Tetangga Meresahkan!

1894 Kata
“Aku menghubungimu bukan untuk meminjam uang. Tapi aku butuh pekerjaan!” kata Gistha melalui panggilan telepon bersama teman lamanya. Pandanganya masih tertuju keluar. Orang-orang masih berada di depan rumahnya. Gistha menarik nafasnya yang terasa sesak dan kepalanya semakin berat. Pikirannya mulai terbagi salah satunya pada pria bertubuh jangkung yang memunggunginya itu, pria yang mengaku sebagai polisi yang sama sekali Gistha tak memanggil polisi untuk datang ke rumahnya. “Kenapa kau selalu menolak bantuanku?” Pertanyaan itu seolah menarik paksa Gistha untuk kembali. “Kau juga menolak bantuan temanmu yang lain. Apa kau takut dipandang menyedihkan karena banyak hutang, hm?” cecarnya. “Aku menghubungimu bukan untuk membahas ini, Antony,” hardik Gistha, dia sama sekali tidak butuh pinjaman uang atas nama persahabatan. Gistha hanya ingin dibantu dengan cara diberikan pekerjaan, bukanya sok belagu tak membutuhkan pinjaman uang yang sering ditawarkan oleh teman dekatnya dikala hutang Gistha sudah menyerupai gunung Everest—sering kelaparan karena tak bisa membeli beras. Namun, semakin banyak uang yang dipinjamkan hutangnya tidak akan pernah lunas. “Kau masih tetap Gistharra Mahendra Marvien yang aku kenal baik.” Antony tersenyum lebar di seberang sana. “Keras kepala, egois dan lebih baik hidup kesulitan daripada menerima bantuan orang lain,” kata Antony mengenal baik karakter Gistha. “Menerima bantuan berupa uang akan membuatku berhutang banyak, Antony,” hardik Gistha cepat. Pria diseberang sana tertawa keras. “Dan, aku tidak mau banyak berhutang budi pada orang lain,” sambungnya. “Ah, ya. Aku mengenal dengan satu prinsipmu itu, Gish.” “Lalu apa kau akan membantuku mencari pekerjaan?” Gistha berharap Antony berkata ‘Ya’ ia sangat membutuhkan pekerjaan dengan bayaran mahal seperti dulu. Namun, Anthony tak langsung menjawab, pria itu terdiam cukup lama sembari menimang-nimang lebih dulu sebelum memutuskan. “Kau sudah cukup lama pensiun,” kata Antony terdengar ragu. “Ya, kau benar itu,” Gistha menyela lebih cepat. “Tapi jangan pernah kau meragukan kemampuanku, Bung.” Antony menggeleng tidak akan pernah meragukan kemampuan Gistha. Hanya saja… “Jika dia yang kau khawatirkan,” Gistha kembali berkata disaat Antony diam tak memberi jawaban. “Kau tak usah cemaskan itu. Dia jadi urusanku,” sambung Gistha seolah tau isi kepala temannya. “Ancamannya tidak main-main, Gish. Dia akan membunuhku jika kau kembali melakukan pekerjaan bahaya!” Gistha akan memohon dengan sangat jika itu terjadi. Ia tak punya pilihan lain untuk menghasilkan banyak uang dengan keringat dan darahnya. Ia hanya ingin keluar dari masalah ini tanpa harus menjadi beban temannya. “Aku sudah bukan tanggung jawabnya lagi,” katanya terdengar pilu. “Aku hanya ingin keluar dari kekacauan yang sudah aku perbuat ini sampai membuat putraku menderita,” ungkapnya. Antony paham bagaimana karakter Gistha, tapi memberikan pekerjaan sama saja Antony mengantarkan keluarganya ke neraka dan sialnya misi kali ini… Antony menjambak rambutnya pelan seiring mengumpat keras karena bingung harus bagaimana. Disisi lain Antony tidak ingin membahayakan keluarganya tapi disisi lain Anthony pun ingin membantu Gistha mendapatkan uang saat single mother itu keras kepala tidak mau menerima bantuannya. Dan misi sekarang ini… “Baiklah,” ucap Antony dengan terpaksa. Nanti setelah selesai bicara dengan Gistha, dia akan meminta Miranda untuk berkemas dan pergi ke tempat yang aman, berjaga-jaga takutnya seseorang itu membunuh keluarganya. Sementara di seberang sana Gistha tersenyum senang. “Belum lama ini aku mendapatkan misi sialan yang tidak bisa aku lakukan sendiri.” Dan, Antony pernah gagal sekali dan sekarang dia tak mau gagal lagi. “MissionShit?” ulang Gistha dengan kernyitan bingun. “Hm, MissionShit!” “Kau dalam masalah?” tanya Gistha dengan nada khawatir. Sudah cukup lama Gistha mengenal Anthony Diondra, seorang agen rahasia internasional yang menggilai misi bahaya. Namun, kata-kata missi sialan ini membuat tanya besar. “Detailnya aku akan menceritakan setelah kita bertemu. Datanglah ke alamat yang akan aku kirimkan padamu.” “Oke. Aku akan pergi kesana. Lalu berapa bagianku?” tanya Gistha spontan. Dari nada bicaranya, Gistha tahu temannya itu telah gagal menjalankan misi ini. “Astaga, apa kau sudah tak percaya padaku atau sebutuh itukah kau dengan uang saat ini, Gie?” “Aku harus tahu nominal yang akan aku dapatkan dari misi sialan ini,” ujar Gistha santai. “Ah, baiklah. 1 milyar untuk sebuah misi jika kau berhasil,” balas Antony cepat dan malas berdebat dengan Gistha. “Itu terlalu murah,” Gistha menolak, ia tahu missi kali ini pastinya berat. “Kau minta berapa, hm?” “5 milyar, aku akan membereskan missi sialanmu, bagaimana? Deal?” Gistha tertawa mendengarkan umpatan Anthony di panggilan teleponnya, setelah selesai berbicara dengan Antony, Gistha segera mengemasi pakaiannya dan juga pakaian Gavien. “Demi Tuhan, Bu. Aku lebih baik kelaparan daripada aku harus melihat sekujur tubuhmu penuh luka,” bentak Gavien keras ketika ibunya mengungkapkan kepergian. “Aku belum siap kehilanganmu, Bu,” sambung Gavien, bibirnya bergetar kala bola mata hijau keemasan itu menatap tajam sang ibu. “Gav,” Gistha menarik nafas panjang disela menatap putra semata wayangnya. Gistha tahu ia akan kesulitan meminta izin pada putranya. “Hanya ini yang bisa Ibu lakukan untuk merubah nasib kita.” “Nasibmu?” sargah Gavien masih dengan amarah yang menggebu-gebu. Ibunya sungguh egois. “Lalu bagaimana dengan nasibku jika kau kenapa-napa disana, hm?” Bahkan kata-kata Gavien seolah berbicara dengan anak seusianya bukan ibunya. “Ibu hanya ingin melunasi semua hutang Ibu. I promise this is the last time, oke?” Gavien mendengus masih mempertahankan tatapannya. “Dulu kau bahkan pernah berkata serupa. Dan, kau sudah melanggarnya sekali.” Dan tidak ada untuk kedua kalinya. “Masih banyak pekerjaan yang tidak membahayakan nyawamu,” sambung Gavien dengan nada suara yang kini terdengar pelan tak sekeras tadi pada ibunya. “Aku sangat menyayangimu, Bu. Dan, kau tahu aku takut kehilanganmu.” “Ibu tahu itu. Ibu akan berhati-hati,” kata Gistha keukeuh. “Tolong izinkan Ibu pergi sekali ini saja, Gav,” mohon Gistha lagi dan lagi. Bahu Gavien meluruh, dia bangun dan pergi menghindar sang ibu. Seharusnya ibunya tak perlu menatapnya seperti itu apalagi menangis meminta izin. Untuk apa? Karena yang sudah-sudah saja ibunya pergi tanpa mendapatkan izin darinya. “Aku akan mencari si tetet sepertinya dia lari keluar mendengar suara teriakanku,” kata Gavien lelah berdebat dengan ibunya yang keras kepala. Dia berjalan menuju pintu belakang rumah tapi sebelum dia pergi Gavien berkata pada Gistha, “Tak perlu kau meminta izin padaku karena tanpa seizinku kau pasti akan tetap pergi.” Meski itu berupa sindiran karena Gistha sering ingkar janji, si pelaku hanya tersenyum lebar paham arti kata itu. “Maka dari itu sekarang aku Ibu meminta izin padamu.” Gavien menoleh, “Hapuslah air matamu. Kau tahu aku benci sekali melihatmu menangis?” Gistha tersenyum lebar, lalu menghapus air matanya diiringi bibir yang bergetar. Gavien mengizinkannya meski—ya dengan syarat yang rumit. “Astagfirullahaladzim.” Fadi beristighfar setelah mengerem mendadak motornya. “Kenapa, Nak?” Jantung Fatimah berdegup kencang mendengarkan putranya beristighfar, dia berdiri di ambang pintu menatap putranya yang turun dari atas motor. “Ini kucing lewat pas banget aku mau berangkat.” Fatimah mengusap d**a lega lalu kembali masuk ke dalam rumah. “Hampir saja tar malem yasinan ya, cing,” kata Fadi seraya mengangkat kucing hitam legam. Fadi memeriksa keadaan kucing berbulu lebat nan wangi itu yang entah milik siapa. “Maaf, Om.” Fadi menoleh, seorang anak laki-laki berkulit putih yang berjalan itu menyilaukan pandangannya. “Itu kucingku.” “Oh, kau pemiliknya?” Anak laki-laki itu menganggukan kepala. “Om minta maaf juga, tadi kucingmu hampir ketabrak.” Mata anak laki-laki itu membelalak kaget. “Ah, ya. Si Tetet ketabrak?” Seruannya terdengar khawatir, anak laki-laki tak lain Gavien berjalan lebih dekat lagi untuk melihat sendiri kondisi kucing kesayangannya. Tatapan Gavien berubah sedih. “Apa dia baik-baik saja?” “Sejauh ini dia baik-baik saja.” Fadi meraih logam berbentuk bulat. Ada nama ‘Tae’ di sana bukan Tetet seperti yang dikatakan bocah tampan berkulit bersih. “Nama kucing ini, Tae,” ujar Fadi. “Ah—iya.” Fadi menatap bocah tampan itu dengan senyuman. “Coba deh Om lihat sekali lagi. Logam bulat itu ada nama ‘Kim Taehyung’ dengan huruf kecil di sana,” tunjuk Gavien. Fadi menurut mengikuti petunjuk, benar adanya. “Nama panggilannya Tae. Tapi ibuku biasanya memanggil dia Markutet atau Tetet,” kata Gavien menerangkan tanpa menatap Fadi, Gavien terlalu sibuk memeriksa kucing kesayangannya itu. “Namanya seperti member Kpop.” “Begitulah,” jawab Gavien pendek seraya lega, kucing kesayangan nya baik-baik saja. “Apa ibumu penggemar Kpop?” “Tidak. Apa Om salah satu penggemar Kpop?” tanya Gavien. Fadi menggeleng tidak tapi sedikitnya dia tahu karena adik perempuanya penggemar boyband negeri gingseng. Fadi memperhatikan bocah tampan itu, dia tertawa mendengar ocehan tentang kucing hitam yang tak seimut namanya. Ada sesuatu hal yang terasa tak asing—perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Padahal sebelum ini, Fadi bukan tipe orang yang suka lama-lama berinteraksi dengan anak kecil apalagi membahas kucing dan boyband Kpop sampai Fadi lupa harus segera menghadap komandannya. Fadi mengeluarkan kartu namanya. “Telephone Om kalau si tetet terluka, kita bawa kucing kamu ke dokter hewan untuk di periksa, oke?” “Hm,” jawab Gavien dengan gumaman dan berlalu pergi dari hadapan Fadi. “Belum berangkat juga, Nak?” Fadi menoleh sementara Fatimah yang berjalan menghampiri Fadi merasa heran. Ekspresi putranya tak seramah dan tak sehangat ketika berbicara dengan orang lain, bahkan senyuman yang Fatimah tangkap dari balik gorden rumahnya tak sebahagia itu. Penasaran siapa yang telah mengembalikan senyuman putranya, Fatimah mengikuti arah pandangan Fadi. “Kamu berbicara sama siapa?” “Pemilik kucing.” Fatimah beroh-ria mengenal bocah itu. “Kok aku baru tahu ada anak kecil berkulit putih dan bermata hijau di kampung kita?” “Dia anak tetangga kita.” “Tetangga yang mana?” Setahunya semua warga di kampungnya berkulit sawo matang dan bermata coklat tidak ada anak laki-laki berkulit putih dan bermata seindah anak tadi. “Dia anak tetangga yang meresahkan itu, loh. Yang sering di datangi oleh debt collector,” ujar Fatimah. “Jadi anak itu—” “Hm,” jawab Fatimah dengan anggung. “Mereka itu orang aneh,” kata Fatimah ikut menatap bocah tampan yang tak pernah keluar rumah dan tak punya teman. “Aneh?” Kening Fadi mengernyit. “Sudah 5 tahun ini mereka tinggal di kampung kita.” Dan selama lebih dari lima tahun Fadi tak pernah pulang ke kampung halamannya. Dia baru saja kembali dua minggu ini ke tempat kelahirannya. “Selama ini Mama nggak pernah melihat tetangga baru kita itu bersosialisasi dengan warga sekitar. Mereka hampir tak pernah keluar rumah kalau nggak perlu. Kadang ya, Fad…” Fatimah mendekat sang putra untuk mengungkapkan kecurigaan warga. “Kami sering mendengarkan suara ledakan di rumah itu.” “Ledakan?” ulang Fadi, Fatimah manggut-manggut. “Ibu takutnya tetangga kita itu…” Fatimah berbisik di telinga putranya, sementara fokus Fadi tertuju pada motor sport hitam pekat yang baru saja keluar dari rumah itu dan melintas di depannya. Ujung matanya menangkap manik hijau serupa sebelum akhirnya pandangan Fadi berganti pada anak laki-laki berhelm hitam memeluk kucing yang beberapa menit tadi ditabraknya. “Mereka itu terorris!” bisik Fatimah. Fadi tersentak dengan bola mata mendelik seiring memandangi kepergian dua orang itu. “Apa Ibu mendengar?” tanya Gavien pada Gistha yang mengemudikan motornya. “Sampai kapan kita akan dipandang aneh dan dikatain terorris, Bu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN