bc

(Indonesia) Bobon My Darling

book_age18+
1.1K
IKUTI
13.3K
BACA
family
pregnant
others
comedy
bxg
bully
others
like
intro-logo
Uraian

'Kenapa posisinya harus begini sih, mas?’ batin Naja berdecak kesal.

‘Kalau di amati dengan seksama, Bobon itu cantik walau tak terlalu putih tapi dia manis. Apaan sih gua? Mana mungkin gua suka sama si Bobon!’ Fahri merutuki dirinya sendiri karena telah memuji Naja.

“Mas, bisa minggir nggak? Mas itu berat tau. ”

“Lagian ngapa sih lu pake acara modus jatuh segala?”

‘Eh, Supardi! Siapa juga yang mau jatoh? Kek di pelem-pelem aja.’ Gadis itu masih saja mengoceh didalam hati. “Mas kalo mau ngomel minggir dulu!”

Fahri masih saja mengomel diatas Naja. Meskipun sudah tahu badan dia itu besar, dia tidak berpikir tentang yang di bawahnya akan terhimpit.

Baru saja Fahri ingin bangkit, tiba-tiba pekikan dari belakang mengagetkan keduanya dan itu mengakibatkan Fahri kembali pada posisi semula.

“Astagfirullah! Kalian ngapain? Di depan pintu tindih-tindihan? Ya Allah!” Suara mama yang begitu melengking terdengar dari arah belakang.

“Aww ampun mah, ampun! Ini nggak seperti mama kira kok.”

Ternyata sang mama memergoki keduanya. Niatnya ingin mengajak Naja untuk mengobrol bersama tapi justru disuguhi pemandangan yang tidak enak dilihat.

“Kamu ya! Adik sendiri mau di anuin! Dasar anak kurang ajar! Walaupun Naja itu bukan adik kandungmu, tapi tetap saja itu tidak baik!” omel sang mama dengan tangan yang tak lepas menjewer telinga Fahri.

chap-preview
Pratinjau gratis
1
Tidak pernah ada di dalam kamus seorang gadis bernama Bonanza akan menjadi semenyedihkan seperti iini menjadi babu gratisan dari seorang lelaki yang paling menyebalkan di seluruh dunia.  “Bon! Lu di mana sih? Jangan bilang lu berak ya? Ya allah Bon ini udah jam delapan loh. Perasaan tadi lu di kamar mandi dari jam enam dah. Betah amat di kamar mandi. Itu poop kaga bakalan berubah jadi emas.” Teriak Fahri tepat di depan pintu kamar mandi. Hampir saja Naja mengumpat, namun gadis itu berhasil menahan mulutnya untuk tidak berucap kotor. Dulunya Naja adalah seorang gadis kecil pengemen jalanan. Entah mengapa ada seorang lelaki menghampirinya lalu menawari gadis kecil itu menjadi anak tirinya. Sempat Naja menolak, namun lelaki itu terus berusaha membujuk Naja kecil untuk ikut ke rumahnya.  “Tidak semudah itu nak, istri om sibuk dan juga sudah tidak mau hamil lagi satu anak sudah cukup,” ucap lelaki itu dengan pandangan yang sulit diartikan. “Tapi om, memang anaknya om mau nerima aku sebagai adiknya? Om liat sendiri aku dekil seperti ini,” jelas Naja sembari memutar tubuhnya seolah ingin memperlihatkan betapa dekil dan tidak pantas dirinya menjadi bagian dari keluarga lelaki itu. Lelaki itu tersenyum, “Pasti dia mau kok. Mau ya jadi anak om?” Naja tidak tega melihat raut wajah lelaki itu yang sunggu memelas, akhirnya Naja mengangguk. ‘tidak ada salahnya mencoba bukan?’ batin Naja. Lelaki itu sangat bahagia saat Naja menyetujui ajakannya.  “Om, Naja tidak bisa bernapas,” cicit Naja merasakan sesak yang luar biasa saat lelaki itu memeluknya erat. “Maaf sayang, Om terlalu bahagia. Sekarang jangan panggil om lagi, panggil papa aja yah nanti panggil istri papa, Mama. Bagaimana?” “Iya deh om eh … Papa hehehe.” Naja memamerkan deretan giginya yang kuning membuat lelaki itu mengacak rambut gadis kecil itu gemas. “Ya sudah yuk kita pulang ke rumah. Pasti kakak kamu sudah menunggu.” Lelaki itu menarik pergelangan tangan Naja yang kecil. “Pah, boleh nggak kalau aku panggil kakak, mas aja?” Naja mencoba untuk menegosiasi. “Boleh kok.” Lelaki itu berucap dengan senyum yang mengembang. Naja pun ikut tersenyum.“Pah nama mas aku siapa?” “Akhdan Fahri Azhari, panggil sesuka hati kamu. Nama kamu Bonanza ‘kan? Betul?” “Kok papa tau nama Naja?” bibir gadis kecil itu mengaga karena terkejut. “Naja? Jauh sekali sama nama asli kamu sayang?” tanya sang papa sembari mengusap surai kepala Naja “Kata temen-temen biar nggak ribet papa.” Jawab Naja dengan polosnya. Keduannya hanyut dalam obrolannya  hingga tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah” “Pah ramai sekali. Naja takut.” Naja bergerak mudur tepat di belakang papa barunya dengan tubuh yang menggigil takut. Papa tersenyum, “Sudah tidak papa. Mereka akan menerimamu.” Naja tersenyum lalu mengangguk. Naja semakin mengigil ketakutan saat anak laki-laki kecil di atas usianya sedang menatapnya tajam. Dia menatap Naja seolah gadis kecil itu adalah kotoran yang harus disingkirkan. “Iya-iya, Naja tahu kok, badan Naja itu kumal, dekil, dan lepek. Biasa aja keles litany,” batin gadis itu kesal. “Papa dia siapa, kok dekil banget?” tanya anak Laki-laki itu yang umurnya lebih tua dari Naja. “Enak saja mengatai Naja dekil, memangnya situ sudah masuk dalam kategori pria tertampan di dunia gitu?’ batin Naja menggerutu kesal. Bocah laki-laki itu masih saja menatap Naja sengit meskipun Adnan—sang papa—sudah berusaha untuk mendekatkan mereka berdua.  “Ini hadiah untuk kamu Fahri,” jelas Adnan semakin membuat raut wajah bocah laki-laki itu semakin tidak suka. “Fahri pengennya adik dari rahim mama, pah. bukan anak pungut kaya dia!” Fahri menatap Naja begitu tajam. “Fahri jaga bicara kamu!” Adnan member teguran sang putra dengan suara yang cukup keras. “Eh dekil. Liat! gara-gara anak pungut kaya kamu, aku jadi di bentak sama papa!” Fahri berteriak tepat di depan wajah Naja. Membuat ke dua mata Naja terpejam. Naja sedikit menajamkan indera penciumannya, “Mas Fahri abis makan jengkol ya?” tanyanya polos membuat semua orang yang berada di sana tertawa. Fahri semakin menatap benci Naja yang sedang menampilkan wajah polos tanpa dosanya. “salaku di mana sih mas?” tanya gadis kecil itu di dalam hati. “Mah, pah salah Naja di mana? Kenapa mas Fahri melotot terus?” Naja menatap ke dua orang tua barunya secara bergantian. “Sayang nama kamu siapa?” Winda—sang mama—berjongkok menyamai tubuh Naja. “Bonanza mah. Mama bisa panggil Naja.” Gadis itu berkedip imut membuat Winda tidak tahan untuk mencubit hidung minimalisnya. “Baiklah sayangnya mama, sekarang kamu masuk ke kamar ya. Sebelum tidur bersih-bersih dulu gih berhubung kamu belum punya baju, kamu pakai dulu punya kakak kamu ya?” “Mas mama, bukan kakak,” protes Naja tidak terima. Entah mengapa panggilan ‘mas’ itu sangat berarti untuknya. “Oh baiklah.” Winda menghela napasnya pelan. Lalu wanita itu berdiri. “Mama, aku nggak mau dipanggil mas. Aku bukan mas-mas penjual asongan,” kali ini Fahri yang melayangkan protes. Sedari tadi lelaki kecil itu tidak berhenti memelototi Naja. ‘Memangnya ada yang salah dengan panggilan ‘mas?’ kan nggak semua panggilan ‘mas’ itu untuk penjual asongan di pinggiran jalan. Banyak kok mas-mas bule yang ganteng dan gagah,’ bati Naja memprotes. “Fahri ngalah sama adiknya.” Winda mencoba untuk menasehati. Anak lelakinya itu memang kelewat manja. Karena sedari kecil sudah diperlakukan bak raja oleh Adnan dan Winda. “Sampai kapan pun aku nggak mau ngakuin dia sebagai adik Fahri, mah! Fahri nggak mau punya adik dekil macam dia!” setelah berucap demikian Fahri melenggang pergi beserta dengan kekesalannya. “Naja sadar kok,Naja itu item, dekil. Tapi, nggak usah diperjelas juga kali mas,’ lagi-lagi Naja hanya bisa berprotes di dalam hati. “sayang maafin Fahri ya, dia memang seperti itu. Kamu yang sabar yah. Butuh waktu buat akur sama dia.” Winda mengusap ke dua pipi Naja pelan. “Iya mah. Aku juga tau diri kok.” Naja tersenyum, mencoba memaklumi tingkah Fahri yang terlalu semena-mena kepadnaya. “Sudah jangan pikirkan perkataan Fahri, sekarang kamu bersih-bersih ya,” ucap Adnan. Naja mengangguk sebagai jawaban ‘iya’ lalu gadis kecil itu dituntun Winda untuk masuk ke rumah. *** Kurang lebih seperti itu lah sambutan Fahri yang pertama kali untuk kedapatan Naja di rumahnya dan sampai sekarang pun masih sama, malah terkadang bertambah parah. Naja tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah, tapi ada kalanya Naja membantah kalau perlakuan Fahri sudah keterlaluan.   Sedari tadi Naja memang melamun di kamar mandi, tepatnya di atas kloset. Entah mengapa kloset menjadi tempat ternyaman untuk Naja merenungkan nasipnya. Terkadang dia juga menghayal bisa liburan ke pulau bersama dengan abang bule yang sering dia lihat di internet. “Bon! Lu di mana sih? Jangan bilang lu berak ya? Ya Allah Bon ini udah jam delapan loh. Perasaan tadi lu kekamar madi dari jam enam dah. Betah amat dikamar mandi! Itu poop kaga bakalan berubah jadi emas.” “Iya sabar. Gangguin orang lagi berimajinasi aja sih!” gerutu Naja sembari membukakan pintu. “Lagian lu ngapain sih berimajinasi sambil berak! Kaya nggak ada tempat lain aja.  tuh poop lu kaga berubah jadi emas!” omel Fahri panjang lebar. Hingga rasanya Naja ingin menulikan telingannya untuk sejenak saja. “Semerdeka Naja lah mas!” Naja menatap Fahri jengah. Lalu Naja melenggang pergi melewati Fahri begitu saja. Terkadang Naja memang songong, namun kesongongan Naja masih kalah jauh dengan Fahri. “Eh nama lo itu Bobon! Kalo Naja itu kebagusan,” protes lelaki itu dengan suara yang keras. Untuk ke duanya tinggal di apartemen, jika mereka tinggal diperkampungan mungkin bisa saja langung diusir oleh ketua RW.   ‘Ada cangkul atau pisau daging nggak? Rasanya Naja pengen memutilasi mulutnya,’ batin Naja, karena terlampau kesal. Naja memutar bola matanya jengah saat melihat Fahri keluar dari kamar mandi hanya menggunakan celana pendek jauh di atas lutut. Pemandangan seperti itu memang sudah Naja dapatkan sedari kecil. Tapi, semakin dewasa Naja semakin rishi melihatnya. “Bisa nggak sih mas, kalau keluar kamar mandi itu pakai baju yang lengkap,” protes Naja disertai dengusan. “Udah berapa kali gua bilang,  jangan panggil mas, serasa kek mas-mas penjual asongan tau nggak!” “Bawel banget, nggak semua mas-mas itu penjual asongan,” bantah Naja mulai tidak terima. “Udah sono mandi, badan lu bau asem. Abis itu beresin kamar gua!” perintah Fahri tanpa perasaan. “Suka ngatur, nyuruh nggak pakai kata ‘tolong,’ dasar lelaki nggak punya hati!” dumal gadis itu di dalam hati. Seperti itu lah sifat Fahri dengan segala kesongongan dan ketidak adilannya kepada adik angkatnya sendiri. “Bobon celana levis gua yang warna nafy kemana ya? Kok nggak ada?” lelaki itu berteriak dari dalam kamarnya. Lagi-lagi Naja memutar bola matanya jengah. “Apaan lagi sih? Padahal punya mata, tapi kenapa nggak pernah dipake sih?” gumam gadis itu semakin kesal dengan tingkah Fahri yang selalu membuat darahnya naik. Naja menghampiri Fahri dengan raut wajah yang malas, “Apa lagi sih mas? Biasannya juga Naja naronya di belakang pintu. Emang mau kemana sih? Ini kan hari minggu. Nggak aja jadwal kuliah juga.” Fahri menghampiri tempat yang di maksud Naja. Benar saja celanannya tergantung rapih di saa. “Gua pengen beli istri buat Tejo,” jawab lelaki itu seringan kapas sembari memakai celanannya di depan mata Naja. Gadis itu melotot sempurna. ‘tidak salah dengar ‘kan? Beli istri buat Tejo? Makin gila nih orang. Itu si Mumun lagi bunting woy!’ jerit Naja dalam hati. Tejo dan Mumun itu adalah hewan sejenis bunglon. Entah mengapa Fahri begitu menyuaki hewan yang pandai berkamuflase itu. “Naja harap sih otaknya mas Fahri masih sehat, nggak lihat si Mumun lagi bunting apa?” protes gadis itu, tangannya meremas gagang kemoceng bersiap-siap ingin memukul kepala Fahri. “Kok lo yang jadi protes sih? Yang mau gua cari istri baru kan Tejo atau jagan-jangan lo cemburu ya?” Fahri menatap Naja penuh selidik. “Naja masih waras ya mas,” bantahnya. “Mas, tadi mama nanyain kapan kita berkunjung ke rumah,” ucap Naja sembari merapihkan kasur Fahri yang sudah seperti kapal pecah. “Iya, kapan-kapan.” Jawab Fahri enteg sembari meraih kunci mobil yang berada di atas meja.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

RAHIM KONTRAK

read
418.3K
bc

True Love Agas Milly

read
197.7K
bc

Bad Prince

read
509.0K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.2K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.5K
bc

Secret Marriage

read
942.8K
bc

Turun Ranjang

read
578.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook