3

1927 Kata
Edzard membawa mobil pribadinya untuk berkunjung ke salah satu vendor sebelum mencapai kesepakatan. Saat Helena membuntuti, merasakan bagaimana acuh dan dinginnya sang bos, dia kehilangan suaranya untuk bersuara atau bertanya macam-macam. Saat mereka masuk melewati bagian kantor, seorang perempuan dewasa menghampiri dengan senyum lebar. "Selamat pagi." Edzard memberi anggukan singkat. Mereka diberi perjalanan singkat mengenai visi misi pabrik dan Helena mencatat poin penting di dalam catatannya. Seperti kebiasaannya ketika mengecek barang bersama Abel, untuk kasus sebelumnya. Mereka dihadapkan pada ruangan sang bos yang sudah menunggu. Helena sudah mengirimkan pesan bahwa mereka akan datang. Dan pihak vendor yang lolos menyambut baik kesempatan itu. Sosok pria tua berperut buncit dengan rambut putih tak lagi ada di bayangan Helena. Melainkan seseorang berusia tiga puluh dua tahun, dengan postur tubuh tegap. Tinggi yang sama dengan Edzard dan tampak jauh lebih matang. Paras ramahnya membuat dengkul Helena lemas. Tidak sampai di sana, senyum yang menjangkau mata juga kacamata yang membingkai wajahnya sukses membuat Helena terpana. "Selamat pagi, Tuan Edzard dan Nona Helena." "Helena saja," saat mereka berjabat tangan dan tanpa sadar senyumnya melebar. Si bos—Laito, memberikan sapaan ramah yang membuat Helena berdebar. Sebelum mempersilakan mereka duduk, Helena bisa mendengar dehaman singkat dan sorot mata sinis dari sang bos untuknya. Dasar tidak jelas! "Aku benar-benar merasa terhormat saat mendapat kabar bagus ini. Perusahaan ini terbilang baru. Sekitar dua tahun berjalan dan belum banyak memproduksi banyak. Jika kami diberi kesempatan, kami bisa membuka lowongan pekerjaan lebih banyak." "Ini sesuai kualifikasi yang kau berikan," kata Edzard, mulai bicara serius antar sesama perusahaan besar demi mencari keuntungan. "Timku sudah mengirimkan request untuk proposal, aku harap semua sudah beres." "Sekretarisku Agnia akan mengurusnya. Dia sudah memberikan proposal yang kami siapkan dari jauh-jauh hari. Aku bahkan terbuka saat memberikan pernyataan bahwa ada tiga perusahaan besar yang kutawari kerja sama," kata Laito, mencoba memecah kesan kaku di antara mereka. "Ada dua vendor lolos seleksi. Sebelum kita sama-sama menekan kontrak, aku perlu tahu rincinya sebaik mungkin," ucap Edzard, sedikit dingin. "Ini berguna untuk mengurangi kerugian atau komplain barang baru dengan onderdil murah di dalam kendaraan." "Aku mengerti. Walau kami masih terhitung baru, aku bisa memastikan kami tidak akan memangkas biaya produksi suku cadang. Kami berusaha sebaik mungkin meningkatkan kinerja demi kebaikan bersama," suara Laito yang tenang membuat Helena terpana. Ya Tuhan. Bagaimana bisa ada pria sekeren ini hidup di dunia? "Bagaimana dengan gadis cantik ini?" Laito memindahkan tatapan kelabunya pada Helena. "Selama ini, sekretarisku saling terhubung dengan Helena dari divisi purchasing. Aku senang karena dia ternyata sedetail itu tentang produk dan persyaratan." "Untuk mengurangi kerugian dan komplain," jelas Edzard, sinar matanya menatap Laito tanpa makna. "Kami mengalami kegagalan dari sistem penjualan. Belum menyentuh satu persen, tapi berhasil membuat pabrik berantakan." "Ada empat vendor yang mendaftar. Lebih dari itu. Karena kami membutuhkan suku cadang baru untuk transportasi roda empat dan dua, dua vendor jelas diperlukan untuk mengisi kekosongan itu. Aku merekomendasi perusahaan ini. Selagi memberi kesempatan, kenapa tidak?" "Aku tidak bisa berkata-kata sekarang. Ini kesempatan bagus. Aku akan berterima kasih." Edzard memberi reaksi dengan dengusan. Karena si anak buah dan pria tampan yang memikat—Laito, saling melempar senyum ramah satu sama lain. "Laito Acnell, aku mendengar kau memiliki bisnis lain selain bidang industri barang. Kau berbinis hotel dan resort, benar?" Laito tampak semakin muda saat dia tertawa. Matanya fokus pada Edzard. Seperti sosok menawan yang selalu menatap mata lawan bicara. "Kau benar. Aku dan sepupuku mendirikan hotel secara independen. Dan membuatnya menjadi kelompok referal." "Ide bagus. Kelompok referal bertujuan untuk menggabungkan hotel independen demi tujuan bersama seperti hal pemasaran, sistem pemesanan kamar untuk keuntungan yang lebih besar," ucap Edzard serius. Yang berhasil memindahkan perhatian Helena pada Laito dan pada si bos menyebalkan. "Kau benar. Kita bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus mengubah sifat kepemilikan," balas Laito. "Tidak banyak yang punya ide brilian seperti itu. Alasan karena terlalu independen dan keuntungan yang ingin menjadi milik sendiri." Edzard menarik napas panjang. "Dan Daishi Motors menjadi percobaan?" "Aku terjun ke dunia otomotif sejak usiaku lima belas tahun. Ayahku seorang pembalap. Dia memberikan modal yang cukup untukku makan selama satu tahun," Laito tertawa. Dan Helena menyembunyikan diri untuk tidak terus kagum. Pengusaha muda yang sukses dengan prestasi gemilang benar-benar membuatnya terkesima. "Kita bisa melihat kualifikasinya setelah ini. Aku berharap akan membaca proposal itu secepatnya." Edzard bangun, dan Helena meraih tasnya untuk ikut bangun. Saat Laito dengan berbaik hati mengantar mereka untuk melihat contoh barang yang akan menjadi pemasok pabrik motor milik perusahaan, Helena akan menyerahkan contoh ini pada bagian teknisi. "Seperti yang kau tahu dalam masalah bisnis, tim kami tidak akan berhenti untuk mencari kualitas barang bagus. Sebagai permulaan, kita akan menekan kontrak untuk masa percobaan satu tahun. Anak buahku akan terus menjaga komunikasi dengan tim dari perusahaan kalian," Edzard memasukkan kedua tangannya ke dalam saku saat dia melirik Helena yang bicara dengan Agnia. "Kita bisa bicara lagi nanti setelah divisiku memberikan purchase order." "Aku sangat terkesan. Tapi kami akan tetap menunggu respon dari kalian. Negoisasi itu perlu," kata Laito, dengan raut tenang. "Kami sudah sangat yakin. Aku baru saja bicara dengan Nona Agnia, dan mungkin waktu sebulan ini perusahaan bisa membuat invoice dan mengirimkan barang," sela Helena, memotong percakapan mereka dengan formal bersama senyum ramah. "Tentu saja. Aku akan membuka lowongan pekerjaan baru. Ada banyak kesempatan bagi mereka yang mencoba peruntungan dengan mencari uang," balas Laito ramah, menatap mata Helena dengan sorot berbinar. Edzard menatap Agnia sekilas, lalu mengangguk pada Laito setelah dirasa pertemuan mereka cukup. Helena pun sama. Ia harus menahan rasa terpana pada pria luar biasa ini dalam waktu nyaris setengah jam. Agnia mengantarnya sampai ke depan pintu masuk. Helena mengangguk kecil, dan sekretaris berlesung pipit itu balas tersenyum. Saat Edzard masuk ke dalam mobil, membanting pintu cukup keras yang membuat Helena terlonjak. "Aku rasa—," "Pria itu tampan, kan?" Hah? Edzard menarik napas keras, memutar kunci dan menatap datar pada spion sebelum memutuskan untuk mundur dan memutar kemudi. Hanya melirik sedikit pada Helena yang tercengang. Sangat jelas bahwa gadis itu tidak bisa menangkap maksud ucapannya. "Sir, maksudnya—," "Lupakan." Helena benar-benar dibuat pusing sekarang. *** Helena beruntung karena dia kembali di jam makan siang. Si pembunuh suasana berlalu pergi begitu saja. Tidak peduli Helena kelaparan, bertanya sudah makan atau belum, main mencelos pergi. Helena terbiasa berburu kuliner bersama seniornya, Abel. Yang loyal dalam hal makanan dan alkohol. Dia tidak sama sekali sungkan untuk mengeluarkan uang banyak demi bersenang-senang. Helena suka pria itu. Menahan rasa dongkol setengah mati, Helena menemukan dirinya berlalu mencari sebungkus sosis besar dan kopi. Lalu membeli permen karet dan naik ke lantai atas. Tempat divisinya kosong. Mungkin semua rekannya sedang makan siang. Layarnya kembali hidup. Helena mencari iklan lowongan pekerjaan dan bersiap memasukkan lamaran. Ia tidak bisa terus begini! Lama-lama bosnya terasa menyebalkan. Menjengkelkan setengah mati yang membuat hidupnya berantakan dan dirinya kerap naik darah. Kalau suasana kerjanya kondusif dan memiliki bos pengertian, dia akan membuang jauh-jauh ide gila untuk minggat dari perusahaan bagus ini. Menyantap sosis dan kopi, Helena melirik pintu si bos yang tertutup rapat. Apa Edzard semedi di dalam? Cih. Apa pedulinya? Helena memilih untuk acuh. Menatap layar dan mencatat poin-poin penting untuk mengirimkan CV sebagai pelamar baru. Tidak ada salahnya mengirim lamaran sebelum dirinya melapor pada pihak HRD dan memberi surat pengunduran diri pada si bos. Tapi Helena tidak bisa berpisah dari kubikel kesayangan dan teman-teman biang gosip sekaligus empat dimensinya. Ini semua terasa membingungkan. Membuatnya pusing. Sepuluh sampai lima belas menit, kubikel penuh. Saat Kalila bangun, menggoda Abel yang sibuk memilih barang untuk check out karena diskon gila. Atau Sai, yang berusaha bermain poker online tanpa taruhan. "Hei, Helena." Kalimat Kalila terhenti manakala Edzard muncul, tampak linglung dan gelisah. Karena si bos punya toilet sendiri dengan wastafel air hangat, Helena tidak terkejut kalau tahu si bos mandi atau sekadar mencuci muka. Karena tampilan Edzard yang basah membuat darahnya berdesir aneh. Tampang pria itu lumayan, tetapi sikapnya ... ew! Edzard menatap mereka sekilas. Lalu berpindah pada Helena yang mendongak dari kubikelnya sendiri. Kemudian merapat pada Abel, untuk bicara sesuatu yang hanya mereka berdua ketahui. Kalila mencuri sosis dari bungkusan. Dan terbelalak saat dia menatap layar. Suaranya melengking, terdengar histeris. "Kau mau resign?" Suasana berubah sepi. Saat Helena mendengar derit kursi, dan Sai melongok dengan tanda tanya. "Kau ingin mengundurkan diri?" Abel yang bersuara kali ini. "Aku tanpamu butiran debu, Helena. Oh, junior kesayangan kami semua. Kau tidak ada, tidak ada lagi yang bisa kami banggakan pada perempuan berdada besar dan lipstik merah membara!" Kalila masih menggeleng. Dia bahkan cepat-cepat menelan sosisnya. "Helena, aku tahu menjadi peternak sapi menggiurkan. Kau juga punya ladang di desa. Tapi serius? Kau membiarkan kami sendiri? Kau rindu orang tuamu? Atau kau bosan pada kami di sini? Astaga, aku mulai mengerti kecemasanmu. Tapi merasa ini terlalu cepat. Sialan." "Kalila—," "Bayarannya tidak besar. Aksesnya tidak sebebas di kota. Helena, jangan mau kembali ke rimba. Astaga. Susah sinyal!" Kalila masih berapi-api sebelum Helena sempat bersuara. "Kalau kau kembali, kau tidak akan mendapat berita terkini apa pun. Kampung hanya membuatmu semakin terpuruk." "Kau serius akan mengundurkan diri?" Helena bangun saat Sai merapat ke mejanya. Sebelum dia sempat bersuara, Edzard menoleh ke arahnya dalam diam. Raut pria itu tak terbaca. Terutama saat Abel mengoceh tentang Helena dan kebaikannya. Junior yang sangat tabah mendapat hukuman dari si bos, gunjingan dari karyawan lain dan gadis manis yang down to earth. Andai saja Helena bukan junior, Abel berniat menikahi. Sayangnya, ia tidak ingin menjadi peternak sapi kalau menikahi Helena. Sesuai candaan Helena yang bilang kalau suaminya harus bisa bertani dan memerah s**u sapi. "Aku tidak—," "Ini semua salahmu!" Sai menerjang Edzard dengan tuduhan. "Kalau kau tidak suka memarahi, mengomel, dan membuat Helena sedih karena muka tembokmu, dia tidak akan mundur dari tim kita!" Edzard tertampar dalam diam. "Ya Tuhan, bukan begitu. Aku—," "Apa karena bos kita menjengkelkan?" Kalila menyela dengan ekspresi lirih. "Dia memang menyebalkan. Posisiku lebih lama di sini, tapi benar-benar pria homoseksual ini membuatku sakit kepala. Dasar tukang perintah! Kalau kita kekurangan orang, kau sendiri kesusahan. Astaga. Aku ingin mengumpat sekarang." Semua orang menyerang Edzard yang diam. Helena merasa mendapat sengatan bersalah ketika sorot mata kelam pria itu mengarah datar ke arahnya. Ekspresinya masih sedingin pendingin ruangan, tetapi rahang itu mengetat. "Kau pergi karena tidak bisa bekerja di bawah tekananku?" "Jangan bicara begitu, bos!" "Jangan memancing, Edzard. Kita bukan di ruang rapat. Aku punya pemotong rambut di laci. Jangan sampai aku membuatmu botak sekarang," kata Abel, menatap Edzard nelangsa. Meminta pria itu untuk tidak menyulut emosi siapa pun. Semua orang sedang jengkel sekarang. Helena ingin menjelaskan, tetapi rahang dan iris pria itu serasa tajam, menusuknya tanpa ampun. Helena menahan napas. Menemukan Edzard menaruh berkas di atas meja Abel dan berjalan masuk ke dalam ruangannya sendiri. "Ya Tuhan! Kalian kenapa?" "Aku ingin menangis sekarang," ucap Kalila sedih. "Kenapa kita tidak mundur bersama-sama? Aku tidak betah menjadi bahan gosip terus-menerus!" Helena ikut frutrasi. Dia meninggalkan kubikelnya dan berlalu untuk menuju ruang sang atasan. Mengetuk pintu dua kali, dan menemukan Edzard duduk di kursinya. Bertopang dagu sembari memeriksa ponsel. "Bos, aku—," "Kau membawa surat pengunduran dirimu?" Suara sinis Edzard sukses membuatnya mati rasa. "Apa pria tampan tadi memberimu tawaran bagus? Kau berniat pindah ke sana?" "Kenapa tiba-tiba? Beliau tidak pernah menawarkan apa pun padaku," potong Helena dingin, merasa bimbang sekaligus curiga. "Anda mencurigainya sekarang? Ini sama sekali tidak masuk akal." "Oh, jelas. Dia tertarik padamu. Aku paham bagaimana tatapan mata itu untukmu. Perlu kujabarkan lebih lanjut?" Helena nyaris kehilangan keberanian. "Tidak. Itu tidak perlu. Hanya saja aku—," "Helena, kalau kau merasa tertekan karenaku itu sudah semestinya. Aku atasanmu dan aku berusaha untuk menjadikan divisi kita yang terbaik seperti tahun sebelumnya. Itu perlu untuk memastikan tim ini tetap aman sampai beberapa tahun ke depan. Aku mencoba melakukannya." Edzard menarik napas panjang. Menatap serius pada sosok yang menciut di balik kokohnya pintu ruangan. "Atau kau sebenarnya tertarik padaku dan tidak tahan setiap kali kita berdekatan? Insiden malam itu merubahmu. Benar?" Ya Tuhan! "Kau ingin resign karena mungkin jatuh cinta padaku?" Helena mencelos dengan senyum sinis. Saat dia tertawa, memegang perutnya dan melempar pandangan dingin pada si bos tidak tahu diri penuh keburukan ini. "Dalam mimpimu!" Lalu beranjak pergi dengan ekspresi menahan jijik setengah mati. Yang sukses membuat Abel, Sai dan Kalila penasaran. Ada apa gerangan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN