Menghibur Diri

1094 Kata
Malam itu, Ay merebahkan dirinya di kamar tidurnya. Seharusnya malam ini adalah malam pertamanya dengan pria yang menjadi pilihannya itu. Terus terang sangat sulit menerima jika pria itu adalah seorang penipu. Dari penampilan dan gaya bahasanya sangat ikhwani (khas seorang pria pengikut sunnah nabi). Dulu dua kali ia memang pernah menjalani ta'aruf lewat perantara seorang ustadz juga, tapi keduanya gagal karena banyak hal yang menjadi perbedaan pandangan dari sejak awal ta'aruf. Ay tidak ingin memaksa membina rumah tangga padahal jelas-jelas sudah terpampang perbedaan mencolok sedari awal berkenalan. Ia menghela napas berat. Kalau sudah begini, ia tidak akan punya alasan lagi untuk menolak jika orang tuanya menawarkan pilihan mereka. Ia merasakan getaran di sebelahnya, sepertinya ada pesan masuk di ponselnya. "Sabar, Ay. Jalan yuk besok, biar kamu fresh lagi." Zizi, sahabat karibnya, mengirim pesan. "Oke," jawabnya cepat. Sepertinya ide Zizi adalah solusi paling masuk akal untuk menenangkan pikirannya. Ia bahkan sangat ingin sahabatnya itu datang dan bermalam bersamanya. Ia pun kembali terlarut dengan kesedihannya. Sebenarnya, hal yang paling membuatnya sedih adalah kekhawatirannya bahwa citra orang-orang seperti dirinya menjadi buruk. Tidak bisa dipungkiri bahwa orang-orang yang berusaha menjalankan agama dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, sering dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Tidak sedikit yang mencari cela dan menjadikan sebuah cela itu untuk menjatuhkan mereka dan yang penampilannya sama seperti mereka secara general. *** Keesokan harinya, ia mulai bersiap-siap. Zizi mengajaknya jalan sedari pagi, pokoknya hari itu sahabat baiknya akan menemaninya ke mana pun ia pergi. Zizi adalah sahabat yang sangat loyal dan pengertian, dengannya ia tidak pernah merasa sedih berlarut-larut. Ia memoleskan sedikit make up ke wajahnya yang memang sudah cantik dari sono-nya. Sepertinya gen ayahnya lebih dominan terbentuk di tubuhnya. Lihat saja, hidungnya mancung, mata indah seperti wanita Italia pada umumnya dengan bola mata kebiruan, bibirnya penuh dengan lekukan yang kentara, bagian dagu dan bibir bawahnya terdapat belahan yang senada. Hanya alis dan warna kulitnya yang mengikut ibunya. Ayahnya beralis tebal, sementara dia standar saja, hitam tetapi tidak setebal ayahnya. Warna kulitnya juga putih sementara ayahnya kecoklatan. "Ayyyy!!!" seru Zizi yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu. Gadis manis itu tersenyum sangat manis. Zizi memiliki tinggi badan tak lebih dari Ay. Dia hanya berkisar 160 cm, sementara Ay 170 cm. "Ya Allah, Ay, kamu belum selesai pake baju?" Bola mata Zizi membulat sempurna begitu melihatnya masih mengenakan gamis, sementara kepalanya masih polos tanpa jilbab. "Aku bingung, Zi. Kira-kira warna apa yang cocok yah buat aku yang lagi patah hati," ucap Ay dengan wajah sendu. "Nggak juga segitunya keles, santuy! Lagian masih mending kamu nggak jadi nikah sama ikhwan (pria) ka-we itu. Ish, aku nggak bisa bayangin kalo kalian udah terlanjur nikah terus dia ditangkap polisi. Ya Allah, sahabatku jadi janda muda, enggak banget deh," ucap Zizi dengan gemas. Ia segera membuka lemari pakaian Ay, lalu mengambil sebuah jilbab dengan asal. "Pake ini aja, pokoknya nggak ada acara berduka. All day is happy for us. Oke, Bebeb?" ucapnya lagi sambil menaik-turunkan alisnya berkali-kali. "Apaan sih." Ay menarik hidung mancung Zizi hingga gadis itu mengerang kesakitan. "Zi, kenapa juga kamu harus dipanggil Zizi? padahal namamu keren loh, Azizah Humairah," celetuk Ay sambil memasang jilbabnya di depan cermin. "Terus kamu kenapa di panggil Ay padahal namamu juga bagus Ayenara Carla Giordano?" balas Zizi tak mau kalah. "Iya deh, iya deh, yang waras ngalah," sungut Ay. Zizi memilih mengamati kondisi kamar Ay, ia melihat-lihat berbagai kado yang sempat diserahkan dari beberapa keluarga dan rekan. "Belum nikah aja hadiahnya udah sebanyak ini, kalo nikah pasti kamarmu ini nggak akan cukup buat nampung," celetuk Zizi lagi. "Yuk, udah siap!" Ay tidak menanggapi, lebih memilih segera mengajak sahabatnya berangkat. Ia sudah tidak sabar untuk menikmati udara luar dan memuaskan diri dengan berbagai kuliner lezat dan nikmat. Ay mengenakan gamis hitam dipadukan jilbab softsalmon sepaha, sementara Zizi mengenakan gamis hitam dengan jilbab silver. Sepintas terlihat duo sahabat itu seperti princess dari Arab Saudi. Mereka segera meninggalkan kamar Ay. "Ma, Ay pergi dulu sama Zizi. Mau jalan-jalan, seharian mungkin nggak pulang!" seru Ay dari ruang tengah. "Iya, hati-hati di jalan, jangan terlalu larut pulangnya," jawab sang ibu seraya menghampiri mereka berdua. Zizi segera menyalami Sisilia dengan takzim. Mereka pun segera menuju ke area parkir, lalu masuk ke dalam mobil Zizi. "Tujuan pertama kita adalah...." Zizi menggantung ucapannya sembari mengerling ke arah Ay. "Ajwad Resto!!!" seru mereka serentak sambil saling menunjuk satu sama lain lalu tertawa lepas. Ajwad Resto sendiri salah satu rumah makan yang menyediakan berbagai menu khas timur tengah, selain itu menyediakan menu sarapan. Selama dalam perjalanan mereka terus bercerita. Banyak hal yang selalu menjadi topik, setiap kali habis satu topik dibahas, mereka akan segera pindah ke topik lain. "Eh, besok datang ke seminar bisnis yuk! Meskipun kamu penulis, penting buat tau tentang bisnis. Kamu bisa jadikan tulisan kamu jadi sebuah bisnis yang mandiri," ajak Zizi. "Boleh, pokoknya kemana kamu ngajak, aku bakal ikut. Soal bisnisnya aku nggak tertarik sama sekali, aku cuma mau menenangkan hatiku aja. Aku udah nyaman dengan pekerjaanku, nggak mau mikir yang muluk-muluk. Jadi penulis kontrak oke, jadi ghost writer oke." Ay langsung setuju meskipun ia tidak terlalu menyukai seminar-seminar seperti itu, tapi ia ingin menemani sahabat baiknya itu. Zizi memang sangat gemar dengan berbagai ilmu seputar bisnis, sebab ia bekerja di perusahaan orang tuanya sekaligus calon pewaris perusahan fashion muslim milik orang tuanya itu. "Kamu tuh harus banyak bersyukur, Zi, garis kehidupanmu itu lurus. Di saat orang-orang masih ngantri buat nyari duit, kamu dari sejak lahir udah dapat cap sebagai pewaris QueenAZ. Juga perihal jodoh, saat aku berkali-kali gagal, kamu udah ditungguin sama ikhwan asli, no kawe-kawe, berdedikasi lagi," celetuk Ay. "Kenapa, kamu ngiri?" "Ish, dibilangin juga!" Zizi hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya. Setelah tiba di tempat yang di tuju. Mereka segera turun dan memesan makanan masing-masing. Tidak lama kemudian, sepiring bubur telah terhidang di hadapan mereka. "Ini amunisi buat bergerilya hari ini," ucap Ay sambil tersenyum simpul, Zizi segera mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. Beberapa orang pria masuk dan mengambil tempat duduk di pojokan. Dari penampilannya, mereka pasti para ikhwan yang baru pulang dari mengikuti kajian bersama ustadz mereka. Zizi mengisyaratkan dengan wajahnya untuk melirik ke arah para ikhwan itu. "Pilih aja salah satunya, buat gantiin yang kemarin, itu mumpung ada di depan mata," bisik Zizi. Seketika Ay melotot memandang sahabatnya itu. "Diam lo! Bukan berarti ka-we lagi!" salak Ay. Ucapannya yang agak keras mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar. Dengan spontan para pengunjung menoleh ke arah mereka berdua. Mereka pun mempercepat acara sarapan dan segera kabur penuh malu. Bersambung... Yuk langsung tap LOVE dan FOLLOW akun aku ya... Semoga suka dan terhibur... Baca juga novel-novel aku yang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN