Bab 4

1520 Kata
Ada hal yang kurang saat tak ada dirimu di sisiku.   "Hari ini Juan gak ke sekolah ya ." "Ah! Sepi deh." "Mata gue gak dapet jatah sarapan dong hari ini?" "Kabarnya sih, Juan sakit." "Gara-gara hujan kemarin kali ya?" “Masa sih?” "Gak tau juga sih." Jeane melirik ke sisi kanannya yang penuh obrolan khas wanita. 'Juan sakit? Apa karna hujan kemarin ya? Gara-gara dia nganterin gue pulang pas hujan-hujan,' pikirnya. Langkah kakinya yang malas itu membawanya ke tempat duduk di kelas, pandangannya terasa kosong. "Jeane!" seru Bintang yang membuat Jeane terjungkal ke belakang. Untung saja kelas masih sepi. Sehingga, Jeane tak perlu repot-repot untuk menutupi rasa malunya. Ia menatap marah dan jengkel pada Bintang yang justru tertawa terbahak-bahak. Plak. Geplakan kepala diterima Bintang yang tampak belum siap. "Apaan sih lo, Jeane? Main geplak-geplak aja. Lo bisa tanggung jawab kalo misal gue mendadak terkena gegar otak? Atau malah otak gue bocor." Bintang mengelus belakang kepalanya yang menjadi korban kekerasaan Jeane. “Ih amit-amit deh.” "Alay lo tolong dikondisikan," sinis Jeane sembari duduk di kursinya lagi. Bokongnya terasa sakit akibat berciuman dengan lantai yang keras. "Nih udah sesuai kondisi kali. Ya kali kalo gue bilang, bakal bikin gue jantungan, gagal ginjal gara-gara nafsu lo yang suka ngegeplak kepala gue,” tukas Bintang tak terima. Jeane berdecak kesal. "Gak masuk akal, goblok." Bintang melototkan matanya jenaka. "Ya mungkin aja. Sewaktu lo geplak gue, gue kaget. Terus jantung gue copot ke usus, gimana? Usus gue ketiban jantung. Apa kabar tuh pencernaan gue? Gak bisa titip salam lagi sama boker." "Sebodo amatlah," kata Jeane tidak menghiraukan penjelasan tak bermutu itu, tangannya mengeluarkan novel yang baru dibelinya lusa kemarin. Bintang hanya terdiam melihat Jeane yang sudah sibuk dengan novelnya, tak berniat mengganggu cewek itu lebih jauh lagi. Ia lalu memfokuskan dirinya untuk bermain game di ponselnya. "Jeane!" panggil Meiva yang berdiri di pintu kelas. "Apa sih?" Jeane mengerutkan dahinya kala Meiva mendekatinya dengan senyuman jahil di bibirnya. Meiva berlari ke bangkunya sembari menarik kursinya mendekat. "Lo kemarin sama Juan abis darimana? Hujan-hujanan lagi. Sweet banget," bisiknya tepat di telinga kiri Jeane dengan suara lantang sehingga menyebabkan dengungan di telinga Jeane. Jeane mendeliknya dongkol seraya menjauhkan kursinya dari Meiva. "Lo niat ngebisikin atau teriak sih? Telinga gue masih mau gue pake. Belom pensiun, tau gak?" omelnya yang lalu dibalas kekehan kecil. Meiva memasang watados andalannya. "Jangan marah dong elah, Jeane. Entar cantiknya ilang. Ini aja, udah jelek lo. Mau tambah jelek lagi? Nanti lo gak ada yang mau gimana?" Jeane mengacak rambutnya frustrasi. "Serah lo deh mau ngomong apa. Yang udah punya pacar mah emang beda." "Ih, Jeane. Bener." Belum selesai Meiva berbicara, dengan cepat Jeane memotongnya. "Bener apanya?" "Lo kemarin bareng Juan abis hujan-hujanan kan? Ada nari-nari kayak di film-film India gitu gak? Atau berjoget gitu di bawah guyuran hujan," cerocosnya bersemangat. "Anjir! So sweet." "Kenapa gak lo sama Ken aja yang ngelakuin yang lo sebutin tadi?" ketus Jeane yang mulai menarik kembali hayalan aneh Meiva. "Ada apa ini? Ini ada apa? Apa ada ini?" Suara Kanta mengintrupsi Meiva yang baru saja akan menyahut. "Lo! Kecoak! Kenapa? Kenapa ada lo di sini?" tanya Meiva menunjuk ke arah Kanta yang berjalan di depan Ginta. Mendadak keadaan dramatis tercipta yang membuat Jeane melongo tak mengerti. Satu jitakan keras dirasakan Meiva. "Kecoak muka lo! Gue duyung, tau," sangkal Kanta meletakkan tasnya di meja dengan kasar. "Lo dugong," lanjutnya lagi. "Kalo gue dugong, udah gue makan lo. Gue gigit-gigit sampai—" "Sampai gigi lo patah semua. Auto jadi neneknya dugong lo!" potong Kanta. Bintang memandang takjub kedua cewek yang absurd itu, ia melupakan game yang masih menyala di layar ponselnya. "Kalian ada yang bawa popcorn gak? Kayaknya asik nih kalo sambil makan popcorn." Meiva menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak. Buat apa kita bawa popcorn ke sekolah?" "Buat makan sambil nontonin kalian. Seru nih kayaknya. Lanjut dong!" Bintang memamerkan cengiran lebarnya. Setelahnya, terdengar jeritan Bintang yang melengking hingga ke luar kelas. "Kayak lagi diperkosa lo, Tang," sahut Ginta tertawa lebar hingga menampakkan deretan gigi depannya. Bintang mengelus lengannya yang digigit Kanta. "Gue emang hampir diperkosa sama dua nenek ini. Anjir! Udah tua, masih nafsuan sama daun muda kayak gue," protesnya. Meiva dan Kanta melototkan matanya horor. "Lo bilang apa, Bintang?" Pertanyaan penuh penekanan itu membuat Bintang merinding ngeri. “Coba lo ulangi lagi.” Kakinya yang panjang segera digunakannya untuk berlari menjauhi dua cewek gila itu. "Jeane, kasih tau Bu Siti, gue istirahat di UKS abis kena rabies karna digigit sama Kanta," jeritnya lalu bergegas lari ke keluar kelas. "Ih! Monyet lepas!" teriak Kanta kesal. Ginta dan Jeane menyemburkan tawa mereka. "Lo liat mukanya si Bintang. Mirip udang yang udah dimasak, merah delima gitu," kata Ginta di sela tawa kerasnya. "Kita dilawan," ucap Kanta yang ber-high five dengan Meiva. "By the way nih, Jeane. Elah! Gara-gara Bintang gue lupa mau ngorek-ngorek informasi dari lo!" Meiva menduduki bangkunya lagi. "Kemarin sama Juan ada apa?" Mendesak Jeane untuk bercerita. Jeane memutar matanya karena pandangan buas yang diarahkan padanya. "Gak ada apa-apa. Dia cuma nganterin gue pulang doang. Kan kemarin hujan. Gimana sih," sewotnya. Ginta menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Berarti dia sakit karna balik sama lo?" tudingnya langsung tanpa disaring. Pluk. Tepukan keras di lengannya terasa perih dan panas. "Lo ngomong ngegas mulu kayak petasan," ujar Jeane yang siap memukul Ginta lagi. "Lo pagi-pagi udah main KDRT aja, Jeane," sahut Aldo, memasuki kelas yang ribut akibat Jeane dan Ginta. "Lo kira gue bininya, Jeane? Jeane tuh bininya si Juan," sahut Ginta yang membuat Meiva dan Kanta tertawa geli. "Naas banget nasib si Juan," komentar Ken seketika terhantam penghapus papan tulis yang melayang ke arahnya. "a***y! Gak sekalian kursi lo ikut diterbangin ke kita juga, Jeane?" Aldo menghindari pasukan kapur yang terus menyerangnya. "Jeane, apa kabar si Juan nanti? Lo suka banget ngelakuin k*******n," lanjutnya lagi, "Hari pertama sama lo aja, langsung jatuh sakit dia." Bukan sindiran, Aldo tahu jika Jeane easy-going orangnya sehingga ia berani mengganggunya. Yang sebenarnya, Aldo berani mengganggu siapapun. "Dia kena hujan ya. Gara-gara main bola bareng kalian pas hujan-hujan," sangkal Jeane keras. Ken membulatkan matanya dengan jenaka. "Kok lo tau sih, Jeane? Juan lapor ya? Wah! Ternyata tipe suami takut istri nih si Triplek." Wajah Jeane memerah. "Lo—" "Iya, kita tau kok. Juan mah gitu orangnya," potong Aldo tak nyambung. Jeane mendelik sebal. "Gak nyambung lo, anak ayam." "Ya tinggal disambungin, elah. Mau pake rantai atau tali?" "Pake rantai aja, sekalian buat nyumpal mulut lo yang suka bocor itu." Aldo membelalakkan matanya. "Bocor? Gue kan gak pernah PMS, Jeane. Gimana bisa bocor? Ya kali dompet gue yang suka bocor. Hari pertamanya tebel, hari kedua ilang semua. Kayaknya perlu gue pakein yang anti bocor deh. Cocoknya yang bersayap atau nggak?" ucapnya konyol. Jeane menatapnya kesal, pagi-pagi kejadian absurd sudah mewarnai harinya di sekolah. "Suram banget muka lo, Jeane. Kayaknya bakal hujan lagi nanti. Elah, banjir lama-lama," rutuk Kanta sambil menarik rambut Jeane. Kelas yang tadinya hanya diisi Jeane, Kanta, Ginta, Ken dan Aldo kini sudah ramai dengan penghuni kelas itu. "Gak ada hubungannya," jawabnya tak memedulikan orang-orang di kelasnya yang menatap mereka dengan berbagai tatapan.   "Hallo?" ucapnya di depan layar ponselnya. "Halo Bandung, ibu kota periang—" "Lo telpon gue buat apa, Do?" Terdengar suara serak dari loud-speaker ponsel itu. "Masih hidup lo, Ju? Gimana sakit lo? Ngerepotin nggak? Emang si sakit tuh suka ngerepotin, padahal gue udah bilangin ke dia, jangan ganggu lo. Lo itu udah cukup terganggu sama kata lo yang hn mulu," cerocosnya yang membuat Ken duduk di sampingnya, tempat duduk Riko itu sontak tertawa geli. "Hampir mati pas denger suara lo." Aldo mengerjapkan matanya berpura-pura kaget. "Itu artinya suara gue seksi kan, Ju? Berarti lo harus sering-sering denger suara gue yang penuh aura positif ini," sahut Aldo diselingi tawa jahat. "Hn." "Sakit aja, hn lo masih berfungsi dengan baik dan bener, Ju? Astogenya jualan mbak Oja," cetus Ken. "Ada apa?" tanya Juan kembali ke pembahasan. "Nggak ada—" "Hn." Tut... tut... tut... "What the... dimatiin, Ken. Dia gak tau kali, gue mesti ngemis-ngemis dulu sama nyokap baru bisa isi pulsa," Aldo menjerit dongkol. Ken terkekeh. "Gaya lo kayak banci di perempatan, tau nggak." Tak lama kemudian, suara bel menggema di penjuru sekolah. "Akhirnya, gue bisa ketemu Bu Siti! Bu Siti, aku padamu," ujar Aldo mengabaikan ejekan Ken. Bu Siti, guru bahasa Indonesia yang sering diganggu Aldo dan Riko. Bicara tentang Riko, cowok itu baru kembali ke kelas setelah acara ngapel pagi di kelas sebelah. "Jeane, pinjem liat puisi lo dong," bisik Meiva sambil menarik buku tulis Jeane. "Gue aja belom nulis apa-apa," jawab Jeane dengan suara yang tak kalah kecil. Bu Siti sudah berdiri di depan papan tulis. Wanita itu tak pernah lupa membawa penggaris enam puluh centimeternya. "Jeane! Meiva! Apa ada yang salah dengan penjelasan saya? Dari tadi Ibu perhatikan, kalian sibuk berbisik-bisik." Suara itu sukses membuat Meiva dan Jeane menoleh ke arah wanita baya itu. "Gak ada yang salah, Bu. Adanya cuma yang lagi kangen pacar," ucap Aldo bersuara keras. Bu Siti menaikkan sebelah alisnya. "Aldo, saya tidak sedang berbicara sama kamu." "Ibu mah kalo ada yang lain, sombong sama saya. Saya tuh gak bisa diginiin, Bu," kata Aldo dengan nada sedih. "Baperan lo, songong," komentar Ginta yang membuat kelas menjadi gaduh. "DIAM! Kita lanjutkan pelajarannya!" bentak Bu Siti. "Jadi kita diam atau lanjut, Bu?" Aldo kembali membuat kelas semakin ricuh. "ALDO!" "Aldo, jangan gini. Kasian Bu Siti, lo ngasih spot jantung mulu sama latihan vokal. Bu, mau jadi anggota girlband Korea?" kata Riko dengan polosnya. "Aldo, Riko, kalian kerjakan halaman 21 sampai 30. Kumpulkan sehabis pelajaran saya selesai." Aldo membuka bukunya. "Banyak banget, Bu. Ibu kok tega sama saya hari ini? Padahal saya hari ini kan ganteng banget terusudah  ganti parfum pake minyak nyong-nyong." "Kamu mau Ibu tambah, Aldo?" "Boleh, Bu. Bikinin kembaran buat saya, Aldi." Aldo sengaja salah paham dengan ucapan gurunya, yang dibalas tawaan keras dari Riko. "Tugas kalian sampai halaman 40. Kumpulkan satu jam lagi." "Elah, Ibu mah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN