Bab 3

851 Kata
The Black mogok. Sudah kucoba menyalakannya, mesinnya hidup sebentar kemudian mati lagi. Apanya yang salah? Jika menyangkut sedikit sekali hal tentang motor pikiranku selalu melayang ke hal yang sama. Kalau saja masih ada Chris, mungkin aku segera menghubunginya. Tapi Chris akan memarahiku karena dia tak suka melihatku mengendarai motor. Alasan klasik, wanita dan mesin tak akan pernah bisa akur dan cenderung membahayakan. Bersamaku lima tahun, dia masih tidak tahu apa-apa tentangku. “Jangan bawa motor! Bahaya Emily. Aku mengijinkanmu mengendarai motor kalau kau mau memakai wearpack kemana-mana. Kalau tidak ada mobil, aku akan menjemputmu.” Aku masih bisa mendengar suaranya dalam pikiranku dan itu mengawali hariku dengan perasaan yang buruk. Padahal sebelum Dad mengirim The Black ke sini, dia sudah memeriksanya. Kucoba mengingat kembali, kenapa The Black tiba-tiba tidak mau menyala. Kemarin masih tidak apa-apa saat kupakai pulang. Jessy mengantarku kembali ke studio untuk mengambil The Black yang kutinggalkan di sana. Pukul sembilan aku harus sampai di hotel dekat kawasan Madison Avenue untuk syuting iklan pendek. Aku akan telat jika membongkar The Black sekarang, belum lagi aku akan terjebak di lalu lintas pagi di Madison Avenue yang sangat menyiksa. Jessy akan membunuhku dengan kuliah waktunya. Jadi, kuputuskan untuk memakai mobil dan meninggalkan The Black di rumah. Aku masih merasa tak senang melihat The Black yang merajuk. Aku menghubungi Dad saat di perjalanan. Orang yang tepat untuk berbicara tentang mesin. “Halo Emily, tumben sekali pagi-pagi menghubungiku. Kau merindukan pria tuamu?” jawab Dad langsung. “Dad kau akan tua jika aku berumur enam puluh tahun, dan sekarang aku masih dua puluh dua tahun. Jadi jangan berlebihan.” Aku mendengus. “Baiklah,” balasnya disusul dengan tawa. “Jadi ada apa?” ”Ada masalah serius,” sahutku cepat. “Serius? Masalah apa?” nadanya berubah cemas. “The Black mogok! Mesinnya tak mau menyala.” Hening sejenak, kurasa Dad mencerna kata-kataku. “Astaga Em, kukira ada masalah apa, aku longgar nanti siang. Aku akan datang mengeceknya.” “Trims Dad, aku sedang tidak di rumah sekarang. Kau bisa menemukan The Black di garasi Grandma. Sampai ketemu nanti malam dan salam untuk Mum.” *** Hotel Four Seasons terlihat menawan seperti biasa. Di luar hotel tampak lengang. Tidak ada tanda-tanda adanya kerumunan wartawan. Bagus, aku benci diusik sepagi ini. Aku bertemu dengan Jessy di salah satu kamar hotel yang dipakai untuk ruang rias. Dia tidak menungguku di bawah seperti kemarin. Dia hanya mengirimiku pesan singkat untuk menemuinya di atas. “Hai, Emily,” sapa Nicholas tiba-tiba mengejutkanku saat aku membuka pintu. Agak kaget melihat Nicholas di sini. Jessy menengok ke arahku, tersenyum. Tumben, biasanya aku menjumpainya dengan wajah merengut karena aku telat semenit. Tapi sekarang, telat lima menit dia tersenyum. “Oh hai Nick, ada jadwal di sini?” sapaku kembali. “Tidak, hanya mengambil barangku yang ketinggalan.” Dia mengangkat kamera kecil warna biru metalik dan menunjukkannya padaku. “Kemarin tertinggal di studio karena aku terburu-buru. Tapi Jessy berbaik hati menyimpannya untukku.” Kulirik Jessy, dia tersenyum puas. “Oh, untung saja tidak hilang.” Tanggapku singkat. “Ya, untung saja.” Nicholas tersenyum dan memasukkan kamera itu dalam tasnya kemudian melempar pandangannya kembali padaku dan Jessy. “Oh ya Emily, kau ke mana setelah menyelesaikan jadwalmu hari ini?” tanyanya. “Tidak ke mana-mana,” jawabku. “Bagus,” sahutnya ceria. “Aku punya jadwal di studio di sekitar tempat ini. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang bersamaku nanti.” “Oh,” balasku. Aku memandang Jessy dan dia melotot padaku seperti mengatakan ‘cepat bilang iya!’ Aku meringis dan memandang Nicholas lagi. “Baiklah,” jawabku. Nicholas tersenyum. “Trims Emily, dan sampai ketemu nanti siang. Bye Jessy,” imbuhnya pada Jessy. “Bye Nick,” seru Jessy ceria sambil melambaikan tangannya dengan berlebihan. Aku menggeleng tak tahan. “Dia manis, ya?” imbuhnya saat Nicolas menutup pintu. Aku mengangguk ringan dan Jessy kembali menatapku sambil senyum-senyum. ”Kau kenapa?” tanyaku heran. “Tidak ada.” Jawabnya cepat. “Mana helmmu? Masukkan ke sini.” Perintahnya sambil mengulurkan tas besar seperti biasanya. “Aku tidak membawa motor. The Black mogok.” Jawabku setengah kesal mengingatnya. Kulipat kedua tanganku di d**a. “Bagus.” Jawabnya senang. “Dan ngomong-ngomong, kalau Nicholas menghubungimu, tak bisakah kau menyempatkan tanganmu untuk menerima panggilannya?” “Jadi dia curhat padamu?” tanyaku tambah heran. Jessy memandangku masam. “Dia pria baik Emily, dia salah satu pria yang diinginkan banyak orang. Juga baaanyak sekali yang mengejarnya. Artis lain membicarakannya di sosial media, dia digandrungi banyak orang kayak boyband. Bahkan Carmen Johnson, musuhmu sejak sekolah. Aku tahu dia berusaha mencari nomor Nicholas dari kasting kru film kalian kemarin.” “Haruskah aku jadi salah satu dari mereka?” tanyaku heran. “Lagipula Nicholas selalu menghubungi pada waktu yang salah. Jadi jangan salahkan aku kalau tidak bisa mengangkatnya.” Elakku jujur. “Bagus sekali. Kau memang masih kerasan bersembunyi di tembok tinggi yang kau buat di sekelilingmu.” ujarnya tambah kesal. “Astaga Jessy, bisa kita bicarakan ini nanti?” erangku. Kesal sekali dengan ceramah Jessy tentang masa paling pahit dalam hidupku itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN