Ditengah perjalanan, Kiara selalu mengajak ngobrol Maura. Tentang hal apapun. Kiara pasti akan mencari topik pembicaraan. Baginya hidup tidak boleh hampa.
"Ra," panggil Kiara dengan sedikit berteriak karena suaranya yang balapan dengan angin dijalan.
"Hah?"
"Lu pernah jatuh cinta ngga sama orang?"
"Apaan? Ngga kedengaran Ki." jawab Mauara. Dia memang kurang mendengar pertanyaan Kiara.
Kiara diam sebentar, "Lu pernah jatuh cinta ngga?" teriak Kiara bahkan orang yang lewat disekitar mereka langsung melihat ke arah Kiara. Dan Kiara sendiri tidak memerdulikan orang yang melihat kearahnya.
Tanpa menunggu waktu lama, Maura langsung menjawab, "Belom pernah." Maura menjawab dengan teriakan yang tak kalah kencang.
"Oh."
Mendengar respon temannya itu, Maura hanya menggelengkan kepalanya saja. Tadi dia yang bertanya, dan responnya hanya seperti itu. Maura pribadi memang tidak gampang baperan ketika lawan bicaranya yang seperti itu.
"Kenapa emang?" tanya Maura.
"Gak papa. Pengen tau aja." jawab Kiara.
Setelah itu, Kiara langsung bernyanyi sepanjang jalan dan menjahili siapa saja yang dia temui di jalan. Maura sendiri terheran meliha tipikal orang seperti Kiara. Pasalnya dia tidak pernah mendapatkan teman seperti itu. Lucu saja, menjadi hiburannya.
"Ra, ini kan perumahan yang di gadang-gadang mewah itu ya." spontan Kiara seperti terheran-heran ketika mereka memasuki perumahan yang bisa dibilang bukan kaleng-kaleng.
"Lebay ah. Biasa aja lagi."
"Eh serius anjir. Orang rata-rata yang punya rumah di sini ya, orang pejabat penting gitu. Itu gue liatnya dari Mbah google."
"Ck, Mbah google lu percaya. Musyrik tau." canda Maura supaya Kiara tidak terlalu kaku.
Kiara langsung menoyor kepala temannya itu dari belakang, "Si malih ya. Gue serius."
"Dih, jangan minta seriusin ama gue. Gue masih normal Ki." gurau Maura dia sengaja mengalihkan pembicaraan dengan candaannya.
"Serah Ra serah lu." sungut Kiara.
Maura yang mendapat respon seperti itu langsung tertawa kencang. Lucu wajah Kiara jika sedang mood merajuk.
Akhirnya mereka sampai di depan rumah yang setipe dengan rumah sebelahnya. Tidak terlalu besar, simple dan terlihat minimalis dari depan. Setelah memarkirkan motornya di garasi, dia mengajak Kiara masuk. Temannya itu masih mencerna.
Menurut Kiara, berarti Maura bukan orang dari keluarga kaleng-kaleng. Dalam artian, temannya itu berasal dari keluarga yang berpendidikan. Dia tahu komplek perumahan ini. Ibunya sering menyebut jika perumahan ini di huni dengan orang-orang yang berpendidikan dan juga berkelas. Biayanya pun tidak lah murah.
"Woy, ayo Ki. Bengong aja, kesambet baru tau rasa lu." Maura langsung menggeret Kiara masuk ke dalam rumahnya.
Kan benar perkiraan Kiara. Baru masuk ke dalam pintu saja, sudah berbeda. Pintu di rumahnya tidak sederajat dengan pintu rumah Maura yang keluar masuk menggunakan password. Apa lah daya pintu di rumahnya yang masih menggunakan kunci dan menaruh di bawah keset ketika meninggalkan rumah kosong arau meletakkan di dalam sepatu kunci rumahnya.
"Mau minum apa Ki?" tanya Maura yang sudah masuk ke dalam rumah. Rumahnya memang sepi, tadi bundanya bilang mau main ke rumah temannya.
"Bebas Ra."
Sepeninggalnya Maura ke dalam rumah, Kiara bangkit dari sofa. Dia melihat pajangan foto yang ada di ruang tamu. Baru masuk ke dalam ruang tamunya saja, sudah membuat dirinya nyaman. Fix ini mah, dia akan menjadi tamu tetap di rumah temannya ini.
Maura tidak lama pergi ke dapurnya untuk mengambil minuman, dia sudah kembali dengan nampan di tangannya yang berisikan setoples cookies dan minuman jeruk kemasan.
"Lu dulu kecilnya imut ya Ra. Sekarang mah..."
"Masih imutkan?" Maura memasang wajah yang diimut-imutkan.
"Amit-amit."
Maura tidak merespon apa yang Kiara ucapkan. Dia tidak memasukan ke dalam hati apa yang Kiara ucapkan.
"Minum Ki." tawar Muara seraya menuangkan minuman itu ke dalam gelas.
"Tengkyuu Ra." Kiara langsung menghabiskan minuman di tangannya, "Ah gila. Adem banget tenggorokan gue." ujar Kiara seraya mengelus tenggorokannya yang sudah disirami air jeruk.
"Nih kalo mau lagi tuang aja ya."
"Ra, itu bokap lu ya?" tunjuk Kiara ke arah foto keluarganya yang bersama-sama.
"Iya, kenapa emang?"
"Kok kek gak asing ya. Bentar gue inget-inget dulu."
Maura hanya tertawa saja. Jelas Kiara pernah melihat ayahnya. Orang ayahnya saja sering keluar masuk TV menjadi bintang tamu dokter.
"Weh, itu kan Dokter Tio Herwanto ya? Yang sering gue liat di TV." Kiara mengucapkan seperti dia mendapatkan undian jackpot. Sangat semangat.
Maura menganggukan kepalanya, "Iya. Dia bokap gue."
"Anjir anjir. Gue mimpi apa ya semalem bisa kenal sama lu. Gils sih ini, mujur banget bisa kenal sama anak artis." Kiara mengucapkan itu dengan kalimat yang mendramatisir keadaan.
Sang empu rumah menggelengkan kepalanya saja, "Lebay lu. Bokap gue bukan artis. He's Doctor not actress."
"Iya lah sama aja. Orang tampil di TV."
Maura tidak mengindahkan apa yang Kiara ucapkan. Dia bangun dari duduknya, "Mau ikut gue ke kamar atau mau diem di sini aja?" tawar Maura.
Kiara dengan semangat 45 menjawabnya, "Ikut."
Kiara mengikuti langkah Maura menuju kamarnya. Dia mengira kamar temannya itu ada di lantai atas. Ternyata ada di kamar dekat tangga.
"Gue kira kamar lu di atas Ra." ujar Kiara setelah mereka masuk ke dalam kamar.
Lagi lagi Kiara dibuat takjub dengan kamar Maura. Kamarnya sangat aesthetic baginya. Istilah zaman sekarang, kamar instagramable.
"Tutup Ki mulutnya. Entar lalet masuk aja." canda Maura diiringi dengan tawanya. Siapa yang tidak tertawa, Kiara masih diam di depan kamarnya dengan mulut yang terbuka.
Kiara dengan cepat langsung menutup mulutnya. Dirinya masih terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya. Dia mengira tidak akan pernah mendapatkan teman seperti Maura. Tapi ternyata Allah menjodohkan dirinya untuk berteman dengan Maura. Kiara sendiri percaya, semua yang ada di dunia ini pasti skenario-Nya. Tidak ada istilah kesengajaan baginya, semua dan apapun itu sudah diatur sebaik mungkin.
Seperti jodoh misalnya. Jika memang kita mencintai seseorang, lepaskan jika dia memilih untuk berpisah. Ketika kalian berjodoh, sejauh apapun kalian kelak akan bersatu. Tidak ada yang bisa menghalangi takdir-Nya. Hidup, maut dan rezeki sudah diatur masing-masing. Dan itu semua tidak akan tertukar. Itu semua yang Kiara yakini. Dan itu semua dia dapat dari pembelajaran ketika dirinya mondok di salah satu pondok pesantren modern.
Kiara merasa tidak asing dengan piagam Maura di ujung sana. Piagam yang sama seperti saudaranya yang seorang hafizh qur'an.
"Ra, lu lulusan pondok tahfizh?" tanya Kiara yang sudah berdiri di depan sebuah lemari. Di mana lemari tersebut banyak piagam dan sertifikat yang dipajang.
"Heeh. Kenapa emang Ki?"
"Kita ternyata sama-sama alumni ya." gumam Kiara yang masih didengar Maura.
"Lah lu dari pondok juga?" tanya Maura tidak percaya. Lihat saja tingkah laku Kiara. Bukan bermaksud menjudge seseorang, tapi memang seperti itu yang Maura lihat. Dia mengira Kiara berasal dari sekolah di luar.
"Iya, gue dari modern. Kenapa? Kaget ya tau gue dari pondok?" tanya Kiara dengan nada santai, tidak merasa tersinggung sedikit pun.
Maura hanya menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Bukan lu doang yang kaget. Semua orang yang baru kenal gue juga kaget kalo gue dari pondok."
Lagi lagi Maura menganggukan kepalanya. Dia tidak berani melontarkan perkataan apapun, takut menyinggung Kiara.
"Santai aja kali Ra ngga usah tegang muka lu. Udah biasa banget gue orang terheran-heran sama latar belakang sekolah gue."
"Gini, banyak banget orang yang salah kaprah. Maksudnya gue gini, kebanyakan orang itu bilang anak pesantren itu alim. Ngga berjingkrakan kek gue gitu, terus selalu tingkah lakunya ayu gitu. Menurut gue pribadi sih salah. Ngga semua orang punya karakter begitu. Ya kayak gue gini.
Gue dimasukin pesantren sama orang tua gue itu buat ngubah akhlak gue. Bukannya ngubah kepribadian gue. Ya masa gue yang dulunya pribadi yang ceria, ya begitulah tau-tau selesai mondok jadi kalem terus ngga banyak omong. Aneh menurut gue. Ini menurut opini gue ya, ngga tau orang di luar sana.
Ya gue lulusan pondok juga tau agama. Dan tau mana yang dibolehin agama sama yang ngga dibolehin. Gue tuh ya, paling gedek gitu kalo ada yang ngomong 'LULUSAN PESANTREN KOK GINI' sumpah ya gue pen rukyah rasanya orang yang ngomong begitu. Ya walaupun gue ngga hafizh kek lu, tapi gue hafal kok juz 29-30. Tapi orang tua gue pribadi selalu nguatin gue dan selalu ngasih opini ke gue begini, 'jangan dengerin apa kata orang. Karena kita ngga selamanya bisa nutup mulut orang. Kita cuman punya dua tangan ya kita gunain buat nutup telinga kita dari omongan mereka.'
Dan satu hal lagi Ra, Ibu gue itu selalu bilang, 'Gue wanita kuat. Pasti bisa ngadepinnya' and the last gue bisa ngelewatin itu semua. Hampir semua tetangga atau saudara gue begitu ngomongnya. Soalnya ada sepupu gue yang lulusan pondok tahfiz kek lu. Orangnya alim banget. Tapiii mereka ngga tau, orang yang mereka banggain di keluarga itu bejadnya naudzubillah melebihi dakjal." sungut Kiara di akhir kalimatnya.
"Hush, ngga boleh gitu Ki." tegur Maura.
Kiara hanya menunjukan cengirannya. Dia lega, akhirnya dia bisa mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini dia pendam. Mangkannya jika keluarganya ada acara keluarga, Kiara selalu menghindar. Tidak pernah mau menghadiri. Sampai ayahnya yang langsung turun tangan, menasehati dirinya.
Maura sendiri merasa takjub dengan Kiara. Dia mungkin jika menjadi seperti Kiara belum tentu sanggup menghadapi itu semua.
"Lu keren Ki. Gue salut sama lu. Kalo gue jadi diri lu, belum tentu gue sanggup ngadepinnya." puji Maura. Dia sendiri memang pribadi yang biasa saja tidak terlalu aktif seperti Kiara.
"Paan sih. B aja ah." elak Kiara, dirinya tidak enak nika mendengar sebuah pujian untuk dirinya.
"Serius gue."
Kiara langsung menimpa Muara dengan bantal kecil yang ada di kasur Maura. Sang empu hanya merespon dengan tawanya.
"Eh lu mau makan apaan? Biar gue delivery-in."
"Asekkk makan gratis. Samain aja gue kayak lu."
"Serius nih samain kayak gue? Gue makan beling, lu ikutan makan beling ya." gurau Muara yang lagi lagi hadiahi lemparan bantal oleh Kiara.
"Si anjir ya."
"Gue mau ayam geprek deh. Lu mau geprek biasa apa keju?" tanya Maura yang tatapannya masih ke arah ponselnya.
"Lu apaan?"
"Gue biasa. Ngga demen keju soalnya."
"Samain aja."
"Seriusan? Gak papa kalo lu mau keju." Muara takut, jika Kiara merasa tidak enakan kepadanya.
"Yaudah keju gue. Level 5 ya."
"Okey." Maura langsung memesankan pesanananya.
"Siipp lagi dibuat ama penjualnya."
"Ki, jadi sahabat gue mau ngga?" pinta Maura yang langsung membuat Kiara bangun dari tidurnya.
Kiara mengerjapkan matanya, mencerna apa yang diminta Maura.
"Lu yakin mau sahabatan ama gue?" tanya Kiara.
"Iya lah. Gue ngga ada orang deket Ki, asal lu tau yaa gue tuh kalo nongkrong di kafe pasti ngajaknya Bunda. Soalnya dulu, gue pernah punya temen deket. Ex sahabat lah gue bilangnya." Maura belum menyelesaikan perkataannya, Kiara sudah memotong.
"Ngga ada sahabatan yang namanya ex-ex an gitu."
"Dengerin dulu. Jadi gini, dulu dia itu sering banget manfaatin gue. Bukan apa-apa ya, gue mah ikhlas aja. Tapi di saat gue lagi terpuruk banget nih waktu usaha gue lagi down banget waktu gue minta waktunya dikit aja dia selalu bilang sibuk lah ini lah itu lah. Banyakkk banget alesannya. Sampe gue di nasehatin Ayah gue, temen kayak gitu ngga baik. Itu temen toxic namanya. Ada pas lagi enaknya doang. Pas lagi susah ghosting kek hantu.
Jadi mulai dari situ gue ngejauh dari dia. Pas dia lagi butuh gue nih ya, ya gue begituin balik. Bukan bermaksud bales dendam tapi gue memutus pertemanan toxic. Tapi gue ngga mutus tali silaturahmi, kita tetep profesional di saat kita berdua dapet kepanitiaan yang bagiannya bareng. Lebih tepatnya gue sih yang berusaha deketin dia. Dianya mah sok ngga kenal gue.
And then, mulai dari sana juga gue kalo berteman ngga terlalu gue ituin banget. Ngerti kan maksud gue?"
Kiara menjawab dengan anggukan.
"Gue pribadi ngga milih-milih temen juga. Semua temen gue. Maksudnya untuk temen deket kek sahabat gitu. Inget loh, sahabat sama temen itu berbeda. Tau kan lu bedanya? Atau mau gue jelasin juga?"
"Iya paham gue Ra." jawab Kiara dengan muka masih menatap Maura, menantikan apa yang mau diucapkannya.
"Gue berharap lu mau jadi sahabat gue." pinta Maura seraya memasang wajah melasnya.
"Hhmm gimana ya?" Kiara berujar sambil berpura-pura memikirkan sesuatu.
Maura menyentil dahi temannya itu. Mendengar bel rumahnya berbunyi, dia bangkit dari duduknya. Sepertinya itu pesanan mereka.
"Ini diaaa pesanannya." ujar Maura dengan kantong kresek di tangannya.
"Waw..." Kiara langsung menyerahkan selembar uang berwarna biru.
"Apann nih?" tanya Maura seraya mengernyitkan dahinya.
"Ini duit gue beli geprek oncom. Gue ngga mau gratisan, tolonggg terima duit hamba yang mulia." ujar Kiara sambil memperagakan seolah-olah dia memberikan sesuatu kepada atasan di kerajaan.
Bukannya menerima uang itu, Maura melangkahkan kakinya keluar kamar. Untuk mengambil minum di kulkas. Kiara langsung menata makanan mereka.
"Ra ini duitnya." Kiara tidak mau dianggap memanfaatkan Maura. Dia mau berteman dengan tulus. Dan dia mau Maura menjadi sahabatnya seperti apa yang Maura ucapkan tadi.
"Sekali tidak tetap tidak." tolak Muara, "Udah ih makan. Entar keburu dingin."
Kiara memasukan kembali uangnya ke dalam tas dan melakukan apa yang Maura kerjakan juga. Semoga mereka bisa bersahabat dan menerima sifat satu sama lain. Wajar jika dalam persahabatan itu bertengkar, karena itu menjadi bumbu tersendiri agar persahabatan mereka kelak abadi sampai jannah-Nya.