5

1969 Kata
"Helena, kau diperbolehkan membawa anjingmu." "Siapa bilang?" "Aku," sahut Kalila masam. "Aku butuh hiburan. Ibuku alergi bulu anjing. Dan aku ingin menjual kucingku karena terlalu malas. Demi Tuhan, bobot beratnya lebih dari empat kilo! Aku tidak tahu makanan apa saja yang telah dia telan selama ini. Berat badannya sekarang benar-benar membuatku kesulitan membawanya ke sembarang tempat." "Kucing seberat bayi?" Abel bersuara tak percaya. "Mama memanjakannya seperti dia adalah satu-satunya alasan hidup. Kucing adalah majikan, dan aku budaknya," Kalila mengerang pasrah. Saat Helena terkekeh, menaruh tasnya di atas meja dan bersandar di kubikel. "Lanjutkan pekerjaan kalian," kata junior itu sok dramatis. "Aku akan membuat kopi. Ada yang berminat?" "Yes, please." "Kopi s**u!" Sai bersuara tanpa menoleh dari layar. Abel mengiyakan dan Helena melesat ke dapur mini. Membuatkan empat cangkir kopi dan membawa nampan. Memberikan cangkir lucu ke setiap meja sebelum berakhir ke mejanya sendiri. "Selamat pagi." "Pagi." Helena menoleh untuk mendapati sosok si pembunuh suasana datang di lantai divisi mereka. Edzard tampak tampan dan lebih segar dengan rambut sedikit basah. Wow. Tampilan nakal yang membuat Helena gelisah. Ini kenapa, sih? Edzard melirik cangkir di setiap meja. Melihat Helena yang masih memeluk nampan, alisnya terangkat naik. "Buatkan satu juga untukku." Helena menghela napas panjang. "Ya, Sir." "Kalau saja kita bisa bergosip di sini. Aku bosan harus memaki di grup saat aku ingin Edzard dengar. Dia pikir Helena pembantunya atau apa? Kenapa tidak mencari asisten lain? Apa dia tidak ingin tabungannya terkuras karena membayar orang baru?" Kepala Abel menyembul dari balik kubikel dengan senyum. "Dia pikir karena Helena junior dan terlihat lebih pantas diperintah? Kalau kau lebih senior. Aku dan Sai teman nongkrong. Helena adalah sasaran empuk. Dia tidak akan berhenti sampai Helena menangis seperti bayi di depannya." "Kau kira dia bantal?" Kalila balas mendengus. Meratapi Helena dari balik meja yang sedang menuang air panas. "Tidak perlu campuran air, Helena. Biarkan saja. Biar lidah si pembunuh suasana itu melepuh." "Bonusan dipotong, Kalila. Kau harus menjaga sikap. Kasihan sekali kalau harus libur skincare selama satu tahun," sahut Sai dan wanita itu menunduk dengan mimik muram. Saat Helena masuk, Edzard sibuk menulis di layar Ipad miliknya. Ponselnya berkedip dua kali, dan Helena sempat mengintip untuk melihat notifikasi. Saira. "Ini kopinya, Sir." "Ada masalah dari pihak vendor?" Helena menggeleng. Meremas nampannya dengan ekspresi jenuh. "Tidak ada. Semua berjalan baik. Proposal dan semua berkas sudah beres. Hanya tinggal menyerahkan semua kelengkapan data pada pihak akuntansi. Mereka akan mengirim barang secepatnya ke pabrik. Kalau semua sudah selesai dengan permintaan, kita akan mengumpulkan data untuk membeli barang yang sama di kemudian hari. Sebagai bentuk persiapan dan cadangan." Edzard mengintip ekspresinya, lalu menunduk. "Soal dirimu yang berniat mengundurkan diri, bagaimana?" "Aku masih melamar pekerjaan yang cocok. Berhubung aku belum menjadi karyawan tetap dan jika aku keluar tanpa pesangon, tabunganku cukup sampai enam bulan ke depan," balas Helena optimis. Sang bos mendongak, menatap mata berbinar itu dengan pandangan mencela. "Semudah itu mencari pekerjaan? Kau bersaing dengan ratusan ribu orang di negara ini." "Kalau aku tidak optimis, aku tidak akan bertahan di sini. Bekerja di bawah tekanan. Karena tidak semua perusahaan memberikan kenyamanan. Aku paham. Aku juga akan beradaptasi di lingkungan baru." Helena menghela napas. Tahu usahanya sia-sia saja saat dia bicara tentang prospek masa depannya pada kloning patung Liberty di depannya. "Kalau begitu aku—," "Kenapa tidak bertahan lebih lama?" Alis Helena menekuk spontan. "Anda akan pergi?" Edzard menatapnya dengan alis terangkat naik. "Kau ingin aku pergi?" "Anda dibutuhkan di sini. Kepala tim profesional yang mementingkan keuntungan dan melibatkan banyak orang demi—," Helena menarik napas panjang. Dia tidak akan mencela Edzard tentang hubungan selibatnya. Demi Tuhan! Mereka tidur di ranjang yang sama. "—aku banyak bicara. Kalau begitu aku permisi." Edzard memberi gerakan tangan seperti tanda pengusiran. Helena mencibir, menutup pintu dan membanting nampannya secara sengaja. Membuat gaduh seisi lantai tim purchasing. *** "Helena? Sudah mau pulang?" "Ya," balasnya setelah bertemu Tuan Mirzuki di teras gedung. "Pulang dengan apa?" "Selendang. Aku akan terbang sebentar lagi," ujarnya dengan nada bercanda. "Aku akan pulang dengan bis. Seperti biasa. Kendaraan yang cukup ramah dan dekat dari rumah. Bis adalah sarana transportasi umum terbaik sekarang." "Lantas, siapa yang kau tunggu?" Helena mendengus dengan senyum. "Itu, aku menunggu—," "Dia menungguku, Mirzuki. Kami butuh bicara berdua." Bak dayung disambut, Helena merasa seseorang baru saja menyiram air dingin ke kepalanya. Mirzuki mematung memandang Edzard yang menenteng jas kerja dan menyisakan kemeja putih seksinya. Pada bagian lengan tergulung sampai siku. Memamerkan jam mahal yang melingkari lengannya. "Dia pulang bersamaku. Jangan cemas," kata Edzard, menepuk bahu Mirzuki dengan sapaan mengintimidasi. "Kau lebih baik pulang. Ada seseorang yang menunggumu pulang, kan?" "Ah, ya, anakku." Mirzuki tergagap. Melirik Helena yang datar dan Edzard bergantian. "Aku harus pergi. Sampai jumpa lagi. Helena, Tuan Edzard." Helena meratap kepergian Mirzuki dalam diam. Sebelum dia bicara, Edzard lebih dulu menatapnya sinis. "Seingatku aku tidak menunggu siapa pun sekarang." Pria itu membalas dengan alis terangkat. "Dan kenapa masih menunggu?" "Aku tidak boleh bernapas sebentar?" Edzard berdecak. Menatap jam tangannya dan mendesah. "Ini sudah malam. Teman-temanmu sudah pulang. Gedung sebentar lagi tutup. Kau ingin tidur bersama keamanan?" "Itu tidak lucu." "Aku tidak melucu atau sedang bergurau di depanmu," balas Edzard sengit. Dasar pembunuh suasana. Helena bergerak turun dari teras. Mencari jalan untuk melangkah melewati gerbang besar. Area pintu masuk perusahaan tempatnya bekerja. Sebelum ada tangan lain yang memaksa, memintanya untuk berbalik. "Akan kuantar kau pulang." "Sir, sebaiknya—," "Gratis." "Aku bisa naik taksi!" Edzard sama sekali tidak peduli. Jemarinya yang besar mengunci lengan kurus yang berusaha meronta. Helena tidak mungkin berteriak karena semua orang kenal siapa Edzard. Bukan dirinya. Jaguar hitam terpampang di depan mata. Saat Helena memutar mata bosan, Edzard membuka pintu untuknya. "Kau ingin masuk sendiri atau kupaksa?" Gadis itu masuk tanpa membantah. Membanting pintu dan memasang sabuk pengaman. Ketika pintu lain terbuka, Edzard melempar jas kerjanya ke belakang dan mulai menyalakan mesin mobil. "Rumahmu dan Sai ada di arah yang sama. Benar?" Helena masih diam. Menunggu sampai mobil melaju dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan bebas. "Aku membaca profil anak buahku sendiri. Bukan hanya kau, aku pun hapal rumah Kalila dan Abel." "Aku tidak terkejut," balasnya sinis. Saat Helena melempar pandangannya pada seisi taman kota yang sepi. "Mungkin Anda ingin mengetahui nomor pin dan tagihan listrik? Siapa tahu berkenan membayarkan tagihan di bulan depan nanti." Edzard tidak bereaksi. Saat sarkasme itu seharusnya memukulnya telak. Helena mencibir sekali lagi, merasakan perasaan jengkel yang membuatnya naik darah. Seingatnya dia mengidap darah rendah, bukan darah tinggi. Tetapi bersama bosnya, bisa membuatnya terkena serangan jantung tiba-tiba. Jaguar berhenti tepat di garis putih yang membentang setelah lampu hijau berganti merah. Malam ini Tokyo tidak dipenuhi pejalan kaki. Masih ada beberapa bis yang melintas sebelum mereka kembali dan akan beroperasi keesokan hari. "Kau belum makan sejak siang. Aku melihat kupon makanmu masih di atas meja dapur." Helena menarik napas. Meremas tasnya sendiri sebelum bersuara, "Aku tidak bisa menelan apa pun jika pekerjaan menumpuk. Kalila membawa roti isi dan segelas jus jeruk kemasan. Aku sudah merasa kenyang. Itu terasa lebih cukup untukku." Edzard menarik rem tangannya dan kembali Jaguar meluncur di jalan. Membiarkan senyap menemani saat matanya melihat supermarket dua puluh empat jam di pinggir jalan. Helena tersentak mendapati mobil berbelok. Mendengar suara sabuk pengaman dilepas, dia mulai panik. "Bos, mau apa?" "Aku butuh soju. Sekarang." Suaranya penuh penekanan dan Helena memucat. "Alkohol dilarang saat sedang mengemudi," serunya panik. Edzard memilih untuk cuek. Membanting pintu dan masuk ke dalam supermarket begitu saja. Membiarkan Helena memaki di dalam mobil dan ingin membawa Jaguar ini secepatnya untuk melarikan diri. Kurang dari sepuluh menit, pria itu kembali. Dengan menenteng bungkus plastik sedang. Helena bisa melihat ada kaleng soda dan botol jus lain samar-samar nampak dari bungkusan. Sebelum sempat kalimat protesnya terlontar, sang bos melempar bungkusan plastik itu ke atas pangkuan. Edzard memeriksa jam, dan kembali memakai sabuk pengaman. Mengabaikan Helena yang bingung. Dalam diam tangannya mencoba mengais isi dalam plastik. Ada satu makanan kemasan dalam plastik. Ini sama seperti rice bowl kemasan. Lalu pada kimbap dan nasi segitiga berjumlah dua buah. Edzard ingin membuatnya gendut atau bagaimana? "Aku harap kau tidak diet. Badanmu sudah kurus. Kau butuh lebih banyak nutrisi agar tetap hidup." "Aku makan seperti babon gila. Kalau sedang tidak berselera, aku terbiasa berpuasa." Helena membalas rendah, tidak tahu harus bicara apa. Porsi makannya lebih dari ini. Saat mata kelam itu melirik, Edzard menautkan alis. "Makanan cepat saji itu bukan seleramu?" "Bukan." Edzard menoleh untuk memastikan. "Bukan itu. Anda membeli ini kurang banyak. Aku terbiasa makan kimbap dengan sup kimchi pedas. Terkadang ada campuran daging sapi," kata Helena kalem. Memancing kerutan di dahi sang bos. "Kurang?" "Tapi terima kasih banyak. Aku akan memakannya setelah sampai di rumah." "Kau ingin aku membeli lagi—," "Tidak. Terima kasih. Aku punya sup sisa kemarin di rumah. Aku akan memanaskannya untuk makan malam," Helena memeluk bungkusan itu di dadanya. "Aku harap ini sedikit pedas. Aku terbiasa makan pedas karena keluargaku. Makanan manis membuat gula darahku naik." Helena menarik napas. Merasa dia sudah banyak bicara, ada baiknya dia diam. Menatap Edzard dalam diam, dan si bos tidak memberi reaksi apa pun. "Aku berpikir untuk memberimu cuti." Helena nyaris muntah mendengar kebaikan hati si atasan super menjengkelkan dengan kelakuan ajaib yang membuatnya sakit kepala. "Serius?" "Satu minggu." "Itu bukan cuti." "Kau mau berapa lama?" "Satu tahun?" Edzard mendengus ke arahnya. Menatap pada tiga lorong dan Helena menunjuk lorong tengah yang sedikit lebih gelap dari dua lorong lain. "Satu tahun terlalu lama. Kau tega membiarkan tiga temanmu yang lain kalang-kabut?" Benar juga. "Berhenti di sini." Edzard melirik pada bangunan yang pantas disebut apartemen murah. Saat dia mendongak, menatap jendela yang meninggalkan pekat. Cuma satu-satunya ruangan yang belum menyalakan lampu. "Astaga. Aku lupa menyalakan lampu," Helena melepas sabuk pengaman. Terburu-buru untuk turun bahkan sebelum Edzard mematikan mobil. Pagarnya hanya setinggi dua meter. Pagar kayu karatan dan menyisakan kunci yang bisa dihancurkan dengan batu besar. Edzard mengernyit. Menemukan apartemen ini pantas untuk dijadikan destinasi wisata angker dibanding tempat tinggal. "Kau yakin ini rumahmu?" "Anda mau mampir?" Helena bisa menemukan suaranya kembali ceria. Ekspresi sang bos benar-benar membuatnya puas. Edzard mungkin tidak akan percaya dengan tempat tinggal sementaranya di Tokyo. "Biaya sewa hanya tiga juta perbulan. Ini cocok dengan dompetku. Karena aku memikirkan investasi dan keluarga di kampung. Di dalam ada pendingin dan pemanas terkadang rusak. Tidak menentu," ucap Helena, menjelaskan rumah yang ia tempati nyaris empat tahun. Edzard menyentuh gembok karatan dengan pandangan mencibir. "Ini bahkan bisa kuhancurkan dengan tanganku." "Oh, jangan lakukan. Orang yang tinggal di sini punya keyakinan jika gembok itu hanya bisa hancur oleh palu godam." Sang bos menghela napas. Helena akan membiarkan pikiran liar itu menari-nari di dalam kepalanya. Dia mungkin boros, tapi demi kepentingan keluarga dan Hitler, anjingnya. Tidak untuk dirinya sendiri. "Masuklah." "Anda mau mampir?" Edzard menatapnya dingin. "Tidak." "Bagus. Aku menginginkan jawaban itu sebenarnya," Helena mendorong pagar agar terbuka. Namun sebelum benar-benar pergi, dia kembali berbalik hanya untuk menuntaskan rasa penasarannya. "Saat di pesta Keiko, aku mungkin harus—," "Kau bisa berpikir tentang cutimu. Aku akan mengkaji ulang semisal kau ingin meliburkan diri demi menyegarkan kepala untuk sementara," potong Edzard acuh. Meninggalkan mimik sendu di wajah Helena yang prihatin. Prihatin pada dirinya sendiri. Dia perempuan. Dan dia merasa kotor. "Akan aku pikirkan." Helena membungkuk untuk berterima kasih. Menenteng bungkusan plastiknya dan mengusap pelipisnya yang mulai berdenyut tak nyaman. "Helena?" "Ya?" Edzard sedikit gelisah. Saat pria itu menunduk, lalu menarik napas masih dengan kontrol wajah yang baik. Datar. Seakan tidak terpengaruh apa pun. "Kau terlihat jijik saat aku bicara tentang masalah lain beberapa hari lalu." "Apa?" "Bertanya apa kau jatuh cinta padaku atau tidak." Helena ingin tertawa. Sekarang ekspresinya menunjukkan mimik yang sama seperti malam menyebalkan itu. "Oh, itu. Lalu?" Edzard mengusap pangkal hidungnya. Napasnya mengeluarkan asap. Udara mulai terasa dingin. Dan Helena harus masuk atau Hitler akan meringkuk ketakutan di sofa. "Aku tidak pernah melarang untuk kau jatuh cinta padaku." Helena benar-benar dibuat bodoh sekarang. "Sir," Helena menarik napas panjang. Menguatkan diri memandang jelaga pekat tanpa dasar yang berhasil menempatkan dirinya dalam masalah dan pusaran cemas. Edzard dan pesona paginya. Dengan tubuh atletis dan bertelanjang d**a, memberi seringai dengan kalimat membunuh yang membuat Helena nyaris mati karena jantungnya berdetak terlalu keras. "—aku tidak akan menjawabnya. Atau mungkin melakukan seperti yang Anda minta. Karena Anda sendiri tidak bisa memberikan jawaban yang sama pada pertanyaanku tentang malam itu." Edzard terkejut. Jelas. Helena bisa melihat mimik lain selain keras, datar, dingin dan menahan marah. Edzard yang jengkel hanya sepersekian persen dari ekspresi tenangnya yang terkendali. Kesan misterius yang kental, yang membuatnya digilai. Si bos dari divisi purchasing melegenda meski baru beberapa tahun bekerja. "Sekali lagi terima kasih tumpangannya. Selamat malam. Hati-hati di jalan." Dan Helena berbalik tanpa perlu memikirkan bagaimana si pembunuh suasana itu bereaksi atau menatapnya lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN