2

1084 Kata
“Kapan-kapannya itu kapan mas? Telepon dari mama nggak pernah dijawab. Nggak sopan loh mas kaya gitu,” omel Naja mencoba menasehati. Walau Naja tahu itu tidak akan berguna, tetapi setidaknya sudah memberi tahu. “Udah deh diem aja anak pungut.” Fahri berucap tanpa beban sama sekali, seolah tidak ada yang tersakiti dengan kata-katanya. “Naja emang anak pungut mas, tapi setidaknya Naja punya sopan santun sama orang tua. Nggak kaya mas Fahri.” Gadis itu menatap Fahri. “Mas itu bertingkah seolah lahir tanpa perantara orang tua. Sadar mas, mas Fahri itu manusia bukan jenis amoeba yang bisa berkembang biak dengan cara membelah diri,” sambung gadis itu yang semakin berapi-api. Naja dan Fahri memang tidak tinggal satu rumah dengan ke dua orang tuanya. Fahri sendiri yang meminta untuk tinggal di apartemen bersama dengan Naja. Awalnya Adnan dan Winda melarang, karena mereka sekarang sudah dewasa dan tidak mungkin selalu bersama. Namun, Fahri memberi alasan bahwa apartemen itu dengan kampusnya berdekatan sehingga membuat uang bengsin pun berkurang. Akhirnya ke dua orang taunya menyetujui. “Udah deh, lo itu nggak usah sok nasehatin gua. udah berasa paling beber lu ye,” sindir Fahri. “Udah deh, sekarang lu siapin semua perlengkapan Tejo sama Mumun. Mereka berdua mau gua bawa ke rumah mama,” ucap Fahri lalu melenggeng pergi begitu saja. “Nah, gitu kek dari tadi kalo mau ke rumah mama, jadinya ‘kan nggak usah ada perdebatan yang nggak bermutu lagi. Masa iya si Tejo mau dikasih bini baru, itu si Mumun mau dikemanain orang lagi bunting tua begitu,” gumam Naja yang masih asyik menata bantal dan guling. Setelah selesai membereskan kamar Fahri, Naja langsung ke kandang bunglon itu untuk mempersiapkan segala keperluannya, karena sebentar lagi Fahri akan mengomel jika Naja tidak segera siap. “Mun rahasianya bisa sabar itu gimana sih? ‘Kan kita sama-sama cewek gitu ya, bagi tips dong Mun,” monolog Naja pada si Mumun, bunglon betina yang tengah mengandung. “Tejo, bilangin bapakmu tuh. Hobinya jangan nyuruh-nyuruh orang seenak batang tengkoraknya dia! kesel tau Jo, coba kamu di posisi Naja.” Naja beralih pada Tejo, bunglon jantan yang diketahui adalah suami dari si Mumu. Tapi bukan jawaban yang Naja dapatkan, melainkan kedipan genit yang Tejo berikan. “Aelah Jo, jangan genit-genit apa. Kasian itu si Mumun. Nanti malem nggak dikasih jatah baru tau rasa loh!” ancam Naja, sukses membuat Tejoi berhenti berkedip. “Bon, jangan kaya orang gila bisa?” tanya Fahri dari arah belakang dan sukses membuat Naja terperanjat kaget. “Apa sih mas! Ganggu ketenangan aja,” gerutu gadis itu. Sejak pagi memang Fahri sepertinya tidak ingin Naja merasa tenang. “Tadi lu bilang gua bapaknya Tejo ya? Kalau gue bapaknya berarti lu babonnya dong?” Fahri menatap Naja penuh selidik. “Jangan modus deh, gua juga nggak doyan sama lo, mau dipelet sekalipun gua tetep nggak mau,” sambung Fahri ‘Dih, siapa juga yang doyan sama bentukannya situ? Ganteng enggak, tengil iya,’ batin Naja.  “Udah den Bon, lu itu nggak usah ngelak lagi. Sebenernya lu suka kan sama gue?” Fahri menampilkan wajah sok tampannya membuat Naja semakin kesal dan semakin ingin mencabik-cabiknya. “Udah deh mas, Naja nggak mau debat. Lebih baik ayo berangkat ke rumah mama sama papa, pasti mereka udah nungguin,” ucap Naja yang sudah beranjak dari duduknya. “Anak pungut nggak boleh ngatur anak kandung.” ‘Nah kan dibahas lagi anak pungutnya. Jangan diperjelas bisa nggak? Naja juga udah sadar diri kok. Anak pungut mah bisa apa,’ batin Naja, gadis itu yang awalnya ingin beranjak menjadi terhenti karena ucapan Fahri yang begitu kenohok. Namun, Naja tidak pernah marah, toh memang benar Naja hanyalah anak pungut. Dari SMP, Naja memang selalu dikucilnya hanya karena gadis itu anak pungut, siapa pelaku penyebar gosip kalau bukan Fahri yang notabene adalah kakak angkatnya sendiri. Kala itu sewaktu SMP ….  “Woy! Gua kasih tau ya. Bocah di samping gua ini anak pungut! Bokap gua pungut dia di pinggiran jalan!” semua angkatan tertawa Naja hanya bisa menunduk, mencoba menghalau air matanya. Bagi mereka, anak pungut itu tidak setara dengan kalangan atas mereka. Naja bisa apa? Gadis itu hanyalah gadis biasa, yang beruntung telah mendapatkan orang tua pengganti yang begitu menyayanginya. Takdir memang kejam, hingga rasanya Naja sudah tidak asing lagi dengan kata hujatan dan cacian. *** Naja tersentak kaget ketika Fahri memukul bahunya hingga gadis itu limbung kebelakang. Sontak dia kembali pada dunia nyata.  “Woy Bon! Ngelamunin apa sih? Oh, gua tau jangan-jangan lu lagi berfantasi liar tentang gua ya? Ngaku lu!” lagi-lagi tatapan Fahri penuh selidik, seolah Naja benar-benar melakukan apa yang dituduhkan Fahri. . “Apaan sih mas, berburuk sangka terus sama Naja. Lama-lama Naja pergi nih dari hidup mas Fahri baru tahu rasa,” ancam gadis itu. “Lu mau pergi Kemana? Lu kan cuma anak pungut. Hidup dengan belas kasihan keluarga gua. Mau balik ke jalanan lagi lu?” nada suarannya penuh dengan ejekan.  ‘setidaknya anak pungut ini bisa tau adab terhadap orang tua,’ lagi-lagi Naja hanya bisa berbicara di dalam hati. Respon Naja hanya acuh tak acuh, toh sudah bisa diperlakukan seperti itu. Percuma juga apa bila Naja membantah, nanti ujung-ujungnya pasti gadis itu yang akan mengalah. “Elah! Lu ngelamun mulu. Buruan ganti baju. Jangan lelet!” tekan Fahri di akhir ucapannya. Secepat kilat Naja meninggalkan Fahri. Berlari menuju kamarnya. Naja hanya mengenakan baju sederhana, kaus polos dipadu dengan rok bermotif bunga-bunga. Tak lupa rambutnya dikepang dua. Terlihat manis dan anggun. Walau terkadang Fahri suka sekali mengatainya kuno, tidak fashion dan lain sebagainya. Fahri sudah menunggu di dalam mobil, sedari tadi bibirnya tidak berhenti mengomel, karena menunggu Naja terlalu lama. Fahri tidak sendirian, melainkan bersama dengan Tejo dan mumun, bunglon kesayangannya. “Kemana aja sih lu Bon! Lama banget. Mau dandan selama apa pun, tetep aja lu itu jelek!” decak Fahri kesal, sembari melayangkan ucapan yang begitu menyayat hati. ‘Sabar ya Allah, manusia di depan Naja memang tidak punya stok tutur kata yang lembut,’ setelah selesai membatin, Naja langung masuk ke dalam mobil.  “Sabar kali mas. Tadi Naja lagi beresin kamarnya mas Fahri. Nanti ngomel-ngoel pas mau tidur kamarnya berantakan. Lagian tadi pagi ‘kan udah Naja beresin, kenapa berantakan lagi sih?” omel Naja sembari membenarkan letak poninya yang sedikit berantakan “Bisa nggak, kalo lagi diomelin jangan balik ngomelin?” Fahri bertanya menatap Naja datar. Naja memilih bungkam dan mengalah. Apabila api dibalas dengan api maka tidak akan pernah padam.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN