Chapter 1 : First Impression.
Andra berdecak kesal, menatap begitu banyaknya angka merah di rapotnya. Kecewa, malu, kini bergelut menjadi satu. Belum lagi sikap dan kepribadiannya yang seringkali mendapat nilai C di rapor. Memalukan, jika mengingat status dirinya yang menjadi putra tunggal komite sekolah. Entah sejak kapan, namun pandangan hidupnya mulai berubah. Prestasi, reputasi dan juga eksistensi kini bukan menjadi prioritas utamanya. Andra lebih suka melakukan hal-hal yang ia sukai dan cenderung membuatnya bahagia seperti contohnya, cari perhatian.
Rapotnya di tahun terakhir sekolah justru sangat anjlok dan memprihatinkan. Ia sudah masuk ke bulan-bulan semester 5, tapi tidak ada peningkatan. Guru-guru sudah menyerah dengan kelakuan Andra, sebenarnya hanya kapitalisme yang menyelamatkan keberadaannya karena Ibunya menyumbang banyak dana untuk pembangunan sekolah.
Back to real life.
Setelah memandangi buku rapotnya yang terbakar, Andra buru-buru menutupnya, memasukkan buku bersampul abu-abu dengan logo almamater di balik bantal. Enggan untuk menunjukkannya kepada Melisa, Ibunya. Harapannya, wanita itu tidak ingat kalau hari ini merupakan tanggal pembagian rapor. Detik selanjutnya, Andra memyambar kunci mobil, lalu melangkah keluar kamar.
"Mau kemana kamu?!" Baru sampai di anak tangga terakhir, Andra sudah di cegat oleh Melisa yang sedang menonton TV di ruang tengah. Gelagatnya terlalu kentara hendak bepergian dengan jacket hitam dan celana jeans biru.
"Main." Jawab Andra, seadanya. lalu, cowok yang rambutnya sedikit berantakan itu melengos pergi tanpa memperdulikan wanita yang mengomelinya habis-habisan.
***
Sapuan awan abu-abu langsung menutupi langit yang tadinya biru cerah. Tetes air langsung berjatuhan satu persatu, lalu disusul dengan ribuan tetes langit lainnya. semua orang yang sedang berlalu lalang di trotoar buru-buru mengungsi ke kios atau ruko-ruko terdekat, guna melindungi tubuh mereka dari hujan yang meskioun sedikit namun tetap merepotkan.
Agatha menjadikan map berwarna merah tua sebagai penutup kepala, menghindari ttitik titik air agar tidak jatuh mengenai kepalanya. Ia buru-buru berlari kecil ke arah halte yang sudah dipenuhi beberapa orang yang sama-sama berteduh. Sekali lagi, Agatha merapikan kemeja putih dan rok hitamnya yang sedikit kusut. Rambut yang tadinya terkuncir satu rapi, kini sudah acak-acakan dengan anak rambut yang membingkai wajahnya.
Agatha mendekap map merah tua tadi. memandanginya lekat-lekat. Begitu besar harapannya untuk bisa bekerja, setidaknya dengan ijazah SMA yang ia punya. Ia butuh uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, belum lagi biaya sekolah adiknya yang sudah menunggak dua bulan. Disamping itu, ia juga tidak mungkin mengambil cuti kuliah lagi, yang ada waktu lulusnya malah semakin molor
"Hujannya kayaknya awet, nih." ujar seorang wanita setengah baya sambil sedikit mengelap bagian lengannya yang agak basah. Agatha menoleh ke sumber suara. Ia pikir wanita ini sedang tidak bicara dengannya. Namun, faktanya, wanita tadi kini sedang melihat ke arahnya. Agatha terlalu gugup jika di tatap seperti itu, akhirnya, hanya senyum tipis dan anggukan yang keluar dri tubuhnya.
"I-iya, bu."
“Dari mana, dek? pulang kerja?" tiba-tiba wanita di sebelahnya bertanya. mereka bahkan belum mengenal satu sama lain.
"Ooh, saya... baru mau kerja."
Dahi wanita itu mengerut. "Baru mau kerja? Ooh, baru lulus?"
Agatha menggeleng kaku. “Nggak bu, udah lulus dua tahun yang lalu.”
“Lulus kuliah?”
“Lulus SMA, kalau kuliah… lagi cuti semester ganjil ini.”
Senyum merekah langsung terlihat di wajah wanita yang masih keliatan ayu meskipun ada kerutan-kerutan. "Lalu, lamaran yang sekarang keterima? Wah.. selamat, yaa."
Agatha meng-amin-ni dalam hati. Jika saja itu terjadi, Agatha bakalan kegirangan gara-gara saking senangnya. Sayangnya, itu tidak benar-benar terjadi. Sepertinya. "Belum Bu, katanya nanti dikabarin. Pasrah sih, kalo emang bukan rejeki saya."
“Ooh gitu. Nggak papa, rejeki itu datang dari segala arah. Kamu cuma perlu percaya kalau hal-hal seperti itu akan selalu datang ke arah kamu.” ujarnya, sedikit membuat hati Agatha sejuk mendengarnya. Seperti mendapat pencerahan ditengah mendung sore hari ini. “Ngomong-ngomong, kuliahnya ambil jurusan apa?”
“Saya ambil Pendidikan Bahasa Inggris, Bu. Pengennya nanti kalau udah lulus, buka tempat les kecil-kecilan buat anak-anak kurang beruntung. Seru aja, kayaknya.”
“Jiwa sosial kamu tinggi, nih. Saya jadi rasanya kayak lagi bercermin di masa muda saya dulu, pengen bawa impact buat masyarakat sekitar saya.” kata wanita itu lagi, ia merasa se-frekuensi dengan Agatha. “Oh iya, kita mungkin nggak akan ketemu lagi, tapi… kenalin, saya Melisa. Saya punya banyak kegiatan yang fokus di bidang sosial, kamu kalau mau volunteer boleh hubungi saya.”
Agatha menaikkan kedua alisnya takjub, apalagi ketika wanita yang mengenalkan dirinya sebagai Melisa itu memberinya sebuah kartu nama. Agatha tersenyum sumringah. “Wah, makasih ya, Tante…”
Melisa senang ketika mendengar Agatha memanggilnya tante seolah panggilan itu menghapus jarak asing diantara mereka. Entahlah, selama ini Melisa tidak pernah punya anak perempuan, ia serta merta menganggap Agatha seperti keponakannya.
Setelah lama berbincang-bincang, Hujan lambat laun mulai mereda, menyisakan aroma tanah khas terguyur air dan titik-titik hujan yang ringan. Sebuah mobil yang sedikit mewah di pandangan Agatha tiba-tiba melintas di seberang halte transportasi umum, wanita itu mengecek ponselnya sekali sebelum berpamitan dengan Agatha dan menninggalkan perempuan itu dengan senyum terpatri di wajah ayunya.
***
Melisa mendengus kesal, melihat putra sematawayangnya sedang tertidur pulas di tengah jam masuk sekolah. seharusnya Andra sedang berada di kelas, bercengkrama dengan teman sesamanya atau mengerjakan tugas dari guru. Namun, kali ini, Andra hanya bermalas-malasan di ranjang, dengan d**a telanjang karena AC yang rusak. Akhir-akhir ini Jakarta bersuhu lebih tinggi dari biasanya.
Andra pasti begadang dan Melisa seratus persen yakin begadangnya Andra sangat-sangat tidak berfaedah, komputer miliknya masih menyala entah sejak pukul berapa, giliran rusak pasti anak lelakinya itu merengek minta dibelikan yang baru. Semua orang selalu seperti ini kalau sudah begadang, sulit terbangun. Begitu juga Andra, cowok itu malah memutar tubuhnya lalu memeluk guling ketika selimut tebal disingkap oleh Melisa.
"Andra! bangun!" Melisa menepuk pundaknya.
Tak bergeming, hanya ada suara lengguhan malas yang keluar dari mulutnya. "Tiga menit lagii.."
"Udah jam sepuluh juga! Ngaco kamu, bangun, ih! anak laki bangun siang-siang gini rejekinya di patok ayam! mau makan apa nanti anak sama istri kamu?!" omel Melisa, lalu melipat selimut tebal tadi dan menatanya di atas tumpukan bantal.
Andra ini tidurnya kemana-mana. Nggak bisa anteng. Sampai kepala dan bantalnya terpisah jauh, Sprei yang tersingkap kemana-mana dan pakaiannya yang tercecer di lantai. Dunia mungkin akan tercengang, jika tiba-tiba Andra merubah gaya tidurnya dengan memakai piyama bermotif boneka, dan tidur damai ditemani oleh boneka teddy seperti milik Mr. Bean. Ya, itu tentu bukan mencerminkan Andra yang sebenarnya
"Mama ngomongnya kemana-mana, Ah!" Andra akhirnya terduduk dengan kepala yang masih terantuk-antuk. "Bawel banget jadi emak!"
Di cemooh seperti itu, Melisa dengan rasa geregetannya langsung melempar muka Andra dengan bajunya yang tadi tercecer di lantai. "Banyak nawar banget jadi anak! Udah sana mandi! Kamu nggak sekolah ngapain?!"
"Kesiangan bangun! nggak liat? Mama sih nggak bangunin."
Melisa hanya bisa geleng-geleng kepala. Anak jaman sekarang memang terlampau jauh dengan anak jaman dulu. Tidak mau memikirkan kelakuan Andra terlalu berat, wanita itu memilih untuk membereskan tempat tidur Andra. Menata bantal dan gulingnya sedemikian rupa. Ia memang jarang membangunkan Andra langsung ke kamarnya karena biasanya Bi Inah, wanita yang bekerja di rumah Melisa yang sering mengetuk kamar Andra.
Hanya saja, kebetulan hari ini Melisa berangkat pukul enam pagi, sebelum jam dimana Andra berangkat ke sekolah, ia tidak sempat sarapan karena harus mempersiapkan sesuatu di kantornya. Lalu karena buru-buru tadi, beberapa dokumen tertinggal sehingga ia mesti kembali ke rumah. Ia pikir, Andra sudah berangkat ke sekolah, tapi pintu kamarnya tadi sedikit terbuka, dan Melisa bisa melihat anaknya itu masih berada diatas kasur.
Andra sudah beringsut ke kamar mandi, mungkin ia buang air besar atau lebih baik lagi kalau anak itu langsung mandi. Begitu sibuk membereskan kamar anaknya, tangan wanita itu tidak sengaja membuka laci meja belajar untuk menyimpan beberapa buku yang tercecer di lantai. Tak jauh dari itu, ia juga menemukan sebuah buku rapot dan beberapa lembar surat panggilan dari sekolah yang selama ini tidak pernah sampai kepadanya.
Lalu, hatinya seakan tercubit.
Semuanya seakan masuk akal, tatapan-tatapan dari kepala sekolah dan guru-guru ketika Melisa berkunjung kesana mulai ia terjemahkan satu persatu. Pantas saja mereka semua menatap Melisa dengan pandangan yang kurang mengenakan, anaknya ini salah satu biang onar di sekolah.
Melisa bahkan tidak pernah tahu bahwa beberapa minggu lalu adalah tanggal pembagian rapor semester satu. Ia juga tidak pernah tahu bahwa Andra pernah mendapat skorsing hingga tiga hari. Yang Melisa tahu, Andra pergi ke sekolah, belajar, ikut ekskul dan pulang petang. Selama ini ia tidak pernah memperhatikan hal-hal seperti itu. Dibalik kalemnya Andra ternyata anak itu menyimpan rapi-rapi semua kenakalannya. Pantaskah ia di sebut Ibu? Yang bahkan tidak tau perkembangan anaknya sendiri?
Lututnya melemas dan ia duduk di sisi ranjang, menunggu sampai Andra keluar dari kamar mandi sambil menggaruk-garuk pipi dan seolah bersiap kembali merebahkan dirinya di atas ranjang. Melisa berbalik, menatap Andra yang kembali tengkurap di atas ranjang.
“Andra!”
“Oy,”
“Oy?” Melisa mengulang kalimat Andra yang kelihatan aneh untuk disebut sebuah jawaban.
“Apa?”
“Besok kamu nggak usah sekolah lagi,” ujar Melisa, penuh penekanan.
“Ya baguslah, aku mau main PUBG seharian.”
“Andra!”
“Apasih, Ma?” Andra mulai risih.
Melisa gemas. Ia memukulkan buku rapot itu ke kepala anaknya. “Kamu tuh! Nggak bisa apa pinternya nurun dari Mama?! Anak siapa, sih kamu ini hah?! Heran, deh!”
Andra kemudian sadar bahwa ibunya ini sedang kesal, tak butuh waktu lama sampai ia sadar bahwa Melisa memegang buku rapornya. “Eh, ini…”
“Diem!” Melisa membentak. “Kamu itu udah bikin Mama gagal jadi Ibu!”
Mendengar itu, atmosfer kamar Andra seketika menegang, laki-laki itu juga serta merta merasakan sesuatu tertohok dalam hatinya. Ia kemudian menatap Melisa lekat-lekat dengan ekspresi arogan. “Ya emang, kenapa Mama baru nyadar kalo Mama udah ga—”
Plak.
“Mama nggak bilang kamu harus jawab kata-kata Mama.”
Andra diam. Ia mengumpat dalam hati. Melisa menghela napas kasar, ia memejamkan mata dan melemparkan buku rapor anaknya ke ranjang. “Besok nggak usah sekolah, di rumah aja. Mama bakal cariin guru buat kamu homescholing. Kalau kamu masih nggak nurut, nggak usah pulang lagi ke rumah ini. Ngerti?!”
Kata-kata final itu menjadi penutup keberadaan Melisa. Wanita itu langsung keluar dari kamar Andra dengan sedikit dentuman kencang saat menutup pintu. Andra seketika langsung menendang kursi belajar yang ada disampingnya karena kesal. Ia sakit hati dengan kata-kata Melisa, di saat seperti ini, kenapa malah menyudutkan dirinya? Dibandingkan melihat sudut pandang lain, bahwa semua yang terjadi pada Andra sekarang adalah karena ibunya juga.
Emosi. Andra mengambil ransel hitam miliknya, mengeluarkan semua buku-buku pelajaran dan mengisinya dengan pakaian. Kamarnya berada di lantai dua, ia bisa melihat sepuluh menit kemudian mobil Melisa meninggalkan pekarangan rumah besar itu. Saat itu Andra buru-buru mencari celana panjang, dan sebelum keluar kamar ia baru sadar bahwa ia belum memakai kaus sama sekali.
“Aduh, beneran t***l nih gua.” Andra mengumpat, kemudian kembali membuka lemari, asal mengambil kaus, namun tidak juga memakainya. Tangannya fokus memainkan handphone menghubungi teman-teman yang sekiranya bisa ia tumpangi malam ini.
Laki-laki itu berjalan meniti tangga dengan terburu-buru dan begitu sampai di depan pintu, ia mendengar suara bel rumah yang berbunyi lebih dari tiga kali.
“Bentar, woy!” seru Andra.
Ia menyimpan ponselnya ke saku, lalu memakai kausnya seraya membuka pintu.
Pintu terbuka.
Agatha langsung membulatkan matanya, setara dengan kecepatan cahaya, tangan Agatha langsung menutup kedua mata. Andra memang belum selesai memakai bajunya, tapi ia juga tidak peduli. “Cari siapa, ya?”
Tanpa melepas kedua tangannya Agatha bersuara, "Pake baju kamu dulu, kek. Nggak malu apa diliat perempuan?!"
Andra kemudian membenarkan kausnya. “Udah. Mau cari siapa?”
Perlahan Agatha menurunkan tangannya, kemudian menunjukkan sebuah kartu nama. “Saya dateng kesini buat ketemu orang yang punya kartu nama ini.”
"Ini nama nyokap gue. Lo ada perlu apa?" tanya Andra. Entah sadar atau tidak sadar, tapi tiba-tiba saja Andra langsung berbicara santai dengan perempuan di depannya.
Agatha menghela nafas, "Lo bukan Ibu Melisa, kan? Jadi gue nggak mau kasih tau keperluan gue."
“Gue anaknya.
“Gue nggak tanya,”
Andra menaikkan sebelah alisnya, tidak menyangka akan mendapat respon seperti itu. “Ya udah, gue tutup pintunya.”
Agatha menahan pintu itu seketika. “Kok di tutup, sih?”
“Lo mau ketemu nyokap gue, kan? Bukan ketemu gue?”
“Lah?”
“Lah, ya udah. Gue tutup. Nyokap gue udah pergi barusan persis sebelum lo ke sini. Jadi, dateng lain kali aja ya, mbak.”
Pintu kemudian ditutup rapat. Agatha menatap pintu itu tidak percaya dengan mulut setengah terbuka, kemudian tertawa getir. “Dih? Sakit kali tuh anak?”
Agatha kemudian berjalan ke arah meja dan kursi yang ada di teras rumah itu. Ia tidak ingin pulang sia-sia, apalagi jarak ke rumahnya juga lumayan jauh. Tadinya, ia kesini ingin mendaftar menjadi volunteer atau sukarelawan di unit kegiatan sosial yang Melisa bilang. Setidaknya akan menambah pengalaman dan bisa sedikit menambah daftar di curiculum vitae nya nanti saat lulus kuliah.
Tapi sepertinya bukan hari ini, Agatha terduduk sambil menatap kartu nama ditangannya. Entah ia juga tidak yakin bisa kembali ke sini atau tidak. Sementara itu, Andra mengintip dari tirai jendela dinding kaca di rumahnya. Perempuan itu masih disana, belum menyerah.
“Mau ngapain, sih? Penting banget apa mau ketemu Mama sampe nunggu begitu?” ucap Andra pelan, lebih kepada diri sendiri.
Ia kemudian duduk di sofa ruang tamu. Berpikir dua kali mau keluar rumah. Masalahnya, kalau ia pergi, ada saksi yang melihatnya. Iya, perempuan tadi. Maksud Andra, ia ingin benar-benar pergi tanpa ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya. Benar-benar hilang dari rumah tanpa jejak, seperti dengan kekuatan teleportasi.
Dengan penuh pertimbangan, Andra kemudian membuka kembali pintu, menghampiri Agatha yang masih duduk di teras. “Kalo mau nunggu di dalem aja. Jangan cepu ke nyokap gue ya, kalo gue ngusir lo. Ini udah gue suruh masuk, loh.”
Agatha memutar bola matanya malas. Tapi akhirnya ia juga berdiri, kemudian mengekori Andra masuk ke dalam. Setelah di persilahkan masuk. Agatha duduk di sofa ruang tamu. ada secuil rasa miris karena rumahnya terlalu jauh jika di bandingkan dengan rumah Melisa. Rumah dengan gaya minimalis yang tetap mewah dan memberikan kesan modern, desain interiornya juga begitu elegan. Dindingnya bercat kuning gading, dipadukan dengan semua perabotan yang bernuansa cokelat tanah dan putih. Temboknya juga tak di biarkan polos, banyak di pajang lukisan naturalisme dan beberapa foto keluarga.
Agatha melirik sebuah bingkai yang cukup sedang. Bingkai itu terpajang tepat di belakangnya. Ia menatap lekat-lekat potret dua orang. Ada Melisa dan laki-laki yang barusan menghadangnya di pintu, lalu sekarang sedang duduk bersandar di sofa tepat dihadapannya. Wanita itu masih terlihat ayu dan awet muda disini, sementara laki-laki itu terlihat lebih imut dengan tuxedo mini dan dasi kupu-kupu karena mungkin foto ini diambil beberapa tahun yang lalu. Keduanya tersenyum, seperti tanpa beban. Ngomong-ngomong soal laki-laki tadi, Agatha tidak tau dan tidak akan mau tau, siapa namanya. Yang jelas, dengan sikapnya tadi dalam menyambut kedatangannya, sudah langsung merusak first impression buat Agatha.
“Eh, mau minum nggak?” ujar Andra memecah keheningan, sedari tadi ia sibuk membalas pesan dari teman-temannya.
“Nyokap lo pulang jam berapa?”
“Nanti sore,"
“Yah, masih lama dong?”
“Iya,” jawab Andra polos. “Kalau mau nunggu, sih ya silakan. Gue sih mau tidur.”
“Hah?” Agatha mengerutkan dahi. Tidak mengerti arah pembicaraan Andra. Tak lama dari itu, Andra menegakkan tubuhnya ketika salah satu temannya mengangkat telfon darinya.
“Halo? Nu? Gimana, gue boleh nginep di rumah lo, kan?”
“…”
“Ya elah, Ibnu. Semalem doang. Nanti besoknya gue nginep ke rumah Bagas, deh. Janji…”
“…”
“Hah? Banyak sodara? Di rumah lo lagi ada acara apaan?”
“...”
“Kakak lo nikah? Ya udah deh, gue bantu-bantu nyuci piring juga gapapa atau jadi tukang parkir juga nggak masalah, pokoknya malem ini gue nggak mau tidur di rumah, Nu. Tolongin, lah. Lo tau, kan nyokap gue kalo marah kayak gimana?”
“...”
“Iya, maksud gue tuh--halo? Halo Ibnu? Woy?” Andra meneriaki layar ponselnya gemas. Sambungan telfon diputus sepihak. Ia menghela napas pasrah. “Ah, elah… temen-temen pada kurang ajar giliran dibutuhin.”
Agatha menatap kelakuan Andra dengan tatapan heran. Benar-benar heran dengan kelakuan laki-laki ini yang sedemikian cuek dan terlihat… bodoh?
“Lo mau kabur, ya?” tanya Agatha.
Andra melirik Agatha sekilas, “Bukan urusan lo.”
Agatha seketika tertawa. “Haha, bocah. Kalau mau kabur dari rumah tuh ya lo harus punya nyali buat jadi gembel. Mau kabur kok cari tempat ngungsi?”
“Nggak usah ngeledek, ya! Lo bukan siapa-siapa.” seru Andra, tidak terima.
“Emang kalo mau ngeledek, gue harus jadi siapa-siapa buat lo, gitu? Nggak usah merasa spesial, Mas. Lo bukan martabak.” ledek Agatha, ia kemudian mengangkat sling bag bersiap pamit. “Udah, ya. Gue mau pulang dulu. Sampein salam buat Mama lo nanti.”
Andra tidak merespon, ia benar-benar tidak memiliki energi untuk meladeni perempuan konyol itu. Agatha berjalan dua langkah ke arah pintu, berniat menariknya sampai perempuan itu kembali membalikkan tubuhnya untuk mengatakan sesuatu.
“Saran dari gue, nggak usah macem-macem. Lo kabur dari rumah juga nggak ngejamin semuanya bakal baik-baik aja.”
Tepat bersamaan setelah itu, bayangan tubuh perempuan itu menghilang dibalik pintu. Tapi kata-katanya terngiang di kepala Andra. Seketika jari-jari yang sejak tadi bergerak diatas layar ponselnya berhenti, ia melemparkan ponselnya ke kursi sofa dan merebahkan diri menatap langit-langit ruang tamu. Seketika ia jadi kebingungan sendiri.
“Ah, bodolah. Mau tidur aja.”
.
-To be continued-