Bab 5

2073 Kata
"Jeane, lo mau ikut kita-kita ke rumah Juan nggak?" tanya Meiva yang sudah menduduki dirinya di jok motor Ken. "Doi kan sampe jatuh sakit-sakitan karna lo," ucap Aldo yang keukeuh menyalahkan Jeane, hanya untuk menggoda gadis galak itu. "Sakit karna Jeane? Kok bisa?" jerit Vena menatap tajam ke arah Jeane. "Ya buktinya bisa," jawab Riko memutar matanya seraya memasuki mobil sport-nya. "Lo mau ikut gak, Jeane? Kalo mau join, ikut mobil gue aja." "Ya kali kalo dia mau ikut gue, gue suruh duduk di roda. Berputar ketemu aspal. Romantis kan?" celetuk Ken yang dihadiahi tepukan ringan di pundaknya oleh Meiva. Aldo yang mengendarai motor pun tertawa aneh. "Lo boleh ikut gue kok, Jeane," sahutnya dengan nada jahil. "Apalagi sampe meluk gue, Jeane. Gak bakal nolak deh gue. Suer," lanjutnya cengengesan. "Otak lo dibenerin ya, Do. Bengkok mulu kayak tulang lo," sindir Jeane kesal. Aldo mengernyit. "Tulang gue yang mana, yang lo sebut bengkok?" "Tulang tengkorak lo. Makanya otak lo suka sangsut kayak benang kelayang. Ketusuk mulu sama tulang ikan," jawabnya ceplas-ceplos. "Ih! Lo ngomong emang suka bener deh, Jeane." Bukannya tersinggung, Aldo malah semakin mengusili Jeane yang sudah mengepalkan tangannya. "Ya udah deh, Jeane. Lo ikut Riko aja. Kalo lo ikut Aldo, bakal perang shinobi lo berdua di jalan. Entar malah bikin macet parah di jalan," celetuk Ken sambil tertawa keras. "Gue juga gak mau ikut dia kali. Mending gue jalan kaki ke sana daripada ikut nih unta," sahut Jeane dengan muka cemberut. Matanya memandang sengit ke arah Aldo yang justru cekikikan. "Jangan malu-malu deh, Jeane. Sini, ikut Abang. Sampe ke Ujung Kulon juga bakal gue anterin. Kalo ke ujung dunia, nggak bisa. Gak cukup bensinnya, mau minta mama isiin dulu," ujar Aldo menepuk jok motornya. "Gue ikut lo, Rik. Bisa-bisa entar gue bukannya sampe ke rumah Juan, malah sampe ke hadapan Tuhan lagi," balas Jeane tanpa menatap Aldo. Aldo mengerucutkan bibirnya tak terima. “Ya nggak mungkinlah. Palingan sampe ke rumah gue, Jeane.” "Lo masuk duluan, Jeane," kata Vena sambil merapikan rambutnya yang tertiup angin. Riko mengerutkan dahinya. "Lo ikut gue, Ven?" Jeane pun terdiam di depan pintu mobil. Bingung akan situasinya. "Ya iyalah. Ya kali gue ikut Ken, tanjal tiga... kan gak mungkin," balasnya sembari mendorong Jeane memasuki mobil Riko, yang sayangnya ditahan Jeane. "Ide bagus," kata Riko. Cubitan pedas diberikan Bella yang duduk di sebelahnya. "Apa sih, Bel?" "Rasain, Rik. Cubitan kasih sayang ala Bellatubies," sahut Ken menyeringai kejam. "Kamu kok kejam gitu sih? Dia itu temen aku tau," ujar Bella menyilangkan tangannya di depan d**a, ngambek. Riko mengusap lengannya yang perih. "Tapi kan bukan temen gue," gumamnya dengan suara kecil. Bisa bahaya jika cewek manjanya ini mendengarnya. "Lo jangan ikut deh, Ven. Entar yang ada, Juan makin parah. Parahnya lagi, bisa sampe komplikasi. Antara gagu sama juling permanen karna kebanyakan pelototin lo sama dengerin suara lengkingan lo," kata Aldo mengedipkan sebelah matanya. "Kalo cuma Jeane kan, palingan si Juan masuk UGD seminggu." 'Kenapa kena gue lagi sih nih cumi,' batin Jeane meringis jengkel sembari melempar tatapan tajam ke Aldo. "Diem deh lo, k*****t!" Vena akhirnya mendahului Jeane memasuki mobil Riko, yang diikuti Jeane dengan berat. Jeane terpaksa duduk di sebelah Vena yang sedang berkaca, membenarkan make up tebal di wajahnya. "Bel," panggilnya. Mobil yang dikemudikan Riko sudah membelah jalan raya dengan kecepatan sedang. "Hm? Apa, Ven?" Bella memutar tubuhnya ke belakang, tepat di tempat Vena duduk, di belakang Riko. Dipoles lipstick berwarna merah di bibirnya. "Gue udah perfect belum?" tanyanya sambil tersenyum manis. Senyuman yang sukses mengocok perut Riko dan Jeane. Mual. Bella tersenyum senang mengacungkan jari jempolnya ke atas. "Perfect, Ven. Juan pasti klepek-klepek sama lo." "Bener kata Aldo, Juan bakal kena komplikasi hari ini." Riko menyela pembicaraan Bella dan Vena. Kompak, Bella dan Vena mengerutkan dahi. "Komplikasi apa?" tanya Bella penasaran. "Komplikasi sama sakit mata," jawabnya jujur. "Lo mau jenguk orang sakit kayak lagi mau ke acara kawinan," lanjutnya lagi yang mengundang tawa tertahan Jeane. "Oh, bukan deh kayaknya. Lo lebih mirip tepung berjalan sih." Pecahlah tawa Jeane dan kerutan wajah s***s dari Bella dan Vena. "Jeane!" pekik Vena. "Riko!" pekik Bella. "Gue mesti nyebut nama siapa coba? Jeane, ada ide?" gurau Riko yang kembali disambut cubitan mesra dari sang pacar.   "Ini rumahnya si Juan?" Mulut Meiva terbuka sedikit, mengagumi struktur rumah mewah di hadapannya. "Bukan. Ini tuh rumah bonyok-nya, elah," balas Aldo melepaskan helmnya. Meiva mendelik. "Gue juga tau kali." "Lah? Terus kenapa masih nanya? Minta diperhatiin ya? Kurang dapet perhatian dari Ken ya lo?" goda Aldo. "Lo kayaknya gak bisa diam sedetik pun ya? Heran gue," balas Meiva. Aldo tertawa mentah. "Nih gue diem, pas lo balas ngomong. Gue gak kayak kereta api juga kali. Gak ada remnya. Nyero-" "Nih udah blong rem lo, b**o," potong Jeane kesal. "Jeane, diem deh. Entar Juan kebangun," kata Aldo membekap mulut Jeane. Krak. "Lo jorok, Jeane. Pake gigit-gigit segala. Lo kata tangan gue nih ayam goreng Upin Ipin. Elah!" Aldo mengibas tangannya yang digigit Jeane. Jeane tersenyum senang seraya berhigh-five dengan Meiva. "Siapa suruh lo main bekap-bekap aja," balas Jeane. "Lagian nih, kita masih di halaman rumahnya, belum masuk ruang tamu. Apalagi kamarnya." Jeane menekan kata 'halaman' dan 'kamarnya'. "Kalian mau debat sampe kapan sih?" tanya Riko yang sudah jengah. "Ayo masuk. Pusing gue kalo udah barengan kalian," lanjutnya lagi. "Minum racun tikus dong kalo pusing. Dijamin langsung mampus," jawab Aldo. Kaki-kakinya melangkah memasuki rumah Juan. "Rumah dia luas banget kayak rumahnya mimi peri," celetuk Meiva lagi, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. "Kamarnya Juan yang mana ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan ketika merasa banyak pandangan menusuk terarah padanya. "Di atas," jawab Aldo enteng seraya menaiki tangga. "Di atas genteng," sambungnya menghindari pukulan Vena. "Lo itu ya—" ucapan Vena terpotong oleh Aldo. "Ganteng kan? Makasih. Gue udah tau sejak zaman purba," tukasnya memamerkan deretan gigi depannya. "Juan!" teriak Aldo membuka pintu kamar Juan dengan semangat. Ia semakin semangat ketika mendapati Juan yang duduk di atas ranjang dengan buku psikologi di tangannya. "Lagi berasa di dalam hutan, Do?" sindir Juan kesal. Ia menaruh bukunya di atas nakas sambil memandang teman-temannya. Terakhir, Jeane menutup pintu kamarnya dengan pelan. "Hn?" gumamnya pelan. "Ya gitu, Ju. Lebih baik dari pada Meiva deh yang berasa nih rumah mimi peri. Padahal di sini kan cuma ada pipi peri. Udah kenalan belum?" jawabnya santai duduk di depan Juan, di atas ranjangnya. Juan berdecak kesal namun tak mengatakan apapun. "Lo gimana, Ju? Masih sakit? Pusing gak? Mau dibawa ke rumah sakit?" Rentetan pertanyaan Vena sambil mendorong Aldo menjauh, menggantikan posisinya untuk duduk di sana. "Bawa ke pemakaman aja, Ven," balas Aldo yang sudah berdiri di samping Ken dan Jeane. "Sekalian, makamin lo." Pluk. "Sakit, anjir!" Aldo melototkan matanya ke Bella, yang baru saja memukul kepalanya dengan kamus bahasa Inggris milik Juan, 'Juan pake naroh buku keramat di meja, buat apa sih?' batinnya sebal melirik buku tebal yang masih dipegang Bella. "Lo punya mulut dijaga ya, Do," ancam Bella sengit. Ia sudah sedari tadi menahan amarahnya karena sikap Aldo yang terus bermain-main. "Mulut gue gak punya kaki, gak perlu dijaga. Lo yang punya tangan, harusnya dijaga. Gak ada angin, gak ada hujan, main geplak aja," ketus Aldo kesal. "Riko, dia marahin aku," adu Bella sambil menarik lengan Riko. 'Kambuh deh sifat manja dia,' batin Aldo dan Riko. "Adu aja," kata Aldo kesal. "Sekalian, aduin ke presiden. Minta sembako gratis," lanjutnya yang sukses membuat orang-orang di sana tertawa, kecuali Juan yang hanya memandangnya tanpa minat dan Bella, tentu saja. Riko menghela napasnya lelah. "Gue besok ikut lo izin, Ju." "Kenapa? Kamu mau selingkuh?" tanya Bella tajam. "Gak kuat gue. Cobaan ini terlalu berat. Pusing gue barengan mereka." Tunjuknya pada Jeane dan Aldo. "Lho? Kenapa gue, Rik?" tanya Jeane tak terima. Berbeda dengan Aldo, ia justru berbaring dengan santai di sebelah Juan. "Lo debat terus sama Aldo," jawab Riko menarik kursi belajar Juan dan mendudukinya. Jeane melototkan matanya ke arah Aldo. "Jangan liatin gue kayak gitu. Gue gak bakal menghilang kok. Atau lo udah mulai suka sama gue?" Kata Aldo ngasal. Juan mendorong Aldo hingga tubuh cowok itu terbentur lantai kamar Juan. "Lo kenapa sih, Ju? Cemburu? Ampun DJ. Muterin lagu goyang dumang dong," seru Aldo kembali menaiki ranjang Juan. "Udah deh, Do. Dialog lo kepanjangan tau. Nyerocos mulu. Kita gak kebagian ngomong," sahut Meiva dengan nada marah. "Ya udah. Noh, ngomong sama tembok. Biar dialog lo dipanjangin," balas Aldo. "Stress lo, Do. By the way nih Ju, lo udah sehat?" Kali ini Ken lah yang berbicara. "Hn." Trademark andalan Juan. "Ju, lo udah makan? Mau makan apa? Gue masakin. Gue bisa masak mie sama air," kata Vena sedikit membanggakan dirinya. "a***y! Masakin air gih buat gue mandi. Gerah nih," tutur Riko. Vena memutar matanya kesal. "Masak aja sendiri, sekalian nyemplungin diri lo ke kuali." "Ven, cowok gue mau lo gulai?" Bella memelas. "Jangan dong. Dikukus aja," lanjutnya. "Tadi si Vena, kamu belain setengah mampus. Lah, aku?" Riko misuh-misuh sendiri. "Ih, bercanda kali, Rik. Baperan kamu." Bella mengumbar senyumnya. "Kok lo diam, Jeane? Mendadak kena sariawan?" Aldo mencoba mengerjai Jeane lagi. "Nggak! Mendadak puyeng gue. Apalagi denger suara lo terus dari tadi," balas Jeane yang duduk di ujung ranjang Juan. Posisinya paling jauh dengan cowok yang dijenguknya. "Kok jawaban lo samaan kayak Juan? Tadi Juan juga jawab gitu. Karna denger suara gue. Gue mesti bilang kalian jodoh atau suara gue emang aslinya merdu?" sembur Aldo menduduki dirinya di atas ranjang. "Gak keduanya," sambar Vena cepat. "Jodoh apanya? Suara lo emang bisa congekkan telinga orang," lanjut Vena. "Makasih pujiannya. Tapi gue gak perlu pujian dari lo. Cukup sekian dan terima kasih," tukas Aldo santai, mengabaikan wajah horor Vena dan Bella. Aldo dan yang lainnya terus-menerus mengusik ruangan yang sebelumnya hening. Hingga akhirnya, beberapa di antara mereka memutuskan untuk pulang. "Juan, kita balik dulu ya. Jangan kangen, besok hari minggu. Gue gak ke sekolah," ujar Aldo. Ken, Riko dan Meiva hanya tertawa geli mendengarnya, sedangkan Bella dan Vena hanya diam. Jeane? Cewek itu baru saja keluar dari toilet. "Gue duluan ya, Juan," kata Ken. Namun sebelum mereka keluar dari kamar Juan, suara serak Juan mengintrupsi salah satu dari mereka. "Jeane?" Jeane menoleh dan mendapati Juan yang menatapnya tajam. "Ada apa?" tanyanya langsung. Ia cukup gerah dengan tatapan mematikan dari Vena dan Bella. "Lo bisa masak?" Pertanyaan Juan sukses membuat teman-temannya melongo. "Apa? Bonyok lagi keluar kota, Cia lagi pergi sama temennya, terus pembantu gue lagi diliburkan hari ini," jelas Juan kesal ketika ditatap oleh semua temannya. "Oh. Bilang dong, Ju. Gue kan jadi salah kaprah," tukas Aldo. "Emang kapan lo gak salah kaprah?" tanya Ken. "Saat gue masih belum bisa ngomong. Gimana mau salah kaprah, gue baru ngomong A aja, semua orang yang salah kaprah," jelas Aldo dengan tampang b**o. "Serah lo deh, unyil. Capek gue," kata Ken kesal. "Jadi, Jeane? Lo bisa—" ucapan Riko terpotong oleh Meiva. "Dia jago masak kok," jawabnya menggantikan Jeane yang terdiam dari tadi. "Hn? Lo bisa masakin gue sesuatu?" Kali ini Juan lah yang bertanya. "Ju, gue bisa kok masakin lo mie," jawab Vena cepat. "Mending order delivery dah, dari pada makan mie," tukas Aldo. “Diem, Do!” bentak Vena yang sudah memanas sejak tadi. "Gue bisa masakin buat lo, Ju," jawab Jeane setelah berpikir sekian lama. "Tapi kita udah mau balik nih," tutur Bella agak ketus. "Gak apa kok. Rumah gue deket sini," tandas Jeane. "Kalo gitu kita balik ya. Lo jangan macam-macam sama Jeane ya, Ju," pesan Riko sambil berjalan keluar kamar Juan. "Mana berani Juan macem-macem sama Jeane. Jeane itu lebih ganas dari macan abis melahirkan," celetuk Aldo yang dilempar bantal oleh Jeane. Satu per satu teman-temannya pulang ke rumah, hingga suasana hening menyerang kedua remaja berbeda jenis kelamin itu. "Jadi?" Juan membuka suaranya terlebih dahulu. "Kok lo malah minta gue masakin lo makanan?" tanya Jeane sembari keluar kamar, berjalan menuju dapur diikuti Juan dari belakang. "Karna Ken cuma bisa menggosongkan makanan, Riko masaknya gak pernah matang, Meiva gue gak kenal, Bella gue gak enak sama Riko, Vena cuma bisa masak mie katanya, Aldo? Nggak. Gue masih mau rumah ini selamet, gak kebakar," jelas Juan menenggelamkan kepalanya dilipatan tangan di atas meja makan. Jeane menggelengkan kepalanya pening. "Temen lo ajaib semua," katanya sambil bereksperimen dengan adonan makanan di tangannya. "Hn," gumam Juan malas. Dia tahu bagaimana sifat teman-temannya dibanding gadis yang sibuk di dapurnya ini. "Gue masakin yang sederhana aja ya? Atau lo mau makan apa?" tanya Jeane mendelik ke arah Juan. Juan mengangkat wajahnya yang sedikit pucat. "Terserah lo aja," tukasnya. "Ok!" Jeane membuat bubur ayam dan sup kentang karena merasa itu mudah ditelan untuk Juan yang sedang sakit. "Gimana?" Juan yang sedang memakan masakan Jeane hanya diam, tak berniat menjawab. "Ih, Juan." "Lumayan," jawabnya lirih. "Cuma lumayan?" tanya Jeane sedikit kesal. Juan meliriknya sebentar. "Lo mau gue jawab apa?" "Gak ada. Makan aja deh," sungutnya lelah. Jeane melirik ke arah jam dinding di dapur Juan. "Astaga, udah jam delapan. Gue mesti pulang nih, Ju," katanya gusar. "Mampus gue dicariin bonyok." "Gue anter," Juan menyambar kunci mobil di meja kecil dekat telepon rumahnya. "Lo kan masih sakit, lagian deket kok rumah gue," kata Jeane menolak diantar Juan. "Abang!" Pas sekali, Cia baru pulang. "Lho? Ada Kak Jeane?" "Hai, Cia," sapa Jeane ramah. "Maaf nih, gue udah harus pulang." Sebuah kunci mobil melayang ke arah Cia, dan tentu Cia bisa menangkap kunci yang dilemparkan Juan itu. "Anterin dia pulang, Cia," perintah Juan. "Ok. Ayo Kak," balas Cia sambil menarik tangan Jeane. "Eh?! Gak perlu, Cia. Gak jauh kok," tolak Jeane melirik ke arah Juan yang melanjutkan makannya. "Gak apa kali, Kak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN