Two Ways

1071 Kata
Perlahan kota menghilang di belakang mereka dan entah berapa banyak kopi permen yang dimakan Bahlawan dan sang sopir. Sedangkan sang anggota puskesmas di belakang tidur di atas ranjang ambulance nyaris sepanjang perjalanan. Bahlawan dan sang sopir tidak bisa menyalahkannya karena pria itu sudah begadang sepanjang malam untuk menjaga pasien mereka. “Apa kita akan singgah untuk makan siang?” tanya Bahlawan sambil mengecek arlojinya. “Tidak. Tapi kita akan berhenti sejenak di pom bensin sekitar lima puluh kilo lagi. Pastikan urusan toilet kalian selesai di sana. Aku ingin sampai rumah sebelum gelap.” Bahlawan masih memandangi pria itu tajam. “Jangan menatapku seperti itu. Perkiraan cuaca berkata malam ini akan hujan. Dan kau tahu betapa bahayanya perjalanan pulang ketika hujan.” Bahlawan mengerang pelan. Ia tidak bisa m embantah itu. Karena tanda-tandanya sudah tampak di langit yang memang mulai menggelap. Kilat terlihat di kejauhan membuat Bahlawan berjengit. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sang ibu menelepon dan Bahlawan mengutuk diri dalam hati karena ia lupa mengabari ibunya di rumah “Iya, Ibu,” katanya setelah mengucapkan salam. “Ada masalah, kah? Ibu dengar ada kecelakaan di tambang...” Bahlawan langsung memijat puncak hidungnya. “Iya, Ibu. Ada kecelakaan di tambang.” “Astaga! Jadi di mana kamu sekarang ini?” “Sekarang di mana?” Bahlawan mengedarkan pandangan terlalu lama sambil terus menggumam. Sang sopir akhirnya membantunya menjawab. Dan Bahlawan mengulang nama daerah itu lagi. “Kalian ke kota?! Apa kau....” Bahlawan dengan segera menggumam mengiyakan cepat dengan apapun yang dipikirkan oleh ibunya sekarang. Dan saat itu juga sambungan telepon mereka ditutup. “Ibuku adalah pembawa berita. Tidak butuh waktu lama sebelum semuanya tersebar.” Bahlawan menarik napas panjang. “Apalagi dengan anaknya adalah seorang polisi.” Sang sopir menanggapi dengan senyum terkulum. Bahlawan menutup wajahnya dengan kedua tangan sekarang. “Dan aku tidak bisa tidak menutup mulut.” “Anak baik.” Sang sopir lagi. “Tidak banyak polisi yang seperti dirimu. Pertahankan.” Bahlawan merasakan wajahnya semakin panas dan ia bersyukur sang sopir ambulance tidak mengatakan apapun lagi selama sisa perjalanan mereka sampai di pom bensin terdekat. Bahlawan memunguti sampah bekas makanan di lantai mobil sebelum keluar mobil berhenti untuk ikut menganteri bersama pengandara yang lain. Walau cuaca mendung, cuaca kota ini selalu panas menusuk kulit. Penyebabnya apa kalau bukan kumppulan tambang batu bara, kilang minyak, dan kebun kelapa sawit. Kita selalu mengeluh akan keserakahan manusia, namun tidak bisa dipungkiri banyak manusia yang mendapatkan penghasilan dari ketiganya saat ini. Walau dalam beberapa tahun ke depan mungkin tidak akan ada cukup oksigen untuk seluruh paru-paru yang ada di pulau ini. Bahlawan berjalan ke arah tempat sampah terdekat yang ternyata diletakkan di depan sebuah mini market yang bersebelahan dengan toilet umum. Perjalanan mereka sekitar tiga jam lagi dan Bahlawan langsung masuk ke toilet dan ketika ia selesai. Ia nyaris menabrak sang anggota puskesmas dengan mata yang masih setengah terpejam dan rambut yang acak-acakan. “Cepat. Katanya gantian.” Setelah itu Bahlawan mendengar suara pintu dibanting di belakangnya. Bahlawan sekarang berbelok ke mini market. Membeli beberapa botol kopi kemasan, sebungkus keripik kentang, dan beberapa bungkus roti. Setelah Bahlawan melihatnya sarapan tadi pagi ia mendapati sang anggota puskesmas itu memiliki nafsu makan yang besar dan tampaknya akan memakan sebagian besar belanjaannya itu. “Kenapa jajan banyak sekali? Apa kita tidak akan makan siang sama sekali?” Ia keluar dari mini market bersamaan dengan sang anggota puskesmas keluar dari toilet umum Bahlawan menggeleng. Si anggota puskesmas itu meringis lalu mendongak dengan kedua tangan di pinggang. “Ingin marah rasanya, tapi melihat langit seperti ini. Aku rasa kita berdua tidak bisa mengeluh.” Bahlawan setuju. Sekarang sama-sama mereka menyeberangi jalan menuju tempat ambulance terparkir itu. “Mari berharap Ruiz cepat-cepat menyelesaikan mengaspal jalan-jalan yang mereka janjikan akan mereka aspal itu.” Si anggota puskesmas ketika Bahlawan membuka pintu penumpang di sebelah ambulance. “Ya, tapi sekarang tidak.” Sang sopir menepuk pundak Bahlawan kemudian berlari menuju toilet umum. Ketika keduanya sudah berada di dalam mobil dan plastik belanjaan sudah berpindah tangan. Bahlawan tidak jadi menyuap rotinya ketika ia mendengar si anggota puskesmas berkata, “Kepalanya terbentur cukup keras. Pria yang kita bawa itu. Aku rasa itulah alasan kenapa kita diminta untuk membawanya ke ibukota provinsi. Rumah sakit umum biasa tidak punya alat-alat yang dibutuhkan untuk merawatnya.” “Tentu saja. Aku juga hanya bisa menunggunya di luar hingga dia dipindahkan ke ICU.” Kemudian tiba-tiba Bahlawan berseru kencang. “Kopolres! Aku bertemu dengan Kapolres tadi.” Si anggota puskesmas itu mengerjap. “Apa?!” Sekarang Bahlawan mengerutkan dahinya. “Kenapa beliau bisa berada di sana?” Mereka saling tatap sejenak sebelum pintu mobil ambulance mereka terbuka tiba-tiba membuat keduanya berjengit sambil berseru keras. Sang sopir kembali dan tampak segar dengan rambutnya yang basah. Menatap keduanya dengan raut penasaran sebelum menyeringai “Apa yang kalian gosipkan tadi?” tanya setelah duduk di kursinya dan berbalik ke belakang untuk merogoh kantung belanjaan yang sedang dipangku itu. “Pak polisi itu tadi berkata kalau ia bertemu dengan Kapolres di rumah sakit.” Bahkan sang sopir berhenti dari kegiatannya membuka bungkus roti setelah mendengar itu. Menatap Bahlawan dengan melotot sekarang. “Ya dan dia tahu namaku.” Si sopir itu tampak terganggu sekarang. “Apa kau tahu bagaimana keadaan pria yang kita antar itu sebelum meninggalkan rumah sakit tadi?” Bahlawan menggeleng. “Mereka mengusirku, lebih tepatnya.” Sang sopir menghela napas kasar. “Aku sama sekali tidak ingin terlibat lebih dari ini.” “Tapi ini jelas seru!” Kedua pria yang duduk di baris depan mobil ambulance itu berbalik ke arah anggota puskesmas yang tengah menegak kopi kemasan itu. “Apa? Memang bukannya kita dilahirkan untuk banyak bergosip?” Bahlawan mendengus geli. Sedangkan si sopir ambulance memilih diam. Sang sopir langsung menghidupkan mesin bersamaan dengan suara guntur yang menggelegar. Tanpa kata mereka meninggalkan area pom bensin dengan Bahlawan yang kepalanya penuh dengan banyak spekulasi. “Ruiz Tbk. Aneh juga rasanya mereka bisa berdiri selama ini tanpa terjadi insiden yang berarti. Bukannya sudah seharusnya ada sedikit drama sekarang?” Bahlan menyeringai, namun tidak berniat untuk menanggapi. Tapi tidak dengan sang sopir yang terdengar sangat serius sekarang. “Drama dengan nyawa seseorang sebagai imbasnya?” Jawabannya terdengar saat itu juga. “Berapa banyak kisah yang diceritakan setelah seseorang terluka sebelumnya? Kebetulan tidak terjadi tiba-tiba.” Sang sopir hanya mendengus sebagai tanggapan. Setelah itu mereka melewati perjalanan dengan banyak diam. Bahlawan juga sangat sibuk dengan semua hal yang terjadi saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN