasa begitu marah akan sesuatu seperti saat ini, hal pertama yang lain dalam hidupku. Kesunyian membentang di antara kami.
"Aku akan berusaha agar Atika tidak mempengaruhi hubungan kita." Reyhan menghapus kesunyian di antara kami dan kali ini, aku tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, aku pun memilih diam.
"Terserah kau saja, tapi jika masalah di antara kita datang karena dia-" Aku berhenti untuk menenangkan batinku yang bergejolak.
"Aku akan menyerah," sambungku akhirnya, lalu beranjak meninggalkan Reyhan seorang diri di dapur menuju ke kamar kami.
"Mikaila, jangan seperti ini." Reyhan menghalangiku di saat aku akan meninggalkan dapur. Aku tertunduk, tidak ingin menatapnya, karena saat ini amarahku berubah menjadi kesedihan. Oh, sial! Di saat seperti ini, aku tidak ingin terlihat lemah.
"Aku harus bagaimana, Reyhan?" tanyaku saat mengangkat wajahku untuk menatapnya, air mataku menusuk di bagian belakang mataku. Reyhan meraihku dan membawaku ke dalam dekapannya, air mata keluar tanpa diminta, Reyhan menghirup aroma rambutku dan mengecup puncak kepalaku, aku menangis selama beberapa menit tanpa dia mencoba menyela tangisku.
Aku mendongak menatapnya, Reyhan juga menatapku dengan netra emasnya yang berpijar.
"Aku mengira kau wanita yang pendiam dan tidak suka membantah, tetapi justru sebaliknya," komentarnya dengan senyum yang berusaha menghiburku dan sepertinya berhasil, senyum itu menulariku.
"Apa kau menyesal menikah dengan wanita sepertiku?"
"Apa aku terlihat menyesal sekarang??" tanyanya yang hanya kubalas dengan menatap matanya yang saat ini seperti lampu yang berkerlap kerlip, aku tertawa ringan dan dia pun ikut tertawa bersamaku, kami pun menertawakan diri kami sendiri.
"Apa kau sudah selesai menangis dan berdebat? Karena aku ingin mengeluarkanmu dari baju kemeja yang sedang kau pakai."
Aku memberinya tatapan melotot, bibirnya berkedut menahan senyum, lalu perlahan netra emas itu memancarkan gairah panas yang penuh akan kenikmatan. Otot bawah perutku bereaksi dan pangkal pahaku berdenyut mengumpulkan kenikmatan yang kurasakan beberapa saat yang lalu.
"Mikaila, kau segalanya bagiku," ucapannya berpengaruh padaku, bagaimana bisa dia mengatakan empat kata yang mengandung janji kenikmatan seksual dalam satu kalimat?? Dewi Batinku masih mendengkur, sementara akal sehatku masih belum kembali. Ketika bibirnya jatuh di atas bibirku, gairah primitifku terbangun dengan cepat, ia menangkup kedua pantatku yang telanjang, kedua lenganku melingkar di lehernya saat ia mengangkatku, kedua kakiku melingkari pinggulnya, ia pun membawaku dengan sedikit terburu-buru meninggalkan dapur.
Kurasakan Reyhan dalam posisi duduk saat ini, sepertinya dia sedang duduk di sofa sementara aku duduk di atas pangkuannya.
"Aku tahu kau tidak mengenakan apa pun di balik kemeja ini, sayang," godanya yang membuatku terengah-engah menahan dorongan hasrat yang menggebu, Reyhan membelai bagian depan tubuhku yang masih tertutup kemejanya, sentuhannya membuat kupu-kupu di dalam perutku tidak berhenti beterbangan, dan pangkal pahaku semakin berdenyut karena menampung hasratku.
Aku semakin mendekati puncak saat Reyhan membenamkan dirinya ke dalam diriku dengan gerakan cepat dalam keadaan aku duduk di pangkuannya.
"Ayo, sayang, berikan pelepasanmu untukku," perintah Reyhan yang semakin mendorongku untuk mencapai pelepasanku hingga aku pun hancur berkeping-keping karena o*****e yang dahsyat dengan meneriakkan namanya, tak lama setelahnya Reyhan pun mencapai pelepasannya juga dengan menyebut namaku seperti sebuah permohonan.
"Mikaila!"
Lalu aku roboh di pundaknya, setelah beberapa saat terdiam, Reyhan melakukan gerakan dengan menyelipkan rambutku yang terjatuh menutupi wajahku ke belakang telingaku.
"Aku akan berdiri tanpa mengeluarkan milikku dari dalammu, jangan banyak bergerak," perintahnya yang kujawab dengan mengangguk pasrah, aku butuh pemulihan dari orgasmeku yang dahsyat itu. Reyhan menggendongku seperti menggendong anak kecil, dan membawaku kembali ke kamar kami.
***
Pagi hari saat aku terbangun dengan fajar yang baru saja akan menampakkan dirinya pada cakrawala, kudapati tubuhku dipeluk oleh Reyhan seperti bendera kemenangan di bawah selimut tanpa mengenakan apa pun. Aku mencoba bergerak dengan perlahan, tetapi sepertinya gerakanku membangunkannya.
"Jangan terlalu sering bergerak, Mika, atau kau akan mendapatkan serangan fajar," ancamnya lembut, aku pun berhenti bergerak, aku langsung tahu apa arti dari 'serangan fajar' itu, aku rasa tubuhku pun sudah cukup lelah untuk mengulang percintaan kami.
"Apa aku akan tinggal di sini selama kau pergi bekerja?"
Kurasakan Reyhan sedang menghirup aroma rambutku, wajahnya seolah menempel di belakang kepalaku.
"Tidak, kita akan ke apartemenku."
"Kau tidak ke kantor? Kau membolos?!" protesku dengan nada tidak setuju akan hal itu.
"Aku bukan karyawan, Mikaila, aku yang punya kantor aku bebas akan ke kantor atau tidak, lagi pula aku bisa bekerja di ruang kerjaku di apartemen."
Aku memerah mendengar penuturannya yang begitu berkuasa, tetapi aku rasa itu hal yang wajar.
"Lagi pula, Agatha sangat berkompeten," ucapnya lagi, keningku mengerut mendengar nama Agatha yang disebutkannya.
"Siapa Agatha?"
"Sekretarisku, sepertinya daya ingatmu mulai lemah karena terlalu banyak bercinta," ejeknya yang membuatku mendengus, sekretaris blonde-nya itu masih ada di sana.
"Apa dia benar-benar berkompeten seperti katamu?" Keraguan itu muncul lagi atas dasar ketakutan.
"Ya, dia berkompeten."
"Kau yakin dia tidak terpengaruh denganmu dan begitu juga kau terhadapnya?"
Aku merasa heran dengan perubahan sikapku yang sangat berbeda setelah bertemu dan menikahi seorang Reyhan Al Jariz.
"Jika aku tertarik dengan Agatha, aku tidak akan menikahimu, Mikaila." Jawaban Reyhan cukup menyanjungku.
"Jawaban yang bagus, terima kasih sanjungannya, Mr. Jariz."
Aku bisa merasakan senyum Reyhan di belakang kepalaku, dan senyum itu menulariku.
"Sama-sama, Mrs. Jariz, apa perdebatan tentang sekretaris sudah tuntas??"
Aku mengangguk, dan Dewi Batinku mengangguk setuju, akal sehatku baru saja datang entah dari mana.
"Kita akan tinggal di apartemenmu nantinya?"
"Untuk sementara, iya."
"Untuk sementara??"
"Aku sedang membangun sebuah rumah untuk kita tinggali nantinya, aku tidak ingin terus menerus tinggal di tempat kecil seperti apartemenku, dan ibuku selalu mengomel tentang masalah itu."
Aku tersenyum mendengar Reyhan membangun sebuah rumah, akan ada sebuah keluarga dan anak-anak tentu saja. Pikiranku terkalihkan oleh 'anak-anak', aku ingin membahasnya, tetapi Dewi Batinku mengingatkan dengan tatapan tajamnya untuk tidak melakukan hal itu sekarang. Tentu aku ingin tahu pendapatnya tentang hal ini, karena jujur untuk saat ini aku belum ingin punya anak, aku masih ingin mengenal pria tampan bak dewa yang tanpa kuduga kehadirannya di dalam kehidupanku, Reyhan seperti sebuah teka-teki yang harus kutemukan jawabannya.
"Aku ingin ke kamar mandi," kataku setelah beberapa detik kami terdiam, Reyhan bergerak melepaskan pelukannya, kemudian mengeluarkan miliknya dari dalamku, posisiku saat ini sedang memunggunginya. Aku mendesah saat miliknya meninggalkan milikku yang tiba-tiba saja terasa kosong, namun dengan cepat kembali seperti keadaannya semula.
"Kita mandi bersama." Reyhan beranjak dari tempat tidur dengan gerakan bergegas, kemudian pergi ke sisi tempat kutidur, menyibak selimutku, kemudian menggendongku di depan tubuhnya tanpa memedulikan ketelanjangan kami, aku terkejut saat ia melakukan semua itu dengan gerakan yang luwes, yang kulakukan hanya bisa pasrah dan memutar mataku saat Reyhan membawaku ke kamar mandi bersamanya.
***