Tas kecil terombang-ambing seiring lompatan pemiliknya. Semua yang melekat di tubuh berwarna biru membuat Yuri bosan. Dia sempat membeli tas selempang berwarna putih kecokelatan. Ada sulaman berbentuk tiga cincin di sudut tas. Padahal tas itu tidak ada isinya. Dia bersenandung seiring turun bukit. Kepangnya seolah menari mengikuti alunan nada Yuri.
"Wah, itu kayu yang besar. Hati-hati naiknya, Kakak!" Yuri bertemu beberapa anggota kelompok penjaga bukit Zill yang sedang membawa beberapa kayu sebesar manusia untuk persediaan dapur.
"Kau mau kemana?" tanya orang yang diajak Yuri bicara.
"Membalas dendam!" Yuri terkikik terus berjalan.
Mereka menggeleng heran dan melanjutkan mendaki bukit. Jalan sudah dibentuk sangat rapi dan indah. Jika begini masih sangat tenang seperti pesona bukit Zill tidak ada tandingannya. Yuri bertemu lagi dengan kakak anggotanya yang membawa banyak bahan makanan. Yuri hanya menganga terpesona tanpa menegur. Lalu, datang lagi membawa banyak sekali daging mahal. Sangat sulit didapat dari negeri Zilla. Yuri juga hanya kagum sambil melebarkan matanya. Hampir saja terpeleset karena tidak memperhatikan jalan.
"Hmm, sepertinya tas ini butuh beberapa isi. Makanan enak misalnya, hihihi. Setelah di istana aku akan meminta Kakak Zean memberiku banyak makanan!"
Mendadak langkahnya terhenti.
"Yuri, tunggu aku! Kau mau pergi kemana? Ini belum sore!" Teriak Cen yang lari padanya.
Yuri menatapnya mengernyit silau, "Aku mau mengambil rantai akar biru. Ada apa?" balasnya berteriak.
Cen baru akan menjawab setelah tiba di depan Yuri. Napasnya sedikit terengah, "Kupikir tadi istirahat. Kalau ketua tau aku bisa dimarahi. Jangan menemui pangeran dulu, kau masih lelah. Ayo ikut aku kembali ke padepokan." memegang tangan Yuri.
Yuri langsung menarik tangannya, "Aku tidak lelah, Kak Cen. Pokoknya aku mau rantai biruku kembali! Sekaligus memberi pelajaran pada Kakak Zean." menyingsingkan lengan bajunya.
"Eh, tunggu-tunggu! Kalau begitu aku ikut!" Cen menahan langkah Yuri, "Apa? Tidak-tidak. Kau jaga saja ayah jangan sampai tau aku keluar. Kau, 'kan Kakak yang baik." mengerjap-ngerjap polos.
Cen cemberut tidak mau menuruti permintaan Yuri. "Kembali bersamaku, Adik Yuri," pintanya.
"Kumohon, Kak Cen." Yuri pun memberi tatapan memohon.
Akhirnya Cen pasrah, "Huft, berjanji padaku kalau kau sudah harus pulang sebelum sore. Mengerti?" membuat perjanjian jari kelingking.
Yuri meringis dan mengaitkan kelingkingnya dengan Cen, "Sangat mengerti! Haha, kau baik tiada duanya, Kakak! Manis sekali! Aku pergi dulu! Jaga ayahku baik-baik, ya! Jangan sampai mengamuk!" langsung pergi sedikit berlari sambil melambaikan tangan.
Cen tersenyum membalas lambaian tangan Yuri, "Nasib sial apa lagi yang akan kudapat dari ketua?"
Yuri menaiki kereta kuda untuk tiba di istana. Bukan duduk manis di dalam kursi rumah kecil, dia justru menjadi kusir dan mengendalikan kuda agar lari lebih cepat.
"Hiyyaa!!! Ayo lebih cepat lagi!" seru Yuri sejak tadi. Semburat bahagia terlihat jelas diwajahnya.
Semua orang di sepanjang jalan menepi. Kuda berlari sangat cepat sampai suaranya keretanya terdengar keras. Gerbang istana seketika terbuka ketika Yuri tiba. Kuda itu meringkik menjunjung kedua kaki depannya. Yuri menganga terpesona. Langsung turun dari kereta kuda memasuki istana. Jalan panjang berbelok di kanan-kiri dan taman yang sama. Bangunan sama hingga harum khas seseorang di sana juga sama. Kamar di sebelah timur dengan pintu kayu berwarna biru.
"Wah, persis seperti yang kupikirkan. Ini menakjubkan!" Yuri melompat-lompat kegirangan. Terdengar suara berisik dari dapur istana. "Eh, apa itu?" Yuri bergegas menuju dapur.
"Ini yang dinamakan papan peristiwa! Pangeran memang bijak! Dengan begini kita bisa tau apa saja yang terjadi di luar istana. Hmm, gosip bisa menyebar lebih cepat." kata salah satu pelayan istana.
"Ck, apanya yang cepat? Itu ide terburuk yang pernah ada." Yuri membuat gerombolan pekerja istana menunduk dan menepi. Tepat saat berhenti di depan mereka, melihat papan sederhana yang Idak memiliki papan melainkan jika disentuh maka akan terasa ada yang menahannya.
"Siapa yang membuat ini? Buruknya! Lebih baik pakai papan kayu daripada menggunakan kekuatan. Papan transparan?" Yuri mengelilingi papan tersebut.
Para pelayan saling pandang. "Nona Yuri, selamat datang di istana. Kenapa kau mengatakan hal itu? Pangeran Zean yang membuat papan ini," kata salah satu dari mereka.
Yuri kembali ke posisi semula, "Iya aku tau. Makanya aku menghinanya. Ada bau-bau si cincin biru di sini." mengendus papan transparan itu membuat para pelayan heran. Yuri menatap mereka semua, "Aku kasih tau, ya. Jika gosip yang disebarkan adalah berita penting negeri maka tidak masalah. Kalau hal-hal sepele yang muncul? Maka akan timbul kekacauan besar. Kak Zean tidak berpikir panjang sebelum membuatnya? Aku harus membuangnya!" Yuri berkacak pinggang.
"Tidak perlu!"
Seseorang berseru, tetapi tidak diketahui keberadaannya. Semua orang menunduk kecuali Yuri. Dia celingukan mencari orang itu. Sampai menatap langit dan pohon.
"Mau menggunakan cara yang sama? Hei, kalian. Sejak kapan Kak Zean suka bersembunyi? Apa dia selalu memamerkan kebolehan?" tanya Yuri tanpa berhenti mencari lewat pandangan.
"Tidak seperti itu, Nona. Hanya saja Pangeran lebih suka bercanda akhir-akhir ini. Kami rasa emosinya kurang stabil. Kami sering diajak bermain bersama," kata pelayan yang tadi hampir berbisik takut Zean akan mendengarnya. Yuri mengerutkan keningnya.
"Itu benar, Yuri!"
Yuri dan pelayan itu kaget karena Zean benar-benar mendengarnya. Namun, tetap tidak mau keluar dari persembunyian.
"Apa perjalanan ke timur tidak cukup melelahkan?" tiba-tiba Zean datang dari langit tepat di depan Yuri. "Aku hanya bercanda tadi. Tidak perlu datang hanya untuk mengambil rantai akar biru. Nanti akan kukembalikan padamu. Aku ingin tau apakah akar biru ini bereaksi atau tidak setelah tiba di bukit Zill. Karena itu aku merampasnya," ucap Zean berubah lembut.
Yuri terbelalak. 'Apa? Kak Zean berubah-ubah ekspresi? Bagaimana bisa nada bicaranya juga selalu berubah? Ini bukan seperti Kak Zean,' batinnya.
Yuri memberanikan diri menyentuh dahi Zean, tetapi Zean mundur kaget. "Kakak, kau sakit komplikasi, ya? Saat emosiku labil aku tidak seperti ini," meneleng jujur.
Zean mendesah panjang, "Sebenarnya aku merasa aneh. Emm, mungkin sudah ada satu minggu. Kurasa setelah belajar ilmu larian angin tingkat tinggi." menggaruk kepala belakangnya sambil mengingat-ingat setiap reaksi yang dialaminya setelah sepekan.
"Ini baru Kak Zean, lugu dan baik. Tidak seperti tadi yang bermain-main. Itu, 'kan sifatku." Yuri menunjuk Zean dan dirinya bergantian.
Zean tersenyum kaku. "Kurasa aku harus mengurus papan peristiwa ini dulu baru menemuimu lagi. Papan ini hanya khusus memantau perkembangan bukit Zill, Yuri. Bukan seluruh negeri Zilla. Jadi kau tidak perlu khawatir. Setiap hal yang terjadi di bukit biru itu akan terlihat jelas di sini dan semua orang akan mengetahuinya dengan cepat. Ini cukup membantu!" Zean mengambil papan peristiwa dan membawanya pergi.
"Oh, ternyata begitu. Kalau ada hal buruk terjadi semua orang bisa berjaga-jaga. Wah, ini tidak buruk! Kakak, kapan otakmu jadi pintar? Aku juga mau pintar!" Yuri mengejar Zean setelah berpikir sendiri.
Semua pelayan kembali melakukan pekerjaannya dan Yuri sibuk mengamati Zean meneliti papan tanpa disentuhnya sekalipun. Yuri asik mengoceh, tetapi Zean tidak menanggapinya. Hingga suara perut Yuri terdengar sangat keras menimbulkan semburat merah muda di pipi manis gadis itu. Zean menatapnya polos. Yuri segera menutup perutnya sambil meringis. "Sejak datang aku belum makan sama sekali. Kak Cen pelit tidak memberiku makanan," jelasnya.
"Cen Dama? Apa dia mengganggumu?" tanya Zean duduk menghadap Yuri.
"Haha, tidak. Kakak, kau harus sembuhkan penyakit emosimu itu." Yuri menyilangkan tangannya
Zean mengambil sebungkus roti yang terselip di dalam pakaiannya.
"Astaga! Kau masih suka menyimpan roti dalam...," pekikan Yuri ditahan Zean. "Sstt, makanlah! Aku tau kau pasti datang jadi aku menyiapkan sedikit roti untukmu. Kau tidak akan bisa makan enak di sini," kata Zean tanpa berhenti tersenyum.
"Hah? Kenapa?" bingung Yuri.
"Karena ada jamuan besar untuk beberapa perwakilan negeri. Mereka bicara tentang darah pemecah mantra." Zean memberikan roti itu pada Yuri.
"Darah pemecah mantra? Apa itu? Aku tidak pernah mendengarnya." Yuri menggeleng sembari menerima roti itu.
"Makan saja rotinya. Tidak baik berpikir kritis setelah perjalanan jauh. Lebih baik kau istirahat dulu. Kalau ayahmu tau kau benar-benar ke sini, pasti marah besar," tutur Zean lembut.
'Yang benar saja? Kak Zean lebih parah dari kecil dulu. Kenapa wajahku jadi hangat?' pekik Yuri dalam hati beserta munculnya semu merah di pipi.
Zean mengerutkan dahi, "Kenapa pipimu merah? Kau demam?" ingin menyentuh dahi Yuri, tetapi Yuri segera tertawa kikuk membuat Zean mengulurkan niatnya. "Ahaha, aku hanya kelelahan mungkin. Tenang saja, ada Kak Cen yang akan menahan ayah. Aku tidak mau istirahat sebelum kau menceritakan apa yang terjadi."
"Dan aku tidak mau menceritakan apapun sebelum kau istirahat. Mari kuantar pulang." Zean memasangkan rantai akar biru menghiasi rambut Yuri lagi.
"Eh, Kakak, kau ini...," lagi dan lagi ucapan Yuri disela Zean. "Jangan banyak bicara. Aku juga harus menghadiri pertemuan itu nanti," ucapnya.
Yuri menepis tangan Zean yang akan memegang lengannya, "Katakan yang sebenarnya atau aku akan menyerangmu sungguhan!"
'Darah apa yang bisa memecah mantra? Selain itu Kak Zean juga harus disembuhkan. Aku tidak bisa istirahat sampai sore datang,' batin Yuri.
Sebelum Zean menjawab, Cen Dama datang dengan sangat terburu-buru. Yuri terkejut setelah Cen tiba sambil mengatur napas.
"Yuri, ketua dan semua tim penyegel menuju cincin biru. Entah apa yang terjadi, tapi aku dengar beberapa perwakilan negeri juga akan ke sana. Pangeran, apa itu benar?" Cen bicara tanpa jeda.
Yuri dan Zean saling pandang. "Apa? Memangnya terjadi sesuatu?" Yuri panik.
"Memang ada mereka, tetapi masih di dalam aula istana bersama Raja. Tidak mungkin pergi begitu cepat," jelas Zean yang juga terkejut.
"Nyatanya mereka dalam perjalanan sekarang. Ayo kita lihat!" ujar Cen dan Yuri mengangguk.
"Aku ikut!" kata Zean.
"Tidak bisa!" sergah Yuri.
"Loh, kenapa?" tanya Zean.
Cen sudah tersenyum dalam hati, senang karena Yuri tidak ingin Zean pergi, "Karena sakit anehmu harus disembuhkan dulu. Kak Cen, kau duluan saja ke bukit Zill, aku akan menemani Kak Zean menemui guru besar." tanpa pikir panjang Yuri menarik Zean dan membiarkan Cen pasrah dengan mulut terbuka.
"Hei, Yuri! Kenapa mengurusi emosinya Pangeran? Harusnya kau langsung ikut denganku! Hei, Yuri! Kembali!" teriak Cen yang tidak dipedulikan Yuri.
Zean bingung mengikuti langkah Yuri yang cepat, "Ck, guru besar tidak akan bisa mengatasinya. Kau ikut Cen saja. Aku akan mengurus diriku sendiri." keluhnya.
"Tidak mau! Kalau begitu kita temui guru yang mengajarimu ilmu larian angin tingkat tinggi. Kita tidak punya banyak waktu lagi. Tim penyegel juga ikut serta. Para perwakilan negeri pun ikut melihat. Pasti ada yang bermasalah dengan mantra yang kau maksud dan hanya darah yang bisa mengatasinya. Aku tidak mau melewatkan hal ini. Jadi, ayo bergegas, Kak Zean. Jalanmu lambat sekali! Untuk apa punya kaki panjang kalau berjalan saja lambat? Dasar, payah! Masih saja diam kalau aku bicara." kata Yuri tanpa berhenti berjalan.
Zean mengerjap-ngerjap, "Kenapa marah? Aku harus apa kalau kau bicara panjang lebar? Kau akan bertambah marah kalau aku menyelamu, 'kan?" mengingatkan Yuri kisah masa kecil mereka.
Yuri bengong, "Benar juga."
Zean terkekeh, "Kalau begini kapan kau istirahat?"
"Aku tidak butuh itu." Yuri berdecak.
Zean menggeleng pasrah. 'Dia masih suka ikut campur. Juga jauh lebih manis dari sebelumnya,' batin Zean.
Guru yang mengajari Zean ilmu larian angin tingkat tinggi terkesiap karena Yuri mengagetkannya dan langsung memintanya untuk mencabut ilmu itu dari Zean. Tentu saja Zean tidak mau, tetapi karena Yuri memarahinya membuatnya menurut demi emosinya kembali stabil. Terlebih lagi Yuri bisa menakutkan jika marah. Ketika Zean konsentrasi dengan pengobatannya, pikiran Yuri melayang pada tunas pohon Savara.
'Ada apa dengan cincin biru? Sepertinya tidak terhubung dengan cincin di jari Kak Zean. Yang Mulia Raja memang menjaga Kak Zean dengan baik. Lalu, bagaimana caraku bisa tau keadaan di bukit sana? Aku sangat penasaran!' pikirnya.
Mondar-mandir di depan Zean. Untunglah Zean menutup matanya dan fokus pada peleburan ilmu yang mengubah emosinya. Mata Yuri melebar lantaran berhasil mendapatkan ide. Dia lari mengambil papan peristiwa dan dibawa kembali menemui Zean. Guru dan Zean tidak mengetahuinya, Yuri membacakan mantra yang bisa membuat papan itu tegak dan menampilkan kondisi di bukit Zill. Yuri bisa melihat jelas ramai orang mengelilingi cincin biru dengan jarak jauh karena adanya perisai tak terlihat yang cukup luas. Tanpa rasa takut, tim penyegel melakukan sesuatu pada perisai tersebut.
"Apa yang mereka lakukan? Kenapa wajah ayah dan Kak Cen begitu tegang?" gumamnya.
Lambat laun perisai itu mulai terlihat. Cahaya gelombang yang dipancarkan oleh matahari memenuhi perisai. Namun, mendadak perisai itu retak. Retakan demi retakan pada perisai berwarna biru. Seketika Yuri tahu jika penyebabnya adalah cincin biru.
"Gawat! Sepertinya kekuatan jahatnya bertambah bangkit dan berhasil merusak perisai," kata Yuri tenang.
Dua langkah kaki datang dari belakang menghampiri Yuri. Yuri tersentak mencium aroma Zean yang sedikit lemah karena melepas kembali ilmunya.
Paham kekhawatiran Yuri, sang guru berkata, "Pangeran hanya lemah sementara. Dia kehilangan banyak tenaga, tetapi sakitnya sudah sembuh total. Kau tidak akan kesulitan dengan emosi labil Pangeran lagi dan Pangeran tidak bisa lari secepat sebelumnya."
"Sampai seperti itu?" Yuri prihatin.
Zean hanya fokus pada papan peristiwa. "Aku tidak apa-apa. Rasanya lumayan baik tanpa ilmu itu. Yuri, bagaimana sejauh ini?" mulai serius walau suaranya parau.
Yuri mengangguk mengerti, "Mereka mencoba memperkuat perisai. Jika tim penyegel tidak sanggup menahan retakannya, maka Yang Mulia Raja dan para perwakilan negeri ikut turun tangan. Sayangnya retakan itu semakin parah, menyebar luas dan akan menguasai perisai."
"Tidak sepenuhnya, Yuri." alis Zean bertaut.
"Maksudnya?" Yuri tidak mengerti.
"Para perwakilan negeri itu hanya melihat. Sebagian dari mereka masih berdiskusi tentang masalah yang sama. Intinya, mereka sudah menemukan solusi. Mereka hanya ingin tahu seberapa jauh retakan itu akan mempengaruhi perisai, untuk itu tim penyegel terus menambah kekuatan perisai agar kekuatan jahat cincin biru terus melawan," terang Zean.
"Benarkah? Kalau begitu kenapa tidak langsung diatasi saja? Membuang-buang waktu! Sudah punya solusi malah diam saja," Yuri kembali menatap Zean.
"Karena darah itu belum didapatkan," jawab Zean membalas tatapan Yuri hangat.
"Eh? Darah?" Yuri mendelik.
"Iya. Darah pemecah mantra yang mereka maksud adalah temuan baru untuk memperkuat perisai sekaligus pelindung perisai itu sendiri. Jika cincin biru melawan, maka darah itu akan menjadi penghalang sebelum menebus ke perisai. Hal ini sudah aku prediksi, kemudian Raja mengajak semua perwakilan negeri untuk menemukan solusi. Kalau bisa tahun ini tidak boleh hancur seperti dua puluh tahun terdahulu," kata Zean.
Yuri berpikir sejenak, "Kalau memang begitu, darah apa yang digunakan? Darah hewan liar?"
Zean menggeleng, "Bukan, tapi darah orang paling kuat yang berkewajiban melawan pohon Savara dengan segala syarat yang layak. Tidak memiliki sisi kekuatan negatif...," Yuri memotong ucapan Zean.
"Aku?" Yuri melotot menunjuk diri sendiri. Zean mengangguk, bibirnya cemberut.
"Wah! Hahaha, jadi mereka akan mengambil darahku lalu dituangkan di perisai untuk menghentikan pemberontakan kuasa cincin biru. Hahaha, ide bagus! Aku akan mati seketika!" Yuri heboh tertawa.
"Kau tidak akan mati begitu polosnya. Untuk itu aku menyuruhmu istirahat, bukan hanya karena kau akan kembali nanti sore. Aku ingin kondisimu segar agar darahmu bisa melawan dengan sempurna!" Zean menggebu-gebu.
Yuri menganga, "Ternyata ini rencanamu."
Zean mengangguk semangat.
"SEHARUSNYA KATAKAN SEJAK AWAL! AKU TIDAK AKAN MEMAKSAMU MELEPAS ILMU LARIAN ITU! AKU AKAN IKUT KAK CEN KEMBALI KE BUKIT DAN TIDAK MELIHATMU LAGI! MENYEBALKAN SEKALI KAU!" teriak Yuri lantang tepat di depan wajah Zean. Zean menutup mata dan telinganya rapat-rapat.
Yuri melengos, "Huh! Tak sesuai harapan! Aku pikir kau akan senang melihatku lagi dan kita bertarung seperti dulu. Nyatanya kau ingin memperalatku. Teganya kau, Kak Zean. Bahkan rela melibatkan perwakilan negeri."
Yuri merajuk sembari mengatur amarahnya. Zean meringis bingung membujuk Yuri, "Eee, bukan separah itu, Yuri. Hanya setetes darahmu saja. Lagipula tidak akan sakit juga." mengendikkan bahu.
Yuri langsung berbalik, "Setetes?" memicingkan matanya.
"Iya, tidak akan mati lemas, 'kan? Katanya perempuan dari padepokan perempuan tidak mudah diremehkan." Zean menggaruk tengkuknya.
Yuri menunjuk hidung Zean. "Tidak bercanda?"
Zean menggeleng cepat. Yuri mengetuk dagunya sambil jalan kesana-kemari. Zean memutar bola matanya malas.
"Kalau darahku tidak bisa menghentikan serangan cincin biru bagaimana? Kalian mau apa?" mendadak berbalik menghadap Zean.
"Haishh! Pasti berhasil, Yuri. Kita akan memperkuat darahmu nanti. Asalkan kau salurkan kekuatanmu pada darahmu." Zean menepuk dahinya.
"Hehehe, baiklah! Ayo berangkat ke bukit Zill! Guru, terima kasih sudah menyembuhkan emosi Kak Zean!" Yuri menarik Zean lagi seraya melambaikan tangan pada guru Zean.
"Eh-eh! Hati-hati, tenagaku belum pulih sempurna!" seru Zean tidak dipedulikan Yuri.
Kereta kuda berlari sangat kencang mengikuti arahan Yuri. Zean pusing di dalam kereta. "Yuri tidak pernah merasa lelah. Semangatnya membara entah sampai kapan," desahnya pasrah. Gadis itu justru tertawa dengan lajunya kereta kuda.