4

1519 Kata
Kegaduhan pagi ini tercipta setelah hampir semua lapisan karyawan di perusahaan mendapat undangan sama dari pihak manajer umum yang supel walau berperut buncit. Tuan Okan. Si bujangan yang mendapat janda dua anak pemilik restauran ayam goreng berjarak dua ratus meter dari kantor. Pernikahan ini dipastikan megah. Karena dalam kondisi krisis, Tuan Okan terkenal ramah. Dia sering memberikan uangnya cuma-cuma untuk petugas bawah yang membersihkan meja dan lantai ruangannya dengan rutin. Memberikan perhatian lebih untuk bunga-bunga kesayangan dari sang pujaan hati. Yang jelas, Keiko akan datang. Helena baru mendapat kabar malamnya. Setelah acara muntahnya karena si bos super percaya diri baru saja menebak bahwa dia jatuh cinta, Helena mual selama perjalanan pulang. "Helena, mau ke mana?" "Memberi dokumen untuk Tala." Sebelum pintu lift terbuka seutuhnya, langkahnya terhenti manakala matanya bertaut dengan sepasang manik pekat yang balas memandangnya datar. Edzard jelas pembunuh suasana yang baik. Helena masuk begitu saja. Dan pria itu melangkah ke luar. Setelah Edzard sepenuhnya pergi, Helena terburu-buru menekan tombol dan memutar mata bosan. Membiarkan Edzard menatapnya dengan alis berkerut. Seharusnya ia menyisakan sisa bekas muntahannya semalam. Agar pria itu cepat sadar! "Selamat pagi bos!" Sai menyapa ramah. Mengangkat cangkir kopinya dan Kalila membungkuk seadanya. Saat Abel memberi senyum lebar pada Edzard yang termenung. "Kalian punya rapat pagi ini?" "Tidak ada. Semua urusan sudah beres. Berterima kasih pada junior cekatan yang kabarnya akan mengundurkan diri," kata Sai, kekaleman yang membunuh. "Coba tebak. Karena siapa?" Kalila balas mendengus. "Aku juga sedang mencari loker yang bagus. Semua menerima pengalaman yang banyak seperti aku. Apa aku harus resign juga?" Abel terkekeh dari balik meja. Mendorong bahu Kalila dan mendesis. "Pirang, kalau kau minggat dari sini, kau harus ajak aku. Aku butuh meja yang besar dan bos yang transparan. Sekalian kalau perlu robot!" Semua tertawa. Dan Edzard hanya bereaksi dengan gelengan kepala. Sebelum masuk ke dalam ruangan, dan ledakan tawa kembali. Dasar bawahan kurang ajar! Helena muncul dengan membawa segelas kopi Starbucks dari Tala yang berbaik hati memberikan secangkir kopi untuknya memulai hari. "Guys. Kenapa tertawa? Ada yang aku lewatkan?" "Tentu. Kau tidak lihat ekspresi si bos tadi." "Kalian menggodanya?" Helena bertanya, bersandar pada kubikel dan meminum kopi. "Lebih dari itu. Sekarang ceritakan pada kami tentang kemarin," tawar Sai saat pria itu bergeser dari tempat duduknya. "Kau benar-benar berwajah murung kemarin. Suntuk dan siap meledak. Kenapa dengan Edzard?" Helena tanpa sadar menaruh kasar gelas di atas meja. "Bos kalian benar-benar sinting!" "Bosmu juga," sela Abel dan Helena mendengus. "Baru tahu?" Helena menggeleng dengan raut frustrasi. Saat Sai mengangkat undangan, dan semua orang terpaku menatap undangan di kubikel masing-masing. "Dia selalu sentimental terhadap apa pun. Dasar pria bertemperamen buruk," ketus Abel, dan mengangkat undangannya tinggi. "Kami teman minum. Tapi Edzard benar-benar tipikal manusia yang ditendang dari tongkrongan karena kaku dan tidak seru. Dia menyadarinya dan dia tidak peduli. Bos satu itu memang apatis. Dia tidak akan pernah peduli pada reputasinya sendiri." Helena menahan tawa. "Jadi kemarin dia bicara tentang—," Kalimat Helena terpotong tatkala sosok yang menjadi bahan gosipnya muncul. Kalila bangun dari tempat duduknya, mengambil kertas dan mendesah. "Lanjutkan saja, Helena. Jangan berhenti. Kita harus berakting natural sekarang." Edzard sama sekali tidak menatapnya. Seakan tidak menganggap bawahan juniornya ada. Dan Helena hanya bereaksi dengan dengusan kecil. "Kalian dapat undangan dari Okan?" "Hampir semua orang dapat. Baik sekali Okan." Kalila menatap undangannya dengan bosan. "Kau datang bersama siapa?" Abel memberi cengiran lebar. "Hei, pirang. Aku punya pacar. Tidak sepertimu. Perawan tua." "Jaga mulutmu." "Kau bisa datang bersamaku," tawar Sai ramah dan Kalila lekas diam, mendadak salah tingkah. Tetapi alih-alih berusaha mencari alasan, wanita itu malah menggangguk tanpa berpikir. "Oke." Pria itu memberi jempol dan kedipan mata. Lalu matanya berpaling pada Helena yang sibuk membaca tulisan di undangan. "Bagaimana denganmu, Edzard?" "Aku?" Kepala Sai mengangguk. "Aku akan datang." Senyum Sai melebar. "Helena, kau datang 'kan?" "Tentu. Ini dua hari lagi," balas Helena ceria. "Aku akan mengosongkan jadwalku kalau ada." "Kau datang bersama siapa, Edzard?" Edzard masih diam. Dan pertanyaan Abel berpindah pada Helena yang berputar untuk duduk di kursi kerjanya. "Kau datang dengan siapa, Helena?" Helena membalas dengan cengiran bersalah. "Hitler, anjingku." Kalila hampir saja meledak karena tawa dan menahan diri karena bosnya masih ada di lantai yang sama dengannya. "Edzard akan datang sendiri. Jangan bawa pasangan, ya, bos." Sai bicara dengan nada bercanda. Edzard balas mendengus. Memainkan undangannya dan dengan sikap santai mengendik ke arah kubikel Helena. Saat si gadis berpura-pura sibuk dengan komputernya. "Kalau aku datang dengan pasangan, Helena bersama siapa? Kasihan. Dia malah terlihat seperti domba tersesat nanti," ujar Edzard ketus, membuat Kalila dan lainnya membeku berusaha untuk tidak tertawa. Dan Helena yang menunduk dengan perasaan menahan jengkel setengah mati. *** Saat pesta pernikahan, Helena datang dengan gaya sepantasnya. Membawa tas tangan kecil, gaun pantas dan sepatu yang sekiranya berharga mahal dan dengan diskon besar. Peduli setan. Yang penting ia membeli, bukan mencuri. Semua orang sibuk memilih makanan. Tuan Okan benar-benar luar biasa karena menjamu setiap tamu dengan makanan aneka rasa. Atau ini permintaan istrinya? Semoga mereka bahagia. Helena tidak akan mendoakan buruk pada pasangan yang baru berbahagia di depan sana. Tuan Okan terlihat berseri-seri. Cukup kontras dengan suasana hatinya yang kerap buruk di kantor.  Kalila duduk dengan pudding cokelat di tangan. Wanita itu tampil cantik. Seperti julukan Kalila yang kerap membuat perempuan dari divisi lain iri setengah mati, barbie hidup itu menatap dekorasi dengan decakan. "Di antara dua ratus sampai lima ratus juta? Atau mungkin lebih? Wow, pernikahan ini luar biasa. Aku tidak pernah membayangkan pegawai sekelas dirinya bisa mengadakan pesta besar seperti ini." "Makanannya banyak. Ada tipikal barat dan lokal. Mungkin lima ratus?" Sai yang menyahut, bukan Helena. Pria itu mengambil tempat untuk duduk di sebelah Kalila. Sebelum tempat itu diambil alih orang lain atau Sai akan mengalah duduk di kursi lain. "Kau sudah punya pandangan mau seperti apa saat menikah nanti?" Balasan pria itu berubah ringisan. Ketika Helena mengulum senyum, memandang Sai yang mengernyit. "Aku belum berpikir hal ini. Aku hanya tinggal bertanya pada kekasihku tentang pesta. Mau mewah atau tidak. Dana akan menyesuaikan setelahnya. Tapi bukankah pernikahan resmi itu tidak terlalu penting?" Kalila membalas dengan dengusan. "Kalau aku jelas mau yang mewah. Tetapi sederhana pun tidak masalah asal yang datang—," "Kenapa kau yang menjawab?" Bibir itu kembali terkatup dan Helena berpaling untuk tidak tertawa. Kalila menunduk untuk memotong pudding dan kembali bersikap biasa. Meski Helena tahu benar, seniornya sedang menahan malu setengah mampus. Helena belum melihat tanda-tanda Abel datang dengan sang kekasih. Saat dia berdeham, menemukan sebelah kursinya ditempati. Memilih untuk mengambil jus melon di meja, Helena baru kembali setelah sebelah kursinya terisi. Edzard. Matanya mencari-cari mana kursi kosong lain. Saat Kalila ikut mengernyit, menoleh dan mengendik pada kursinya. Namun ada tangan lain yang balas menepuk kursinya. Seakan kursi kosong itu memang sudah hak mutlak menjadi tempat duduknya. Edzard memakai pakaian formal. Kemeja bersama rompi hitam yang membalut tubuh atletisnya. Tubuh yang membuat Helena panas dingin pagi hari. Yang membuat Helena— "Kenapa kau hanya mengambil satu minuman?" Helena berdeham. Lantas melirik sebelum suara terlontar. "Anda mau?" "Tidak lagi. Aku akan ambil sendiri nanti." "Uh! Ada si bos di sini!" Suara Sai antusias. Dan Helena merasakan dirinya meremang. Kalila balas mendesah. Sedangkan Edzard hanya mengangguk, menatap pada mempelai yang tampil sempurna dengan senyum merekah. "Yang mana dua anak istri Okan?" "Yang memakai jas cokelat dan topi di dekat vas bunga besar sebelah kanan," balas Helena, menunjuk sopan pada dua anak yang saling bermain riang satu sama lain. "Mereka sangat lucu dan cukup tenang. Istri Tuan Okan tidak akan kesulitan karena anak-anaknya begitu penurut." "Pasti merepotkan jika punya banyak anak." Alis Helena tertaut dan dia tersenyum samar. "Tidak juga. Mungkin suasana rumah terasa lebih hidup. Kalau Tuan Okan menyayangi putra tirinya dengan sepenuh hati, mungkin keluarga barunya akan lebih sempurna. Menikah itu berarti menerima segalanya. Baik buruk atau tidak, itu sudah menjadi risiko." Edzard menatapnya serius. Saat Helena menunduk, meminum gelasnya dan tampak canggung. Bisa tidak si bos berhenti menatapnya begitu? "Kau berpikir banyak anak menyenangkan?" "Tidak," sela Helena cepat. "Dua atau tiga sudah cukup. Masa depan mereka paling penting, kan? Biaya akan terus merangkak naik. Bukan berarti menolak. Hanya saja—semoga Anda paham." Helena kesulitan menjelaskan sekarang. Edzard begitu menuntut penjelasan darinya. Edzard merespon dengan dengusan menahan geli. "Aku mengerti. Hanya sedang berpikir punya banyak anak bukan masalah selama ibunya berkompeten." "Pendidikan utama anak ada di rumah," sahut Helena dan kepala Edzard terangguk. "Anak-anak yang cerdas lahir dari orang tua cerdas. Begitu yang aku tahu." Edzard masih menatapnya. Dan Helena harus berpaling saat dia mengajak Kalila bicara. Wanita itu merespon dengan baik. Sebelum dia menyadari bahwa tangan Edzard terulur ke badan kursi, seakan merangkulnya. Yang membuat napas Helena tiba-tiba memberat. Panas yang asing merambat dari d**a menuju leher dan sebentar lagi mungkin mampir ke pipinya. Sial. Bosnya benar-benar menyebalkan. Kalila terdiam. Saat wanita itu bersikap acuh, berpura-pura tidak melihat. Dan memilih untuk kembali menarik perhatian Sai yang nyaris tertidur karena mendengar musik dimainkan. "Aku belum melihat Abel." "Mungkin terjebak macetnya kota di akhir pekan," balas Helena. Bangun untuk mencari makanan dan Edzard tiba-tiba mengekori. Beberapa pasang mata menatap serius ke arah mereka. Helena berdeham, memutuskan untuk bergeser dan tiba-tiba merasa kesal sekaligus malu. "Kau punya alergi jamur, kan?" "Ya, Sir. Bagaimana—," "Kita pernah makan malam bersama dengan tim purchasing setelah merayakan keuntungan besar. Kau menyingkirkan masakan jamur di piringmu. Dan Abel yang memakan itu," ujar Edzard ringan. Mengernyit pada aneka makanan di meja dan menghela napas. Tidak ada makanan yang menarik perhatiannya sekarang. Helena memandang sekitar. Dirasa aman, pantaskah ia bicara sekarang? "Sir, tentang malam itu. Saat aku mabuk di pesta Keiko dan aku—," Edzard melirik ke arahnya sekilas tanpa minat. Lagi-lagi yang membuat Helena jengkel adalah pria itu melarikan diri. Seakan Edzard menghindari pertanyaannya. Andwae? Kenapa dia malah membuat perasaan Helena tak karu-karuan? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN