3 - Mantan

1262 Kata
(n.) yang sudah pergi, tapi kadang datang tiba-tiba di pikiran, kadang datang tiba-tiba ngungkit kenangan. -CommaWiki *** Damar POV Dia. Wanita yang semakin cantik dalam balutan setelan kerja. Dia. Wanita yang dulu gue putusin dengan alasan klasik. Dia. Entah kebaikan apa yang pernah gue perbuat di masa lalu, sampai Tuhan mempertemukan gue dengan dia. Dia. Yang selama bertahun-tahun gue cari keberadaannya. Dia. Yang pernah gue bawa terbang tinggi dan gue jatuhkan dari tempat yang tinggi. Dia. Melody Anjani. Cinta pertama gue yang nggak ada satu pun orang tahu. Pacar pertama gue sekaligus orang yang udah gue bikin patah hati. Masih adakah maaf buat gue? Disisi lain, gue bersyukur, dia bisa menjalani kehidupannya sampai seperti sekarang. Ody gue. Wanita yang saat ini ada dihadapan gue. Wanita yang nggak bakal gue lepas buat yang kedua kalinya. Selamanya milik gue. She's mine. Ada rasa rindu dan gemas karena Ody seolah-olah nggak kenal gue. Gue tatap tajam dia, sampai dia akhirnya nggak ngebantah kalau kita pernah jadi teman sekampus sebelum gue pindah ke luar negeri. Itu adalah satu dari sekian fakta tentang masa lalu kita. Katakanlah gue bodoh, karena sampai sekarang rasa itu masih ada. Bukannya mati atau hilang, malah semakin tumbuh. "Dek, gue balik kantor duluan ya. Ndra, gue balik duluan ya," suara Ody membuyarkan lamunan gue. Sesaat gue lihat jam tangan yang gue pakai. Memang benar jam makan siang udah mau habis. Pantas aja Ody buru-buru balik kantor. Tapi dibalik itu semua, ada alasan lain dia ingin cepat-cepat pergi dari sini. "Oh, iya kak. Thanks ya," itu adalah suara Nada, staff gue di kantor. Dan info mengejutkannya, dia adalah adik dari Ody. "Balik kantor naik apa, kak?" sedangkan itu adalah suara Andra, sahabat gue. Cih, SKSD banget nih bocah, pakai segala panggil 'kak', mentang-mentang udah ngegaet adiknya, cibir gue dalam hati. "Taksi online aja, atau ojol biar cepet sampai," sahut Ody, seolah-olah nggak kasih cela buat gue ngomong. Gue perhatiin aja dari tadi, sampai dapat celah kosong diobrolan mereka bertiga. "Biar gue aja yang anterin, sekalian balik kantor," ucap gue cepat. Nah, dapet juga kan celah kosong. Dalam hati gue tersenyum jumawa. Secepatnya gue berdiri dan nyusul Melody yang udah jalan duluan. Gue tarik tangan kanannya tanpa peduli tatapan aneh Nada dibelakang gue dan penolakan dari Ody. Gue genggam tangannya kuat tanpa peduliin Ody yang ngomel sepanjang jalan ke parkiran. "Gue balik kantor sendiri," suara datar yang keluar dari mulut Ody berhasil berhentiin langkah kita berdua. Ditambah dia yang sekuat tenaga melepas genggaman tangan kita. "Nggak. Biar aku antar," ucap gue tegas dan natap kedua matanya tajam. Gue tahu kalau nyalinya mulai ciut, tapi dia coba balikin mimik wajahnya tenang lagi. "Gue bisa sendiri," kekehnya dan berhasil lepas dari genggaman gue. Raut wajah datar dan sikap dinginnya tadi buat gue ngejar dia lagi. Gotcha! Gue genggam tangan kirinya dan seret dia buat ngikutin gue. "Aku yang antar kamu dan tidak ada penolakan," ucap gue final. Dan sejak tadi, gue emang sengaja nggak pakai kata 'lo-gue' pas ngomong sama Ody, justru 'aku-kamu' biar dia peka. Karena setahu gue, Ody tipikal orang yang peka. Akhirnya, dia ngikutin gue sampai mobil meski yang gue tahu kalau dia geram banget gara-gara kelakuan gue. Damar POV end. Setelah sedikit drama, Damar dan Melody sampai di depan mobil Damar. Segera dibukakan pintu penumpang untuk Melody dan tanpa banyak bicara tubuhnya masuk ke dalam mobil tersebut. Damar pun menutup pintu setelah memastikan Melody duduk dengan nyaman. Sedangkan dirinya duduk di kursi belakang kemudi. Mobil mulai meninggalkan area parkir menuju kantor Melody. Selama perjalanan, Damar memutar radio di mobilnya untuk menghilangkan suasana canggung. Ditambah jalanan yang agak macet. Melody mendoktrin dirinya agar tidak menoleh ke samping, berbeda dengan Damar yang curi-curi pandang ke kursi sebelahnya. "Ekhem," Damar sengaja berdeham agar atensi Melody beralih padanya, bukan jalanan. Namun, Melody bersikap acuh. "Nggak capek itu kepalamu, Dy?" ucap Damar memancing Melody agar mengeluarkan suaranya. "Dy," "Ody," "Sayang," "Hon-" "Berisik!" ketus Melody. Damar terkekeh karena aksinya. Tangan kirinya meraih tangan kanan Melody, menggenggam dan mengusap punggung tangan tersebut dengan ibu jarinya. Tidak ada penolakan, hanya terdengar suara decakan dari mulut Melody. Damar terkekeh mendengarnya. "Long time no see ya," Damar kembali membuka obrolan diantara mereka. Tak terasa mobil Damar sudah sampai di depan lobby kantor Melody. Melody yang tersadar, segera menarik tangannya dari genggaman Damar diikuti suara seatbelt yang terbuka. "Thanks," suara Melody sebelum keluar dari mobil Damar. Ditatapnya sebentar orang dibelakang kemudi tersebut. Disusul terbukanya sisi lain pintu mobil Damar dengan Melody yang mulai beranjak. "Nanti sore ku jemput. Nggak ada bantahan," suara Damar menghentikan sejenak aksi Melody keluar dari mobilnya. Melody yang mendengar ucapan Damar, memutar bola matanya. "Terserah," lagi dan lagi, Melody menjawab ucapan Damar dengan ketus. Brak! Melody mulai melangkah jauh dari mobil Damar, sedangkan Damar masih setia belum beranjak dari posisinya. Ia mengikuti langkah Melody sampai punggungnya tidak terlihat lagi. Damar memastikan jika Melody memang kembali bekerja, bukan untuk menghindarinya dengan alibi bekerja. Setelah cukup puas, ia mulai melajukan mobilnya menuju kantor. Waktu berlalu begitu cepat. Tahu-tahu, jam kerja sudah berakhir. Mungkin bagi mereka, karyawan lain, sangat senang jika waktunya pulang. Lain halnya dengan Melody yang sangat malas beranjak dari tempat duduknya. 30 menit sebelum jam kerja berakhir, dirinya menerima dua buah pesan. Nomor baru. Tapi Melody sudah bisa menebak siapa pengirim pesan tersebut. +6281243xxx Tunggu aku di depan lobby. 16.30 +6281243xxx Jangan coba-coba kabur atau kamu akan ku hukum! 16.32 Sudah jelas bukan siapa pengirimnya? Tentu saja Damar, laki-laki yang tadi siang mengantarnya kembali ke kantor. Melody hanya membiarkan pesan tersebut tanpa repot-repot membalasnya. Beberapa rekan kerjanya sudah meninggalkan kantor. Melody juga bergegas membereskan barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas jinjing miliknya. Dirinya berjalan dengan langkah berat menuju lift yang mengantarnya ke lobby. Beberapa kali hembusan nafas ia keluarkan. Melody juga tidak memperbaiki riasannya seperti wanita kantoran pada umumnya, ia biarkan begitu saja, apa adanya. Yang penting, dirinya segera sampa di apartemen dan mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Ting! Kotak besi yang membawanya ke lobby pun berhenti. Karena sebagian karyawan sudah pulang terlebih dahulu, maka lift tidak penuh sesak seperti biasanya. Melody melangkah keluar dari lift dan mencari si pengirim pesan ke nomornya. Sangat mudah ditemukan karena penampilannya bak CEO meski tanpa jas dan dasi sedang bersandar disamping mobilnya. Kedua lengan kemejanya tergulung sampai siku dengan satu kancing teratas dibuka membuat karyawan lain berjenis kelamin perempuan terpanah. Kecuali Melody. Ia berdecak dan memutar bola matanya, jengah karena aksi Damar tersebut. Playboy cap kampret beraksi, batinnya.  Mengabaikan pandangan karyawan lain, Melody mendekat ke arah Damar. Cup. "Hai," senyum manis Damar terpampang nyata setelah memberikan kecupan singkat di pipi kiri Melody. Kedua mata Melody melotot akibat aksi Damar. Damar yang melihatnya pun terkekeh, merasa terhibur dengan raut wajah Melody. Grep. "Yuk, pulang!" ajak Damar setelah berhasil merengkuh pinggang Melody tanpa peduli pelototan Melody dan kasak-kusuk karyawan lain yang lalu lalang. "Gila, senyumnya manise," "Beruntung banget itu cewek ya," "Beh, hawt banget bang," "Itu cewek yang dicium, pipi gue yang anget," "Dasar cewek kecentilan," "Masih cantikan gue kali," "Body kayak papan triplek gitu aja, songong banget," Damar pun membukakan pintu untuk Melody dan menyuruhnya masuk. "Maksud lo apa?" akhirnya Melody bersuara setelah menahan sedari tadi. Terdengar geraman dalam ucapannya. Cup. "Udah, cepet masuk. Keburu macet," sahut Damar mendorong tubuh Melody setelah mengecup singkat bibirnya tanpa tahu mata Melody yang membulat sempurna. Sial, menang banyak nih playboy kampret, batinnya geram. Brak! Damar berhasil menutup pintu sisi mobilnya setelah memastikan Melody duduk diam. Setelahnya, ia berlari memutari mobil menuju kursi dibelakang kemudi. Ah, mantan. Manis dalam ingatan, batin Damar. Tak lama, mobil bergerak meninggalkan area kantor dengan Damar yang tersenyum puas sambil memegang kemudi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN