Cemas

1785 Kata
Hans: Cemas Btari sudah pintar membuatku kelabakan. Semalam gadis itu tidak pulang, nomor ponselnya tidak aktif dan selalu gagal kuhubungi. Chua bilang, Btari sempat mengiriminya pesan dan mengatakan akan pergi menginap ke rumah salah satu teman kampusnya. Aku memijat kening, mengembuskan napas jengkel sekaligus cemas. Ini pertama kalinya Btari pergi menginap ke rumah temannya. Bahkan aku saja tidak mengenali teman Btari satu pun. Gadis itu hanya menyebutkan nama teman-temannya tanpa mengenalkannya kepadaku secara langsung. Sudah berkali-kali aku menghubungi nomor ponsel Btari, tetapi selalu gagal. Hingga saat ini Btari masih belum bisa dihubungi. Ada apa dengan gadis itu sebenarnya? Apa ada yang salah? Akhir-akhir ini Btari memerlihatkan perubahannya. Walaupun tidak banyak, tapi jelas membuatku semakin cemas dan khawatir. Bagaimana kalau Btari terjerumus ke pergaulan bebas seperti yang ditakutkan orangtua kami? Ayah dan Ibu menitipkan Btari padaku dan Chua, mempercayakan gadis itu kepadaku. Lalu, kalau Btari sudah seperti ini, aku harus menjelaskan kepada Ayah dan Ibu bagaimana? Btari yang cerewet, Btari yang banyak maunya, dan manja tiba-tiba berubah lebih diam. Setiap kali kita berpapasan atau berada di ruangan yang sama dan hanya berdua, gadis itu menghindariku secara terang-terangan. Melengos setiap kali kupandangi seolah dia tidak sudi untuk menatap wajahku. Ingin sekali aku menanyakan apa yang membuatnya berubah. Kalau memang aku melakukan kesalahan padanya, kenapa tidak mengatakannya secara langsung saja? Chua tampak lebih santai. Gadis itu bilang, aku terlalu berlebihan dalam menjaga Btari. Chua mengatakan, "Btari udah gede, Bang. Udah saatnya dia bebas melakukan apa pun selama dia tahu batasan. Mau temenan sama siapa aja, jangan larang Btari. Gue yakin, Btari nggak b**o-b**o banget sampe nggak bisa bedain mana yang baik dan buruk." Aku bisa saja bersikap biasa-biasa saja kalau itu Chua. Kenapa? Chua memiliki karakter yang lebih tegas, tidak gampang dibohongi atau pun dibodohi. Berbeda dengan Btari yang sangat-sangat polos. Apa saja yang aku katakan, Btari akan selalu menurutinya. Dia tipe gadis penurut, dan gampang sekali dibodohi. Itu yang membuatku khawatir. Bagaimana kalau ada cowok yang memiliki niat jahat kepada Btari? Membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak akan sanggup kalau sesuatu terjadi kepada gadis itu. "Lo kalau kayak gini malah bikin orang-orang salahpaham." Chua membuka suaranya lagi, gadis itu sedang siap-siap pergi. "Sadar nggak, sih, Bang? Lo lebih kelihatan kayak pacar yang posesif ketimbang Abang yang lagi khawatirin adeknya." Aku tercenung. Berusaha menelaah kalimat yang Chua lontarkan. Memangnya, benar? Apa aku terlihat seperti pacar posesif sekarang? Ah, tidak. Itu tidak mungkin. Aku hanya mengkhawatirkan gadis itu. Bagaimanapun aku abangnya. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada Btari, Ayah dan Ibu pasti akan menyalahkanku karena tidak becus menjaga anak gadis kesayangan mereka. Jam di dinding menunjukkan pukul satu siang. Semalaman aku tidak bisa tidur dan tidak berhenti menelpon nomor Btari. Aku mendecakkan lidah, mengumpat dengan kata-k********r yang sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Itu semua refleks. Tanpa kusadari aku mengumpat, kemudian terdiam dan merenungkan sesuatu. Sebenarnya, ada apa denganku? Kalau memang Btari hanya menginap di rumah temannya, harusnya aku baik-baik saja. Btari pun juga begitu. Kenapa dengan sengaja menonaktifkan ponselnya kalau gadis itu memang benar baik-baik saja? Aku mengempaskan badan ke atas sofa, jari-jariku yang panjang bergerak, memijat keningku pelan-pelan. Kepalaku nyaris pecah. Bukan hanya karena tidak tidur semalaman untuk menunggu kabar Btari, tetapi juga memikirkan apa yang sedang dilakukan gadis itu sekarang? Diriku cemas, sangat. Apa dia tidak tahu aku sudah seperti orang gila sekarang? Chua baru saja pergi dijemput oleh temannya. Gadis itu mengatakan agar aku tetap tenang dan memunggu Btari sampai pulang. Chua juga mengatakan agar aku tidak memarahi Btari kalau gadis itu kembali. Aku menguap lebar, kedua tanganku bergerak menutupi wajahku yang menunduk dalam. Tanpa harus melihatnya dari pantulan cermin, aku bisa menebak sekarang mataku akan sangat merah karena menahan kantuk sejak semalam. Hampir saja aku memejamkan mata, setelah mendengar ada suara motor di depan rumah, aku buru-buru beranjak dan pergi menuju keluar untuk memastikan bahwa itu adalah Btari. Dan, benar saja, itu memang Btari. Gadis itu menatapku terkejut, bisa kulihat Btari meremas tali tasnya dan menatapku takut-takut. Aku menghela napas lega sekaligus jengkel. Aku lega karena akhirnya Btari pulang. Dan merasa jengkel karena tahu gadis itu pulang diantar oleh seorang cowok. "Masih ingat pulang?" tanyaku, lebih cocok disebut menyindir. Btari tidak menanggapinya. Gadis itu melepas tas selempangnya lalu berjalan melewatiku begitu saja. Ini aneh. Btari tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kalau pun Btari sedang tidak mood, atau ngambek padaku atau kepada Chua, Btari hanya akan diam kurang dari lima belas menit, kemudian kembali seperti semula. "Aku lagi ngomong sama kamu ya, Ri!" aku menyentak sebelah tangan Btari sebelum kaki gadis itu menginjak anak tangga. Btari membalikkan badan, lantas mendorong tanganku menjauh dari lengannya. "Aku mau tidur. Aku capek! Kalau Abang mau nanya-nanya, nanti aja." Aku tidak mau kalah, dan masih menahan lengan Btari hingga gadis itu meringis serta menatapku sengit. "Kalau Ayah sama Ibu tahu kamu sering kelayapan, kamu bisa disuruh pulang ke Surabaya dan pindah kuliah di sana." Btari mendengus, sepasang matanya menatapku tanpa takut. "Bilangin aja sekalian. Aku nggak keberatan kalau disuruh balik ke Surabaya. Lagi pula aku nyesel kenapa harus ngikutin Abang!" Dia sama sekali tidak takut dengan ancamanku, malah balas mengancam dan berhasil membuatku bungkam. Alasanku menyetujui permintaan Btari untuk kuliah di Jakarta dan tinggal bersamaku agar bisa sering melihat gadis itu. Agar aku lebih tenang karena bisa menjaganya secara langsung, tidak perlu mengingatkan dan menasihatinya lewat telepon seperti saat aku bertugas di Semarang. Kalau Btari benar-benar bersedia kembali ke Surabaya, aku harus bagaimana? Apa aku harus membiarkan Btari? Sedangkan aku sudah bersusah payah membujuk Ayah dan Ibu. "Ah!" Btari berseru. "Seharusnya Abang nggak perlu ngasih aku harapan kayak kemaren," kata Btari menatapku sendu. "Kalau memang Abang nggak bisa menerima aku, ya udah. Lebih baik Abang bilang dari awal. Dan lagi, stop mengekang aku buat bergaul sama siapa pun! Aku udah gede, Bang. Aku berhak mau pergi ke mana aja, temenan sama siapa aja." Btari menunjuk-nunjuk dirinya sendiri. "Abang aja bisa pergi sama cewek yang beda-beda. Kenapa aku nggak?" *** "Kenapa, Hans?" Suara lembut Nora membuyarkan lamunanku. Perempuan yang usianya berjarak setahun lebih muda dariku sedang memiringkan kepalanya, dan menatapku penasaran. "Hah? Kenapa, Ra?" tanyaku, bingung. Setelah pertengkaranku dan Btari kemarin, aku tidak bisa melihat gadis itu di meja makan pagi tadi. Saat aku menanyakannya kepada Chua, Btari sudah pergi pagi-pagi sekali dijemput oleh salah satu teman kampusnya. Memangnya dia mau pergi ke mana sepagi itu? Pergi ke kampus? Jangan mengada-ngada. Dosen mana yang akan mengajar jam lima pagi? Suasana hatiku memburuk. Belum berkurang rasa kesalku kepada Btari akibat pertengkaran kami, tapi pagi ini gadis itu menambah rasa jengkel yang berkali-kali lipat. Ketika Chua kembali ke kamarnya, buru-buru aku mengambil ponsel, berniat menelpon Btari dan menyuruhnya untuk kembali ke rumah. Sialan. Aku baru ingat kalau gadis itu memblokir nomorku. "Ada masalah?" Nora memandangiku dari samping. "Nggak ada." Aku menggeleng, menolak memberi jawaban. Nora menyunggingkan senyum kecil. "Nggak biasanya kamu cemberut seharian, Hans." "Lagi nggak mood aja, Ra." Nora menyemburkan tawanya dan memukul bahuku. "Hei, Hanung Brastama! Kamu umur berapa, sih? Pake acara nggak mood segala. Kamu bukan anak remaja lagi yang apa-apa harus bergantung sama mood." Aku berdecak, mengacak rambut hitamku kesal. "Gini, Ra," gumamku, menghentikan langkah di tengah-tengah lorong rumah sakit. Nora ikut berhenti melangkah, perempuan itu memiringkan setengah badannya dan menatapku dengan sepasang mata cokelat beningnya. "Mm, ini bukan soal aku, sih." Nora mengangguk, membiarkanku selesai bercerita. "Jadi, aku punya teman. Dia barusan aja ditembak." "Mati dong?" sela Nora sembari terkekeh. "Dengerin dulu," protesku. Nora menunjukkan kedua jarinya sebagai tanda, oke. "Teman aku lagi bingung menghadapi seorang cewek," kataku, menggaruk ujung kening, kikuk. "Baru aja beberapa hari yang lalu si cewek bilang suka sama temen aku, tapi besoknya malah jalan sama cowok lain. Dia nginep di rumah temannya, tapi pas pulang ke rumah, dia dianter sama cowok lain." "Terus?" "Ya, teman aku bingung dong, Ra. Cewek itu gampang banget bilang suka, tapi gampang juga diajak pergi sama cowok lain." "Hans," panggil Nora. "Ya?" sahutku. Nora mengerutkan dahi, kemudian bergumam. "Ini bukan soal kamu, kan? Teman yang kamu maksud, itu kamu sendiri. Bener?" Seketika aku membeku, bingung harus bereaksi bagaimana ketika Nora menebak ceritaku dengan tepat. Perempuan itu menatapku seraya melipat kedua tangan di depan d**a seolah menunggu jawabanku. Aku harus menjawab bagaimana? *** "Kak Chuaaa!" Btari berlarian menuruni anak tangga sembari memanggil nama Chua dengan suara super nyaring. Aku pura-pura sibuk bermain ponsel di tangan, sedangkan Btari masih saja memanggil Chua, padahal Chua sengaja kusuruh pergi bersama teman-temannya. Untuk Bang Anjas, terima kasih karena sudah membantuku membawa Chua pergi dan membiarkanku berdua di rumah bersama Btari. Btari melewatiku begitu saja tanpa menyapa atau sekadar menanyakan keberadaan Chua. Btari masuk ke dalam dapur, mungkin mengira Kakak perempuannya sedang sibuk membuat makanan untuk makan malam. Tidak lama, Btari keluar dapur sembari meletakkan sebelah tangannya ke pinggang. Dari tempatku duduk, aku bisa mendengar gadis itu mengembuskan napas panjang dan memegangi perutnya. "Kak Chua lagi pergi," sahutku, seolah memberitahu gadis itu. "Pergi ke mana?" tanyanya, terdengar ogah-ogahan. Kututup aplikasi chat di ponsel lalu meletakkannya ke atas pahaku yang dibalut celana panjang berwarna hitam. "Nggak tahu," jawabku, tanpa sadar aku menarik kedua sudut bibirku. "Pokoknya sengaja aku suruh pergi supaya kita bisa ngomong berdua." Btari membeliakkan sepasang matanya. Tubuhnya menegang, jelas sekali kalau gadis itu sedang terkejut. "Mau ngomong apa lagi?!" Btari melangkah mundur menghindariku. Aku beranjak dari sofa lalu mendekati Btari yang kian mundur tanpa menyadari bahwa kakinya hampir menyentuh anak tangga paling bawah. "Aku perlu meluruskan masalah kita berdua." Btari mencebikkan bibirnya. "Masalah kita?" Aku dan Btari berdiri dengan jarak yang kian menipis. Aku bisa saja menarik tangan gadis itu, lalu membawa Btari ke dalam pelukanku. Tapi tidak, aku tidak ingin gadis itu jadi takut padaku. "Ada masalah apa sampai kamu selalu menghindar?" tanyaku kepada Btari. "Nggak ada yang menghindar. Abang aja yang selalu sibuk." Btari mendengus keras. "Kemaren sibuk pergi sama Kak Nora, dua hari lalu pergi ke toko mainan sama cewek baru. Pas aku telepon Abang, dan aku nanya di mana, Abang bohong, Abang bilang masih di kantor. Padahal kenyataannya lagi berduaan sama cewek!" Dahiku berkerut, yang kulakukan diam untuk beberapa saat dan berusaha mengingat siapa yang dimaksud Btari. Cewek baru? Toko mainan? "Hah! Asyik banget bisa gonta-ganti cewek, ya," sindir Btari, menatapku sinis. "Bahkan sampai nggak inget cewek mana yang aku maksud." Lagi-lagi Btari mendengus, kemudian menambahkan. "Enak ya punya wajah ganteng? Makanya sengaja digunain buat menggaet banyak cewek....," Aku benar-benar gemas sekarang. Tidak bisa menahan diri lagi untuk membungkam mulut Btari yang sejak tadi menyindirku. Brukkkkk. "ABANG, IH. SAKIT!" Belum sempat membungkam mulut Btari, aku malah membuatnya jatuh terjungkal menimpa anak tangga karena Btari yang tahu-tahu mundur sampai membuatnya terhuyung ke belakang, dan bodohnya dia malah menarikku hingga membuat sebagian badanku menimpah badannya yang lebih kecil dariku. Bahkan porsi tubuhnya tidak sampai setengah porsi tubuhku. To be continue---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN