Begin

1712 Kata
(Jakarta – Keesokan harinya) Andaru Purnomo mengetuk-ngetuk kakinya di aspal, mengikuti irama yang ada di dalam kepalanya selama menunggu lampu traffic light berganti. Dua jari tangan kirinya menjepit rokok yang sekarang tengah ia isap dan hembuskan asapnya ke udara. Andaru tahu betul seorang pengendara wanita di sebelahnya memberinya pandangan tidak terima. Namun Andaru sama sekali tidak mengubrisnya. Karena ia merokok di luar ruangan. Sesuai dengan peraturan yang selama ini digalakkan oleh orang-orang. Andaru masih sempat menyesap sekali lagi rokoknya sebelum lampu berganti menjadi hijau. Ia membawa motornya dengan kecepatan yang bisa dilakukan di jalan raya ibukota yang selalu padat. Lama baru Andaru menyadari jika ia sekali lagi lupa untuk membawa motornya ke bengkel untuk service berkala. Dan pria itu juga lupa kapan terakhir kali ia mencuci motornya. Tentu saja motornya itu akan terlihat mencolok di tengah-tengah jajaran motor bersih yang terparkir di basement gedung apartemen mewah yang baru saja ia masuki ini. Ketika Andaru memasuki pintu masuk yang dijaga oleh seorang satpam dengan seragam biru gelap itu. Andaru ditahan menggunakan isyarat tangan dan gedikan bahu ke arah tangan kirinya yang masih ada rokok menyala. Andaru menyeringai. Mengisap rokok itu dalam-dalam untuk terakhir kali sebelum mematikan api di pinggiran mulut tempat sampah yang tidak jauh dari mereka. Si satpam sekali lagi memberinya isyarat tangan yang sekarang Andaru artikan sebagai meminta kartu pengenal. Ia lalu mengeluarkan kartu itu dari sling bag yang ada di punggungnya. “Ah, tim Bapak sudah di sini sejak setengah jam yang lalu.” Si satpam sambil sekali lagi memberinya isyarat tangan untuk berjalan melewati metal detector. “Saya tahu,” jawab Andaru sekenanya. Karena selama perjalanan tadi ia merasakan ponselnya terus bergetar yang juga berada di dalam sling bag. Andaru kemudian masuk tanpa mengatakan apapun lagi. Di dalam lift khusus karyawan itu ia langsung melepas jaket dan sling bag. Karena ia harus naik dua lantai lagi menggunakan tangga darurat sebelum sampai di tempat di mana ia harus berada sejak setengah jam yang lalu. “Lama sekali!” teriak seseorang begitu ia membuka pintu atap gedung dua puluh lima lantai itu. Andaru tidak menanggapi. Ia hanya berlari mendekat dan mendapati keempat rekannya kurang lebih telah melakukan semua persiapan yang diperlukan. Tiga dari mereka sekarang tengah memasang harness di pinggang. Satu lagi sibuk mengecek tali pengaman dan dua gandola di tepi gedung. “Gandola?” Andaru berseru tidak terima setelah memungut harness bagiannya. Sling bag dan jaketnya diletakkan di samping kipas AC raksasa bersama dengan barang-barang rekannya yang lain. “Jangan protes.” Sang operator lalu meraih ke arahnya. Andaru langsung mengangkat kedua tangannya. Dane, si operator keselamatan s***h operator gandola itu memasang peralatan keselamatannya dengan sangat cepat dan juga sangat kencang hingga Andaru mengaduh keras. Temali harness itu juga menekan kencang sesuatu yang seharusnya tidak ikut diikat. Dan Andaru tahu Dane melakukannya dengan sengaja. Bunyi “klik” carbiner terakhir diikuti dengan tarikan kencang pada tali pengaman yang menyambung pada harness Andaru membuat pria itu mengaduh sekali lagi. Dane dan Andaru saling melirik sengit sebelum Dane berkata dengan nada datar. “Itu karena kau membuat kami mengerjakan semua persiapan ini sendiri.” “Dan kau tahu aku lebih suka kau yang melakukan semua persiapan itu.” “Yeah, selamat karena kau akan mendapatkan potongan upah karenanya. Akan kupastikan itu.” Dane melemparkan safety vest langsung ke wajah Andaru yang beruntung menangkapnya sebelum sampai ke wajah. Andaru menggerutu. Karena dalam satu gandola akan ada dua orang di sana. Dan ia benci bekerja berdekatan dengan orang lain. Setelah semua alat keselamatan terpasang dan seluruh alat kebersihan sudah di tangan. Andaru langsung naik begitu doa bersama selesai dipanjatkan. Ia hanya berharap pasangannya bukan orang yang suka banyak bicara. Karena ia memang tidak pernah bersama orang yang sama pada setiap shift. Well, kecuali mungkin Dane. Gandola perlahan diturunkan. Saat itu juga Andaru merasakan angin bertiup kencang, namun tidak begitu mengganggunya. Begitu gandola berhenti bergerak turun. Andaru merogoh saku untuk memasang earphone. Tepat bersamaan dengan suara walkie-walkie mendadak terdengar dari saku depan safety rekannya. “Jangan pakai earphone, bapak-bapak. Kalian tahu peraturannya.” Rekan di sebelahnya itu tertawa ketika Andaru memutar bola matanya terang-terangan. “Dane sangat ketat, yah?” Komentar rekannya itu sambil mengulum senyum. “Yeah, seketat harness yang ia pasangkan padaku ini.” Setelah itu tidak ada percakapan yang terjadi. Mungkin karena Andaru memang tidak menunjukkan keinginan untuk melakukan percakapan yang lebih jauh. Gandola sesekali berayun akibat angin dan setiap itu terjadi keduanya menghentikan pekerjaan mereka, waspada. Setelah itu mereka akan melanjutkan pekerjaan lagi seperti tidak terjadi apa-apa. Andaru sudah melihat banyak hal selama bekerja sebagai pembersih jendela gedung pencakar langit. Mulai dari hal yang paling memalukan ataupun hal yang paling intim sekalipun. Tidak banyak yang bisa mengejutkannya lagi. Namun ia sedang berada di lantai di mana yang paling kaya di dalam gedung itu tinggal. Andaru tidak bisa tidak berhenti untuk melihat-lihat isi dari apartemen yang gordennya tidak tertutup itu. Sebenarnya bukan itu saja. Lantai ini sebenarnya adalah favoritnya... Wanita itu – Eris sedang menikmati hari bersih-bersihnya dengan memutar Ugh! Dari BTS keras-keras. Kepalanya mengangguk-angguk keras mengikuti irama. Sesekali ia berjoget dan menggumamkan lirik dengan asal lalu berhenti untuk melanjutkan pekerjaannya membersihkan lantai dengan penyedot debu. Namun suara speaker-nya mendadak berhenti, membuatnya melihat sekeliling dengan bingung. Pada saat itu juga ia melihat seorang pria berdiri di depan pintu masuk. Memberinya pandangan tidak percaya sambil berdecak. Pria itu menenteng plastik belanjaan, tas kerja di satu tangan, dan jas setelan yang terlipat tersampir di lengan yang lain. Wajahnya tampak sayu, namun sebuah senyum manis terukir di sana. Senyum Eris mengembang saat itu juga. “¡Hola!” serunya sambil menyingkirkan penyedot debunya ke di dinding untuk menghampiri pria itu. Eris mengambil tas plastik dan juga jas setelan dari tangan pria itu. Saat itu juga si pria meraupnya melingkarkan kedua tangannya di sekeliling Eris. Meletakkan dagunya yang berjambang di puncak kepala gadis itu. “...Dan kau belum mandi.” Eris meringis. Namun ia ikut melingkarkan tangan ke belakang tubuh pria itu. “Karena seharusnya kau baru datang sore ini. Aku tidak perlu mandi jika hanya sendirian di sini.” Eris merasakan pria itu sekarang menguburkan wajahnya di puncak kepalanya sebelum melepaskan pelukan. “Kalau begitu aku saja yang mandi. Selesaikan apa yang kau lakukan tadi dan jangan hidupkan lagi speaker-mu, oke?” Eris menggembungkan pipinya, membuat pria itu terkekeh pelan. “Setidaknya kau hanya melakukannya ketika aku ada di sini, cariño.” Kemudian si pria melenggang masuk ke salah satu kamar. Meninggalkan Eris yang menghela napas panjang. Setelah pintu menutup di belakang pria itu Eris membawa kantung plastik itu di dapur untuk memeriksa isinya. Eris meringis begitu menyadari isinya adalah bahan-bahan mentah yang butuh diolah sebelum bisa disajikan ke piring. Jadi sekali lagi Eris mengingat-ingat apa yang dikatakan pria itu tadi padanya dan ia lega begitu menyadari tidak ada perkataan ia harus memasak hari ini. Jadi Eris melanjutkan pekerjaan rumahnya yang tertinggal sebelum menyusul ke kamar. Mengeluarkan pakaian rumah bersih dari dalam lemari dan menaruhnya di atas ranjang.... Lazuardi Moreno keluar dari kamar mandi dan mendapati sepasang pakaian bersih di atas ranjang sudah tersedia untuknya. Ia tersenyum kecil, namun mengernyit begitu mencium aroma wangi menusuk hidung yang menguar dari pakaian itu. Tentu saja pakaian itu keluar dari tempat laundry. Eris terkadang terlalu malas bahkan untuk melakukan pekerjaan rumah seperti ini. Wanita itu baru mengerjakan semua pekerjaan rumah ketika ia berkata ia akan datang. Lazuardi sudah terbiasa semua itu jadi ia tidak ingin merusak paginya hanya untuk memarahi wanita itu. Toh, sekarang seprei kamar ini telah terganti. Kamar mandi kamar juga bersih tanpa jejak rambut rontok sama sekali. Lazuardi bisa membayangkan Eris pasti bangun pagi sekali untuk melakukan semua itu. Walau Eris tadi berkata ia mengira Lazuardi baru akan datang sore nanti. Namun Lazuardi malah untuk datang lebih cepat setelah lembur akibat audit internal. Melihat Eris dan senyum wanita itu sudah mengurangi sekitar 80% lelahnya. Sisanya sudah dihilangkan dengan mandi air dingin. Lazuardi kemudian memakai pakaian yang disiapkan Eris. Setelah keluar dari kamar dan mendapati wanita itu sedang memandangi belanjaannya yang berserakan di atas konter lalu ke wajahnya dengan penuh harap. Sudah jelas Lazuardi yang akan masak sarapan mereka hari ini. Salahnya sendiri ia tidak mengatakan apapun tadi. Eris yang ia kenal terlalu malas untuk berinisiatif untuk masalah apapun. “Karena aku sedang malas bagaimana kalau kita sarapan dengan sesuatu yang sederhana saja hari ini?” Wanita itu mengedikkan bahu sebelum menyodorkan celemek kotak-kotak biru dan putih bertuliskan “Greatest Chef in The World.” “French toast dan sosis?” Lazuardi menjelaskan dan secepat itu juga Eris mengambilkan peralatan masak untuknya. Lalu mereka bekerja dalam diam hingga sarapan mereka jadi di atas piring. Eris dengan cekatan merapikan konter agar mereka bisa makan di sana. Wanita itu jelas tahu apa yang harus ia lakukan, namun bukan berarti ia tidak bekerja dengan sedikit suara. Eris cukup ceroboh sehingga terdengar suara lemari konter yang terbanting atau suara gelas berdenting nyaring ketika ia membuat kopi di coffee maker. The Goddes of Chaos. Begitu arti nama Eris dan Lazuardi yakin wanita itu bahkan tidak tahu tentang itu. Lazuardi menuntun Eris dudu di salah satu kursi dengan menyentuhkan telapak tangannya di punggung wanita itu. Meletakkan salah satu piring yang ada di tangannya di depan wanita itu. “Gracias,” ucapnya lirih sambil mendongak. Lazuardi hanya bisa menarik napas. Eris selalu menunggu Lazuardi menyuap lebih dulu, tapi ia selalu selesai lebih dulu. “Duduklah dulu dan temani aku makan.” Eris memberinya pandangan penuh tanya lengkap dengan kerutan di dahi. Tapi wanita itu tidak mengatakan apapun. Jadi Lazuardi makan dengan satu tangannya meremas tangan Eris lembut. “Lelah sekali, ya?” tanya Eris akhirnya dengan lembut sekali. “Sangat.” Lazuardi dengan sama pelannya. Ia kemudian menegak sedikit air putih. Lazuardi melirik ke arah wanita itu ketika ia menggembungkan sebelah pipinya. Eris lalu menautkan jemari mereka di atas meja. “Begini lebih baik?” Lazuardi terkekeh pelan kemudian mengangguk. Ia mengangkat tangan mereka yang bertaut itu kemudian mencium punggung tangan Eris. “Oke, kalau begitu aku akan duduk di sini. Memandangimu makan sampai kau merasa tidak nyaman...” Eris lalu menopang kepalanya pada tangan yang lain. “Kita sudah bersama sejak lima tahun terakhir, Eris. Kau tidak bisa mengejutkanku lagi.” Perkataan itu membuat Eris menjulurkan lidahnya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN