Tiap moment bersamamu sangat berharga untukku, dan aku berharap, kita bisa selalu menciptakan moment itu
"Juan mana?" tanya Vena celingak-celinguk mencari keberadaan Juan di kelasnya. Vena berada di kelas 11-3, sedangkan Juan di kelas 11-2. Dan bel berakhirnya pelajaran hari ini sudah berbunyi 15 menit yang lalu.
"Udah pergi," jawab Andini cuek.
"Ke mana?" tanyanya lagi yang dibalas gedikan bahu oleh Andini sebagai tanda tak tahu di mana keberadaan orang yang dicari.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Vena pergi meninggalkan kelas Juan yang masih terisi beberapa orang. Termasuk Jeane di dalamnya. Vena sempat melempar tatapan kebencian pada Jeane, yang jelas tak dipedulikan oleh gadis itu. Ia bahkan tak sadar jika Vena memasuki kelasnya.
"Gak sopan," celetuk Andini.
Jeane mengemasi barang-barangnya sebelum akhirnya keluar kelas.Hanya tinggal ia seorang di kelas tanpa ditemani teman-temannya yang biasa ribut bersamanya. Kanta dan Ginta sudah pergi sepuluh menit yang lalu karena ada les tambahan di rumahnya. Meiva? Ah, cewek itu sudah dibawa kabur sama Ken.
"Jeane!" Seruan itu menyentakkan Jeane yang sudah berjalan di koridor sekolah. Hujan yang masih turun deras itu menahan Jeane di sekolah. Salahnya sendiri, tidak membawa payung padahal sudah diingatkan sang Mama. Dua kali malah. Namun, Jeane tetap saja lupa membawanya.
Jeane menoleh ke belakang. "Samudra? Belum balik?" tanyanya berbasa-basi.
"Gue masih di sini, ya berarti belum baliklah," jawab Samudra santai. "Lo ngapain masih di sini?" lanjutnya lagi.
Jeane menunjuk ke arah langit yang masih setia menurunkan rintik-rintik air dengan jari telunjuknya.
"Hujan?" tebak Samudra yang dibalas anggukkan lemah Jeane.
"Sammm! Ayo balik. Udah sore nih." Teriakan riang beserta pelukan erat di lengan Samudra itu membuat Samudra dan Jeane berjinjit kaget.
"Bentar nih, Cia. Oh ya, kenalin. Ini teman aku, Jeane. Jeane, nih cewek gue, Cia." Samudra meminta Cia untuk berkenalan dengan teman masa kecilnya.
"Jeane." Jeane mengulur tangannya sembari tersenyum kaku. Ia tak terbiasa untuk berkenalan dengan orang baru.
Uluran tangan Jeane disambut baik oleh Cia. "Cia." Setelahnya, tautan tangan itu terlepas. "Ayo balik, Sam," ajaknya lagi.
"Lo mau balik bareng gue gak, Jeane?" tanya Samudra sambil mengamit jari-jari lentik Cia.
Jeane mengedarkan pandangannya, hujan masih turun dengan deras. Sangat tidak mungkin akan reda dalam waktu dekat. Tapi—
"Abang!" seru Cia mengagetkan Jeane yang masih sibuk berpikir.
"Hn," cowok yang dipanggil abang itu berjalan mendekati Cia. "Lo kenapa masih di sekolah?" tanyanya possesive pada adik satu-satunya.
"Nih gue baru mau balik. Abang juga kenapa masih di sini?" Cia memerhatikan Juan dari atas ke bawah. Tubuh yang dilapisi pakaian serba hitam itu basah kuyup. "Main bola? Hujan-hujanan? Seragam lo ke mana?"
"Hn. Di tas," gumamnya. Juan menyadari Jeane berdiri di sebelahnya kaku. "Lo juga kenapa di sini?" tanyanya sekilas menatap Jeane.
Jeane memutar matanya sekilas. "Tungguin hujan."
"Setia banget," sindir Juan yang lalu melangkahkan kakinya menjauh.
"Eh? Lo kenal abang gue? Balik sama dia aja. Hujan kayak gini mah bisa sampe malam baru reda," sahut Cia yang lalu mengejar Juan.
"Abang, anterin kak Jeane dong. Gak bisa balik nih dia." Cia berdiri di depan Juan, menghalangi cowok itu agar tak tetap melangkah pergi.
Juan mendelik kesal. "Bukan urusan gue. Lagian balik sama gue juga tetap bakal basah." Juan ingat pagi tadi ia mengendarai motor sport-nya ke sekolah bukan mobil yang biasa dia gunakan.
"Err. Cia, gak perlu kok. Gue bisa cari bus di depan sana," kata Jeane memutuskan lomba tatapan tajam bersaudara itu, yang entah dimulai sejak kapan.
"Lo gak mau bareng gue aja, Jeane?" tanya Samudra lagi, kali ini diiringi tatapan mata Cia. Jeane menggelengkan kepalanya.
“Ini deras banget lho,” ucap Samudra sejenak menatap hujan, “ikuti gue aja,” lanjutnya lagi.
"Gak usah deh. Ngerepotin lo aja nanti," jawab Jeane tegas, “lagian gue mau mampir ke tempat makan dulu. Laper,” tukasnya membuat alasan. Ia cukup tahu diri untuk tak menganggu waktu berdua Samudra dan Cia.
"Yakin?" Kali ini, cewek itu menganggukkan kepalanya. "Yakin."
"Balik sama kita aja, Kak." Cia mencoba menarik tangan Jeane yang dengan halus ditolak Jeane.
'Gue mana mau jadi nyamuk. Gue udah sering jadi nyamuk Meiva sama Ken,' batinnya.
"Ya udah. Yuk, Cia." Samudra mengulurkan jaketnya pada Cia. "Kita duluan, Jeane, Juan."
"Gue duluan ya, Bang, Kak Jeane," kata Cia menaikkan jaket Samudra ke kepalanya sebelum pergi menerobos hujan bersama Samudra.
Samudra dan Cia meninggalkan suasana yang mendadak mengeluarkan hawa canggung di antara Jeane dan Juan. Sebelumnya, cowok itu ingin melangkah pergi. Tapi sekarang, Juan malah mematung di tempatnya berdiri.
Pelan tapi pasti, Jeane berjalan pergi. "Lo mau ke mana?" Suara Juan membuatnya terdiam dan kembali menoleh ke arah Juan.
Jeane melempar senyuman kecut. "Ke kelaslah. Kalo gue mau pulang, gue udah ke sana," sahutnya menunjuk ke arah lapangan yang sedikit tergenang air di pinggirannya.
"Ayo," ajak Juan singkat.
"Ke mana?" tanya Jeane dengan begonya. 'Tadi katanya gak mau anterin. Sekarang malah ngajakin. Maunya apa sih?’
"Ke pelaminan." Jeane membulatkan matanya kaget. "Pulanglah. Emang lo mau tunggu hujan reda sampe malam?" lanjut Juan. Cowok itu terlihat mengeluarkan jaket waterproof dari dalam tasnya.
"Nih." Disodorkannya pada Jeane yang masih terdiam. "Pake. Seenggaknya lo gak bakal terlalu basah nanti."
Kerjap-kerjap. Jeane mengerjapkan matanya berulang kali sebelum menyambut jaket yang diberikan padanya.
Tunggu.
"Juan?"
Cowok itu mendengus kesal. "Apalagi? Pake. Lo mau balik gak sih? Atau mau nginep di sini bareng penunggu sekolah? Gue denger, pas malam, di kelas kita itu kursinya bisa bergerak sendiri."
Jeane merinding mendengarnya seraya merapatkan dirinya pada cowok di hadapannya. "Modus lo?" ketus Juan terganggu dengan Jeane yang memeluk lengannya erat. Mencengkram kuat lebih tepatnya.
Jeane menepuk keras punggung Juan, membuat wajahnya sedikit basah karena air yang terciprat dari seragam basah Juan. "Salah lo sendiri. Pake acara nakutin gue. Sengajakan lo? Minta dimodusin?" tuding Jeane tak terima.
Juan menyeringai jahil. "Gak berminat gue dimodusin sama lo," ujarnya kejam yang berhasil membuat Jeane menjauh sedikit darinya, hanya sedikit. Karena cewek itu sangat takut dengan yang namanya makhluk astral, "balik nggak? Udah sore. Kalo malam kan—"
"Iya nih, balik," kata Jeane jengkel. Tadi menyebalkan karena saking cueknya, sekarang menjahilinya. Jangan bilang, cowok di depannya ini—
'Apalagi sekarang?' gusar Juan di dalam hati.
"Apa?" Juan risih dipandangi tatapan curiga dari Jeane yang terus diarahkan kepadanya.
"Lo gak kesambet kan? Masih Juan yang sama dengan dari tadi pagi kan?" tanyanya polos.
Kesal. Juan mencubit pipi Jeane agak keras. "Sakit, b**o," pekik Jeane menyingkirkan tangan Juan.
"Lo kalo bodoh dikondisikan juga, jangan di-upgrade mulu," kata Juan sarkastis.
"Ya lo orangnya berubah-ubah kayak kulit bunglon. Gue kira lo kesambet tadi," jelas Jeane sembari menggunakan jaket yang diberikan Juan tadi. Tubuhnya yang kecil terlihat seperti tenggelam dalam balutan jaket hitam milik Juan.
Juan tak ingin memperpanjang percakapan tak pentingnya dengan Jeane. Ia hanya mendesah lirih. "Lo tunggu di sini. Gue ambil motor di parkiran."
Belum sempat melangkah, Jeane menarik lengannya. "Hujan masih deras. Nanti lo bas—"
"Gue emang udah basah." Juan berusaha memperbanyak kesabaran yang dimilikinya. Kesabarannya terasa seperti sedang diuji oleh makhluk di depannya.
"Oh iya." Jeane segera melepaskan tangannya dari lengan Juan sembari cengengesan menutupi kebodohannya. Juan? Cowok itu hanya mendengkus lelah lalu pergi menerjang hujan yang tak kunjung reda.
Jeane memeluk tas Juan yang sebenarnya tak sengaja ditinggalkan pemiliknya saat mengambil jaket yang diberikan padanya. Dalam hatinya, ia merutuki sifat Juan yang juga bisa ceroboh seperti dirinya.
"Tasnya ikutan basah. Isinya basah nggak ya?" gumam Jeane dengan nada mengambang.
Pandangannya teralih pada lapangan luas itu. "Belum dateng. Gue cek bukunya basah atau nggak aja deh. Penasaran."
Karena sibuk memeriksa isi tas Juan, Jeane tak menyadari Juan yang duduk di atas motornya sebal. "Ngapain? Mau nyuri?" tanyanya dingin.
Sejenak. Jeane merasakan tubuhnya sedikit menegang, ia memanyunkan bibirnya sebal. "Gue cuma ngecek buku lo basah atau nggak doang. Siapa yang mau nyuri," desis Jeane. Dengan cepat, ia menutup tas milik Juan. "Nih," lanjutnya lagi memberikan tas itu pada pemiliknya.
Bukannya menyambut, Juan justru memakaikan topi jaketnya ke kepala Jeane. "Kalo ada topinya, dipake b**o," sambarnya tak memedulikan Jeane yang membeku akibat ulahnya. Diambil tas miliknya lalu memakainya di belakang punggung, matanya berbinar geli melihat Jeane yang masih mematung. "Diri aja di sini sampe pagi. Gue pulang duluan."
"Ih! Lo niat gak sih nganterin gue?" sungut Jeane yang sudah sadar dari keterkejutannya.
Juan terkekeh. "Sebenarnya sih nggak."
Jeane membulatkan matanya. "Ya udah. Gue balik pake bus aja." Ia melenggang pergi meninggalkan Juan yang justru menyeringai jahil.
"Lo ngancem gue?" tanya Juan sambil memacu gas motornya dengan pelan agar bisa menyamai langkah kaki kecil Jeane.
"Nggaklah. Buat apa ngancem lo? Gak ada untungnya, kalo ruginya sih banyak kayaknya," sahut Jeane. Hujan masih setia mengguyur keduanya.
"Buat minta dimodusin," jawab Juan ringan. "Naik cepat," katanya menarik lengan Jeane yang bebas.
Jeane meliriknya kesal. "Lo kok nyebelin banget sih. Adek lo imut-imut, lo amit-amit," desisnya.
"Makasih." Jeane menghela napasnya kasar dan menaiki motor Juan. "Rumah lo di mana?" tanya Juan. Motornya membelah jalan raya yang cukup ramai.
"Komplek Indah," jawab Jeane. Tangannya memeluk tas punggung Juan dengan erat.
"Oh. Dekat," ujar Juan singkat.
Hening.
"Rumah lo di mana?" Tanya Jeane yang tak menyukai suasana hening.
"Komplek Permai."
"Sama dong kayak Samudra?" Jeane membelalakkan matanya.
"Tetanggaan."
Jeane diam tak berbicara bahkan setelah sampai di depan rumahnya. Ia hanya berbicara ketika ditanyai letak rumahnya oleh Juan.
"Thanks, Ju."
Cowok itu kembali mengendarai motornya di langit yang mulai menggelap itu tanpa perlu repot-repot membalas ucapan Jeane. Sepertinya hujan akan semakin turun deras.
"Darimana, sista?" Pertanyaan Lily, adiknya membuat Jeane yang baru melepas sepatunya harus mendongakkan kepalanya sebentar.
"Sekolahlah. Ya kali dari club," dengus Jeane.
"Slow, Sista. Judes amat. Pantes aja belom laku," cibir Lily, mengabaikan tatapan membunuh Jeane. "Tapi, wait. Itu jaket siapa, Sista?" tanyanya menunjuk jaket yang digunakan Jeane.
"Temen."
"Temen apa demen?"
Jeane melempar bantal sofa di depannya ke arah Lily. "Temen ya temen. Apa sih?"
Lily terkekeh geli. "Buset dah. Kalo cuma temen, ngapain pake salting segala?"
"Gue gak salting ya," sangkal Jeane menaiki tangga menuju kamarnya dengan langkah terburu-buru untuk mengganti pakaiannya.
"Gak salting tapi cuma salah tingkah, ya gak, Kak?" teriak Lily yang masih berdiri di ruang tamu.
"NGGAK!"
"Apa sih rame-rame? Kayak hutan aja nih rumah," celetuk Mamanya, Anggi kalem.
"Nih, Ma. Sista dianter TTM-nya dia," adu Lily. Jeane segera menuruni tangganya, berusaha menghentikan mulut bocor sang adik.
"TTM apa? Mama gak ngerti" tanya Anggi sedikit bingung.
"Temen tapi musuh, Ma," jawab Jeane mendelik sinis Lily yang tertawa s***s.
"Teman tapi mesra, Ma. Nyatanya, hujan-hujan masih dianterin pulang. Dibasahi hujan kenangan apa hujan romantis?" goda Lily bersembunyi di belakang Anggi.
"Diem deh lo, anak unta!" bentak Jeane yang sudah sangat kesal.
"Lho? Dia anak mama kok, Jeane," jawab Anggi yang memperburuk keadaan anak pertamanya itu.
"Mama..."
"Kasian deh lo, Kak."