bc

MISSIONSHIT

book_age18+
2
IKUTI
1K
BACA
police
drama
bxg
detective
city
cheating
like
intro-logo
Uraian

Demi hutang yang menyerupai Gunung Everest dan dikejar para debt collector yang silih berganti berdatangan ke rumahnya, Gistha meminta pekerjaan pada teman lamanya agar bisa memulihkan keadaan ekonominya.

Namun, Antony justru memberikan sebuah misi berbahaya dengan bayaran mahal yang mana misi tersebut mengantarkan Gistha pada Fadi si perwira messum yang secara terang-terangan mengajaknya tidur satu malam untuk memenangkan taruhannya. Akanakah Fadi memanangkan taruhanya?

chap-preview
Pratinjau gratis
30 Aplikasi Pinjol
“Kemarin aku dipanggil kepala sekolah.” Sang ibu langsung menatap dengan tatapan horor namun, yang ditatap sedemikian menakutkan itu malah dengan santai menyantap makan siangnya. “Kamu berkelahi, Gav?” “Nggak,” jawab Gavien pendek. “Lalu?” Gavien mendesah pelan, dia bangun dari tempat duduknya dan pergi ke dalam kamar. Diletakan amplop berwarna coklat diatas meja makan, Gistha langsung mengambil amplop tersebut. “Si Dian udah nanyain uang kas melulu.” Dian bendahara di kelas putranya. Ya Tuhan, semiskin itukah dia sampai tak mampu membayar uang kas putranya. Gistha menarik nafas dengan satu tarikan disela membaca isi surat dari kepala sekolah. “Aku kesel juga sama bu wali kelas yang terus nanyain kenapa aku nggak ikut karyawisata perpisahan sekolah padahal aku udah bilang nggak akan ikut,” keluh Gavien. Ya Tuhan, ekspresinya ketika mengungkapkan itu terlihat santai tidak sedih sama sekali. Dari 35 siswa hanya Gavien yang tidak ikut acara tersebut. Tuhan, kenapa masalah ini putranya harus ikut menderita atas kebodohannya. Bertahun-tahu kesulitan, jungkir balik mencari sesuap nasi. Boro-boro untuk membayar karyawisata perpisahan putranya untuk makan sehari-hari saja Gistha masih bingung. Terhanyut dengan ujian hidupnya yang berat, suara keras serupa teriakan di luar sana seolah menarik paksa Gistha untuk sadar. “Keluar kamu Gistha….” Teriakannya semakin keras, bahkan terdengar suara gebrakan yang menyerupai hendak mendobrak gerbang rumahnya. Gavien melirik ibunya yang menatap pintu utama ruang tamu dengan tatapan kosong. “Saya tahu kamu ada di dalam. Jangan sembunyi terus!” “Tetap disini dan jangan keluar, oke?” Pesan Gistha sebelum pergi menghampiri suara ramai di halaman depan rumahnya. Benar saja, orang-orang sudah berkumpul di halaman rumahnya dan pemicu kerusuhan itu disebabkan oleh dua pria berkulit hitam yang berdiri di depan gerbang rumahnya. “Bapak cari siapa?” “Kamu yang namanya Gistharra Mahendra?” Pria itu bertanya balik, wajahnya sangat menakutkan tapi Gistha tidak takut sama sekali. “Saya sendiri. Ada perlu apa, Pak?” “Saya petugas lapangan dari pinjol silaku,” Gistha sudah menebak. “Saya kesini menagih hutang Ibu Gistharra sebesar 50 juta yang sudah nunggak berbulan-bulan. Bayar via transfer hari ini dan tunjukan bukti pembayaran pada kami!” “Saya belum ada, Pak,” Ia terus terang, jangankan 50 juta, 5 ribu saja Gistha tak ada sisa uang yang tersisa di dompetnya hanya selembar kertas berwarna abu-abu. 2 ribu rupiah. “Halah, alasan terus. Saya ini capek dengerin Bu Gistha mangkir terus bayar hutang,” keluh si pelaku. “Saya lagi usahin,” balas Gistha setenang mungkin. Menghadapi para debt collector memang harus tenang sekalipun—ya wajah cantiknya dibuat setebal mungkin karena yang Gistha hadapi bukan para debt collector saja tapi para tetangganya khususnya ibu-ibu rempong yang siap mencari bahan gossip. “Kalau begitu. Ayo, ikut kami ke kantor polisi,” ujarnya, ekspresi pria itu terlihat geregetan akan sikap Gistha yang nampak santai menanggapi ancaman darinya. Tapi mereka tak pernah tahu dibalik wajah tenangnya, Gistha berusaha mewaraskan diri karena otak dan hatinya terus bergelut dengan pikiran yang semrawut. ‘Gistha lelah, Tuhan,’ Gistha berucap dalam hati, matanya memandangi orang-orang di depan halamannya yang semakin ramai dengan pikiran penuh. ‘Hampir dua tahun ini rasanya aku kayak hidup di kerak neraka. Penuh tekanan, ketakutan, ketidak tenangan, kebingungan dan bahkan kesulitan yang tak pernah ada kunjung habisnya, Tuhan.’ Bolehkah Gistha mengeluh? Tapi dia manusia biasa yang sama seperti banyak orang pada umumnya ketika mendapati musibah. Gistha sudah menutup mata dan telinga akan kata-kata pedas, cacian, makian dari orang-orang yang datang mencarinya begitu juga dengan para tetangga yang sering menggunjingnya. ‘Rezeki Gistha juga rasanya seret banget,’ Itu semenjak masalah ini. ‘Tuhan kali ini doaku sedikit memaksa. Bolehkah Gistha minta uang yang banyak untuk menyelesaikan masalah utang piutang ini? 5 milyar cukup, Tuhan.’ Ada tawa di hati ketika berdoa meminta hal yang mustahil. Namun, dibalik semua itu Gistha sudah lelah terus dikejar-kejar orang. Ya Tuhan, Gistha sudah seperti buronan yang setiap harinya para debt collector silih berdatangan ke rumah—menagih hutang secara brutal. Gistha mendadak terkenal dan itu karena hutang. Mirisnya, kesulitan yang sedang dihadapinya tak ada sanak saudara atau keluarga yang mau membantu kesulitannya. Mereka seolah kompak menjauhinya, menutup mata dan telinga karena malu mempunyai anak atau saudara yang memiliki banyak hutang sepertinya. “Ini rame-rame dimana sih, Ma?” Fadi yang tengah bersiap hendak pergi pun merasa terganggu dengan suara keributan yang entah bersumber dari mana ini, apalagi suara keras itu membawa nama polisi. “Nanti lagi kalau kamu dengar suara ribut kayak gini, abaikan saja.” Fadi melongo disela menatap sang ibu, Fatimah. “Ribut-ribut kayak gini udah biasa juga,” ujar Fatimah dengan santai. Tapi tidak dengan Fadilah Isnandi seorang perwira polisi kebanggan keluarga yang tidak bisa tenang mendengar suara ribut-ribut apalagi abai, itu bukan tipe-nya sama sekali. Apapun yang terjadi di kampungnya, dia tidak bisa pura-pura tidak tahu apalagi diam dan tidak peduli. “Emang ada masalah apa sih sampai suaranya kenceng kayak lagi mau pada demo?” Apalagi matanya menangkap segerombolan ibu-ibu berbondong-bondong berjalan ke gang samping menuju ke belakang rumahnya. “Tetangga kita lagi ada masalah sama debt collector, hampir tiap hari mereka datang dan membuat kegaduhan. Ya kayak gini ramenya,” ujar Fatimah. “Apa ada kontak fisik. Penganiayaan misalnya?” “Kalau nggak salah udah dua kali tetangga kita di serang oleh debt collector. Mereka berkelahi.” Jawaban Fatimah membuat ekspresi pria berusia 37 tahun itu terkejut. “Memangnya nggak ada tetangga kita yang menolong mereka?” Antara kasihan tapi rasa penasaran Fadi semakin besar dengan cerita sang ibu tentang tetangganya. “Halah, orang tetangga kita juga pandai bela diri. Mana ada yang berani memisahkan perkelahian sengit mereka.” Fadi melongo lagi. “Kata ibu-ibu sih, debt collector itu babak belur setiap berkelahi sementara tetangga kita cuman luka gores doang.” Sontak mata Fadi membulat lebar seiring mulutnya membulat berseru kata ‘Wow’ “Jawara dong tetangga kita, Mah,” Itulah julukan yang pantas untuk tetangganya meski hal itu sudah melanggar hukum. Bibir Fatimah tersungging senyuman sinis. “Ya, jawara banyak hutang!” “Tapi kenapa korbannya nggak lapor aja ke kantor polisi kalau mendapatkan perilaku kekerasan dari oknum debt collector?” Fatimah menggendikan bahunya. “Mama nggak tahu dan nggak mau ikut urusan orang. Salah sendiri sih dia pinjem duit sampai banyaknya itu.” Fadi yang hendak pergi pun berbalik badan. “Dia pinjam di 30 aplikasi pinjol dan hutangnya nyaris 5 milyar,” beber Fatimah yang nyaris membuat mata Fadi keluar dari rongganya saking kagetnya. “Kalau Ibu nggak bayar hutang sekarang juga. Saya akan sita rumah ini!” Debt collector terlihat jengkel karena setiap ancaman tidak di gubris. Gistha memutar bola matanya, tak ingin ambil pusing ia pun masuk ke dalam rumah—mengabaikan umpatan dan perkataan kasar. “Besok saya akan bawa orang lebih banyak lagi untuk mengusir anda dari rumah,” seru si pria marah. “Tunggu….” Fadi muncul dari kerumunan para ibu-ibu. “Apa anda punya punya surat kuasa untuk menyita rumah ini?” tanya Fadi mendekat sementara Gistha yang sudah berada di dalam rumah mengintip di balik gorden ketika mendengar suara pria yang terdengar membelanya. “Siapa kamu?” “Saya polisi.” Gistha melotot begitu juga dengan Gavien yang baru saja mendekat memeluk perut Gistha. Bocah tampan itu memandangi sang ibu sedikitnya Gavien tahu kalau ibunya membenci polisi. “Ibu panggil polisi?” Gistha menjawab dengan gelengan. “Lalu siapa orang itu kalo Ibu tidak memanggil polisi?” Dua pria itu menyunggingkan senyuman diiringi tatapan sengit pada pintu bercat kayu, mereka yakin kalau pemilik rumah itu masih ada sana ikut mendengarkan seorang pahlawan kesiangan sedang membelanya. “Jadi sekarang kau manggil polisi ya bajjingan agar bisa terhindar dari kita, hah?” Gistha mencengkeram gagang pintu bersiap, lagi lagi Gavien menahannya untuk tetap tinggal dan menyerahkan masalah ini pada polisi saja. “Please, izinkan Ibu keluar?” “No. Aku tahu endingnya Ibu akan berkelahi dengan mereka. Sudah ada polisi, Bu. Kenapa Ibu tidak menyerahkan semua masalah ini pada polisi? Coba dari dulu Ibu melaporkan orang-orang itu, kita tidak akan seperti ini, Bu.” “Semua itu ada alasanya kenapa Ibu tidak melibatkan polisi.” “Oke, beritahu aku apa alasannya selain Gavien tahu Ibu membenci polisi.” Ya, Gavien ingin tahu alasan sebenarnya selain alasan simple ibunya yang membenci polisi pasti ada sebab lain bukan. “Itu karena, Ibu...”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
28.9K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.1K
bc

TERNODA

read
197.9K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
23.4K
bc

My Secret Little Wife

read
131.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook