Bab 1. Bidikan Daxton Maddison
"Bawakan gelasnya lebih dekat!"
Freya tersentak dengan perintah tegas pria di depannya, tubuhnya hampir limbung andaikan tidak seimbang menahan diri, apalagi cengkeraman tangan pria itu menarik pinggang rampingnya sampai-sampai tubuh mungilnya terjatuh di pangkuan.
"M-maaf," kata Freya terbata-bata. Dia hendak bangkit akan tetapi, pinggangnya ditahan oleh pria tersebut membuatnya kalang-kabut. Gelas yang berada di tangan kanannya pun dipegang erat takut membasahi celana mahal kliennya.
"Tenanglah. Tidak perlu takut. Bantu saya minum!" ujarnya memaksa dengan mencengkeram pergelangan tangannya.
"Hei, Bong! Dia ketakutan sialan," tegur temannya diikuti juga dengan siulan menggoda.
Pria yang tengah memangku Freya membalas bersiul menggoda lalu mengendus leher jenjangnya, karena tindakan lancangnya itu membuat Freya tersentak—berusaha mencegah dengan menarik kepalanya, tetapi justru membuat keseimbangannya oleng sehingga gelas yang dipegang tumpah membasahi celana bahan kliennya.
“OH s**t!” teriak pria itu langsung berdiri membuat tubuh Freya jatuh ke lantai dengan suara gelas yang memantul lantas pecah, pecahannya berserakan di dekat tangannya membuat telapak tangan cantiknya tertancap beling-beling kecil. “Jalang kurang ajar! Ikut saya!”
Teriakan kedua disertai dengan jambakan rambut yang membuat pekikan Freya memecah keheningan musik DJ. Freya menangis, dalam hidupnya tak pernah diperlakukan serendah dan sekasar ini oleh orang lain. Mendiang orangtuanya sangat lembut memperlakukannya tentu hal baru ini membuatnya ketakutan.
Sepanjang perjalanan menuju ke dance floor penuh dengan tatapan mencemooh dan kasihan dari pengunjung lain. Mereka semua tahu siapa yang menyeret Freya bahkan pemilik bar pun tak berani menghentikan aksinya.
“MATIKAN!” teriak pria itu dengan melepaskan cekelan tangannya pada Freya lalu mendorongnya jatuh tersungkur. Dia jatuh dengan kedua telapak tangan menghantam lantai dingin guna menyangga tubuhnya.
Musik langsung mati, gemerlapan lampu kelap-kelip pun turut mati dan berganti dengan lampu utama yang menyorot tepat pada Freya. Rasanya Freya ingin pingsan dan menghilang saja dari sini, niat hati untuk berlindung justru neraka duniawi dia dapatkan.
“Perhatikan wajahnya dengan jelas!” titah pria itu. “Jangan ada kamera di sini!”
Orang-orang yang sejak tadi merekam pun menurunkan tangannya dengan amat sangat terpaksa. Mereka tidak berani melawan.
“Wanita ini dengan berani melawan Daxton Madison. Lucuti pakaiannya agar dia tahu sedang berhadapan dengan siapa saat ini.”
Sorak-soraknya membuat Freya meneteskan air mata. Dia menggeleng dengan kedua tangan memohon ampunan kepada pria yang baru diketahui bernama Daxton Madison. Namun, sekeras apa pun dia memohon dengan segala isak tangis tak membuat Daxton merasa iba. Tidak ada yang bisa dia mintai tolong, teman dekatnya pun tak ada di dalam kerumunan ini. Freya pasrah.
"Tunggu apa lagi?! Segeralah—" Ucapannya terpotong karena suara dering ponsel nyaring di saku jasnya. Daxton mendesah kesal lalu menyingkir guna mengangkat teleponnya.
"Ya, Mima?" tanyanya dengan suara lembut, sangat berbeda dengan bentakan dan makian kasarnya yang baru beberapa menit terlontar. "Kenapa pria tua itu selalu memaksa?! Saya sudah bilang batalkan saja, kita tidak akan bangkrut hanya karena perjodohan sialan yang tidak terlaksana, Mima."
Wajah kecut Daxton membuat Irzal yang mendekat pun urung, apalagi tangan Daxton terangkat ke atas memintanya tetap di tempat lalu setelahnya merogoh saku celana dan melemparkan kunci mobil pada temannya itu.
"Ya-ya baiklah saya pulang sekarang. Jangan mengancam terus, Mima." Decak sebal Daxton usai memastikan sang ibu sudah mematikan teleponnya. Langkah kaki panjangnya kembali ke dance floor dan menatap dingin wanita yang menjadi pusat perhatian. Pakaiannya masih utuh padahal Daxton ingin membuat pertunjukan malam ini, tapi apa boleh buat karena pengganggunya adalah wanita tercintanya. Mana mungkin menolak.
Pria itu melewati kerumunan dengan langkah tegas, seakan dipersilakan mereka membelah memberi jalan. Langkahnya berhenti sejenak di depan Freya, lalu tubuhnya jongkok dan meraih rahang kecil wanita itu dalam cengkeraman. Tanpa diduga Daxton menciumnya brutal di depan semua orang tidak peduli dengan keterkejutan si empunya. Tidak ada yang berkutik, di belakang punggung Freya sosok wanita paruh baya dengan pakaian sexy mengangguk-angguk seraya mengembuskan rokok. Daxton menyeringai saat isi kepalanya sudah terbaca oleh wanita itu. “Kita akan bertemu lagi.”
Lalu dia beranjak, meninggalkan Freya dengan tubuhnya yang kembali luruh. Kepalanya memaling saat dagunya dihempas kasar oleh Daxton. Dia beranjak dengan tertatih tanpa bantuan siapa pun. Kerumunan yang sudah mulai berkurang bukan berarti ada seseorang yang berbaik hati menolong. Ejekan dan sorakan serta godaan m***m masih dia denger hingga berhasil berdiri dan pergi ke kamarnya.
Selain rasa malu yang tidak terlalu besar, justru rasa sakit yang mendera dadanya sampai terasa sesak. Freya belum bisa berhenti menangis begitu masuk ke kamarnya. Dia menunduk meratapi telapak tangan yang masih sama—belum diobati—bahkan darahnya pun mengering, terasa perih dengan pecahan gelas yang menancap dalam. Saking kalutnya sampai tidak mendengar pintu kamar yang dibuka lalu sosok wanita paruh baya bertubuh seksi masuk dengan hisapan rokoknya.
“M-mami,” panggil Freya tergagap. Apakah kedatangannya untuk memecat Freya karena dirinya tergolong pekerja baru. Belum genap satu minggu, tapi sudah membuat gempar karena kecerobohannya.
“Calm, Sayang. Mami datang bukan untuk memarahi kamu apalagi memecatmu. Kedatangan Mami bawa kabar gembira buat kamu, katakan kamu mau uang berapa?”
Deg!
“A-apa?” Freya tergagap.
“Sayang … Mami tahu kamu butuh uang banyak untuk menaikkan kasus pembantaian dua tahun yang lalu. Hem? Beritahu Mami butuhnya berapa, Sayang?” Desah napas Charlotte menerpa wajah Freya saat dagunya diangkat supaya sejajar dengan wanita itu. “Jangan takut.”
“Aku … takut. Mau pulang,” cicit Freya gemeteran.
Charlotte mengangguk paham lalu memeluk Freya begitu saja. “Tenanglah, jangan takut,” katanya mengelus punggung Freya. “Apa sudah diobati?”
Kepala Freya menggeleng. Dia ketakutan bukan hanya kepada Daxton, tapi juga kepada wanita yang memeluknya saat ini. Charlotte yang dia temui sangat berbeda dengan Charlotte yang mengintimidasinya saat ini.
Pelukannya dilepaskan Charlotte, keduanya saling tatap dalam diam. Kepala Freya yang menunduk diangkat dagunya oleh Charlotte supaya sejajar.
“Tenangkan dirimu terlebih dahulu, Sayang. Temui Mami saat sudah tenang, okay?” Charlotte bangkit, mengusap puncak kepala Freya dengan lembut. Dari perangainya terlihat seperti ingin melindungi, tapi makin diperhatikan justru seperti wanita pemaksa. Freya pun tak tahu sebenarnya apa yang diinginkan wanita itu sampai-sampai memberikan perlindungan.
Sepeninggalnya Charlotte pintu kamarnya kembali terbuka oleh penghuni yang berbeda. Sosok dengan tubuh semampai langsung menghambur memeluknya disertai tangisan.
"Sorry nggak ada di saat lo butuh gue, Freya," katanya dengan isak tangis.
Freya menepuk-nepuk punggung teman barunya yang sudah dianggap seperti kerabat dekat. "Aku tidak apa-apa, Jasmine. Hanya luka kecil," balasnya. "Jangan berlebihan."
"Berlebihan kata lo?!" teriak Jasmine melepas paksa pelukannya. Wanita itu meninju bahu Freya lalu mencebik kesal. "Mana kotak obatnya?"
Freya terkekeh melihat hidung Jasmine memerah karena menangisi dirinya. Dia berdiri dari kasur single lalu membuka lemari baju dan menyerahkan kotak obat seadanya. Hanya ada obat merah dan tissue, tidak ada kain kasa.
“Bahkan belum dibersihkan, Freya! Minimal dikompres pakai air hangat,” omel temannya.
“Aku kan nungguin kamu selesai, Mine. Emangnya klien malam ini ada berapa?” tanya Freya berpura-pura penasaran dengan dalil mengalihkan fokus perhatian temannya. Supaya Jasmine berhenti mengkhawatirkan dirinya.
Usaha Freya berhasil karena wajah cemberut Jasmine mulai nampak. Dengan telaten membasuh telapak tangan Freya menggunakan air mineral yang ada lantas menjawab, "Badan gue sakit semua karena dibanting ke lantai."
“Kamu serius?”
“Lo pikir gue berani bercanda kalau soal ginian? Makanya gue wanti-wanti lo banget jangan mau dikasih job tambahan sama mami. Lo cukup jadi waiters aja, deh. Udah cukup naik pangkatnya. Jangan jadi seperti gue, Freya.”
Freya terdiam menggigit bibir dalamnya mendengar perkataan temannya. “Kenapa? Kenapa aku nggak boleh seperti kamu? Kalau aku seperti kamu akan mudah dapat uang kan, Mine?”
Jasmine tertegun sesaat lalu menggeleng tegas. “Lo nggak akan bisa berhenti, Freya. Mami nggak akan melepaskan lo dengan mudah. Gue nggak mau lo nyesel di kemudian hari. Please jangan berpikir untuk melakukan pekerjaan buruk ini, Freya,” ucap Jasmine memberi jeda, tangan Freya diraih oleh Jasmine lalu menggenggamnya. “Bahkan saat ini pun langkah lo sudah sangat salah. Andai saja waktu itu gue yang ketemu lo bukan mami. Gue yang akan nolong lo dari kejaran orang jahat itu, bukan mami! Mami nggak akan bertindak kalau tidak mendapat keuntungan, Freya.”