Bab 7 - Keputusan Selina

1348 Kata
Semerbak mentari pagi menyapa para pejuang mimpi yang masih enggan beranjak dari tidurnya. Suara merdu kicauan burung di balik jendela kamar seorang gadis terdengar begitu merdu. Namun, suara merdunya masih tidak dapat membangunkan gadis itu dari tidurnya. Gadis itu masih meringkuk di balik selimut tebalnya hingga suara dering ponsel di atas nakas mengganggu tidur indahnya. Masih dengan memejamkan mata, gadis itu berusaha meraih ponselnya dengan salah satu tangannya. Tangannya menggapai-gapai mencari suara yang terus berdering tanpa henti. Setelah berhasil mengambil benda pipih canggih tersebut, gadis itu langsung meletakkan benda tersebut di telinganya. "Halo …," jawabnya dengan malas. Benda pipih persegi itu masih setia berdering di telinganya dan hampir saja memekakkan gendang telinganya. Dengan cepat ia menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. Gadis itu baru tersadar jika ia belum menggeser tombol jawab di layar ponselnya. Ia pun membuka kedua matanya dengan malas, lalu menjawab panggilan itu. "Halo …." Masih dengan nada malas dan menguap, ia menjawab panggilan itu. "Wah, wah, Nona Besar. Anda masih belum bangun jam segini. Ck … ck … Pantas saja kamu bersikeras mau meninggalkan rumah ya. Apa kamu tidak malu dengan ayam yang berkokok sejak tadi?" sindir seorang wanita yang berada di seberang telepon. Gadis itu pun mencebikkan bibirnya kesal. Mendengar suara wanita itu di pagi yang indah ini membuat si gadis ingin muntah. "Tidak ada urusannya denganmu mau aku bangun jam berapa, Emma! Lagian kalau ayamnya itu kamu, aku rasa semua orang juga tidak akan malu," timpalnya ketus. Terdengar suara hembusan angin di balik telepon tersebut. Tampaknya Emma Milton sedang mendengus kesal. Gadis itu menaikkan salah satu sudut bibirnya ke atas. Ia senang dapat membalas sindiran ibu tirinya itu. Tidak ingin berbicara lama dengan wanita itu, Selina pun berucap dengan ketus, "Katakan ada angin apa kau menghubungiku pagi-pagi!" Emma kembali mendengus kesal mendapatkan perlakuan kasar dari putri tirinya itu. Jika bukan karena ia memikirkan masa depan perusahaan suaminya, mungkin Emma tidak akan menghubungi gadis itu. "Aku ingin bertemu dan membicarakan sesuatu denganmu," ungkap Emma cepat. "Katakan saja di telepon," balas Selina dengan malas. Emma mengertakkan giginya geram, tetapi ia masih berusaha menahannya. "Selina, ini menyangkut perusahaan ayahmu. Aku memiliki cara untuk menyelamatkannya, tapi itu tergantung denganmu apakah mau bekerja sama atau tidak," jelas wanita itu dengan nada yang lembut. Selina mengernyitkan keningnya dan tersenyum mengejek. Sejak kapan ibu tirinya itu memiliki cara untuk menyelamatkan bisnis ayahnya, wanita itu bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di kantor ayahnya itu, pikirnya. Suara Emma pun terdengar mencurigakan di indera pendengaran Selina. Ia sangat mengenal wanita tua itu dibandingkan siapapun. Tidak mungkin wanita itu menawarkan sesuatu yang bagus kepadanya. Sudah tiga hari sejak ayahnya diopname di rumah sakit, Selina selalu bertemu dengan Henry— asisten ayahnya—untuk mencari cara menstabilkan kembali perusahaan itu. Namun, semua sia-sia. Bahkan beberapa investor besar mulai menarik dana dari perusahaan mereka sehingga membuat kondisi perusahaan Gesund semakin terpuruk. Sekarang Emma mengatakan ia memiliki cara untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya itu? Hal itu terdengar sangat lucu di telinga Selina. "Aku mengatakan yang sebenarnya, Selina!" sentak Emma kesal karena putri tirinya itu meremehkannya. "Baiklah, katakanlah. Aku mau dengar cara apa yang kamu maksud," timpal Selina dengan acuh tak acuh. Emma mendengus kasar, lalu ia pun menceritakan perihal kedatangan Reagan dua hari lalu ke rumah sakit. Ia pun mengatakan bahwa CEO Hernandez itu ingin Selina menikah dengannya sebagai syarat ia membantu perusahaan Gesund. Sebenarnya Emma tidak ingin menceritakan hal ini kepada putri tirinya itu. Akan tetapi, ia tidak memiliki cara lain untuk mempertahankan perusahaan suaminya itu. Walaupun nanti Alfonso memarahinya, Emma akan menerimanya dengan lapang d**a. Jessica juga telah memberitahu kepadanya bahwa Reagan telah memberikan ultimatum terakhir atas penawarannya. Mau tidak mau, Emma terpaksa mencari Selina. Tamatnya perusahaan Gesund sama saja datangnya penderitaan Emma. Wanita tua itu berpikir, lebih baik memberikan tawaran ini untuk Selina. Apalagi dua hari yang lalu Emma menyaksikan sendiri bagaimana Jessica pulang dalam keadaan ketakutan, Emma bisa memastikan jika Selina juga akan mengalami hal yang sama dengan putri kandungnya itu. Sekali melempar batu, dua burung yang kena. Mungkin inilah peribahasa yang cocok dengan keinginan Emma saat ini. Selain ia bisa menyingkirkan Selina, perusahaan suaminya pun dapat kembali stabil. Membayangkan Selina akan tersiksa saja membuat Emma sangat bahagia. "Apa aku tidak salah dengar? Kau sedang mempermainkanku ya, Emma?" tuding Selina sinis. Ia tidak percaya seorang CEO Hernandez ingin menikahinya, bahkan membantu perusahaan ayahnya. Selina berpikir bahwa ini hanyalah akal-akalan Emma saja. "Awalnya aku juga tidak percaya, tetapi semua itu benar. Kamu bisa mencari tahu hal ini dari ayahmu, tetapi jangan bilang aku yang bilang. Ayahmu tidak menyetujui hal ini, tetapi menurutku, kamu pasti tahu jelas bagaimana kondisi perusahaan Gesund, bukan?" Emma tersenyum menyeringai di seberang. Tanpa menjawab pertanyaan Emma, Selina langsung memutuskan panggilan itu secara sepihak. Ia pun kembali merebahkan tubuhnya di atas kasurnya. Kedua netra cokelat hazel itu memandangi langit-langit kamarnya. Ia berusaha mencerna semua perkataan ibu tirinya itu. Selina sangat mengenal sifat wanita licik itu dan ia tidak meragukan perkataannya kali ini. Tidak mungkin Emma membohonginya dengan membawa-bawa nama seorang CEO Hernandez. Namun, yang membuatnya heran, untuk apa seorang CEO perusahaan besar ingin menikahinya. Sebuah tanda tanya besar mengitari pikirannya. "Aaaargh!" Selina mengusap wajahnya dengan kasar dan mengacak rambutnya asal. Gadis itu pun beranjak bangun dari tidurnya. Ia memutuskan untuk pergi menemui ayahnya. Setengah jam kemudian, Selina pun sampai di Rumah Sakit Bellinton. Langkah kakinya dipercepat menuju ke ruang rawat ayahnya itu, tetapi ketika ia ingin membuka lebar pintu kamar rawat VIP itu, ia mendengar percakapan Alfonso dengan asistennya, Henry. "Pak, Imperial Bank hari ini datang memberikan surat penagihan kredit kita yang telah jatuh tempo satu minggu yang lalu," lapor Henry. Raut wajah asisten Alfonso itu terlihat sedih. Ia merasa simpati dengan atasannya saat ini. Namun, Henry hanyalah karyawan biasa. Ia tidak memiliki kemampuan untuk dapat membantu keuangan perusahaan atasannya itu. Diliriknya Alfonso yang terlihat termenung mendengar laporannya. Alfonso memejamkan matanya erat. 'Ternyata ini yang dimaksud Tuan Muda Hernandez,' batinnya. Perusahaan Gesund memiliki sejumlah pinjaman usaha melalui Imperial Bank di mana Imperial Bank merupakan anak perusahaan yang berada di bawah perusahaan Hernandez. Alfonso hampir melupakan hal itu. Pantas saja Reagan Hernandez memberinya waktu dua hari untuk memikirkan penawarannya. Ternyata pria muda itu telah memikirkan langkah yang akan dilakukannya, pikir Alfonso. "Mungkin memang sudah waktunya aku pensiun, Henry. Aku sangat merasa bersalah kepada kalian," lirih Alfonso sendu. Pria paruh baya itu dapat membayangkan seratus ribu pekerjanya yang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Rasa bersalah menyelimutinya. Ia tidak memiliki wajah untuk bertemu dengan mereka. "Tuan …," cicit Henry. Pria muda itu tidak tahu harus menghibur seperti apa. Suaranya tercekat. Helaan nafas pelan terdengar dari bibirnya. "Dad, jangan putus asa!" Selina yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka pun masuk dan membuka pintu ruangan itu dengan kasar. Alfonso tersentak dengan kehadiran putri kesayangannya itu. "Selly, apa maksudmu? Daddy baik-baik saja." Alfonso berpura-pura tegar di depan putrinya. Senyuman kaku terukir di wajahnya. "Dad, aku akan menikah dengan CEO Hernandez," ucap Selina memberikan keputusan terakhirnya itu. Akal sehatnya tidak dapat berpikir apapun lagi selain menyetujui syarat konyol yang diajukan oleh CEO Hernandez kepada ayahnya. Alfonso terperanjat mendengar pernyataan putrinya itu. "Dari mana kau mengetahui hal itu, Selly?" Namun, sedetik kemudian Alfonso dapat menebak siapa dalang yang memberitahu hal itu kepada putrinya tersebut. Ia pun menghela napas pelan dan menatap putrinya dengan lembut. "Selly, kamu tidak usah ikut campur masalah ini. Daddy tidak ingin kamu mengorbankan kebahagiaanmu, Sayang," sergah Alfonso. "Tapi, Dad—" "Sudah cukup. Daddy ingin istirahat, kamu keluarlah. Masih ada yang ingin Daddy bicarakan dengan Henry," sela Alfonso cepat. "Daddy …," ucap Selina lirih. Alfonso hanya tersenyum kecil dan mengisyaratkan putrinya agar keluar dari kamar rawatnya itu. Ia tidak ingin putrinya ikut campur dengan bisnisnya karena ia tidak ingin melibatkan putrinya dengan masalah perusahaannya. Alfonso tahu putrinya sangat keras kepala, tetapi ia berharap untuk kali ini saja, Selina mau mendengarkan perintahnya. Selina pun terpaksa keluar dari ruangan itu. Ia menyenderkan tubuhnya pada daun pintu kamar rawat ayahnya tersebut. Seperti dugaan Alfonso, gadis itu memang tidak akan menyerah. Kedua netra cokelat hazel gadis itu menatap lurus ke depan dengan tajamnya. Tujuannya sekarang hanya satu, yaitu menemui CEO Hernandez! To be continue ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN