Bab 2

2036 Kata
Karena percakapanmu dengan orang lain, kadang membuatku cemburu, aku tak bisa seleluasa dia untuk berbicara denganmu   "Ju, nanti istirahat bareng ya," ajak Vena. Bel akan berbunyi beberapa menit lagi. Juan memutar matanya dengan malas. "Gak." Aldo dan Riko sulit menahan tawa mereka yang sebentar lagi akan pecah. Mereka tak menyukai Vena yang kerap mendekati Juan. Juan sendiri pun merasa risih dan terus menghindarinya. Hanya saja, kenapa Vena tak menyadari jika mereka semua ingin menjauh darinya? Atau ia sebenarnya tak mau ambil pusing dengan perasaan orang lain? "Riko!" Lain halnya dengan Bella yang sangat mendukung Vena dengan Juan. Ia merasa jika Juan dan Vena sangat cocok. "Kenapa?" Nada suara Vena dibuat sesedih mungkin agar Juan berubah pikiran dan mau berduaan dengannya. "Gak tertarik," jawabnya datar lalu berdiri dari kursinya. "Gue ke kelas," ucapnya sebelum pergi meninggalkan kantin yang tampak lebih lenggang daripada tadi. Vena menahan lengan Juan sebelum cowok itu semakin menjauh. "Tunggu Juan!" Segera ia memasang senyum manis. "Nanti sepulang sekolah boleh temenin gue ke ruang kepsek nggak?" tanyanya lagi tanpa pantang menyerah. Juan mengedikkan bahunya acuh. "Liat nanti." Seraya melepaskan genggaman tangan Vena pada lengannya. Vena tersenyum narsis walaupun Juan menggantungkan jawabannya. "Kabarin gue ya nanti. Gue tunggu kabar baik dari lo! Kenapa gak jujur aja sih kalo sebenarnya lo juga mau pergi bareng gue." "Hn,” jawab Juan acuh tak acuh. Juan tak ingin mendapat lebih banyak perkara dengan cewek yang selalu mengejarnya itu, segera saja ia dengan cepat melarikan diri. "Jeane, kelas yuk," ujar Ginta yang mengembalikan kefokusan Jeane yang sedari tadi mendengar pembicaraan Juan dan Vena. Kanta dan Ginta sudah berdiri, tinggal menunggu Jeane yang baru saja akan berdiri. Meiva, cewek itu pasti akan balik kelas dengan Ken. "Kita balik duluan ya, Va," pamit Jeane yang dibalas acungan jempol ke atas dari Meiva. "Jeane," panggil Kanta di sela-sela perjalanan mereka menuju ke kelas. Jeane menolehkan kepalanya menatap Kanta yang berjalan di samping kanannya. "Iya? Kenapa, Kan?" tanyanya penasaran. Kanta menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Lo sama Juan ada apa?" Pertanyaan yang membuat Jeane tercengang sedetik. "Maksudnya?" tanya Jeane mengerutkan dahinya, "ada apanya?" Memangnya selama ini Jeane ada apa dengan Juan? Jeane tak mengerti. Jeane mengenal Juan, hanya mengenal orangnya. Ia tak tahu mengenai sifat dan tingkah laku cowok itu secara lebih dalam, karena mereka memang tidak dekat. Ginta menepuk dahinya frustrasi. "Maksud Kanta, lo sama Juan lagi deket ya? Soalnya tadi Juan belain duduk sama lo bukannya sama Vena. Biasanya tuh orang diem mulu, biarin Aldo yang ngejawab Vena," jelas Ginta dengan wajah sumringah, "kalian lagi pacaran? Kok gak ngasih tau sih." Mendadak Jeane menghentikan jalannya. "Pikiran darimana tuh? Gue sama dia gak pacaran ya. Ngomong aja kagak pernah," elak Jeane membulatkan matanya. "Ya aneh aja, Jeane. Secara kan Juan tadi nolak Vena yang jelas-jelas primadona di sekolah kita." Tatapan jahil Kanta dan Ginta diarahkan ke Jeane yang membungkam mulutnya. "Ya gak tau juga sih gue kalo soal itu. Kami gak pacaran kok. Temenan aja nggak kok," jawab Jeane jujur. Selama hampir setahun mereka sekelas, Jeane dan Juan memang tak sering mengobrol. Kanta berdecak heran. "Lo gak mau cari tau, kenapa dia lebih milih duduk sama lo tadi?" Ia sedikit kepo. "Buat apa?" Pertanyaan polos Jeane membuat Kanta dan Ginta ingin menjambak rambut panjang Jeane. "Buat kenang-kenangan, Jeane. Biar nanti pisah, gak terlupakan," jawab Kanta ngasal. Kadang dia suka gemas sendiri dengan otak lemot Jeane. Lihat saja tampang Jeane yang sekarang menatapnya dengan mata bulat dan mulut terbuka. Khas bermuka lugu yang semakin membuatnya tergoda untuk mengacak-acak setting-an otak Jeane. "Maksudnya?" Kanta dan Ginta memilih meninggalkan Jeane yang mematung di koridor. Dari pada mereka mengeplak kepala Jeane yang selalu sulit berfungsi itu, lebih baik mereka mengalah dan pergi. "Kok gue ditinggalin sih? Kanta! Ginta!" Jeane mengerucutkan bibirnya sebal dan berlari mengejar si kembar yang meninggalkannya. “Tungguin gue!”   Jeane mengerjapkan matanya bingung. Meiva, Kanta dan Ginta semakin gencar memberondonginya dengan rentetan pertanyaan seputar kejadian dia kantin tadi. "Bener, gak ada apa-apa kok di antara kami," ucapnya lagi yang entah keberapa kali sejak tadi. Jam istirahat pertamanya sekarang, ia diikuti terus-menerus oleh ketiga temannya itu bahkan saat ia ke toilet sekali pun. "Yakin lo, Jeane?" Ini juga pertanyaan sama yang sudah dijawabnya tiga kali hari ini. Jeane mengusap pipinya gusar, lelah menjawab pertanyaan yang sama itu. Tatapan risih dan kesal dilayangkannya pada ketiga temannya sebagai jawaban non-verbal atas terganggunya ia dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu sama. "Ah ya udahlah, kalo gak ada apa-apa," ujar Meiva dengan santai. Jeane rasanya ingin menjerit frustrasi. "Dari tadi gue juga udah jawab gak ada apa-apa! Lo pada masih nanya lagi," pekiknya kesal. Kanta mengelingkan matanya. "Jangan marah dong, Jeane. By the way, mau ke kantin gak? Gue lupa mau beli air tadi,” cengirnya yang kemudian dibalas kerlingan mata bosan teman-temannya. Ginta dan Meiva memilih menonton drama Korea dari ponsel Meiva. Sedangkan Jeane, cewek itu sibuk membaca novel. Ketiganya kompak tak menghiraukan Kanta. "Jeane, temenin gue yuk," ajaknya sebal. Jeane menutup novelnya. "Ayo." Ia dan Kanta berjalan keluar kelas tanpa mengucapkan sepatah kata apapun pada Meiva dan Ginta, membiarkan mereka terlarut dalam drama yang mereka yang tonton. "Jeane!" seru seseorang yang sekarang berdiri di ujung koridor sembari melambaikan tangannya dengan antusias. "Samudra?" pekik Jeane kaget lalu berlari kecil mendekati Samudra, teman kecilnya yang dulu sempat pindah ke Inggris saat SMP. "Hei! Gue kok gak sadar lo satu sekolah sama gue?" tanya Samudra dengan senyuman di bibirnya. Jeane menepuk lengan Samudra dengan keras. "Lo balik aja gue gak tau," sahutnya sekaligus mencibir Samudra yang terkekeh ringan. "Gue kan gak ada kontak lo, Jeane. Lo apa kabar?" Samudra melirik sedikit ke arah Kanta yang berdiri di samping Jeane. "Hai," sapanya ramah. "Hai juga," balas Kanta tersenyum manis. 'Gila! Cakep banget nih cowok. Jeane ketemu di mana sih cowok bertampang oppa-oppa Korea kayak gini?' "Gue baik kok. Lo apa kabar? Sekarang tinggal di mana? Kelas mana lo? Lo kok gak nyari gue sih pas balik ke sini? Kok lo bisa—" Rentetan pertanyaan Jeane dihentikan oleh Kanta yang membekap mulutnya. "Apaan sih lo, Kan?" gerutunya kesal lengkap dengan mata membola lebar. "Lo nyerocos mulu, gak pake rem," balas Kanta yang mengundang tawa geli dari Samudra. Samudra tersenyum kecil mendapati kerutan tak suka di wajah Jeane. "Gak berubah sama sekali lo, Jeane. Masih gini-gini aja," komentar Samudra. "Lo kata gue power rangers, sampe berubah segala," gerutu Jeane, kemudian mencibir Kanta yang justru tertawa ngakak di sampingnya. 'Temen gila!' Samudra memasang cengiran geli karena tingkah dua cewek di hadapannya. "Oh ya, gue belum jawab pertanyaan bejibun lo." Jeane melirik sebal karena Samudra menggodanya, "kabar gue baik, Jeane. Sekarang gue tinggal di komplek Permai. Samping komplek rumah lo, kan? Gue di kelas 11-3. Terus, gue kan gak ada kontak lo, gimana bisa ngasih tau lo?" ucapnya diselingi senyuman kecil. Ia masih ingat di mana letak rumah Jeane, hanya saja ia tak tahu, apakah Jeane masih tinggal di situ atau sudah pindah. "Wih! Deket dong. Besok bisa berangkat bareng nih kita." Seolah melupakan kekesalannya yang entah menguap ke mana, Jeane kembali bersemangat sambil mengepalkan tangannya di udara. "Boleh." Samudra semakin yakin, Jeane sama seperti Jeane yang dulu, tak ada yang berubah darinya. Gadis itu selalu penuh semangat, "Siapa tadi, Jeane?" tanya Kanta. Di tangannya ada sebotol air yang isinya sudah tinggal setengah. Jeane berpikir sebentar. "Siapa?" tanyanya polos. "Otak lo itu ya. Lemotnya gak tertolong," umpat Kanta sambil menjitak jidat Jeane. Jeane mengelus dahinya yang menjadi korban k*******n Kanta, matanya melotot garang. "Apaan lo jitak-jitak? Lo kira jidat gue tempat gesekan kartu," dumelnya kesal karena harus merasakan nyeri di dahinya. "Biar otak lo berfungsi," ujar Kanta kelewat santai. Jeane melengos pergi. Bisa-bisa bukan hanya dahinya yang dijitak Kanta, tapi seluruh tubuhnya akan biru-biru. Mengingat Kanta sedikit buas orangnya. Memikirkannya saja, sudah membuat Jeane bergidik ngeri! "Woi Jeane. Tungguin! Elah," teriak Kanta yang tentu tak didengar Jeane. Duk... "Aduh." Lagi-lagi dahinya menjadi korban. Kali ini ia menabrak tubuh seseorang. Lebih tepatnya, d**a bidang di hadapannya. Ia yakin, orang di depannya ini jauh lebih tinggi dibanding dengannya. 'Untung gue gak jatuh! Kalo jatuh, mau taroh di mana muka gue? Masa iya, gue nitip di kantin dulu nih muka,' batin Jeane yang merasa tubuhnya sempat terhuyung ke belakang. Sembari kembali mengelus dahinya yang bernasib malang, Jeane mendongakkan kepalanya, menatap korban-tersangka tabrakannya. "Lho? Juan?" lirih Jeane pelan. Juan menatapnya datar, "sorry, gue gak sengaja nabrak lo," lanjutnya karena merasa cowok di depannya itu hanya diam. Dengan polosnya, Jeane melambaikan tangannya di depan wajah Juan yang membeku. "Lo gak apa-apa kan, Juan? Tetep bisa ngomong kan? Eh? Tadi kan gue nabrak d**a lo, apa hubungannya sama mulut lo? Tapi, lo beneran gak apa kan? Mata lo gak berkunang-kunang kan? Atau malah udah berkupu-kupu sekarang? UKS aja yuk kalo lo ngerasa sakit," cerocos Jeane. Jeane lupa jika Juan memang dasarnya pendiam, ia pikir diamnya Juan karena menahan sakit. Juan menaikkan sebelah alisnya. "Modus lo?" tuduhnya ketika membuka suaranya. Berkat ucapannya, Jeane melototkan kedua matanya selebar mungkin. Namun, belum sempat ia membalas perkataan Juan, Kanta sudah menyerukan namanya. "Jeane, lo main nyelonong aja kayak tikus masuk ke dapur. Gak ada pake izin," semburnya langsung, tak menyadari Juan yang berdiri di hadapan Jeane. "Gue pergi." Suara Juan sontak membuat Kanta kaget. Setelah cowok itu pergi, Kanta kembali berbicara. "Sejak kapan Juan di sini, Jeane?" tanyanya dengan lugu. Jeane menggelengkan kepalanya stress. "Sejak salju turun di Indonesia, Kan." Baru saja Kanta ingin menjitak -lagi- jidat Jeane, Jeane sudah lebih dulu menghindar. "Kasian nih jidat gue, jadi korban mulu hari ini," cetusnya yang membuat Kanta tertawa ngakak. "Kan biar otak lo berfungsi semestinya." Jawaban yang sama. "Otak gue emang udah berfungsi semestinya dari zaman orok, elah. Gak kayak otak lo yang tertuker sama otak-otaknya jualan mamang becak di persimpangan noh," omel Jeane. "Anjir. Mamang becak jualan otak-otak? Gak sekalian jualan nasi kuning? Lumayan. Pulang dianter, perut kenyang." Kanta mengelingkan matanya menggoda. Jeane memilih kembali melangkah ke kelasnya yang sudah di depan matanya. "Terserah lo lah." "Ih, ngambekkan lo kayak kambing, Jeane. Dikurbanin, baru tau lo," ujar Kanta berusaha mengejar langkah Jeane yang terburu-buru itu. "Itu ngembek, cumi." Kanta memasang wajah sok polos. "Emang beda ya?" "Bedalah!" "Apa bedanya?" Jeane menatapnya sekilas sembari menghela napasnya kasar. "Gue manusia, itu kambing." Tunjuknya pada Bintang yang duduk di teras kelas mereka. "Bing, Kambing. Eh? Bintang! Jeane bilang lo kambing," adu Kanta cekikikkan. Bintang menoleh ke arah Kanta dan Jeane yang berjalan memasuki kelas, cowok itu mengikuti mereka dari belakang. "Jelangkung!" desisnya yang masih bisa didengar Jeane. Kanta sudah tertawa mentah mendapati wajah memerah Jeane. "Apa?" Jeane mengeplak belakang kepala Bintang. Tak kuat, namun cukup membuat cowok berkulit putih itu meringis kecil. "Gila lo, Jeane," serunya lalu duduk di kursinya. Bangku Bintang tepat di belakang bangku Jeane dan Meiva. "Salah lo sendiri!" Jeane menjulurkan lidahnya dan mengalihkan pandangannya pada Meiva yang masih sibuk dengan drakornya. "Film apa tuh, Va? Baru liat, udah nangis-nangis bombay," kata Jeane mengintip film yang ditonton Meiva. "Lo baru datang, jangan banyak ngomong!" Jeane memutar matanya cuek ketika disembur Meiva. "Lo tau, Song Joong-Ki di DOTS bener-bener gentleman," ucap Meiva tiba-tiba. Jeane mengeluarkan buku Matematikanya dengan malas. "Mana gue tau. Nonton aja kagak," responsnya sebal karena disemprot Meiva tadi. Meiva meliriknya tajam, lalu kembali menonton drama yang entah bercerita tentang apa itu. Jeane tak ingin mengetahuinya. "Gue harap Ken kayak Yoo Si Jin yang cakep itu." Meiva kembali membuka suaranya. Matanya menerawang, entah melihat apa. Cewek itu sepertinya ditarik ke dalam dunia hayalan ala kpopers. "Yoo apa? Yoo! Si Jeane!" Jeane malah mengejeknya dengan mengganti kata Jin menjadi Jeane, namanya. Dengan nada rapper pula. Kesal, Meiva menimpuk puncak kepala Jeane dengan buku Sejarahnya yang masih di atas meja. Sebelum istirahat, Sejarahlah yang mereka pelajari di jam keempat itu. "Sakit, b**o," umpat Jeane kesal. Kepalanya hari ini benar-benar bernasib s**l! 'Gue butuh pake helm besok,' pikirnya kesal. Meiva mendengkus cuek. "Salah sendiri lo ngolok-ngolok calon selingkuhan gue." Geplakan itu sukses membuat Bintang dan kembaran Ginta, Kanta tertawa. "Apa lo tawa-tawa?" Nada sinis digunakan Jeane sembari menggulung buku tulisnya. Ia siap berperang dengan Bintang. "Yoo Si Jin, woii Jeane. Jin. J-I-N bukan J-E-N!" ejek Bintang sambil tertawa mentah. "Nama gue Jeane. J-E-A-N-E. Bukan Jen, kutu air," sambar Jeane memukul keras lengan Bintang dengan gulungan bukunya. "Sama aja! Ngomongnya juga Jen. Makanya, punya nama jangan yang ribet. Nyusahin," kata Bintang sesekali membalas Jeane dengan gulungan bukunya juga. "Woiii! Juan! Darimana lo?" Teriakan Aldo sukses membuat Jeane dan Bintang terdiam sesaat, sebelum kembali saling menyerang dengan buku yang sudah ronyok di sana-sini. "Toilet," jawabnya acuh tak acuh. Matanya melirik Jeane yang menggerutu tak jelas karena rambut diacak-acak oleh Bintang. "Mirip banget lo." Ucapan ambigu Bintang menarik perhatian Kanta dan Ginta yang duduk di samping mejanya. "Mirip apa?" tanya Ginta yang malah dibalas kekehan Bintang. "Mirip singa. Coba lo mengaum, Jeane?" Bintang cengengesan tak jelas saat kembali diserang singa betina di depannya ini. "Kekanak-kanakkan," komentar Juan yang bisa didengar Jeane dan Bintang saat melewati meja mereka. Juan duduk di pojokan belakang bersama pentolan kelas lainnya. Yang tak lain, tak bukan, Aldo, Ken dan Riko. Jeane meliriknya tak peduli. Toh, tak masalah baginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN