Bahkan di pagi buta seperti ini rumah sakit umum daerah itu sudah sangat sibuk. Banyak orang yang berlalu-lalang dengan urusan mereka. Lengkap dengan ekspresi yang beragam. Suara langkah kaki dan dengung percakapan terdengar. Namun sama sekali tidak mengganggu tidur seorang pria muda yang kapalanya terkulai ke samping dengan kedua lengan terlipat di d**a. Rambutnya terpangkas cepak dan ada lingkaran gelap hitam di bawah matanya.
Bahlawan Nugraha tertidur di sana sudah entah sejak berapa lama. Melihat dari posisi tidurnya yang sangat tidak nyaman. Sudah jelas ia akan terbangun dengan sakit leher dan pangkal tenggorokan yang sakit akibat mendengkur.
Tiba-tiba seseorang menepuk-nepuk pundak Bahlwan hingga membuatnya terlonjak bangun dan memberi hormat sudah seperti kebiasaannya. “Siap, Komandan!” Tubuhnya limbung dan untungnya ia mampu meraih bagian atas punggung kursi sebelum sempat mempermalukan diri.
“Bahlawan, betul?” Suara seseorang pria lembut sekali. Ada jejak geli dalam suranya ketika mereka saling tatap sekarang.
“Siap, betul! Komandan!” Bahlawan akhirnya mengenali siapa pria itu. Itu Sang Kapolres. Berdiri dengan aura wibawa yang membuat Bahlawan mengalihkan pandangannya dari menatap Sang Kapolres tepat di mata.
“Kau terlihat lelah sekali.” Sang Kapolres meremas lengan atasnya lembut lalu menepuk-nepuknya. Perlakuan itu membuat Bahlawan terperanjat dan melenyapkan kantuknya saat itu juga.
Untungnya Bahlawan tidak perlu menjawab. “Pulanglah dulu sebelum kembali ke kantor dan melapor kepada Kapolsekta-mu, oke? Kau sudah bekerja keras hari ini.”
Bahlawan mengerjap, namun ia sekali lagi memberi hormat. Sebelum sempat ia membuka mulut Sang Kapolres sudah menempelkan jari telunjuk di bibir. Bahlawan mengangguk mengerti.
Suaranya tadi menggema di lorong rumah sakit di pagi buta itu.
Sang Kapolres dengan seorang pria yang tidak dikenalnya itu lalu masuk ke pintu yang tadi ia jaga...
Bahlawan akhirnya bisa menarik napas lega.
Ia lalu mengedarkan pandangan dan ketika ia merasa tersesat ia bertanya kepada seorang perawat di mana ia bisa menemukan kantin rumah sakit atau apapun tempat yang menyuguhkan secangkir kopi panas agar bisa membuat matanya terbuka.
Entah apa yang ada di wajahnya sehingga si perawat wanita itu berkata, “Kalau abang mau yang murah ada warkop enak di seberang rumah sakit.”
Bahlawan terpana memandangi perawat itu. Ia yakin si perawat sama sekali tidak sedang meledeknya. Tapi ia tetap mengucapkan terimakasih dan menuju ke tempat yang ditunjuk oleh sang perawat. Warkop yang ternyata buka 24 jam itu sekarang sudah penuh dengan dengung percakapan dan asap rokok dari para pria dengan berbagai kalangan itu.
Bahlawan langsung memesan dua gelas kopi s**u dan roti panggang cokelat dan mengambil duduk di meja terluar yang nyaris menyentuh trotoar itu. Walau matahari mulai tampak tinggi dan membutakan. Paling tidak ia bisa terhindar dari asap rokok yang paling mengganggunya.
Pria itu sekarang menatap jalanan yang sangat sibuk itu dengan mata menerawang dan dagu yang bertopang dengan tangan. Kepalanya sibuk mengulang kembali kejadian semalam. Ketika ia dalam keadaan setengah sadar. Duduk menghadap sel kosong diselimuti dengan jaket. Seseorang meneriakkan namanya. Membuatnya langsung berdiri dan memberi hormat seperti biasa.
Itu sang Kapolsekta. Dengan dahi mengerut dalam, seakan-akan ada konflik yang berkecamuk dalam dirinya. Bahlawan selalu begitu. Ia selalu mengamati bagaimana ekspresi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Apalagi orang-orang yang ia anggap berharga.
“Aku perlu kau untuk mengawal seseorang.”
Bahlawan yang tengah berdiri dengan sikap sempurna itu sekarang melirik ke arah jam dinding yang tidak jauh dari atas kepala mereka. Sudah lewat tengah malam. Dan sudah pasti masih banyak senior yang dengan senang hati mendapatkan apapun tugas itu...
Sang Kapolsek lalu memberi tahu di mana lokasi orang tersebut, membuat Bahlawan semakin penasaran walau ia sudah belajar untuk tidak banyak mengajukan pertanyaan lagi itu membungkam mulutnya ketika diminta untuk membawa seorang karyawan tambang Ruiz Tbk. yang tidak sadarkan diri di dalam ambulance. Ia duduk menemani sang sopir di depan dan seorang anggota puskesmas yang bertugas menjaga pasien di belakang.
Ketika Bahlawan sampai ia dan sopir hanya saling pandang dan mengangguk. Pria itu menyadari sang sopir tampak lega dengan kehadirannya. Perjalanan menuju rumah sakit umum inipun dilakukan tanpa percakapan yang berarti. Sang sopir memutar lagu dangdut di stereo mobil yang ketinggalan zaman itu dalam volume kecil yang sudah pasti membuatnya agar tetap sadar selama perjalanan. Mereka bertukar nomor ponsel sebelum Bahlawan harus membawa sang pasien ke ruang UGD yang terlihat sudah siap dengan kedatangan mereka.
Bahlawan mengucap terimakasih ketika pesanannya datang. Bahlawan langsung mengangkat gelasnya saat itu juga dan minuman itu langsung membakar lidahnya. Ia nyaris mengumpat dan terburu-buru menaruh gelas kembali ke tatakan.
Seseorang datang membantunya untuk tidak menggoyang mejanya lebih keras lagi. Karena kalau terjadi. Seluruh tubuhnya akan basah dengan minuman panas dan sudah pasti akan menjadi pemandangan yang bagus. Bahlawan mengucap terimakasih berulang kali kepada seseorang yang ternyata sang anggota puskesmas yang datang bersamanya tadi pagi.
“Untuk ukuran seorang polisi, Bapak ceroboh sekali.” Pria itu menggeleng-geleng. Tangannya menunjuk roti bakar yang sekarang tenggelam dengan air kopi yang tumpah.
“Syukurnya dengan kejadian ini membuatku tidak lagi mengantuk.” Bahlawan dengan tenang sekali. Kembali duduk dan mengambil sendok. Memotong roti yang basah dan memakannya Tidak lupa ia meniup-niupnya sejenak agar tidak ada lagi kejadian berulang.
Dan sekarang pria itu yang malah mengelap sisa tumpahan kopi di meja sebelum mengambil duduk di dekat Bahlawan. “Jadi bagaimana keadaan karyawan pria itu di sana? Apa dia sudah sadar?”
Bahlawan menggeleng. “Belum. Aku hanya sempat melihatnya dipasangi alat-alat medis yang rumit itu sebelum para perawat menyuruhku keluar.”
“Dan sekarang seseorang tengah menjaganya? Saya kira Pak Polisi akan menungguinya hingga paling tidak sadar sepenuhnya.”
Bahlawan menyeringai lalu menyuap roti basahnya lagi. Sama sekali tidak berniat untuk menjawab.
Lalu setelah itu keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Lalu sang anggota puskesmas itu berkata, “Sopir ambulance berkata dia sudah cukup segar untuk membawa kita pulang.” Ia sambil mengangkat kepalanya dari atas ponselnya.
“Tanya juga apa beliau sudah sarapan apa belum? Kalau belum. Ayo, sarapan dulu.” Bahlawan menepuk-nepuk kantung celananya. “Aku dapat cukup uang saku untuk mentrakir kalian.”
Anggota puskesmas itu merengut. “Pak Polisi kenapa tidak bilang dari tadi? Saya lupa membawa dompet dan lapar sekali.” Pria yang sudah jelas lebih muda dari Bahlawan itu sekarang pergi menuju konter.
Bahlawan meringis. Setelah rotinya habis ia menyesap air kopinya langsung dari piring dan begitu juga dengan sisa kopinya.
***