6

1972 Kata
"Terima kasih." "Terima kasih kembali." Semua kembali duduk saat pria paruh baya dengan rambut hampir seluruhnya memutih pergi. Dengan asisten tegap berambut klimis—terlalu banyak memakai pomade—mengekori bagai anak anjing sampai ke depan pintu kaca dorong. Iris kelam Sai memutari seisi kafe dengan pandangan menerawang. Lalu menghela napas panjang. "Urusan kita dengan vendor kedua beres. Setelah ini apa?" "Tidur." Sai memutar mata bosan. "Kau dan Saira, bagaimana?" Edzard terpaku. Melirik Abel dalam diam dan mendesis. "Kenapa kau bertanya?" "Tidak boleh?" "Tidak." "Kau biasanya berbagi dengan kami. Kalau kau masih cinta dengan Saira, seharusnya bicara. Jangan diam saja. Mental cupu. Kau akan kalah start dengan pria lain," gerutu Abel gemas. "Jangan jadi pecundang. Saira punya perasaan yang sama denganmu." "Cih," Sai balas bergumam. "Kau diam saja." Mata biru Abel memelotot. Saat Edzard mendengus, mengaduk kopinya dengan sendok kecil dan mendesah. "Dilihat lama-lama, sikapmu b*****t juga ternyata." Sai mencibir dan Abel tertawa lepas. Edzard mendorong cangkirnya menjauh dan masih tampak murung. Sebelum Sai dan Abel melempar candaan yang mengarah pada hubungan asmara Edzard. Tampan, sayang tidak laku. Sok jual mahal. Semua yang buruk-buruk tentang Edzard. Tidak ada kebaikan dari pria itu pantas untuk dibicarakan. "Atau ada seseorang yang kau taksir di kantor?" Edzard mengangkat alis. "Tidak." "Tidak salah lagi?" Abel memotong dan Sai mengulurkan tangan, meminta agar pria itu melempar tos padanya. "Aku tahu, Edzard. Kau mungkin jatuh cinta pada Kalila. Senior galak yang kira-kira resign tahun depan," ujar Abel sok tahu. Membiarkan kerutan di dahi Edzard timbul. "Kalila juga akan resign? Setelah Helena, dia akan menyusul?" "Helena benar-benar akan mengundurkan diri?" Kedua bahu Edzard terangkat acuh. Kembali menyesap kopinya dengan kerutan dari Abel dan Sai. "Aku sedang menunggu surat pengunduran dirinya. Dia berkompeten. Sayang sekali tidak bisa bekerja di bawah tekanan," kata Edzard sinis. "Jangan terlalu menekannya. Dia sudah bekerja keras untuk tim kita. Reputasi baik juga karenanya. Yah, gosip beredar tentang Helena yang buruk dan terkesan jual mahal. Tapi sepertinya dia cuek saja." "Seharusnya begitu," timpal Edzard dingin. "Buat apa merespon omongan orang?" "Kau rela kalau Helena pergi?" "Tidak." Alis Abel dan Sai terangkat bersamaan. "Tidak—," Edzard menarik napas, menyambung kalimatnya kembali. "—sebelum aku menemukan pengganti yang baru. Cukup sulit untuk merekrut karyawan berkompeten dengan kemampuan mumpuni. Mungkin aku akan membuatnya kesulitan untuk sementara." "Dia pergi karenamu, sialan. Aku perlu resign juga." "Mati saja kau," potong Edzard ketus pada Abel yang duduk nelangsa. "Manusia macam apa kau?" Abel balas bicara kesal. "Anjing saja lucu. Kenapa kau menyebalkan?" Edzard mendesis dan Sai tertawa. "Aku rasa kau perlu ikut kencan buta, Edzard." "Tidak." "Kosakatamu bisa diganti, tidak? Aku bosan mendengarnya," keluh Abel dan Edzard hanya mencela bosan. "Kau ingin mencari tipe pacar seperti apa? Atau kau ingin mencari istri? Kedengarannya, membangun rumah tangga bukan ide yang buruk. Kau punya teman bicara di rumah selain tembok dan ikan koi peliharaan." Edzard menghela napas. "Tidak keduanya. Rumit." "Kalau dia bawel, kau bisa membungkam dengan kartu kredit dan debitmu. Beres?" Edzard mendengus. "Aku tidak ingin kehidupan pernikahan seperti itu. Uang memang segalanya. Tapi kenyamanan dalam rumah bukannya paling penting?" "Oh, bos kita yang malang. Kali ini pencarian cintamu akan sulit. Aku berani bertaruh," kata Sai miris, memberi Edzard senyum prihatin dan pria itu balas mencibir keras. "Saira tidak bisa melakukannya?" Abel bertanya sekali lagi, memastikan reaksi kecil Edzard. "Oke. Dia tidak masuk kriteria bisa melakukannya. Coret Saira. Kau harus mencari yang baru." Edzard menunduk, memainkan jemari tangannya di atas meja. Sebelum bersuara dengan lontaran kalimat ambigu yang membuat kedua rekannya bingung. "Aku sedang berusaha." *** "Ah, benar. Ini data-data yang aku kumpulkan dari dua vendor pemenang. Untuk pembayaran, aku serahkan pada pihak finance. Semua data akan diakumulasi oleh tim akuntansi." "Helena, biasanya kau akan bicara dengan Nyonya Keiko. Semenjak dia tidak bekerja, kau harus terjun langsung. Tidak merepotkan?" Helena meringis. Menutup berkasnya dan menggeleng samar. "Sementara kalian belum menemukan kepala tim baru, aku harus berkoordinasi dengan semua anggota tim. Agar tidak terjadi kesalahpahaman. Kalian bisa mengoordinasi satu sama lain, kan?" "Tentu bisa," jawab mereka ceria. Helena balas tersenyum. Memberikan data baru pada salah satu tim dan membiarkan mereka bubar. Hanya menyisakan dirinya sendiri di dalam ruangan. Sebelum Helena benar-benar pergi, dia bisa mendengar kesiap dari para gadis yang keluar dari pintu. Kemudian pemandangan lain mengusiknya. Edzard—si pembunuh suasana ada di dalam ruang rapat. Duduk di kursi dengan sikap serampangan yang menyebalkan. Seakan perusahaan ini punya nenek moyangnya. "Rapat berjalan lancar?" "Sangat lancar," balas Helena seadanya. Mengingat bahwa semalam mereka sempat bersitegang—atau dia yang menganggapnya demikian—maka membatasi percakapan adalah jawaban. Helena melirik jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. Ia mendongak, menemukan manik kelam Edzard menatapnya tajam. "Anda tidak makan siang?" "Semua tim purchasing menunggumu di lantai bawah. Di kantin," kata Edzard datar, menunjuk lantai dengan telunjuknya. "Aku datang untuk memeriksa laporanmu." "Ah, benar. Aku berniat memberikan ini sebelum turun untuk makan siang." Helena kembali mencari berkas dalam map lain. Bangun dari kursinya dan mendorong map itu di hadapan Edzard. "Aku memberikan salinannya pada tim keuangan. Mereka akan mengurus sisanya. Beberapa barang sudah disetor ke pabrik dengan permintaan cukup." "Aku bertemu vendor lain pagi ini. Dia menawarkan barang baru yang diproduksi di pabriknya dan masih tersegel di gudang. Kalau saja kita mendapati suku cadang di pabrik kembali bermasalah, aku mungkin tertarik," kata Edzard serius, membuka berkas dan menarik napas panjang. "Laito menghubungimu?" Helena menautkan alis. "Tidak, Sir." "Seharusnya tidak. Urusan kita sudah selesai. Kalau pun ada kendala, kau sebaiknya berkomunikasi dengan Agnia, sekretarisnya. Terlihat aneh kalau Laito terlibat langsung sementara dia memiliki staf dan semua urusan sudah selesai." Edzard mendongak menatap wajah gadis di sebelahnya. "Atau pada tim penjualan. Mereka yang akan mengurus sisanya. Urusan kita sudah selesai. Semua kontrak pembatalan sudah diajukan pada vendor lama." "Aku berharap kali ini tidak ada masalah." Edzard mengangkat alis. Ekspresinya tampak muram. "Semua berharap yang sama." Helena mengangguk samar. Lalu berjalan untuk membenahi berkasnya dan bersiap pergi. Dia tidak punya banyak waktu untuk tetap berada di satu ruangan yang sama dengan si bos. Atau semua berantakan. Bahkan kalimat Edzard masih terngiang di dalam ingatannya. Helena tidak bisa melupakan bagaimana ucapan konyol pria itu mempengaruhi malamnya. Merusak jam tidurnya dan membiarkan Hitler duluan berbaring untuk tidur. "Kau sudah bekerja keras. Kau perlu cuti." Helena berbalik untuk memastikan ucapan pria itu tidak melantur. "Hah?" "Kau perlu cuti," kata Edzard, menunjuk Helena dengan dagunya. "Aku menawarkan ini semalam." "Anda bercanda." "Tidak. Aku serius." Helena menarik napas. Mengangkat tangannya dengan ekspresi bosan. "Akan aku pikirkan lagi. Terima kasih untuk kebaikan Anda." Dan berjalan pergi begitu saja. Membiarkan Edzard kembali larut dalam pikirannya sendiri dan terdiam. *** "Salmonnya masih sedikit amis. Ini hanya perasaanku saja atau lidah kalian ikut merasa?" "Tidak." "Jangan ngadi-ngadi." "Ini enak." "Koki di sini luar binasa." "Lidahmu tersambar listrik sepertinya. Ini enak. Apa selera makanmu terjun bebas sekarang?" Kalila menurunkan sumpitnya. Memandang Abel dan Sai yang terburu-buru menunduk, menahan geli dan saling melempar tos satu sama lain di bawah meja. "Masih bicara, kulempar piringku nanti!" Helena mendengus. Mengaduk nasinya dengan sendok dan mulai mengambil karage dalam piring lain. "Pertemuan dengan vendor baru, bagaimana? Semua lancar?" "Lancar!" "Helena, kau beruntung karena bertemu Laito yang tampan. Kalau kau bertemu pria tua ini, kau mungkin bosan. Cara bicaranya sedikit angkuh. Tapi asistennya cekatan dan baik," keluh Sai dan Helena tertawa. "Oh, ya. Semua maniak keberuntungan ada di tangan Helena." "Kau pecinta keburukan," sahut Abel dan mata biru itu memelotot ke arahnya. "Tuan Makama tidak sepantasnya menyombongkan diri karena vendornya terpilih. Tapi barang yang mereka produksi berkualitas sangat bagus. Edzard menyukai produksi pabrik mereka, bukan orangnya." Helena mengangguk. Mengaduk nasi yang telah berbumbu dengan campuran potongan ebi dan rumput laut. "Aku sudah bertemu dengan bos sebelum pergi turun." "Kalian bertemu?" "Tidak. Dia menemuiku," kata Helena, melirik datar ke arah Sai dan Abel bergantian. "Kenapa?" "Edzard bilang dia punya urusan dengan tim manajemen," alis Sai terangkat. "Kenapa dia menemuimu?" "Ada laporan yang belum kuberikan," balas Helena santai. Menatap Abel dan Sai yang bingung dengan senyum. "Dia mengambil laporan itu." "Kalian ini kenapa? Sudah tahu si pembunuh suasana suka bertingkah aneh. Masih saja berlagak kaget, cih." Kalila menyembur masam, memakan potongan salmon dengan bumbu dan mencampurnya dengan nasi hangat. "Ini aneh. Kami saja percaya kalau dia homoseksual," kata Abel, miris pada dirinya sendiri. "Memang benar kata pacarku. Di dunia ini ada dua pria. Kalau tidak b******n, ya homoseksual. Edzard salah satunya." "Dan kau?" "Aku b******n," sela Abel muram. "Sebelum bertemu dengannya. Tentu saja. Aku sudah bertaubat sekarang. Deretan mantan terindah sudah kuhapus dari ingatanku." "Tidak akan jadi mantan kalau itu terindah," sungut Helena sebal dan Abel malah mengangguk polos. "Kau benar-benar ingin resign?" Helena menarik napas. Menurunkan sendok dan mencari sumpitnya. "Aku tidak tahu. Belum ada pesan balasan yang masuk. Aku tidak seperti kalian yang punya bisnis sampingan sendiri. Kalila dengan bisnis online shop, Abel yang membuka kedai kopi bersama pacarnya. Atau kau, yang membuka restauran laut dengan sepupumu." "Aku masih terlilit bank. Jangan bercanda!" Sai mendengus keras. Membenahi dasinya dan meringis. "Masih setahun lagi. Kalau aku tidak bekerja benar, aku tidak akan bisa investasi." "Investasi untuk apa?" Sai melirik Kalila dengan senyum. "Menikah. Aku harus memikirkan kesejahteraan istri dan anakku." Abel menggeleng. Sangat disayangkan ucapan Sai nyaris membuat Kalila melambung ke galaksi. "Kenapa pipimu memerah? Demam?" "Kau diam saja," ketusnya. Helena menggeleng. Menatap satu-persatu rekan kerja dan tim terbaiknya. Hanya dandanan Sai yang cupu menarik perhatian. Dia sesekali memakai kacamata. Terkadang tidak. Helena pikir pria itu punya kekurangan pada matanya, rupanya hanya untuk gaya. Dia berpikir memakai kacamata itu bagus. Dan dengan setelan kemeja yang jarang berubah warna, dasi pastel yang itu-itu saja. Semua orang tahu kalau Sai tampan. Terkecuali jika rambutnya masih tetap lepek seperti sehabis lari marathon satu kilometer. Mungkin Kalila dari sekian perempuan beruntung yang bisa lebih dekat. Berhubung mereka terjebak di divisi yang sama selama bertahun-tahun. Helena saja sebagai junior paham, masa kaleng sarden ini tidak? "Pengetahuan Sai tentang cinta itu minim. Alias nol persen. Dia bahkan meledek kakak ipar sepupunya terkena guna-guna karena terlalu cantik dan sempurna untuk sepupunya yang separuh b******n dan separuh lagi buaya darat." Itu kata Abel. Suatu pagi yang cerah. Sebelum si biang kerok datang dan berhasil membuat Kalila bungkam. Lunglai, letih, cemas dan tak bertenaga selama seharian penuh. "Mungkin aku akan mengambil cuti." "Kau mau pergi?" "Cuti," potong Helena malas. "Aku akan berlibur dengan sedikit uang tabunganku." "Ke mana?" Helena menatap Kalila dengan senyum. "Bisa kau pilihkan destinasi yang bagus?" "Oke, jangan sungkan." Wanita itu balas menyeringai. "Ini hanya antar kita berdua, kan?" "Kau tidak iri, kan?" "Aku akan mengambil cuti di akhir tahun," balas Kalila sambil memainkan rambut pirang panjangnya. "Aku berniat ke Maldives setelah menjual jantungku." "Lantas yang pergi siapa? Mayatmu?" "Arwahku!" Sai berdecak dengan ekspresi ketus. "Kalau bicara jangan sembarangan. Kalau kau mati, yang mengurusku siapa?" "Apaan?" "Kau biasanya membuat kopi di pagi hari. Kalau salah satu dari kami sakit, kau perhatian seperti nenek penjual roti isi yang meninggal satu tahun lalu. Kau mungkin ketus dan dingin, tapi kau sebenarnya ibu peri. Aku tidak bisa mengurus diriku sendiri tanpamu," paparnya panjang lebar. Tampang polos Sai sekarang menggambarkan bahwa pria itu bicara berdasarkan apa yang terlintas di kepalanya, bukan melalui logika. Helena tersedak karagenya sendiri. Sedangkan Abel ternganga, menatap Sai dengan pandangan kau-sedang-sakit-sepertinya. "Oh. Sayang sekali itu tidak akan berimbas padaku. Aku akan tetap pergi berlibur," balas Kalila santai. "Kau bisa bilang kemana kau akan pergi. Kita pergi bersama." Helena mendengus. Menahan senyumnya saat Kalila yang mulai panik terburu-buru menyantap makan siangnya. "Kau akan pulang ke rumah orang tuamu?" "Entahlah. Aku takut mereka cemas. Berlibur adalah pilihan terbaik. Aku bisa memutuskan haruskah aku resign atau tidak," balasnya riang. Sebelum mereka sempat bersuara, seseorang masuk ke lingkaran meja. Duduk di salah satu kursi kosong, menaruh piring berisi potongan roti bakar dengan isian bacon. Suasana meja tampak hening. "Kenapa diam? Lanjutkan saja." "Pembunuh suasana datang," gerutu Kalila. Membuang muka dengan mulut penuh. Edzard hanya mendengus. Memotong roti dengan pisau dan menyantapnya pelan-pelan bersama garpu. Saat dia melirik, melihat Helena yang acuh terhadapnya. "Apakah itu jamur?" "Matamu katarak, ya? Itu ebi." Sai yang memotong, dan Edzard mendelik ke arahnya. "Hei, Edzard. Kau memberikan Helena izin cuti? Berapa lama?" "Belum dipastikan." "Satu minggu?" "Aku minta dua minggu," kata Helena, menurunkan sumpitnya dengan senyum yang tidak menjangkau mata. "Aku butuh refreshing." "Kau punya rencana?" Helena melirik ke arah sang bos dengan bibir menipis ketat. "Tentu. Aku punya beberapa pilihan untuk berlibur." "Ke mana?" Hah? Atensi berfokus pada Edzard. Yang masih sibuk mengunyah, tetapi pandangan matanya lurus memandang si gadis merah jambu yang tampak bingung. "Apa?" "Ke mana kau akan berlibur?" "Memangnya kau perlu tahu?" Abel tidak sopan menimbrung. Dan Kalila mendengus keras. "Jadi bos terlalu kepo itu tidak baik," saran Kalila dengan senyum manis. Saat Helena membuang napas, menunduk menatap piringnya sendiri dan beranjak pergi. Seakan enggan duduk dengan si pembunuh suasana yang kerap membuatnya naik darah. Ketiganya memilih diam. Saat Helena pergi, ekspresi sang bos seakan siap mencincang mereka semua dengan laser matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN