Guyonan Saja

1354 Kata
Hari ini merupakan hari membahagiakan bagi umat muslim. Hari yang orang sebut munggah. Hari indah menyambut antusias bulan yang penuh berkah. Tepatnya besok, ibadah puasa Ramadhan akan dilaksanakan. Jika begitu, itu artinya malam ini adalah tarawih pertama. Riuh tawa dan perbincangan penuh suka cita terdengar memecahkan kesunyian di bawah senja kuning yang hendak menyambut malam. Para santri berbondong-bondong menuju Masjid Jami' As-Salam untuk melakukan Salat Maghrib berjamaah, dilanjut dengan Tilawatil-Qur'an, setelah itu melaksanakan sembahyang Isya dan Salat Tarawih Ramadhan secara berjamaah. Ali tersenyum mendapati sekeliling rumahnya yang tampak ramai dan penuh jika dilihat dari balkon kamarnya. Hamdalah dia panjatkan atas rasa syukurnya karena dirinya dilahirkan di lingkungan yang berada dalam Ridho Allah, di lingkungan yang In Sya Allah jauh dari ke-madaratan. "'A, yok ke Masjid! Malah ngelamun lagi. Tenang aja, jodoh ada di tangan Allah. Nggak usah takut nggak kebagian jodoh deh," kata Zahra yang tiba-tiba datang tanpa diundang. Ali berdecak kesal dan menguyel-uyel kedua pipi Zahra yang chubby. "Sok tahu kamu nih ya!" "Ayok! Aa kan yang pimpin Tilawatil-Qur'an-nya." Ali mengangguk dan bersiap mengambil wudhu. Setelah berwudhu, dia memakai kopiah merah maroon, baju koko dan juga sarung dengan warna senada. Melangkah santai seperti Ali yang orang kenali. "Adzan, 'A." "Siap laksanakan!" Ali melangkah menuju pintu penghubung antara rumahnya dan Masjid. Berjalan menuju mimbar dan dengan merdunya lantunan takbir menggema memenuhi alam sekitar. "Hayya 'alassholaah... Hayya 'alassholaah... Hayya 'alalfalaah... Hayya 'alalfalaah... Allahu akbar, Allaahu akbar... Laailaahaillallah...." Ali menengadahkan kedua tangannya dan membacakan doa setelah adzan. Bukan hal yang asing lagi, suara Ali yang merdu bisa membuat semua orang yang mendengar lantunannya ---baik sedang menjadi muadzin, melakukan murotal, bersholawat, maupun sedang bernyanyi-- akan merasa kagum. Bayangkan, sudah tampan, sholeh pula. Bukan hanya gadis-gadis yang mengantre, tapi Ibu-ibupun demikian. Maksudnya, demikian ingin menjadikan mantu--bagi yang memiliki gadis yang seumuran dengan Ali. Suami dan mantu idaman bukan? "Silakan, Eyang." Ali mempersilakan Eyangnya --yang notabenenya merupakan Kiyai besar di sekitar pelataran-- untuk mengambil alih sejadah imam. Mengimami jemaah yang segitu banyaknya merupakan tanggung jawab yang sangat besar bagi sebagian besar orang. Begitupun menurut Ali sendiri. Namun karena sering berlatih, terkadang Ali bisa menggantikan sosok Eyang dan Abinya dalam mengambil alih posisi imam. Tapi dalam hukum fiqih dan ibadah, imam itu sebaiknya dilakukan oleh orang yang lebih tua --selama masih mampu, tentunya tak terlepas dengan kemampuan mengaji yang fasih dan juga dapat dipertanggungjawabkan. Karena hakikatnya tidak semuanya yang berumur tua bisa dipertanggungjawabkan dan mempunyai kemampuan mengaji yang fasih. "Iqomat," seru Eyangnya dan diambil alih oleh Bang Bilal, kakak kandung Ali. Ali menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru Masjid. Merasa senang melihat bahwa sekitar Masjid As-Salam masih mengingat seruan Allah. Selama mengekos di daerah lain sewaktu kuliah di UIN, Ali seringkali mendapatkan keadaan Masjid yang selalu sepi, hanya diisi oleh kakek-kakek tua. Sangat disayangkan, Masjid yang agung dan terlihat mewah, yang mengumandangkan adzan tetaplah Kakek-kakek yang sudah hampir membungkuk. Yang jadi pertanyaannya adalah; Kemana para pemuda dan pemudinya? Salat Maghrib-pun telah usai dilaksanakan, disambung dengan berwiridan sampai selesai. Para Santriwan-Santriwati beriringan membuka Al-Quranulkarim untuk melakukan rutinan Tilawatil-Qur'an. Diikuti Ali yang memang mengajar dalam hal ini. Ali mengambil alih speaker dan memulai membaca ta'awud tanda pengajian dimulai. Setiap bulan Ramadhan tiba, kegiatan yayasan melakukan tadarusan bersama dalam empat waktu. Dilakukan setelah Salat Shubuh, setelah Salat Ashar, sebelum Tarawih, dan sesudah Tarawih. Selalu begitu jalannya kegiatan. Dimulai dari sekarang --sebelum Tarawih-- untuk memulai kegiatan Ramadhan tahun ini. Tanpa Ali ketahui, tepat di depan Masjid, Rilly meleleh dengan caranya sendiri yang terlalu ekspresif. Menanggapi suara merdu Ali dengan pekikan bernadakan kagum. Membuat Moura, Fahri, dan Papa Mamanya menggelengkan kepala seraya menyeringai geli. "Lo suka ya, Dek, sama Ali?" tanya Fahri pada Rilly yang sudah cantik terbaluti hijab yang rapi dan juga gamis kekinian berwarna peach. "Iya Bang, gue suka. Comblangin dong." "Dih! Mana mau si Ali sama cewek berisik kayak lo!" Fahri menoyor kepala Adiknya pelan, namun sejurus kemudian merengkuh kepala Rilly dan mengecupnya dengan sayang. "Gitu amat punya Abang. Yaudah sama Papa aja. Pa, jodohin Rilly sama 'A Ali dong hihihi." Haji Abrar hanya tersenyum menanggapi banyolan Rilly. Iya, hanya banyolan. Tidak sungguh-sungguh Rilly ucapkan. Namun jika memang ditakdirkan berjodoh, ya aamiinkan saja. Kumandang adzan Isya terdengar. Rilly, Moura, dan Mamanya melangkah menuju tempat wudhu wanita yang berada di sayap kanan Masjid. Sedangkan di sayap kirinya merupakan tempat wudhu untuk pria. Mengantre. Itulah first impression yang menjadi deskripsi tempat wudhu di Tarawih pertama. Semoga sampai akhir akan tetap ramai, tidak hanya di minggu awal saja. Mamanya Rilly beserta Moura sudah usai berwudhu. Mereka meninggalkan Rilly yang masih membasuh wajahnya. Rilly mendengus setelah selesai berwudhu karena tak terima ditinggal begitu saja. Dia berjalan seraya merapikan anak rambutnya yang mengganggu di wajah mungilnya. Sesekali membungkuk terlebih dahulu membenarkan celananya yang sebelumnya ia lipat sampai betis. Setelahnya dia kembali mendongak, hatinya berdesir ketika manik hitam itu menatapnya dari arah bersebrangan. "Assalamu'alaikum," ujar Ali sambil mengacungkan tangannya yang saling menangkup -- salam jarak jauh--. "Wa'alaikum salam." Rilly tersenyum sebaik mungkin membalas salam yang Ali berikan. "Tarawih di sini?" "Iya," jawabnya segan. Rilly berpamitan setelahnya, menahan segala jeritan di d**a yang membuncah seolah mendorongnya untuk memekik kegirangan sekarang. Kalau ini di kamar udah tereak gue dari tadi. Aaaaa Mama, si Aanya nafsuin deh. Liat senyumnya aja gue nafsu behaha! Canda elah! Gue nggak senafsuan itu. Sedangkan Ali, dia berusaha keras memfokuskan hatinya kembali pada ibadah Salat Tarawih. Karena semenjak bertemu dengan gadis itu barusan, fokus Ali bercabang. Setengah hatinya seolah terbawa senyum Rilly yang membuatnya terpanah. Astaghfirullah... Astaghfirullah... Kenapa tuh cewek bisa bikin gue kayak gini ya? Bawaannya seneng mulu kalau ketemu. Gue ajakin nikah mau nggak ya? Biar nggak nyiksa diri gini. Liat bibirnya yang senyum__ Astaghfirullah Salat Isya, Ali! Ali menghela napas dalam-dalam dan membaca niat Salat Isya. Imam di sana sudah membaca surat Al-Fatihah dan Ali sama sekali tak menyadarinya. Hanya karena Rilly seorang. Jatuh cinta tak ada logika. Tunggu ... Jatuh cinta? Salat Tarawih dua puluh tiga rakaat terlewati. Semua berbondong untuk pulang ke rumah masing-masing. Rilly yang memang setelah wudhu terpisah dari Mamanya dan Moura, merasa kebingungan mencari mereka. Ini Masjid gede, cuy! Banyak yang Salat lagi. Pusing kalau nyari dua orang doang mah. Mendingan balik aja sendiri. "Lah sandal gue mana?" gumam Rilly sambil melongokkan kepala mencari sandal miliknya. Bahkan saking pusingnya, Rilly memutuskan untuk menunggu orang lain lebih dulu pulang, siapa tahu setelah orang-orang itu pergi dari pelataran Masjid, sandal Rilly tak terlalu susah ditemukan. "Nunggu apa?" "Astaghfirullah. Ihhh, 'A. Ngagetin aja." "Lah? Kaget ya? Hahaha," ujar Ali keheranan. Padahal barusan dia berucap biasa saja. Kenapa sampai kaget? "Tiba-tiba dateng ya kaget." Rilly mengerucutkan bibirnya, membuat Ali lagi-lagi memijat pelipisnya manahan sesuatu yang ia tak ketahui jenisnya apa. Jangan diliatin mulu, b**o! Boleh gue lirik, tapi gue nggak kedip. Perih dong. Kalau dilirik sambil kedip, dosa dong. "Lagi nunggu siapa?" "Nunggu 'A Ali," jawab Rilly sekenanya seraya terkekeh. Ali ikut terkikik menanggapi ucapan berbau candaan dari Rilly. "Nunggu orang pulang nih, 'A." "Lho? Buat apa?" "Sandalnya bikin migrain, nggak ketemu-ketemu. Jadi nunggu orang pergi biar lebih gampang nyarinya." "Coba Aa bantu cari ya?" tawar Ali sambil mendekati halaman Masjid. Menatap sekeliling dan matanya menemukan sebelah sandal hijau bermotif Keroppi. Sandal yang sama seperti yang kemarin Rilly pakai saat membeli Martabak. "Yang itu bukan, Rill?" tanya Ali seraya menunjuk ke arah sandal tersebut. "Iya! Tapi satu lagi mana?" Rilly mengerutkan keningnya kebingungan. "Iya ya? Kok nggak ada. Sebentar ya, Aa cari sebelah sana." Gue besok nyeker aja ah. Hilang Sandal mulu kalau Tarawihan pertama gini. "Nggak ada, Rill. Gimana dong?" "Yah," jawab Rilly kecewa. "Yaudah nggak papa. Aku nyeker aja. Kalau gitu aku pulang ya, 'A" "Sendiri?" "Heeum. Soalnya pada ninggalin nih. Pada resek. Nggak tahu apa punya Anak plus Adik yang cantiknya luar binazah gini, nggak takut diculik apa?" "Iya ya, padahal lihat kamu bawaannya pengin nyuliiik aja," kata Ali mengundang tawa. "Hahaha mau dong diculik kalau sama Aa mah," kata Rilly ikut menanggapi guyonan Ali. "Boleh. Mau nikah juga ayok." Rilly mendongak dan menatap Ali penuh harap. "Bercanda, Rill," kata Ali tak enak. Yah. Penonton kecewa. Padahal gue mau kok diajak kawin sama dia, eh nikah maksudnya. Ya kan abis nikah juga kawin. Kenapa mesti becanda sih? Beneran aja gimana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN