Udara panas menerpa wajahku saat meninggalkan studio rekaman. Cepat-cepat kuhampiri mobilku, masuk ke dalamnya dan menyalakan pendingin. Kuhembuskan napas lega begitu hawa dingin mulai memuai memenuhi mobil ini dan memberikan kesejukan untukku yang terasa seperti di pemanggangan.
Hari ini, aku menyelesaikan rekaman untuk single-ku yang ketiga, setelah itu kontrakku bersama manajemen itu berakhir. Ponselku berdering saat aku mulai melajukan mobilku.
"Ya, Mikaila di sini."
"KAU DI MANA??"
Kujauhkan sedikit ponsel ini kala mendengar teriakan Caroline, manajer sekaligus sepupuku itu sangat galak dan cerewet melebihi mamaku.
"Aku di jalan."
"Cepatlah, Mika atau kau akan digantikan oleh model lain!"
"Baiklah, on the way."
Kuinjak pedal gas lebih dalam untuk menambah kecepatan agar sampai ke lokasi syuting iklan salah satu produk minuman bersoda ternama.
Tiba di lokasi, aku segera berlari ke arah kru yang berkumpul dan sedang mengerjakan set untuk pengambilan iklan.
"Dasar kura-kura! Cepat kemari kau akan segera take!" omel Caroline, aku hanya mengeluarkan cengiran kudaku. Dia akan tampak seperti Dewi Kematian jika sedang marah.
Setelah syuting iklan itu selesai, hari mulai menjelang malam. Caroline pulang dengan kekasihnya Andrew, aku sempat melihat adegan mesra mereka di dekat mobil Andrew sebelum mereka menghilang di hadapan mataku. Menghela napas dengan berat, aku belum pernah jatuh cinta dan berkencan dengan pria manapun.
Setiap kali ada pria yang mendekatiku hanya akan kuanggap teman, tidak lebih. Tentang ajakan kencan, aku sering menolak dengan berbagai alasan, entahlah, aku belum memikirkan untuk menjalin hubungan spesial dengan seorang pria, aku masih sibuk memikirkan karierku. Dan lagi, aku belum ingin jatuh cinta.
Pernah sekali aku menyukai seorang pria, tetapi dia tidak menyukaiku hanya menganggapku seperti adik perempuannya, perasaanku tidak terbalas. Aku kecewa, tentu saja, tetapi aku bisa apa??! Mungkin, cinta belum berpihak padaku. Ponselku kembali berdering dan memutuskan lamunan tidak pentingku.
"Mam??!"
"Kau di mana, sayang?? Cepatlah pulang, ada sesuatu yang ingin mama bicarakan."
"Tentang apa?"
"Pulanglah dulu, nanti mama beritahu saat kau sampai di rumah."
Aku pun segera masuk ke dalam mobilku kemudian meluncur pulang. Mama sepertinya ingin bicara serius kali ini, tiba-tiba saja jantungku berdebar, perasaan gugup dan ingin tahu pun menghampiriku.
Saat tiba di rumah dan memarkir mobil di garasi, aku pun bergegas turun. Terlihat ada mobil Mercedes Benz abu-abu yang sangat mahal terparkir di halaman rumahku yang luas, aku hanya mengangkat bahu dan menduga pasti ada tamu.
"Itu dia Mikaila, sayang, kemarilah,” ucap mama yang langsung membuatku menatapnya saat aku masih di ambang pintu masuk utama rumahku. Tatapanku beralih ke tamu mama dan mata itu seakan menghipnotisku, memudarkan semua hal yang berada di sekelilingku. Seraut wajah tampan tengah menatapku yang hanya terpaku sambil menatapnya dalam diam. Tatapan itu seakan memaku kakiku.
"Mikaila," panggil mama yang menyentakku kembali ke alam nyata,, dengan sedikit tertunduk aku berjalan menghampiri mama dan duduk di dekatnya. Terlihat ada seorang pria, kira-kira berusia setengah abad duduk di hadapannya, di samping pria itu, seorang wanita cantik yang tampak anggun di usianya yang sudah tidak muda lagi. Kedua orang itu tersenyum padaku, aku balas tersenyum dan mengangguk takzim sebelum duduk.
Tatapanku pun beralih ke arah pria bernetra emas yang duduk di hadapanku, pria itu menatapku dengan tatapan tajamnya membuat jantungku berdetak abnormal, buru-buru kutundukkan wajahku untuk menyembunyikan gugup yang seakan meremas seluruh urat syarafku.
"Sayang, ini tante Ramia dan paman Jariz, mereka ke sini untuk melamarmu."
Ucapan mama seperti petir Thor yang sangat dahsyat di film Avenger, aku shock, tentu saja, lidahku kelu.
Apa? Melamarku?
Dewi Batinku terkesima di sofa merahnya, sementara akal sehatku menyipitkan matanya dengan mulut terbuka, terkejut dengan hal ini.
"Dan itu nak Reyhan, calon suamimu," ucap mama lagi, kuintip pria bernama Reyhan itu dari balik bulu mata sembari memilin jari-jariku di sela pahaku. Aku gugup, pria tampan itu calon suamiku, entah ini anugerah atau bencana tetapi aku tidak bisa berkata apapun dan hanya memilih diam, pikiranku berdebat antara ingin membantah dan menerima kenyataan ini.
"Tante dengar Mikaila seorang penyanyi, apa benar?" tanya tante Ramia, aku mendongak menatap wanita cantik berkarisma yang tersenyum teduh itu, aku tersenyum kemudian mengangguk.
"Iya, tante, saya seorang penyanyi," jawabku singkat dengan perasaan terguncang yang masih berusaha kuredam.
"Kau tahu, Reyhan suka mendengar lagumu tante pernah memergokinya mendengarkannya," ucap tante Ramia dengan kerlingan mata jenaka, seketika aku menoleh ke arah pria tampan di hadapanku dan menatapnya dengan tatapan terkejut, pria itu berdecak dan tante Ramia terkikik geli begitu pun dengan paman Jariz.
Saat tatapan Reyhan beradu dengan tatapanku, aku kembali tertunduk, sepertinya aku tidak akan sanggup menatapnya begitu lama. Kukutuk Dewi Batinku yang tersipu, s**t! Ini bukan saatnya terpesona, yah, meskipun kuakui di dalam benakku kalau dia benar-benar tampan.
Tatapannya seolah mengintimidasiku, sekujur tubuhku seakan meleleh dengan tatapannya, aku tidak berdaya dengan tatapan itu. Belum pernah sebelumnya aku merasa seperti ini saat ditatap oleh seorang pria, tatapan pria ini berbeda dan menimbulkan sepercik perasaan asing di dalam diriku.
"Pertunangan kalian akan dilaksanakan seminggu lagi, dan nak Reyhan bisa gunakan waktu itu untuk mengenal Mikaila lebih jauh," ucap mama sembari tersenyum bahagia, kutelan ludahku dengan susah payah, tenggorokanku mendadak kering.
Berada dalam posisi seperti ini saja jantungku seakan ingin meledak apalagi jika harus sering berdua dengannya, aku bisa mati muda sebelum bertunangan dengannya. Saat paman Jariz dan tante Ramia akan pulang, wanita anggun itu memberiku pelukan hangat, aku pun balas memeluknya dan memberikan senyum tulusku kepada mereka berdua sebelum mereka meninggalkan teras rumahku menuju ke mobil yang mereka tumpangi.
"Aku yakin, Mikaila pasti bisa buat Reyhan jadi pria paling bahagia di dunia," ucap tante Ramia, aku tersenyum kikuk mendengar ucapannya yang sangat meyakinkan itu.
"Besok, Reyhan akan menjemput Mikaila untuk datang bersama ke pesta ulang tahun Rani," imbuh wanita anggun itu lagi, mama mengiyakan hal itu dan mereka tampak bahagia, kecuali aku yang sibuk berkutat dengan pemikiranku yang saat ini masih berusaha mencerna kejadian ini.
"Ma, apa Mama serius dengan ini?" tanyaku setelah sejam kemudian tamu kami pulang. Kami sedang duduk di sofa ruang tengah saat ini, mama menyesap tehnya.
"Sayang, keluarga paman Jariz adalah teman baik papamu waktu kita tinggal di Thailand dulu, mungkin kamu sudah lupa, saat papamu meninggal, paman Jariz berjanji ingin menjadi bagian dari keluarga kita dengan berbesan dengan kita," cerita mama, aku termangu mendengar hal itu. Hell yeah! Perjodohan yang telah diatur sejak aku belum lahir, tidak adil bukan??!
"Tapi, Ma, apa tidak terlalu buru-buru? Aku baru saja mendapatkan karirku." Aku berusaha bernegosiasi di sini, tetapi sebenarnya aku ingin menolak. Di zaman sekarang, siapa yang ingin dijodohkan??!
"Mama yakin, ini waktu tepat untukmu dan Reyhan menikah. Akan lebih baik begitu, mama akan tenang jika kau menikah dengan Reyhan," ujar mama dan aku tidak punya amunisi untuk mendebatnya, aku kalah telak.
"Mereka itu dari mana, Ma?" tanyaku ingin tahu.
"Mereka dari Dubai, sayang. Paman Jariz adalah pemilik salah satu perusahaan tambang minyak dan emas, Al Jariz Enterprise Holding," jawab mama yang berusaha untuk bersikap sabar menghadapi keingintahuanku, dan seketika itu mulutku menganga.
"Maksud Mama, tadi itu Jariz Mohammed Al Abbas??" tanyaku lagi, memastikan, mama terkekeh ringan, aku tahu ekspresiku saat ini pasti sangat konyol, mama mengangguk.
"Dan pria yang duduk di depanku itu Mohammed Reyhan Al Jariz?!" imbuhku, dan mama mengangguk sekali lagi, tetapi aku seperti tidak asing dengan nama itu, aku mencoba mengingat, tetapi nihil aku hanya mengenal mereka sebagai salah satu pebisnis yang tersohor dengan sederet keberhasilan yang diraihnya dalam dunia bisnis.
"Dan Rani?" Masih tentang keluarga Jariz, nama itu sempat kudengar disebut oleh tante Ramia.
"Rani itu kakak perempuan Reyhan, besok dia ulang tahun sekaligus merayakan ulang tahun pernikahannya."
Mama meletakkan cangkirnya yang sudah kosong di atas meja. Aku masih tidak percaya ini, aku akan bertunangan dengan seorang pria yang masuk dalam top 10 pria lajang paling diinginkan di dunia.
"Kau punya jadwal besok??"
Aku menggeleng menjawab pertanyaan mama.
"Bersiaplah pukul 5 sore besok, Reyhan akan menjemputmu," ujar mama, aku mengangguk lemah, kemudian pamit ke kamarku.
Kembali kupikirkan tentang sosok Reyhan, kutekan dadaku yang seakan ingin meledak karena jantung yang berdegup kencang.
Ada apa denganku? Kenapa dengan mengingat tatapannya saja aku seperti orang yang terkena sakit jantung?
Kuhembuskan napasku secara teratur sebagai usaha untuk menetralkan perasaan asing yang menghampiriku saat mengingat wajah tampan Reyhan. Aku berguling mengubah posisi berbaringku, lalu memeluk bantal guling kesayanganku, aku masih belum percaya dengan apa yang kualami beberapa saat yang lalu, sama sekali belum terpikir olehku tentang pernikahan, ini terlalu cepat.
Saat aku terus memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu di ruang tamu rumahku, aku pun tertidur. Dan malam itu, mimpiku dipenuhi oleh wajah Reyhan Al Jariz.
***