“Saya kira kamu nggak akan cari saya waktu itu,” ujar Melisa sambil membawa dua cangkir teh manis dan salah satunya ia simpan di meja, di hadapan Agatha. “Diminum, Ta.”
Agatha tersenyum simpul kemudian mengangguk. Ia mengambil salah satu cangkir, menyeruputnya sekali kemudian menatap langit-langit ruangan kantor milik Melisa. “Tante udah berapa lama terjun di Yayasan?”
“Kurang lebih sepuluh tahunan, awalnya dulu saya suka ikut gabung ke organisasi yang tekun di bidang sosial dan masyarakat. Dari jaman masih kuliah dulu emang suka aja jadi relawan setiap ada kesempatan selalu saya ambil buat bantu sesama, dan Alhamdulillah sampai sekarang udah bisa bangun yayasan sendiri.” ungkapnya. Ditengah perbincangan ponsel yang ada di meja kerja wanita itu kemudian berdering, membuat Melisa menghela napas sebelum bangkit untuk menerima ponselnya. Siapa tahu penting. “Sebentar, ya. Ada telfon.”
Agatha mengangguk dan memberi waktu untuk wanita itu mengangkat telpon. Agatha tadi sempat pesimis kalau ia tidak akan bertemu Melisa lagi hari ini, tapi untungnya wanita itu ada di kantor. Agatha memilih untuk langsung menghampiri wanita itu di kantor agar bisa lebih cepat bertemu.
“Haduh, bener-bener ini anak susah di atur. Kan udah saya bilang Pak, kalau Andra mau bawa motor sendiri jangan dikasih jalan. Dia bilang tadi mau pergi kemana?”
“...”
“Ya udah, deh kalau kaya gitu. Nanti biar saya telfon Andra. Makasih ya Pak,”
Setelah menutup telepon, ada gurat gelisah yang Agatha baca dari wanita itu. Melisa memijat kepalanya, seketika pening rasanya. Agatha dengan hati-hati bertanya. “Ada apa Tante, kalau boleh tau?”
Melisa menghela napas. Ia kemudian kembali duduk di hadapan Agatha sambil memainkan ponsel seperti sedang berusaha menghubungi seseorang. “Itu, Andra. Anak saya susah banget di atur. Udah mau masuk kuliah kalau kelakuannya gitu-gitu aja mau jadi apa coba dia, ntar? Heran saya,”
Jadi namanya Andra? Batin Agatha dalam hati. Agatha hanya tersenyum simpul dan memperhatikan Melisa yang berulang kali menempelkan ponselnya ke telinga namun berakhir dengan decakan kesal. “Tuh, kan. Durhaka banget masa nomor w******p Ibunya di blokir?”
Agatha mengerutkan dahinya, memang seperti dugaannya, Andra ini nakal. Ia berarti tidak salah memergoki anak itu hendak kabur dari rumah. Niat awal Agatha untuk mengadukan kelakuan Andra waktu itu gagal ketika Melisa kemudian menyimpan ponselnya dan menatap Agatha serius.
“Hmm, Agatha?” Melisa menyeruput teh manisnya sebentar sebelum melanjutkan. “Tadi kamu mau bilang mau daftar volunteer, kan?”
“Iya, tante. Gimana? Bisa? Buat asah skill saya juga, sih. Saya mau jadi volunteer buat ngajak anak-anak kecil di panti asuhan yang tante pegang.”
Melisa mengangguk pelan. “Kalau bukan anak kecil yang kamu ajar, kira-kira gimana?”
Agatha menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga, berusaha memaknai kemana arah pembicaraan ini. “Kalo saya, sih nggak masalah tante. Lagipula bahasa inggris kan sifatnya umum, bisa dipelajari semua kalangan.”
“Oh, No,” Melisa menggeleng kemudian tersenyum. “Kamu nggak perlu mesti ngajar bahasa inggris, alias saya pengen kamu juga bisa bimbing di semua mata pelajaran. Dulu semasa SMA kamu ambil jurusan apa?”
“IPS tante,”
“Nah, bagus. Anak saya juga di jurusan IPS,”
Agatha berkedip. “Sebentar, maksudnya anak---”
“Oh iya, anak saya. Andra. Saya pengen kamu bantu saya bimbing dia. Semacam jadi guru les buat anak saya. Saya juga tentunya bakal ngasih bayaran, lumayan kan, bukannya kemarin juga kamu lagi cari kerja?”
Agatha menelan ludah. “Iya, sih tante. Tapi…”
Melisa seketika bisa membaca keraguan pada air muka Agatha. “Nggak papa, kok. Saya fleksibel semisal kamu nanti juga pengen kerja formal di tempat lain. Anggap aja ini sampingan buat kamu. Sorry kalau semisal ini bikin kamu nggak nyaman, tapi di sini saya beneran minta tolong sebagai seorang Ibu.”
Agatha menatap Melisa lurus-lurus. Rasanya campur aduk. Agatha bisa membaca sorot kesedihan di mata Melisa, seolah berharap bahwa ia bisa membantunya. Wanita ini benar-benar tulus saat berkata demikian, Agatha semakin tidak enak ketika Melisa mengulurkan tangan untuk mengelus bahunya. “Tolong, ya? Saya percaya sama kamu.”
***
Sore itu, Andra pulang lebih lambat dari biasanya. Ia harus ikut kelas remedial karena ulangan tengah semesternya benar-benar jeblok. Mood-nya sangat-sangat tidak bagus hari ini. Rasanya stress sekali, padahal seharian Andra tidak ada di kelas dan hanya main futsal dilapangan---juga di ruang guru, untuk remedial. Laki-laki itu meniti tangga dengan langkah gontai. Remedial sejarah benar-benar membuatnya hampir muntah dan meledak karena terus saja berbicara mengenai zaman dimana bahkan ia belum lahir saat itu. Andra ingin buru-buru masuk kamar, bermain game seharian dan streaming serial Jurnal Rossa yang belum tamat semalam.
Begitu pintu ia buka, mulutnya terbuka dan alisnya terangkat sebelah. "What the actual f**k?"
"Lo lagi?! Kenapa ada di kamar gue?!" sungut Andra.
Agatha memutar bola mata. Kemudian bangkit dari meja belajar Andra dan menarik kursi lain untuk ia duduki. “Lama banget sekolah lo. Ngapain aja?”
“Lo ngapain di sini? Ini kan kamar cowok, emang siapa yang ngizinin lo masuk?”
“Nggak penting.” Agatha kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas-nya. “Ini gue udah bawa buku-buku buat persiapan Ujian Nasional. Beberapa udah ada yang gue tandain dan udah gue tulis juga rumus-rumus yang bakal dipake buat---”
Perkataan Agatha terhenti ketika Andra kemudian duduk di kursi meja belajarnya dan menarik kursinya tepat di hadapan Agatha. “Bawel banget, sih. Nggak mau kenalan dulu apa? Lo siapa? Dari mana?”
Agatha menghembuskan napasnya. “Ini bukan pertama kali kita ketemu, kan? Lo pasti udah kenal sama gue. Kalau pun nggak, nama gue juga nggak penting. Yang penting sekarang kita belajar.”
“HANJIRRRRR, Kenapa sih?” Andra berdecak dan mengerang tidak karuan. Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Kenapa gue harus belajar?!”
“Ya biar lo pinter lah. t***l, gitu aja nanya.” Agatha memukulkan buku yang ia pegang pada kepala laki-laki itu. “Kalau lo udah pinter, gue nggak akan ada di sini.”
“Lo di suruh Mama ke sini?”
“Iya,”
“Dalam rangka apa?”
“Dalam rangka biar bikin lo pinter.” jawab Agatha. Ia kemudian mengeluarkan beberapa buku tulis catatan bekas SMA-nya dulu. “Udah, mana cepetan keluarin buku lo. Hari ini pelajaran apa yang susah?”
“Nggak! Gue nggak mau belajar,”
Agatha mengerutkan dahinya. “Please, jangan bikin gue susah. Lo cuma punya waktu tiga detik buat protes!”
“Gue nggak mau---”
“Satu,”
“Nggak mau belajar, titik--”
“Dua,”
“Lo ngerti nggak sih? Gue capek,”
“Tiga,” Agatha mengepalkan ketiga jarinya kemudian mengambil buku secara acak dari rak buku milik Andra. “Waktu abis. Mana buku lo?”
Andra mendesah. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan situasi yang ia hadapi. Dengan malas ia kemudian mengeluarkan buku tulis dari dalam tas nya. Bukunya masih rapi dan sama sekali tidak lecek saat Agatha melihat tampilannya, dan sesuai dugaannya, hanya lima lembar pertama yang terisi. “Lo jarang nulis apa gimana, sih? Irit banget sama buku tulis.”
Andra hanya bersandar pada kursi belajarnya sambil sedikit memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri, bosan. Perempuan ini bahkan tidak mempersilahkan dirinya untuk mandi atau makan terlebih dahulu. Lagian, kenapa harus dia, sih? Andra terus saja berpikir seperti itu.
“Nih, ya. Dimana-mana anak sekolah tuh buku tulisnya minimal udah kucel atau ke isi setengah, kek. Ini lo masa cuma lima lembar?” Agatha mencak-mencak, membolak-balik halaman buku tulis milik Andra. “Literally, cuma 5 lembar? Are you kidding me?”
Andra hanya menguap. Ia benar-benar lelah. Seharian bermain futsal, lalu sebelum pulang ia harus datang ke ruang guru untuk remedial.
“Masih mending lima lembar tulisan lo tuh berfaedah. Sumpah, ini sama sekali nggak kebaca. Bahkan gue nggak yakin lo bisa baca tulisan lo sendiri?!”
Andra berdecak, muak. Ia kemudian merebut buku miliknya dari tangan Agatha. “Udah beres ngehina-nya? Mendingan lo kasih gue soal, kalo gue bisa ngerjain. Abis itu lo pulang, Deal?”
Agatha menaikkan sebelah alisnya. “Yakin lo emang bisa ngerjain?”
“Bawel, sumpah. Cepet buru bikinin! Soal matematika aja biar cepet, gue males nulis banyak-banyak. Hari ini udah kena remedial sejarah.”
“Serius? Terus gimana, bisa ngerjain nggak?”
“Kalo gue nggak bisa ngerjain, gue juga nggak akan bisa pulang. Gue nggak se-bodoh itu, ya! Jangan sekata-kata kalo ngomong,”
Agatha terkekeh geli. Asik juga membuat Andra kesal. Sementara Agatha menyalin beberapa soal dari buku, Andra menelungkupkan kepalanya di atas meja belajar memperhatikan perempuan itu sampai selesai. Sekitar lima menit sampai Agatha menyalin soal kelima, ia mendengar suara napas yang teratur dan dengkuran halus. “Dih, malah tidur?”
“Woy, lima soal aja, nih! Buruan kerjain, gue mau pulang.” panggil Agatha, ia mengguncang bahu laki-laki itu.
“Andra! Bangun, ih!” Agatha menepuk pipinya keras.
"Sakit gila! Lo nepuk apa nampar?!" Andra kembali duduk tegap dengan mata yang masih memerah khas orang bangun tidur, tangannya memegangi pipinya yang terasa perih.
"Terserah lo mau nyebutnya apa yang penting kerjain soal ini. Gue mau pulang, udah sore."
Andra mendengus kesal, menarik secarik kertas yang sudah di isi dengan lima soal tentang matriks. Andra kemudian tersenyum sinis, sepertinya ia sedikit beruntung karena bab tentang matriks dalam matematika adalah favoritnya, dan hanya itu yang ia bisa. Maka kurang dari sepuluh menit, Andra kembali memmberikannya pada Agatha. "Nih! Ini mah soal cetek.”
Agatha berdecih remeh. "Pede amat, Belum tentu bener juga,"
Agatha memeriksa jawaban yang ditulis Andra. Satu nomor, dua nomor Andra menjawab dengan benar, berhubung memang hanya soal perkalian matriks. Namun tiga nomor selanjutnya levelnya sedikit lebih sulit. Tapi, Andra bisa mengerjakan soal tersebut dengan benar.
"Bener semua. Kok? lo bisa, sih?!"
Andra tertawa remeh. "Besok-besok, nyari soal agak pinteran dikit."
Agatha meletakkan kertasnya ke meja. Ia kemudian mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan beberapa buku untuk Andra. "Terserah, deh. Ini buku punya gue, harus dijaga dan yang paling penting harus di baca. Lusa kita ketemu lagi. Udah ya, sekarang gue mau pulang."
"Ya udah sana! pintu gue selalu terbuka lebar."
Agatha menghembuskan napas kasar dan memutar bola mata. Ia melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar Andra. Sebenarnya ia memiliki waktu dua jam untuk bimbel, tapi waktu satu jam setengah sudah terbuang sia-sia karena Andra pulang lebih telat dari waktu yang diinfokan oleh Melisa sebelum ia datang kemari.
“Haha, by the way sekarang gue tau nama lo.”
Suara tawa renyah itu membuat Agatha langsung memutar tubuhnya saat hampir meraih gagang pintu. Seolah tidak terima Andra mengetahui namanya. “Tau dari mana?”
Andra mengangkat buku milik Agatha yang ditinggalkan sendiri oleh pemiliknya. “Duh, bisa b**o juga lo ternyata, Dasar Agatha.”
Sialan.
***
Setelah pulang dari rumah Andra tadi, Agatha tak langsung pulang. Gadis itu malah berbelok arah ke salah satu Kafetaria dan membeli satu cup Cappuccino dingin. Agatha melangkah lagi tanpa tujuan, hingga ia sampai di taman kota dan duduk di salah satu kursi dekat arena bermain anak.
Matanya menatap nanar pada sekumpulan anak-anak yang sedang bermain perosotan. Perlahan senyum tipis tercetak di wajah Agatha. Entah apa yang sedang ia pikirkan, yang pasti, Agatha ingin kembali ke masa itu; Masa dimana ia masih kanak-kanak. Bermain secara bebas, tanpa masalah, tanpa beban, tanpa ada satu pikiran pun di otaknya selain bermain.
Kalau boleh jujur, Agatha iri pada Andra. Laki-laki itu bisa melakukan apa saja yang diinginkannya sekali pun harus membantah perintah orang tuanya. Hidupnya berkecukupan dengan masa depan yang terjamin. Andra bebas melakukan apa yang ia suka, bebas meminta apa saja yang yang ia mau.
Jauh berbeda dengan Agatha yang harus berpikir dua kali sebelum mengambil tindakan. Agatha harus memikirkan terlebih dahulu menggunakan logika, kemudian memikirkan apa resiko yang akan ia tanggung jika itu terjadi. Bahkan, saat memgambil keputusan untuk menerima tawaran Melisa pun begitu.
Entahlah. Di hari pertama saja, Agatha tidak yakin akan memiliki hubungan yang baik dengan Andra. Jika di pertemuan pertama saja sudah kacau dan membuatnya kesulitan, Agatha tidak yakin akan menyukai pekerjaannya.
“Semangat Agatha!” serunya menyemangati diri sendiri, ia menggenggam cup Cappuccino-nya erat. “Iya, lo pasti bisa, Ta. Pasti!”
***
"Ma! pokoknya Andra nggak mau privat sama dia!" Andra berkeluh kesah di tengah kegiatan makan malamnya dengan Melisa di salah satu restoran cepat saji. Melisa yang berada di hadapan Andra hanya mengangkat bahu, tangannya masih fokus untuk mengiris beef steak.
"Terserah, tapi Mama suka kalau kamu belajar sama Agatha. Dia anaknya baik, sopan, dan bisa di percaya. Kamu jaga sikap kamu ya kalau sama dia, jangan malu-maluin Mama!"
"Tapi, Andra nggak suka, Ma! Andra anak cowok, lah! alay banget pake harus panggil guru privat segala. Andra, kan nggak b**o-b**o banget."
"Terus, gimana sama nilai kamu? Inget ya, kamu bentar lagi mau masuk kuliah. Kelakuan kamu harus di rubah." ujar Melisa, ia mengayun-ayunkan pisau makan selama mengomeli anak tunggalnya.
"Itu, kan udah biasa, Ma. Mama kayak nggak tau aja diluar sana tuh masih ada yang lebih g****k dari Andra."
“Logikanya kebalik, nih kamu. Kalau pola pikir kamu kayak gitu terus ya nggak akan maju! Kadang kita tuh harus melihat orang-orang yang udah punya pencapaian lebih di atas kita. Bukan berarti kita nggak bersyukur, tapi pandangan seperti itu juga sifatnya kondisional. Jangan ngaco kamu!" omel Melisa panjang lebar.
"Terserah. Pokoknya, Andra nggak mau belajar kalau masih privat sama si Agatha itu!"
"Mama juga nggak bakal balikin jatah bulanan kamu ke semula ya kalau kamu nggak mau belajar sama Agatha." Mama tetap keukeuh. "Lagian, Agatha nggak cuma Mama jadiin guru privat buat kamu, Mama juga suruh dia jagain kamu."
Andra melotot. "Buset, Ma! Andra udah gede! Udah buluan! Mama masih nyewa baby sitter buat Andra?! Aduh Mama alay banget, sih..."
Mama meletakkan sendok dan garpunya, menyudahi kegiatan makannya karena Andra benar-benar rewel hari ini. "Mama nggak Alay! kamu, tuh yang Alay! Mama nyuruh Agatha buat ngawasin kamu, bukan mandiin sama nyebokin kamu. gimana, sih?"
Andra mendesah frustrasi, ia kemudian berdiri dari kursi hendak pergi dari sana. "Terserah Mama! Andra mau pulang!"
"Ya udah sana! orang mobil aja Mama yang bawa!"
Andra berdecak sebal. Iya juga, sih. Tapi gengsi laki-laki itu lebih tinggi daripada logikanya. “Andra masih punya kaki.”
***
Andra mengetuk-ngetuk pulpennya di permukaan meja. Jam pelajaran kebetulan kosong di pelajaran Sosiologi. Sedikit memerdekakan Andra setidaknya untuk satu jam kedepan. Andra tidak seperti Rendy, teman sebangkunya yang kerajinan mencatat tugas yang di berikan guru piket. Andra tahu, tugas tersebut tidak akan dikumpulkan dan hanya akan dibahas minggu depan.
"Nggak ngerjain? Kenapa?" Rendy bertanya setelah menutup buku catatan Sosiologi.
"Gampang! Bisa nyontek punya lo, kan?"
Mendengar itu, Rendy meninju lengan Andra ringan. "Sialan! Pala lo tuh! Mikir!"
"Nggak asik lo." Andra memukul kepala Rendy dengan pulpen, sebelum ia menyelipkanya ke belakang telinga. "Ren, Gue lagi bete."
"Oh."
Andra langsung menoleh dan menampakkan wajah horror begitu mengetahui respon datar teman sebangkunya itu. "Oh? doang?"
"Ya terus, gue harus bilang wow gitu?"
Andra mendengus. "Masa sekarang Mama jadi tau semua kelakuan gue," Andra bercerita, meskipun Rendy tidak bertanya.
"Kelakuan lo yang mana? Yang suka nyontekin buku gue bukan? Ya baguslah."
"Bukan. Sisi negatif gue maksudnya."
"Bukannya seluruh sisi lo emang negatif? lo kan memancarkan aura negatif gitu, menurut gue…"
Andra mencebikkan bibirnya. "Ngga lucu, Ren! Sumpah. Jadi gini ya," Andra membenarkan posisi duduknya, menarik pulpen yang tadi terselip di belakang telinga. "Pokoknya, emak gue tuh jadi alay. Dia manggil orang ke rumah gue. Nggak asik banget lagi orangnya. Udah cerewet, galak pula. "
"Masa?!"
"Iyaa!"
"Bodooo." Rendy tertawa, meledek Andra habis-habisan. “Udah ah, gue mau futsal. Ibnu udah nungguin, tuh.”
Andra memutar bola matanya, merasa dikerjai. "Pergi lo. Jangan balik lagi, sumpah aku benci sama kamu."
***
Pulang sekolah dengan rasa malas Andra menyeret tasnya seperti karung beras menuju tangga. Begitu di depan pintu kamarnya, Andra mengerem sepatunya. Benar-benar enggan, bahkan untuk sekedar bertemu orang yang menrutnya paling menebalkan. Agatha pasti sudah ada di dalam, menunggunya di meja belajar seperti kemarin dengann tampang songong yang Andra ingin sekali lenyapkan saat itu juga.
Maksud hati ingin meloloskan diri, Andra memutar kembali pangkahnya, menuruni tangga dengan cepat. Kabur dan pulang malam adalah cara yang paling bisa ia lakukan. Andra nggak akan se-lebay ini kalau bukan karena benar-benar malas. Serius.
Ketika sampai pada anak tangga terakhir. Wajahnya pias, mendapati Agatha sedang membawa dua gelas jus mangga yang hampir menumpahi seragamnya. Perempuan itu baru saja keluar dari dapur.
"Mau kemana?" Sebelah alis Agatha terangkat. Membuat Andra terpaksa gigit jari dan mengubur niat kaburnya tadi. Ia menghela nafas.
"Harus banget emang belajar sekarang? Gua lagi males, lo pulang aja deh sono!" tukas Andra, tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya.
Agatha menempelkan segelas jus mangga di telapak tangan Andra, agar cowok itu memegangnya. "Terserah lo, sih. Tapi, jawabanya; Nggak!"
Andra menatap punggung Agatha yang mulai meniti tangga dengan meringis. "Ta, Mama gue bayar lo berapa, sih. Mending lo nurut sama gue aja, gue bayar gaji lo dua kali lipat, Ta! Woy! Agathaaa!"
***
"Jadi, sekarang kita mulai." Agatha meletakkan jus mangganya di meja belajar Andra. Sedangkan Andra sendiri belum meminum sama sekali. Laki-laki itu sekarang sedang duduk di kursi belajar dengan malas-malasan, tanpa minat.
"Itu Jus nya jangan di taro disitu! lo mau buku gue ketumpahan?" sungut Andra.
"Slow aja kali," Agatha memindahkan gelasnya ke atas nakas di pinggir gelas milik Andra juga.
Satu jam selanjutnya, Agatha menghabiskan waktu dengan membahas pelajaran bahasa inggris dan beberapa soal potensi skolastik yang akan membantu Andra di tes masuk perguruan tinggi nanti. Sedangkan Andra hanya manggut-manggut tanpa minat, tidak peduli, apakah semua yang Agatha terangkan tadi masuk ke otaknya atau tidak.
"Ngomong-ngomong kenapa nggak di minum?" tanya Agatha, mengambill kembali jus mangga nya yang tersisa setengah.
"Nggak, ah. Gue kan nggak tau lo udah masukin apa di dalemnya." ketus Andra.
Nyaris saja Agatha memukul Andra dengan sedotan kalau saja ia tidak mengendalikan rasa geregetannya itu. "Sembarangan lo, gue kalo mau bunuh orang nggak akan pake cara se-receh itu, ya."
Andra hanya menanggapinya dengan mengangkat kedua bahunya acuh. Lalu ia menenggelamkan kepalanya di antara dua lengan di atas meja. Agatha yang mulai merasa tak nyaman, sekilah melirik jam tangannya. Sudah pukul delapan malam. Tidak menyangka bisa akan mengajar seorang murid sampai selarut ini. Ini juga terpengaruhi oleh jadwal sekolah Andra yang membuat laki-laki itu baru sampai rumah pukul lima atau enam sore.
"Udah malem, gue pulang deh." tanpa ada basa-basi lagi, Agatha menarik tasnya dan melangkah keluar. “Salam buat Mama lo, ya ntar kalau udah pulang.”
“Iye,”
***
Sudah lima belas menit Agatha berjalan menuju pintu keluar komplek. Harusnya ia memesan ojek online tadi, tapi ponselnya sudah kehabisan baterai dan terlalu malas untuk kembali masuk untuk meminjam ponsel Andra, sedangkan jam semakin larut. Baru Agatha sadari, bahwa jarang sekali ada ojek konvensional melintas ketika sudah lewat jam setengah sembilan malam. Hatinya semakin gelisah, hingga akhirnya Agatha memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar agar bisa mencegat kendaraan umum di jalan raya.
Kurang lebih setelah seratus meter Agatha berjalan, dari belakang seakan ada sorot lampu kuning yang sejak tadi mengikutinya. Sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang, membuat Agatha mempercepat langkahnya dua kali lipat. Ketika mobil itu tepat berada di sampingnya, sambil mengklakson berulang kali, Agatha baru berhenti berjalan. Perempuan itu menutup matanya rapat-rapat dan memegang tali tasnya.
Tind... Tind... Tind...
"Oy!" Seruan itu membuat mata Agatha seketika terbuka. Ia menoleh, mendapati Andra terus mengklakson mobilnya terus menerus. "Naik!"
Agatha terdiam. Seolah tak mendengar kalimat terakhir Andra tadi.
Tind... Tind... Tind...
"Apa sih? Jangan berisik!"
"Buru naik! Banyak lama lo!"
Agatha terus berjalan, membuat Andra akhirnya mengikuti perempuan itu pelan-pelan dari belakanng. "Kalau lo ngga naik, Gue tabrak!" teriak Andra sambil menjulurkan kepalanya ke jendela.
Tind.. Tind.. Tind.. Tind.. Tind.. Tind.. Tind..
Suara klakson nya menjadi-jadi, membuat Agatha menutup telinganya seketika. "t*i. berisik ya lo!"
"Buruan naik! Udah baik gue tawarin."
"Nggak!"
Andra mengangkat sebelah alisnya. "Yakin? Gratis, loh."
"Nggak peduli."
"Yakin? Ini yang terakhir, loh. Nggak akan ada yang lewat lagi abis ini."
"Siapa bilang?! Sotoy."
"Lo emang batu ya?" Andra menurunkan full kaca mobilnya. Tangannya menjulur menarik tali tas Agatha. "Cepetan naik! Buang-buang waktu gue tau nggak?!".
"Andra! awas! bahaya!"
"Bodooo!"
"Andra! Kambing! Gue ntar celaka!"
"Sampai lo naik mobil gue, baru gue lepasin."
Agatha terus menahan tali tasnya. Sedangkan mobil Andra berjalan lamban, namun tetap ngeri menurut Agatha. "Lepas ngga?! Gila lo!"
"Naik dulu!"
Sampai akhirnya, Agatha berhenti berjalan menyamai laju mobil Andra. Ia menghela nafas kasar. "Iya, iya gue naik!"
Begitu Agatha duduk di samping Andra, atmosfer canggung langsung menyelimuti mereka berdua. Hanya terdengar lagu pop dengan ritme pelan yang terlantun dari tape mobil. Ada beberapa alasan mengapa ia tak ingin membiarkan Andra mengantarnya sampai rumah. Agatha tidak pernah pulang bersama seorang laki-laki selama ini; termasuk saat masih sekolah dan selama ia berteman di kampus. Agatha juga tak pernah membiarkan siapa pun tahu di lingkungan mana selama ini ia tinggal.
Agatha tertutup. Ia tidak suka orang lain mengetahui sesuatu kecuali nama, jenis kelamin dan statusnya sebagai mahasiswa.