“Pagi Emily, kau terlihat basah,” sapa Nicholas mengejutkanku. Dia muncul begitu saja di sebelahku, di koridor menuju ruang rias.
“Eh, halo Nick, di luar hujan,” jawabku sambil mengibaskan ujung rambutku yang basah terkena air hujan.
Nicholas adalah lawan mainku dalam film Run Off. Film aksi pertamaku yang bercerita tentang mafia perdagangan gadis di bawah umur dan CIA. Aku sebagai CIA wanita yang jatuh cinta pada anak bos mafia itu yang diperankan Nicholas.
Nicholas adalah sosok pria dengan mata biru gelap, wajah tampan, senyuman menawan dan jika kau memandang matanya, kau seperti tenggelam di lautan. Itu adalah komentar Jessy pertama kali saat dia bertemu Nicholas. Jessy sangat menyukainya.
Dia juga manis dan selalu sopan padaku dan Jessy, walapun kadang Jessy bersikap sedikit tidak sopan karena pertanyaannya seperti, “Kapan kau bersedia menerima tawaran foto untuk majalah dewasa? Bentuk tubuhmu akan terlihat bagus untuk tampil di sampul depan majalah,” atau “kau berkencan dengan Emily?”
Sesungguhnya pertanyaan terakhir Jessy yang terakhir itu sedikit tidak benar, atau menurutku memang sama sekali tidak benar. Aku memang beberapa kali pergi bersamanya, tapi hanya untuk makan siang atau malam saat istirahat syuting atau ketika aku mendapat jadwal acara yang sama dengannya. Dia memang menarik, sekaligus pria dewasa yang menawan. Tapi entahlah, bagaimana pun juga dia tetap artis.
Bukannya aku membenci dunia hiburan, aku hanya agak tidak menyukai berada di depan kamera untuk menjadi orang lain. Tapi karena aku ingin mandiri dan pekerjaan ini cukup menjajikan walaupun aku tidak benar-benar serius tertarik, akhirnya aku menerimanya sebagai rutinitas. Sebagian orang bilang aku punya bakat di dunia ini, tapi sisanya bilang aku payah.
“Aku menghubungimu tadi,” sambung Nicholas lagi dengan nada kecewa.
“Benarkah?” dengan cepat kucari ponselku di ranselku, memang ada empat panggilan darinya. “Maaf aku di jalan. Aku membawa motor, jadi agak susah untuk mengangkat telepon.”
“Wow, kau membawa motor lagi?” serunya.
Aku menempelkan jariku di bibir. “Ssstt… Jangan keras-keras.”
“Hai Nick!” sapa Jessy dengan nyaring membuat kami meloleh ke belakang. Dia tadi berjalan di belakangku tapi entah kenapa dia baru sampai.
“Hai Jessy!” balas Nick. ”Aku suka warna rambutmu.”
Jessy tersipu, menyisir rambutnya dengan jari “Kau suka? Sayangnya Emily tidak terlalu menyukainya. Katanya aku seperti badut opera,” jawabnya melirikku sebal.
Aku mendengus tertawa, “Aku hanya bergurau.” Kemudian Nicholas ikut tertawa pelan.
Jessy hobi mengecat rambut. Terakhir kali dia mewarnai rambutnya seperti warna rambutku. Warna hitam gelap untuk keperluan film. Kemudian setelah dua minggu dia bosan dan menggantinya dengan warna biru elektrik dengan model rambut bob super pendek asimetris ala Victoria Beckham yang masih populer sampai saat ini.
“Sudahlah, cepat masuk ke ruangan. Aku bertemu dengan si tampan Lewis William tadi.” Jessy memutar matanya untuk mengejek. “Dia terlihat tidak dalam suasana hati yang baik. Lebih cepat selesai lebih baik.”
“Kenapa dia di sini?” tanya Nicholas.
Jessy memejamkan mata berpikir, “Aku juga tidak tahu, mungkin untuk mengajari fotografer saat mengambil gambar kalian.”
Lewis William adalah sutradara filmku. Sutradara paling cerewet serta berlidah paling pedas yang pernah kutemui. Terakhir kali aku mendapat kalimat pedasnya adalah ketika kakiku tidak sengaja menabrak properti di lokasi syuting dan aku mendapat kalimat yang menawan darinya.
“Miss Green, tak bisakah kau mengendalikan kaki panjangmu dengan benar atau aku perlu membawa seekor jerapah untuk mengajarimu?”
***
Sekitar pukul dua pemotretan selesai. Sekarang aku dan Jessy berada di Friedman’s Lunch untuk makan siang. Kali ini aku numpang di mobil Jessy karena menurutnya merepotkan jika membawa kendaraan sendiri-sendiri. Sebenarnya aku sedikit gugup, aku benci ketika wartawan tiba-tiba mendatangiku. Aku kembali memakai topi dan membenamkannya ke kepalaku sampai sedikit menyentuh alisku.
“Tak bisakah kau melepaskan topimu?” Jessy mendengus. “Kita sudah berada di dalam ruangan. Tak ada wartawan di sini.”
“Ssssttt,” erangku sambil menempelkan ujung jariku di bibir. Menoleh kiri kanan untuk memastikan tak ada yang mendengar. “Pelankan suaramu!”
Jessy, ikut menoleh kiri kanan, “Lepaskan saja! Topimu itu sungguh sangat menggangguku,” lanjutnya dengan suara lebih pelan.
Aku memastikan tidak ada orang-orang yang pernah kujumpai sebagai wartawan di dalam kafe itu. Jam makan siang memang sudah lewat, hanya ada empat orang pengunjung dalam ruangan agak ajauh dari tempat dudukku dan Jessy, dan kurasa wajah mereka benar-benar asing bagiku.
Aku dan Jessy mengambil tempat di dekat pintu masuk. Jessy duduk menghadap pintu masuk, dan aku memunggunginya. Hal itu membuatku tak nyaman. Aku tak akan tahu siapa yang akan datang. Jika itu salah satu wartawan yang aku kenal, dari jauh aku sudah bisa melihatnya dan kabur
“Jessy, kita tukar tempat, aku yang duduk di kursimu, kau pindah di tempatku,” pintaku. Jessy mengiyakannya dan kami bertukar tempat. Aku melepas topiku.
“Em, kau benar-benar berlebihan!” serunya, menggelengkan kepala.
“Aku hanya tidak ingin syok jantung,” sahutku membela diri. Menyambar buku menu di meja.
“Tapi kau paranoid!”
“Trims.”
“Aku kan sudah bilang, konferensi pers sekali saja dan itu akan menghentikan mereka membuntutimu.”
Aku menggeleng sambil menyusuri daftar menu. “Itu tidak perlu. Mereka akan berhenti jika sudah lelah.”
“Tidak mungkin. Chris adalah kekasihmu. Mereka tidak akan berhenti mencecarmu tentang tragedi kecelakaannya,” lanjutnya.
Aku teringat lagi kejadian itu dan isi perutku mendadak melonjak tak nyaman. “Sudah jangan mulai.”
Jessy memandangku prihatin. “Sudah hampir setahun. Waktunya kau membuka diri…”
“Oh, sudahlah Jessy, dan jangan pandang aku seperti itu!” desisku. “Kau pesan apa? Aku ingin sandwich keju panggang,” sambungku cepat dan memanggil pelayan untuk mengalihkannya perhatian Jessy.
Pelayan datang, aku dan Jessy memesan. Kuharap datangnya pelayan tadi membuatnya lupa dengan topik yang barusan kita bicarakan. Ternyata tidak, dia masih memandangku penuh minat setelah pelayan itu pergi.
“Apa?” desis.
“Kita sudah berteman sejak tiga belas tahun yang lalu, aku tahu kau bukan kau sejak saat itu. Aku memang bisa paham hal itu berat. Tapi tak bisakah kau─”
“Itu tak semudah yang kau pikir Jessy!” sambarku.
“Aku tahu itu tidak mudah, tapi seharusnya kau mencoba,” tegasnya.
Aku diam, aku sama sekali tak ingin membahas ini, sungguh. Aku sudah menghindari topik pembicaraan ini selama hampir setahun.
“Emily, lima tahun bersama Chris memang bukan waktu singkat,” lanjutnya. “Aku tahu kau merindukannya. Tapi dia sudah pergi, meninggalkan dunia ini. Aku juga paham setragis apa cara dia pergi. Tapi dia pasti tak ingin kau seperti ini. Berhentilah bersembunyi di balik mendung. Aku tak tahan melihatmu seperti ini, jujur saja.”
“Aku tahu,” bisikku. “Dan pelankan suaramu, mereka akan dengar!” Pintaku lirih sambil melirik ke pengunjung yang lain.
“Baiklah,” katanya melirihkan suaranya. “Emily Green sahabatku, aku hampir tak pernah melihat matahari bersinar di dekatmu,”
“Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri.” Jawabku. “Dan aku sedang tidak dalam lilitan mendung. Oke?”
Pintu dorong kafe terbuka, aku otomatis terlonjak. Sialan, gara-gara banyak bicara aku tidak memperhatikan jalan. Seorang pria bertubuh tinggi, tubuhnya dibungkus jaket tebal, dan mengenakan topi masuk ke dalam kafe. Jantungku mencolos, seperti copot dari rongganya. Karena aku duduk tepat menghadap ke arah pintu masuk, tatapan kami bertemu. Aku melihat mata cokelatnya yang memandangku terkejut, kemudian dia berbalik dan meninggalkan pintu dorong kafe yang bergetar menutup.
“Alex,” seruku pelan.
“Apa?” seru Jessy. Dia menekuk kepalanya ke arah pandanganku, ke arah pintu masuk yang masih bergetar.
Aku bangkit dari kursi dan tanpa sadar aku berlari ke luar kafe. Di mana dia? Kusapukan pandanganku mengelilingi jalan yang muram, dan itu dia, berjalan cepat ke arah Range Rover hitam miliknya.
“Alex!” panggilku keras. Berharap dia mendengar dan menoleh ke arahku.
Tapi dia tak mendengarkanku. Alex masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin dan keluar dari bahu jalan. Mobil itu melintas di depanku, tapi Alex tak sedikit pun menoleh ke arahku.
Dia pergi begitu saja.
Kupandangi mobilnya yang melaju sampai ke tikungan, kemudian menghilang dari pandangan. Kepergiannya yang seperti itu, membuatku mengingat suatu hal yang sangat tidak menyenangkan.
“Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba ke luar?” tanya Jessy saat aku kembali. Dia masih melongok ke arah luar kafe, mencari sumber pengalih perhatianku.
“Aku melihat Alex,” ujarku.
“Alex? Alex siapa? Alex Walters?” serunya. Aku mengangguk. “Lalu di mana dia?” Jessy berdiri dari kursinya dan mengintip ke arah luar kafe untuk mencarinya. “Kenapa dia tidak menyapamu? Dia tidak melihatmu?”
“Dia melihatku, tapi dia langsung pergi.”
“Kenapa?”
“Entahlah,” jawabku sambil menggelengkan kepala.