7

1495 Kata
Tim purchasing terjebak untuk lembur pertama setelah semua urusan beres. Pihak penjualan meminta berkas baru untuk pemetaan tahap berikutnya. Kalau-kalau terjadi kondisi yang tidak memungkinkan. "Regangkan otot kalian sebentar." Sai masuk dengan senyum lebar. Sumringah itu rupanya menular. Helena mengernyit, menemukan Kalila tersenyum dengan pandangan berbinar. Dan tanpa sadar bergumam, yang membuat wanita itu mendelik ke arahnya. "Heh, dasar b***k cinta." "Sssh. Kau lebih baik diam," ancamnya. Abel pergi ke ruangan Edzard. Untuk urusan pekerjaan, Edzard bersikap adil. Dia tidak akan membiarkan teman nongkrongnya mencari perhatian dengan memberi kebebasan. Helena melihatnya sendiri. Sai membawa empat hot pot panas. Hot pot yang terkenal, Haidilao ini berharga cukup lumayan. Mungkin dua kali makan dalam sehari Helena. Dan dia tidak akan membuang uang untuk makanan sekali makan. Kecuali untuk ramen, makanan itu adalah pengecualian. "Siapa yang belikan ini?" Alis Kalila bertaut. "Kau bertanya? Jelas si culun ini yang membelikan hot pot untuk kita." Sai mendengus di kursinya. "Bukan aku. Tapi si bos. Pembunuh suasana yang suka kalian gosipkan gay." Terdengar cibiran keras. Saat Helena menunduk, mencari rasa hot pot yang dia mau. Lalu terpaku pada varian rasa beef spicy baru dengan bungkus merah. "Karena kau vegetarian, aku berikan ini." Kalila mendelik ke arahnya. "Kalau aku vegetarian, aku tidak akan makan salmon tadi siang." Helena hanya tertawa. Lalu Abel masuk, mengacak rambut kuningnya dan membanting berkas. Tangannya di pinggang, menarik napas kesal. "Aku mau pulang. Persetan dengan pekerjaan." "Bonusmu dipotong." "Kupotong kelamin Edzard besok," gerutu Abel jengkel, meraih sembarangan hot pot dalam kemasan dan membawanya ke dekapan. "Aku bawa ini. Aku mau pulang. Bye! Jangan lupa istirahat teman-temanku tercinta. Kalau kalian sakit, perusahaan tidak akan peduli dan akan mencari orang baru. Begitulah dunia kapitalis." "Dakjall sekali anak ini," balas Kalila muram. "Kau mau kumutilasi, iya?" "Nikmati lembur dan hot pot kalian. Tidak apa bonusan dipotong. Aku sudah kaya sekarang." Abel terburu-buru keluar dari ruangan. Seakan perusahaan ini adalah perusahaan keluarganya, dia bebas sesukanya pergi. "Kalau Abel pulang, kenapa aku tidak boleh?" Sai mencomot hot pot di atas meja. Saat mata biru Kalila membelalak, menangkap senyuman pria itu dan Sai melengos pergi begitu saja. "Kau serius menyukai pria seperti itu?" "Menyebalkan!" Kalila menarik napas, membuangnya kasar. "Aku mau membuat hot pot. Kau mau?" "Tolong. Biar kuperiksa berkasmu. Itu sangat membantuku." "Oke, darling. Terima kasih. Partner kesayanganku adalah dirimu," ucap Kalila manis, melempar cium jauh saat kedua tangannya penuh dengan hot pot kemasan. Helena menggeleng. Merasa lelah sebentar, dia membentangkan tangan. Memeriksa pekerjaan Sai dan Abel yang tertinggal di atas meja. Satu-persatu dengan teliti. Kemudian dengan sengaja mengurai rambutnya yang terikat. Membiarkannya tergerai indah. Menciptakan kesan ombak yang menawan saat matanya melirik kaca gedung. Pantulan dirinya terlihat mata. Dan Helena tersenyum, memandang dirinya yang masih bersemangat walau suntuk berat. Kurang dari sepuluh menit, pintu terbuka. Helena menengadah, menemukan Edzard berdiri di ambang pintu. Menyisakan kemeja putih yang membuatnya kesulitan menelan ludah. Bosnya tampan. Sangat malah. Dan Helena tidak pernah berekspetasi apa pun setelah tahu bagaimana Edzard dan saat pria itu bertengkar dengan wakil direktur. Gaya preman Edzard akan selamanya membekas. Helena tidak akan lupa. Tidak sampai dia mati. Titik. "Kau patung atau polisi tidur? Kenapa berdiri di ambang pintu?" Suara sinis Kalila mampir. Saat Helena tersenyum, kemudian pudar melihat satu hot pot yang tertutup rapat. "Kau tidak memasak hot pot itu?" "Air galonnya habis." Helena tampak merana. "Biar aku rebuskan air." Sebelum gadis itu bangun, Edzard mengeluarkan ponselnya. Memandang Kalila yang kembali duduk dan bersiap bekerja. "Abel mengirimkan pesan. Sai bawa mobil dan dia mampir ke kedai soju. Kau mau membantunya pulang? Abel mengirimkan alamat. Dia sepertinya butuh seseorang untuk mengurus masalah lain." Helena menaikkan satu alisnya tinggi. "Kenapa Abel tidak membantunya?" "Kau lupa? Rekanmu punya kekasih yang butuh belaian. Sai sendirian. Belum jauh dari kantor. Urus pria itu," kata Edzard kasar, berpaling dari Helena yang mendelik dan Kalila terburu-buru bangun. Satu dunia tahu kalau Kyra Kalila suka dengan Sai, tetapi alien satu itu tidak tahu. Atau memang bodoh dan tidak peka. "Bagaimana dengan berkasnya? Aku—," "Helena, bos akan membantumu. Aku akan menggantikan jadwal rapatmu besok. Serius. Anggap saja hadiah sebelum kau cuti," Kalila menghampirinya. Merebut hot pot dari tangan Helena dan mencium pipi sang junior cepat. Edzard masih bertampang datar saat wanita berambut pirang itu menabrak bahunya agak keras. Mematikan ponsel, pria itu menutup pintu dan masuk ke dalam. Bisa mendengar air mendidih dari hot pot yang baru saja Kalila masak untuk Helena. Benar-benar menyebalkan. Terkutuklah dia. Helena kembali duduk. Menggeser hot pot miliknya saat dia merobek bungkusan sumpit dan sendok, membuka tutup kemasan dan mencium aroma masak yang membuat perutnya berdendang. "Sai dan Abel akan membayar ini besok pagi." "Oh, ya. Mereka harus membayarnya," ucap Helena dingin, tak peduli kalau sang bos berdiri di sebelahnya. Memeriksa berkas dalam diam. Melihat Kalila baru bisa menyelesaikan separuh tulisan, Edzard mendesah panjang. Dia membungkuk, menatap rambut yang tergerai indah sebatas punggung. Seingatnya Helena memiliki rambut lurus seperti pertama kali masuk untuk perkenalan sebagai anggota baru. Tapi kesan gelombang ini sama sekali tidak buruk. "Kau lapar?" "Ya." Edzard duduk, menatap gadis itu setelah menaruh ponselnya di atas meja. Kemudian menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku. "Kau yakin makanan itu sehat? Tidak ada racun? Kau seharusnya memeriksa itu sekali lagi. Hanya untuk berjaga-jaga." Sumpit itu tertanam di dalam kuah sup. Saat Helena menoleh, memandang sang bos datar. "Siapa yang belikan ini?" "Aku," Edzard berdeham. "Untuk kalian semua." "Apa kau berikan racun ke hot pot ini?" "Tidak." "Lalu?" Edzard berpura-pura terbatuk. Saat dia menarik napas, memandang si gadis yang kembali menyantap potongan rebung dan jagung dalam diam. "Nikmati makan malamnya." Helena bergumam tidak jelas. Berulang kali memandang berkas, dan masih sibuk makan. Saat Edzard melirik untuk kesekian kali, merasa gatal untuk menyibak rambut itu dari kerah kemeja Helena. Dering ponsel mengaburkan atensi mereka berdua. Ketika Helena menaruh mapnya, melirik nama yang tertera di atas layar. Edzard dengan santai membiarkannya. Mematikan telepon tanpa rasa bersalah. Satu nama yang berhasil membuat Helena bergeser untuk menciptakan jarak. "Kalau kau kesulitan, kau bisa bicara." "Besok Anda akan mendapat berkas sempurnanya. Sebelum diberi pada tim penjualan, aku akan merevisi beberapa poin dulu. Beberapa tulisan tidak sempurna. Sementara bosku sangat mencintai kesempurnaan tanpa cela. Aku harus memeriksa segalanya agar tidak terjadi kesalahan dalam bentuk apa pun." Edzard memilih diam. Ekspresi Helena tidak terbaca sekarang. Gadis itu menulis dengan mulut sibuk mengunyah daging dan rebung. "Kapan kau akan mulai mengajukan cuti?" "Lusa." Edzard berdecak. "Berapa lama?" "Rahasia." Terdengar dengusan keras. Saat Helena menoleh, menatap pria itu datar. "Kenapa?" "Semua tergantung padaku. Kau tidak lupa, kan?" Bola mata hijau itu memutar bosan. "Anda yang menawarkan diri untuk memberiku cuti. Anda tidak lupa, kan?" Edzard menatap matanya dengan senyum samar. "Tidak." Helena pikir, percakapan selesai. Namun Edzard tetap memaksanya untuk terus bersuara. "Kau ingin berlibur ke mana?" "Zimbabwe." Alis pria itu bertaut tajam. "Aku rasa semua orang mencintai Paris. Zimbabwe tidak ada apa pun." "Itu bagus. Aku butuh pergi ke suatu daerah yang tidak ada diri—," mu—Helena ingin menambahkan, tapi dirasa ini akan membuatnya mati duduk. "—aku berencana pergi ke Mars. Menumpang satelit NASA dan membawa buah tangan bayi alien untuk tim purchasing. Anda mau satu?" Edzard mendengus menahan geli. Mata kelamnya berbinar dengan cara yang membuat jantung Helena berdebar tak nyaman. "Tentu. Aku akan mencari ibu yang cocok untuk bayi alienku," timpal Edzard santai. "Kau tahu s**u apa yang bagus untuk bayi ajaib itu?" Helena mengernyit. Tampak berpikir keras. "Mereka minum darah, mungkin?" "Kau membawa alien atau tuyul?" "Alien." Helena menarik napas, menunduk menatap hot pot miliknya dan menggeleng keras. Edzard bersandar santai pada kursinya. Meneleng untuk memeriksa bawahannya yang menyibukkan diri dengan menyantap makan malam. Tangan kirinya terulur dengan sengaja. Menyibak anak rambut yang jatuh dan membuat Helena terusik dengan rambutnya sendiri yang tergerai saat dia makan. Satu sentuhan yang membuatnya membeku. "Ikat rambutmu. Risih melihatnya begitu," kata Edzard tajam, menurunkan tangannya setelah terkepal. Sensasi rambut yang menyenangkan itu rupanya masih tertinggal. Melekat baik dan membuatnya nyaris meledak sebentar lagi. Perkara rambut bisa membuat miliknya nyeri bukan main. "Kenapa harus?" Helena menoleh dengan alis terangkat naik. Saat dia menyibak rambut panjangnya, memandang Edzard datar. "Aku merasa cantik dengan rambut tergerai." Edzard menatapnya dengan bibir berkedut. Tetapi Helena tidak melihatnya. Yang ia lihat hanyalah tampang datar dengan mata kelam mencela. "Kau menyadari kalau kau cantik?" Helena tiba-tiba dilema. Fokusnya bukan pagi pada lembur, tapi pada si pembunuh suasana yang membuatnya lemas. Kepingan tentang pagi yang membuatnya malu setengah mati kembali terlintas. "Sedikit," ujarnya serak. Menatap separuh sisa makan malamnya. "Aku terlalu percaya diri." "Memang." Helena terpaku. Ingin berucap sesuatu, tetapi lidahnya kelu. Fokusnya jatuh pada sepasang manik kelam yang menyembunyikan jutaan emosi. Lalu pada rahang keras dan tegas yang membuat rupa Edzard sempurna. Seratus persen sempurna. Segi tampang sangat baik. Segi sifat? Pria ini pantas digantung di puncak tertinggi Tokyo Tower. "Kenapa kau melihatku? Suka?" Helena ingin tertawa. Tetapi reaksinya lain. Ia menaruh sumpit, memandang Edzard dengan pandangan mencibir. "Kenapa tidak kau yang suka padaku dulu? Dan memaksaku harus menyukaimu?" Hilang sudah kesan formal yang membentengi mereka berdua. Semuanya terbang, seperti terkikis angin dan melebur bersama ombak di lautan. Helena menekan lidahnya, mengutuk dirinya sendiri saat diselingi rasa puas yang membakar. Edzard menarik napas. Menyadari gadis itu bergeming seakan siap menunggu jawaban dan menantangnya, seulas seringai terbit. "Aku sudah lakukan itu." Kalimat ambigu yang membuat otak cerdas Helena mencerna terlalu keras. Kemudian pada sorot mata yang membuatnya meringis, memaki dalam hati. "Oke." Lalu, bangun dari tempat duduknya. Terburu-buru merapikan sisa berkas dan menumpuknya menjadi satu. Membawanya ke dalam dekapan dan tangan yang bebas membawa hot pot miliknya keluar ruangan. Secepatnya. Ia harus melarikan diri secepatnya sebelum kedua kakinya lumpuh. Atau dia mendapati dirinya bertekuk lutut pada pesona Adonis yang membunuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN