♡Bagian 5♡

2204 Kata
"Pagi Yah Bun," sapa Maura ketika keluar dari kamarnya. "Pagi sayang. Ada kuliah pagi Kak?" tanya Bundanya yangs sedang mengoleskan roti untuk sarapan anak-anaknya. Bunda Tia tidak sempat membuatkan nasi goreng, dirinya kesiangan bangun. Maura mengambil jatah rotinya yang sudah diolesi selai oleh bundanya. "Iya Bun." "Morning everybody." suara cempreng nan membahan seketika terdengar di gendang telinganya. Maura langsung menutup telinganya. "Berisik Dek." protes Maura merasa kesal dengan sapaan adiknya itu. Yang diprotes tidak merasa kesal sama sekali. Sudah biasa kakanya itu selalu memprotes ketika dia mengeluarkan suara emasnya. "Pagi Yah," Cup, "Pagi Bun," Cup, "Pagi Kak." Maura langsung menutupi kedua pipinya. Dia paling tidak suka yang namanya di cium pipi. "Ish, kenapa sih lu ngehindar mulu Kak tiap mau gue cium." dumel Dea yang sudah duduk disamping Maura. "Gue ngga suka." jawab Maura dengan raut datarnya. Dea sudah paham sebenarnya jika kakaknya itu alergi dengan yang namanya cium pipi. Tapi dirinya senang menggoda Maura. "De," panggil ayah Tio. Merasa namanya terpanggil, Dea langsung menatap ayahnya. "Motor kamu gimana kabar?" tanya ayah Tio. "Ya gitu Yah. Belom selesai katanya kang bengkel." jawab Dea diiringi dnegan cengirannya. "Mangkannya kalo bawa motor pake perasaan. Motor kan juga paham tau gimana si pengemudi." ledek Maura yang langsung membuat Dea diam seribu bahasa. "Udah ah jangan ribut. Kamu naik apa De?" tanya bunda Tia melerai kedua anaknya. Jika diteruskan akan panjang permasalahannya. Dea menggelengkan kepalanya, "Ngga tau Bun." "Ama gue aja." ajak Maura, pagi ini dia tidak terlalu terburu-buru seperti kemarin. Masih ada waktu dua jam lagi, jadi dia bisa mengantarkan Dea dulu. "Nah bagus itu. Yaudah Ayah berangkat dulu ya, mau ada rapat sama dewan rumah sakit." pamit ayah Tio. Maura dan Dea bergantian menyalimi punggung tangan ayahnya. Bunda Tia mengantarkan suaminya itu sampai depan rumah. "Udah selesai belom lu?" tanya Maura yang sudah bangun dari kursinya. Dea langsung meminum susunya. Roti di tangannya tinggal setengah lagi sebagian ada di mulutnya yang sedang dia kunyah. "Yuk Kak." Dea ikut bangkit dari kursinya. Dia tidak mau ditinggalkan oleh kakaknya. "Bun, Ara berangkat ya." pamit Maura seraya mencium punggung tangan bunda Tia. Beliau masih duduk di bangku teras rumah. "Hati-hati Ra. Kamu bawa mobil atau motor?" "Motor aja Bun." "Bun, Dea berangkat dulu." giliran adiknya yang pamit. Maura yang sudah selesai mengenakan flat shoesnya bangkit menuju garasi. Mengeluarkan motor matic kesayangannya. Dea sudah duduk manis dibelakangnya. Maura membunyikan klakson tanda pamit dengan bundanya. Dirinya sudah lengkap mengenakan helm dan juga tidak lupa maskernya. Jadi dia hanya bisa pamitan dengan membunyikan klakson. "Lu pulang naek apa nanti?" tanya Maura dengan sedikit berteriak. "Hah? Apa Kak?" Dea tidak terlalu mendengar apa yang kakaknya ucapkan. "Ck, lu balik naek apa?" ulang Maura dengan suara yang lebih keras. "Oh, naek angkot." Maura menganggukan kepalanya. Dia dan Dea memang di biasakan hidup sederhana. Bahkan tidak jarang, dia atau Dea bepergian menggunakan angkot. Padahal fasilitas lengkap di rumahnya. Ayah Tio memang mendidik kedua putrinya dengan kesederhanaan. Mengajarkan bahwa apa yang mereka miliki saat ini hanyalah titipan Tuhan. Tidak selamanya mereka akan memiliki semua ini. Jadi baik dirinya, Dea atau pun bundanya tidak masalah jika harus menggunakan kendaraan umum atau berbelanja di pasar yang becek-becekan. Motor yang Maura kendarai sudah sampai di depan sekolah Dea. "Thanks ya Kak. Tiati lu di jalan, jangan kek pembalap bawa motornya." Maura mencibir apa yang adiknya katakan, "Yee emang gue elu. Sorry gue masih sayang ama motor dan nyawa." Dea tertawa mendengar apa yang kakaknya ucapkan. Maura menyipitkan matanya ketika melihat lelaki yang tidak asing di matanya. Yang sering dia lihat di kampus. "De, lu kenal ama anak itu?" tanya Maura seraya memberi kode kepada adiknya itu. Dea ikut menatap arahan kakaknya. "Oh itu, dia mah anak SD di sekolah aku Kak." "Tapi kamu kenal?" tanya Maura. Dia tahu, jika sekolah adiknya itu tidak hanya ada sekolah menengah. Melainkan dari sekolah dasar ada di sana. "Tau. Dia se-exstrak sama aku. Padus." jawab Dea dengan santai. Jawaban yang adiknya ucapkan itu langsung membuat Maura membulatkan matanya. "Padus? Paduan Suara?" tanya Maura tidak yakin. Dea menganggukan kepalanya, "Ish ngga percayaan banget sih." dumel Dea. Maura tersenyum, dia akui jika adiknya ini memang memiliki suara yang lebih baik dari dirinya. Tapi Maura tidak mau mengakui itu, takut jika Dea akan ke ge-eran jika dia memuji. "Yaudah, gue jalan dulu ya. Bye," "Bye Kak. Hati-hati." teriak Dea. Maura yang sudah melajukan motornya hanya menjawab dengan mengacungkan jempolnya. Ketika dirinya melewati halte bus, dia melihat perempuan yang tidak asing di pandangannya. "Kia?" panggil Maura yang sudah memberhentikan motornya di depan Kiara. Kiara kaget melihat Maura ada dihadapannya, "Lah Ra? Sejak kapan rumah lu daerah sini?" tanya Kiara. Masalahnya lingkungan rumahnya ini sangat jauh jika disandingkan dengan rumah Maura. "Gue abis nganterin Adek gue. Tuh sekolahnya." jawab Maura seraya menunjuk sekolah adiknya dengan dagunya. "Oalah, Adek lu anak situ?" "Heeh. Motor lu mana?" tanya Maura. Setaunya, Kiara pernah berkata jika ke kampus menggunakan motor. Kemarin waktu pertama masuk kuliah, motornya sedang dipakai oleh bapaknya. "Ada. Lagi pengen naek bus aja." "Ayo naek. Ama gue aja." tawar Maura. Awalnya Kiara menolak, tapi setelah bujuk-membujuk Kiara mau pergi bersamanya menuju kampus. Selama perjalanan hening. Kiara tidak membuka suara sama sekali. Ada beban di kepalanya. Maura merasa aneh sebanarnya, tapi dia membiarkan saja. Setelah mereka sampai di kampus, Maura menawarkan sesuatu ke Kiara. "Ki, ikut gue yuk." ajak Maura tidak menyebutkan tujuannya. "Ke mana Ra?" tanya Kiara. Maura langsung menarik pergelangan tangan Kiara, "Udah ikut aja. Baik kok ini, buka buruk yang mau gue ajak." Kiara hanya pasrah mau dibawa ke mana oleh Maura. Ternyata Maura membawanya ke mushola kampus. Kiara mengernyitkan dahinya bingung, "Mau ngapain Ra?" setaunya ini belum memasuki waktu solat. Lalu kenapa Maura membawanya kemari. "Dhuha yuk." ajak Maura yang sudah selesai melepas kaos kakinya. Dia tadi memperhatikan wajah Kiara dari spion. Dan itu semua terlihat jelas, jika Kiara memiliki masalah. Hanya satu cara memecahkan masalah bagi Maura, mendekatkan diri kepada sang pencipta. Kiara diam ditempat. Dia tahu sebenarnya solat dhuha. Bahkan dulu sewaktu di pondok dia sering mengamalkannya. Tapi semenjak di rumah ada saja hawa malas yang menyelingkupinya. "Ayo wey." ajak Maura yang masih melihat Kiara diam di tempat. Kiara akhirnya masuk ke dalam mushola dan mengambil wudhu. Setelah mengambil wudhu, dia berjalan menuju tempat solat. Ternyata Maura belum memulai solatnya. "Kok belom mulai?" tanya Kiara bingung. Maura tersenyum dulu sebelum menjawab, "Nungguin lu." Kiara hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dan mereka memulai solat sunnah dhuha. Solat yang bisa melancarkan rezeki seseorang, membuka pintu yang tertutup di langit. Pintu rezeki, pintu sehat dan segala macam yang ada di langit sana. Setelah selesai menangis, tangis Kiara pecah. Dia tidak sanggup menanggung beban ini. Maura yang sudah selesai melipat mukenanya melihat ke arah Kiara yang sedang menangis tersedu-sedu di hadapan Sang Illahi. Maura yakin, Kiara pasti memiliki masalah yang tidak bisa dia tangani. Tapi Maura yakin, sangat yakin. Bahwasannya ketika Allah memberikan kita suatu cobaan, pasti tidak melebihi kemampuannya. Cobaannya setiap orang memang berbeda, karena kemampuan setiap orang juga berbeda. Belum tentu cobaan yang Kiara hadapi mampu dia jalankan dan begitu sebaliknya. Maura melihat Kiara sudah selesai mengadu kepada sang pencipta. Matanya terlihat sembab, tapi tidak masalah yang penting dia sudah lega. Setidaknya hatinya tidak seperti tadi pagi. "Gimana? Lega?" tanya Maura yang sudah duduk sambil mengenakan flatshoesnya. "Alhamdulillah. Makasih ya Ra, lega gue." Maura bisa melihat kelegaan di bola mata Kiara. "Alhamdulillah, syukur lah kalo begitu." Maura menunggu Kiara selesai mengenakan sepatunya. Berbeda dengan Maura, Kiara memiliki sifat yang sedikit tomboy. Walaupun Maura tidak terlalu girly tapi dia masih menggunakan flatshoes untuk kuliah. Itupun dorongan dari bundanya. "Yuk Ra." ajak Kiara yang sudah selesai mengenakan sneakersnya. Muara bangkit dari kursi panjang di depan mushala. Dia berjalan disamping Kiara, merangkul bahu Kiara. "Apapun masalah yang lu hadepin, pasti ada jalan keluarnya. Seberapa besar masalah lu, lu masih punya Allah ya g lebih besar dari apapun." ujar Maura menyampaikan apa yang biasanya ayahnya selalu sampaikan ketika dirinya sedang dilanda masalah. "Huhuhu, terharu gue. Thanks ya Ra." Kiara sangat bersyukur dipertemukan dengan Maura. Bisa memberi dampak positif bagi dirinya. Ketika mereka sampai di depan lift, Maura langsung mengejak Kiara menuju kamar mandi. "Ngaca dulu deh Ki. Itu muka lu keliatan banget abis nangis. Bentar," Maura mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Nih," Maura menyerahkan peralatan make upnya. "Gila lu, semua alat make up lu bawa ya." canda Kiara yang langsung diprotes Maura. "Anjir, ya kali. Ini cuman lipcream ama BB cushion aja kok." elak Maura. "Bagi ya," Kiara memang tidak pernah yang namanya membawa alat make up ke kampus. "Ra, menurut lu ya kalo kedua orang tua lu nyuruh lu milih antara mereka, bakalan siapa yang lu pilih?" tanya Kiara ketika mereka sudah keluar dari kamar mandi dan sedang menunggu lift yang terbuka. "Maksud lu, di suruh milih antara Ibu atau Bapak gitu?" Kiara menjawab dengan anggukan kepalanya. "Wah, itu sulit sih Ki menurut gue. Bagi gue pribadi ya keduanya penting. Tapi di satu sisi, lu harus liat dari segi pandangan lu sendiri. Mungkin ada yang disuruh milih, dia bakalan milih Bapak. Kenapa? Yang pertama mungkin dia emang lebih deket ke Bapaknya yang kedua Ibunya ngga terlalu ngurus dia. Ada juga yang milih Ibu, bagi dia Ibu itu penting. Tanpa adanya Ibu, anak itu ngga akan bisa melihat indahnya dunia. Semua balik lagi ke masing-masing orang Ki." jelas Maura panjang lebar. "Oh gitu ya Ra. Thanks ya Ra pencerahannya." ujar Kiara tulus. "Sama-sama. Gue siap kok kalo lu butuh temen cerita." "Siapp lah.". Lift dihadapan mereka terbuka, kosong. Tidak ada siapapun di dalamnya. "Tumbenan ini kosong." ujar Kiara dengan suara pelannya. "Pada naek tangga kali." gurau Maura. Mereka tertawa bersama. Masalahnya lift yang biasanya di pagi hari tidak pernah sepi, sekarang sangat lah sepi. Ketika mereka memasuki kelas, hanya ada satu manusia. Laki-laki, Maura atau pun Kiara tidak mengenalnya. Keduanya memutuskan untuk duduk di tengah-tengah saja. Tidak terlalu depan atau pun tidak terlalu belakang. "Hay," sapa laki-laki itu. Kiara merasa disapa langsung melihat ke arahnya, "Oh hay." sapa balik Kiara. Tidak dengan Maura yang masih asik dengan ponselnya. "Yogi." orang itu mengulurkan tangannya. Kiara membalas uluran tangan itu, "Kiara, ini Maura." Kiara menyenggol pundak Maura. "Paan sih Ki." omel Maura merasa terganggu dengan senggolan Kiara. Masalahnya dia sedang asik menyirami kebun tanamannya di game kesayangannya. "Ra," panggil Kiara. Kali ini Maura mendongakan kepalanya. Dia melihat laki-laki yang tadi dilihatnya mengulurkan tangan ke arahnya. Maura membalas uluran tangan itu, hanya sebentar dan menyebutkan namanya. Maura jika baru pertama kali kenal dengan spesies laki-laki memang seperti itu. Hanya berhati-hati. Tidak lama kemudian satu persatu teman di kelasnya datang. Dan kursi pun mulai penuh dengan teman-temannya. Dan sang dosen pun masuk ke dalam kelas. Kelas yang tadinya ribut hening seketika. "Selamat pagi semua." "Pagi Bu," jawab serentak penghuni kelas dengan semangat. "Udah ada yang tahu Ibu siapa?" "Belom Bu," celetuk salah satu mahasiswa. "Wah belum ya. Baik Ibu akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak," "Cinta Bu." Bu dosen itu hanya menggelengkan kepalanya saja. Sudah biasa baginya mendapatkan mahasiswa yang menyeleneh seperti itu. "Sayang dulu dong baru cinta." gurau dosen tersebut. Sontak satu kelas tertawa mendengar candaan receh dari dosen itu. Mereka menyimpulkan, sepertinya dosen yang ada di depan mereka tipikal dosen yang menyenangkan. "Oke baik, nama Ibu Sundari. Biasa dipanggil Bu Sun. Ibu tinggal di Kebon Jeruk. Ada lagi yang ingin ditanyakan?" "Single apa taken Bu?" celetuk satu mahasiswa yang langsung mendapatkan surakan satu kelas. Bu Sun tersenyum, "Alhamdulillah udah taken anak satu." Seketika semua laki-laki yang ada di kelas bersorak kecewa. Sedangkan yang perempuan hanya menggelengkan kepalanya saja. Memang jika dilihat, dosen yang ada di depan mereka ini terlihat seperti orang yang masih melajang. Tidak heran jika para mahasiswa menanyakan statusnya. "Oke ada lagi?" "Nomor WA Bu," "Etss, nomor WA Ibu tidak untuk umum." ujar bu Sun diiringi dengan tawanya, "Nanti siapa yang jadi PJ mata kuliah Ibu, bisa langsung ke ruangan Ibu aja ya." "Baik Bu," "Langsung saya bacain RPS aja ya di semester ini." Bu Sun mulai membacakan susuna RPS yang ada di bagian absensi mahasiswa. "Oh iya Ibu lupa, belum absen ya kalian?" "Belom Bu," "Dira Nafisah?" "Hadir Bu," "Ika Muslikha?" "Hadir Bu," "Maura Majidah Alfalimbani?" "Hadir Bu," Maura mengacungkan tangannya. Bu Sun tidak langsung melewati namanya setelah mendengar dirinya hadir. "Alfalimbani? Kamu anaknya Tio Herwanto ya?" tanya bu Sun. Maura tersenyum, "Iya Bu." jawabnya pelan. Dia tidak mau kebanyakan orang tahu tentang dari mana dia berasal. "Wahh kebetulan. Beliau temen lama saya, salamin nanti ya ke Ayah kamu." "Iya Bu." Bu Sun melanjutkan membaca absen. Berbeda dengan Maura yang diam saja. Dia belum siap jika warga kampus mengetahui tentang identitasnya. "Ciiee bakaln terkenal nih ye." ledek Kiara yang dari tadi memperhatikan raut sebal Maura. "Apaan sih." Kiara tahu, jika Maura tidak suka tenar. Maura sendiri yang mengatakannya. Maura jarang menyebutkan nama panjangnya ketika sedang berkenalan dengan orang. Hanya dua suku namanya yang dia sebutkan. Tapi absensi kelas tidak bisa dibohongi. "Ki, entar temenin gue yuk." ajak Maura dengan suara berbisik. "Ke mana?" jawab Kiara juga dengan berbisik. "Ke administrasi." Kiara kaget mendengar permintaan Maura, "Ngapain woy?" "Ngubah nama gue di absen." Kiara menahan semburan tawanya. Mana bisa mengubah nama di absen? Aneh-aneh saja Maura ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN