"Iya ini Aa udah sampai gerbang perumahan kok. Bentar lagi nyampe ke rumahnya Haji Abrar."
"Iya atuh bagus, 'A. Sekalian aja Aa ambilin orderan, Abi nyuruh Izam, tapi Izam nanggung mau lanjut main PS lagi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam ... Izam ... Izam. Disuruh orang tua ngeles aja kayak bajai."
Ali menginjak pedal rem mobilnya tepat di depan gerbang yang menjulang tinggi berwarna hitam. Suara riuh mesin jahit dapat ia dengar dari dalam. Dengan perlahan dia menuruni mobilnya dan memijit bel rumah yang menempel di tembok sebelahnya.
Tak lama, gerbang dibuka oleh seorang satpam yang menyambutnya dengan senyuman ramah.
"Cari Bapak, Pak?" tanyanya tepat sasaran.
"Iya mau ambil orderan yayasan Masjid Jami' As-Salam."
"Silakan langsung masuk aja," tawarnya dengan nada sopan.
"Terimakasih, Pak. Mari!"
Ali berjalan pelan di halaman yang begitu luas ini. Matanya menyusuri keseluruhan rumah besar tampak dari luar yang membuatnya takjub. Tiba-tiba matanya terhenti ketika melihat seseorang yang ia kenali sedang asyik dengan selang air dan mobil berwarna hijau terang di hadapannya. Rilly. Ya, orang itu Rilly.
"Astaghfirullah!" Ali membelalakan matanya ketika baru saja Rilly memutar ke sisi lain mobil, membuatnya melihat penampilan Rilly yang seperti kekurangan bahan. Celana pendek setengah paha dan kaus lengan pendek body press.
Gila! Tutup mata lo sekarang, Li. Atau jangan ngedip sedikitpun!
"Mang! Maaang! Ini kenapa airnya nggak nyala ya?" pekiknya ntah pada siapa. Dia berbalik mencoba mencari bantuan dan terbelalak ketika melihat pria yang seminggu lalu menyentil harga dirinya sedang berdiri mematung dengan mata yang masih terbuka lebar.
"Cari Papa aku ya?" Rilly yang memang sudah terbiasa berpenampilan begitu jika di rumah, tampak santai dan bertindak seperti tak ada apa-apa. Padahal tak tahu saja jika Ali di sana tersiksa menahan gelenyar nafsu melihat penampilannya sekarang.
Ali menunduk setelahnya, beristighfar dalam hati secara berulang-ulang, mengusir setan nafsu yang hampir menguasai dirinya.
"Cari Papa?" tanya Rilly sekali lagi.
"Iya. Papa kamu ada? Mau ambil orderan," jawab Ali sambil menunduk dalam. Rilly menatap heran pria yang berdiri di jarak yang lumayan dekat dengannya ini.
Kenapa sih nih cowok?! Ngomong tuh lihat orangnya! Nggak sopan! Segitu jeleknya ya gue? Sampai nggak mau lihat!
"Eh Ali ya? Barusan Abi kamu sms katanya orderannya mau diambil sama kamu. Ayok tunggu di dalam, lagi dipacking dulu biar dikelompokkan sesuai size." Haji Abrar menyelamatkan Ali dari kekangan setan bernamakan hawa nafsu.
"Assalamu'alaikum, Pak Haji!" Ali menyalami tangan Haji Abrar dengan sopan. Berbicara dengan santun beberapa saat dan mengikuti langkah Haji Abrar yang baru saja mengajaknya masuk.
"Cowok wedan! Sama Papa ngomongnya normal-normal aja tuh! Kenapa sama gue nunduk mulu?" gumam Rilly pelan.
"Rilly! Masuk kamar, ganti bajunya! Kamu ini dibilangin jangan pake celana pendek kalau di luar kamar, ngeyel aja," omel Papanya menambah kegeramannya.
.
.
.
"Papa, kata Bang Fahri dia nggak pulang ke rumah sekarang. Dia mau selesai-in maketnya di kos-an temennya." Rilly menuruni tangga dengan busana lucunya. Baju tidur panjang berwarna hijau bermotif Keroppi. Dia memang pencinta warna hijau, maka dari itu dia menyukai Keroppi.
Rilly mengatupkan mulutnya ketika menyadari di sofa sana, tepat di hadapan Papa dan Mamanya, ada Ali yang menatapnya takjub dan takut (?). Terbukti dari gerakan cepatnya mengalihkan pandangan. Apa yang salah? Dia memakai pakaian panjang alias tak kekurangan bahan sekarang. Lalu apa lagi?
"Pakai hijabnya dong, Sayang. Inget, perempuan yang sengaja memperlihatkan rambutnya pada lawan jenis, maka dia akan__."
"Aaaaa iya Ma iyaaa!" Rilly berlari secepat mungkin untuk kembali ke kamarnya di lantai dua. Dia sudah tahu apa yang akan Mamanya ucapkan. Wanita yang sengaja memperlihatkan rambutnya pada lawan jenis, maka rambut yang terlihat itu akan menjadi kayu bakar yang akan menyuluti api untuk membakarnya kelak di Neraka. Naudzubillah...
"Maafkan anak kami ya, 'A Ali. Dia memang agak susah dibilangin," kata Farisa meminta maklum.
"Nggak papa, Tante. Kalau begitu, Ali pamit dulu. Udah mau maghrib." Lelaki itu bangkit dari duduknya dan menyalami dua orangtua di hadapannya itu dengan sopan. Bersamaan dengan Rilly yang berlari menuju luar rumah. Haji Abrar dan istrinya hanya berdecak melihat tingkah anak gadisnya itu.
"Nggak akan maghrib di sini aja? Ahmed, udah selesai diangkut ke mobilnya Ali belum orderannya?" tanya Haji Abrar pada pegawainya.
"Udah selesai, Pak Haji."
"Mari, Pak Haji. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam." jawab keduanya serempak.
Ali menatap dua orang gadis cantik yang sedang saling memeluk di halaman rumah. Rilly dan ... Ntah lah itu siapa yang satunya lagi. Ali berdeham pelan dan sejurus kemudian dia dikagetkan oleh aksi dadakan Rilly yang memundurkan tubuhnya tiba-tiba, yang alhasil menginjak kaki Ali dan membuatnya terhuyung ke belakang, tepat mendarat di rengkuhan Ali.
"Aduh maaf maaf," kata Ali sambil menegakkan tubuh Rilly untuk kembali berdiri.
"Eh? Aku yang minta maaf." Menghela napas sejenak. "Pulang?" tanya Rilly berbasa-basi. Mencoba mengusir aura canggung yang merenggut udara mereka.
"Iya nih. Mari, Assalamu'alaikum!"
Rilly dan gadis di sampingnya itu menjawab ucapan salam Ali secara bersamaan. Gadis di sampingnya itu memekik kegirangan setelah memastikan Ali sudah keluar gerbang rumah.
"Rill, yang barusan siapa?! Gilaaaa ganteng banget cuy! Pacar lo? Atau siapa?" tanya gadis itu antusias.
"Bukan bukan. Gue aja baru kenal semingguan sama dia. Dia anaknya Pak Ustadz Subhan, Mou." Gadis yang disapa Mou, yang memiliki nama lengkap Moura Nur Andini, sepupu dari Rillya Adistya Agitsni.
"Ganteng sumpah. Lo liat bibirnya! Cipok-able banget. d**a sama punggungnya ndusel-able banget. Idungnya prosotan-able banget juga. Aduh Aa ganteng! Gue suka nih! Nikah__!" Pekikan Moura terhenti karena tanpa tedeng aling-aling Ali menoleh ke arah dua gadis tersebut seraya terkekeh geli.
"b**o bikin malu!" Rilly menoyor kepala Moura dan berlari memasuki rumah.
.
.
.
Di bawah naungan langit malam yang hitam, Rilly berjalan dengan santai seraya bersenandung menggiring suara merdunya keluar. Dengan balutan piyama panjang warna hijaunya, sendal jepit berbulu dengan bentuk tokoh kartun keroppi dan juga rambut yang dicepol asal membuatnya tampak menggemaskan layaknya anak-anak. Apalagi ditambah dengan perawakan yang mungil.
"I know i needed you, but i never showed, but i wanna stay with you, until we're grey and old__."
"Just say you won't let go, just say you won't let go oooh." Rilly terperangah ketika suara berat yang berasal dari pria sebelahnya ini menyambung lirik lagu yang ia nyanyikan. "Kok nggak diterusin? Suara kamu bagus."
Ini si Aa ganteng anaknya Ustadz Subhan kan? Subhanallah, ini makhluk apa sih? Gantengnya nggak nanggung-nanggung. Eh eh tapi si kaku ini bisa juga ya santai macem gini, pake celana pendek sedengkul plus kaos nggak berlengan berwarna putih. Jangan lupakan headset yang menempel di kedua telinganya.
"Hah?"
"Hah? Kok hah? Oiya, pas banget ya kamu nyanyi lagu itu, aku juga lagi dengerin lagu itu."
Rilly merasa heran dengan sikap lelaki di sebelahnya ini. Kemarin sok-sok-an bukan muhrim katanya, tapi sekarang nempel-nempel gini jalannya.
"Eh maaf," ujar Ali seraya menggeser tubuhnya sedikit memberi jarak antara tubuh kekarnya dengan tubuh mungil Rilly. Rupa-rupanya Ali membaca gerak-gerik yang Rilly perlihatkan secara gamblang.
"O nggak papa."
Hening menggerubungi keduanya. Dalam hati Ali merutuki diri sendiri yang lepas kontrol. Istighfar berkali-kali ia lakukan.
"Abis dari mana?" tanya Ali memecah keheningan. Masih dengan pandangan lurus ke depan.
"Eumm dari depan. Abis beli martabak, 'A. Aa sendiri dari mana?" tanya Rilly balik. Ali menjawab dengan mengacungkan kantong plastik berlogokan minimarket khas Indo. Tanpa dijawabpun Rilly paham maksudnya.
Lagi-lagi hening. Sesekali mata Ali melirik gadis menggemaskan di samping kanannya. Ia mengigit bibir bawahnya, menahan rasa ingin mencubit pipi gembil milik Rilly.
Gemesin amat sih nih cewek.
Ali tersentak sejenak menyadari jika ini termasuk zina. Zina mata tepatnya. Dengan berat hati ia kembali memfokuskan pandangannya ke depan menahan hasrat lehernya yang selalu ingin menoleh pada si cantik di sampingnya.
Jangan lupakan pula Rilly. Pun Rilly melakukan hal yang sama. Mata genitnya selalu gatal ingin memandang lawan jenis yang bernamakan Ali ini.
Mubazir orang ganteng nggak dipandang. Auuuh Mama... Si Aanya boleh Rilly kawinin sekarang nggak? Aduh penyakit m***m gue kambuh kan. Suka pengin minta diperkosa kalau kambuh gini. Apalagi yang merkosanya macem bule-bule arab gini. Pengin teriak; Adek pasrah, Bang!
"Udah sampe, 'A. Rilly duluan ya." Lalu ia bertanya, "Mau mampir?"
"O, nggak usah, udah malem."
"Oke." Rilly menggaruk pelipisnya menutupi kegugupannya. "Kalau gitu, Rilly duluan ya."
"Oiya silakan."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Setelah berpamitan, Rilly melangkah dengan langkah berat meninggalkan Ali yang ntah kenapa susah mengalihkan pandangannya pada punggung mungil Rilly yang semakin jauh.
Ya Allah, hamba kenapa?
Ali tersenyum geli menyadari kelakuannya malam ini. Dia ini tak pernah seinstens ini dengan wanita. Walaupun ia dikenal sebagai orang yang ramah pada semua orang, tapi pada wanita ia cenderung membatasi.
Apakah dia jodoh hamba, Ya Robb? Semoga. Aamiin allahumma aamiin...
"Rilly! Kerudungnya kenapa nggak dipake?!!"
"AAA AMPUN, MA! MAAFKAN HAMBA YA ALLAH, HAMBA KECEPLOSAN NGGAK PAKE KERUDUNG!!!"
Tawa renyah Ali mengalun indah di tengah kesunyian mendengar pekikan Rilly dari dalam sana. Bagai badai yang menggetarkan bumi, suara wanita itupun Ali akui bisa menggetarkan hatinya. Dia letakkan telapak tangannya tepat di d**a sebelah kiri, meneliti detak jantung yang ntah kenapa bertalu berlebihan.
Ya Allah, perasaan apa ini?