Gerimis mulai turun lagi saat aku dan Nicholas berdua menyusuri kawasan pertokoan dan kafe di Madison Avenue. Ide Nicholas untuk berjalan kaki dan makan siang di kawasan ramai Madison Avenue membuat perasaanku cemas. Bagaimana jika ada wartawan? Tentu saja ada wartawan berkeliaran. Bagaimana kalau mereka menyerbuku? Dan Nicholas, tentu saja dia akan membantu ─membantu untuk lebih menarik mereka karena pada dasarnya dia adalah magnet perhatian. Tidak mungkin wartawan-wartawan itu akan melewatkan momen ini.
Tapi karena aku sudah bilang pada Nicholas saat menjemputku dan dia harus menunda makan siang hampir dua jam karena jadwalku belum selesai, aku memberinya kebebasan untuk memilihkan tempat untuk kami makan siang sebagai permohonan maaf karena menungguku terlalu lama. Well, aku tak mungkin menarik ucapan lagi saat dia ingin menikmati cuaca dingin ini di Madison Avenue.
Agar tampak tidak terlalu mencolok aku kembali memakai topiku dan aku memaksa Nicholas untuk memakai topi milikku yang lain dengan alasan hujan pasti akan turun dan aku tak ingin kami berdua terserang sakit kepala tiba-tiba.
Nicholas agaknya sedikit terganggu dengan topi yang kubenamkan sampai menyentuh kedua alisku. Dia bolak balik merendahkan kepalanya melihat wajahku ─untuk memastikan suara yang didengarnya benar berasal dari mulutku yang bergerak.
Ketika hujan mulai deras, aku dan Nicholas cepat-cepat masuk ke dalam Burke’s kafe untuk berteduh sekalian makan siang. Burke’s adalah kafe besar dengan dekorasi bangunan ala Texas.
Di dalam ruangan terasa hangat. Pengunjung ramai, mungkin mereka juga sedang berteduh dan menghangatkan badan karena hujan dan cuaca dingin berangin. Jadi aku dan Nicholas terpaksa duduk di sudut, tepat di sebelah dinding kaca karena tidak mendapat tempat.
“Ide buruk untuk berjalan kaki di cuaca seperti ini,” sesalnya, sambil melirik ke arah luar dinding restoran. Hujan turun mulai bergemuruh. “Maaf, ya.”
“Tidak masalah Nick,” sahutku menenangkan sambil merangkul cangkir kopiku. Menghangatkan kedua tanganku yang kebas kedinginan. “Lagi pula sudah lama aku tidak berjalan kaki. Kurasa otot-ototku mulai hilang.” Gurauku.
Nicholas tersenyum. Mata biru gelapnya menyipit. “Aku senang bekerja sama denganmu di film itu. Rasanya tidak sia-sia menyingkirkan Gerald Terrol untuk menjadi lawan mainmu. Aku sudah putus asa melihatnya di daftar kasting. Tapi ketika aku berhasil lolos aku malah merasa mendapatkan peran itu karena faktor keberuntungan. Tampaknya wajahku terlihat lebih kejam daripada dia untuk seorang mafia,” Nicholas tertawa pelan.
Aku memandangnya tak percaya. Nicholas adalah aktor yang menurutku sejajar dengan Gerald Terrol, walaupun dia belum mendapat Oscar, sedangkan Gerald Terrol dua kali. Tapi caranya bicara, seperti dia bukan apa-apa.
“Nick, apa kau selalu rendah hati?” tanyaku.
“Apa? rendah hati?” dia mendengus. “Apa kau berpikir seperti itu?”
Aku mengangguk. “Kau selalu terlihat seperti itu. Kau seperti mengagumi mereka dan menganggap dirimu sendiri bukan apa-apa.”
“Well, mungkin aku terlalu mencintai duniaku. Sehingga aku selalu berpikir aku bukan apa-apa dibanding mereka yang sudah terjun di dunia ini sebelum aku.”
Kadang aku merasa apa yang diucapkan Nicholas tampak seperti sebuah skenario di dalam film. Tampak sempurna. Tapi itu hanya cerita dan kami harus berakting untuk menjadi seperti itu. Ketika banyak waktu yang kulewatkan bersama para pelakon drama, aku semakin tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang berpura-pura.
Aku pernah terperanjat ketika melihat Charlie Young terlihat sangat ceria di pesta padahal dia baru saja memergoki suaminya tidur bersama asistennya. Atau Carrion Douglas yang terlihat segar menggandeng kekasihnya keluar dari mobil sembari tertawa lebar seperti sedang berbahagia padahal dia baru saja ditampar kekasihnya itu dalam mobil. Ekspresi mereka selalu sama. Ceria dan banyak senyum lebar. Sangat dibuat-buat.
Mereka bisa mengimplementasikan bakatnya di dunia akting ke dalam kehidupan sehari-harinya. Karena itu mereka selalu terlihat sempurna. Bahkan Nicholas yang berada di depanku.
“Kau sungguh berbeda denganku.” Komentarku.
“Benarkah? Apa yang membuat kita berbeda?” sahutnya ingin tahu. Lekuk kecil terbentuk di dahinya.
“Jujur saja, aku tidak terlalu menyukai dunia hiburan. Aku tak tahu kenapa. Rasanya aneh terus berpura-pura menjadi orang lain.” Jawabku cepat.
“Karena kau terganggu karena wartawan bukan? Aku bisa paham hal itu. Aku tahu apa yang terjadi padamu setahun ini.”
“Maksudmu?” lontarku tak paham.
Dia mengetuk topinya dan topiku yang masih sama-sama bertengger kepala kami berdua. “Alasanmu untuk memakai topi ini, dan alasanmu untuk memaksaku memakai topi pinjaman ini. Aku tahu Emily, tapi sudahlah, tidak perlu kita bicarakan hal ini,” tambahnya cepat-cepat ketika makanan pesanan kami datang.
Sejenak aku menyerap apa yang baru saja dikatakan Nicholas, yang kupahami sekarang adalah bahwa dia tahu apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini, dia juga tahu alasan di balik topi yang kubenamkan sampai ke alisku ini. Dan dia pura-pura tidak tahu apa-apa di depanku sejak dia mengenalku. Tak pernah sekalipun menyinggung masalahku.
Kekuatan akting, pasti kekuatan akting. Aku sedikit tak senang.
Hujan mulai mereda, tak terdengar lagi gemuruh suaranya. Hanya terdengar bunyi lembut gerimis. Orang-orang mulai keluar dari restoran untuk melanjutkan aktivitasnya. Aku memperhatikan mereka dari balik kaca. Satu per satu, orang-orang mulai keluar dari pertokaan di depan restoran. Merapatkan syalnya dan memakai tudung jaket di kepalanya. Kelihatannya, suhu di luar semakin dingin.
Aku mengangkat cangkir kopiku dengan mata tetap menatap ke luar dinding kaca. Beberapa orang lewat dan melirik sebentar ke arahku. Banyak dari mereka mengenalku dan melambaikan tangan mereka, aku membalasnya dengan tersenyum. Tak masalah, selama mereka bukan salah satu kerumunan wartawan yang wajahnya tak asing bagiku.
Nicholas mengajakku kembali setelah aku meneguk sisa kopiku. Aku mendahuluinya ke luar kafe, mendongak ke arah langit yang masih mendung saat membuka daun pintu dan aku tak memperhatikan langkahku. Tiba-tiba seseorang menabrakku membuatku tubuhku terdorong ke samping nyaris jatuh.
“Hei!” protesku sambil berpegangan di dinding kafe untuk menyeimbangkan tubuh.
Seseorang itu menoleh. Seorang pria yang balas memandangku dengan kening yang mengerut. Matanya yang berwarna cokelat memandangku dengan tajam. Ekspresinya terlihat terusik.
“Alex,” pekikku terkejut.
Mata cokelat itu melebar dengan kaget. Sama sepertiku. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku bertemu dengan Alex lagi di situasi seperti ini? Seolah dia berlalu lalang di sekitarku selama dua hari ini.
Tanpa kata Alex pun berbalik, dan mulai kembali meneruskan perjalanannya begitu saja seolah tak pernah melihatku. Seolah dia baru saja tidak menabrakku dan nyaris membuat kepalaku terbentur dinding kaca kafe.
“Alex!” panggilku. Tapi dia tak menoleh. Seharusnya aku tak perlu menanggilnya lagi dan tak perlu mengacuhkannya, tapi nyatanya kakiku mengikutinya. Alex melangkah cepat di depanku. “Tunggu!” kataku.
Tapi Alex mempercepat langkahnya lagi. Membuatku setengah berlari mengikutinya. Aku mengulurkan tanganku menyentuh lengannya untuk membuatnya berhenti. Dan dia terpaksa berhenti. Hujan turun lagi.
“Hei,” sapaku lega sambil tersenyum. Alex hanya diam memandangku. “Lama tidak bertemu,” ujarku lagi. Alex masih membeku. “Bagaimana kabarmu?” kataku agak keras mengimbangi gemuruh hujan. Dia tetap membisu. “Alex!” Bibirku gemetar karena dinginnya air hujan, tapi kakiku bertahan di hadapannya.
“Maaf, aku buru-buru,” balasnya, kemudian dia berbalik dan berjalan meninggalkanku.
“Alex kenapa?” tanyaku merendenginya berjalan. Alex diam, berjalan lurus tanpa memandangku. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket tanpa mengacuhkanku. Tampak sangat membenciku. Meski begitu, aku tak tahu apa yang membuatku ingin terus mengejarnya. Tapi ketika melihatnya lagi, rasanya, seperti aku akhirnya bertemu dengan seseorang yang sangat ingin ketemui dalam waktu yang lama.
“Hei, berhentilah!” Protesku sambil menarik lengan menghentikannya.
“Aku benar-benar sedang terburu-buru.” ujarnya pedas dan melepaskan tanganku dari lengannya, kemudian dia berlari menuju mobilnya yang diparkir.
Aku berhenti melangkah dan menatap punggungnya yang pergi menjauh. Hujan semakin deras. Kenapa dia tidak tersenyum melihatku? Sebelumnya dia selalu tersenyum padaku. Dan mata yang biasanya sehangat cokelat itu tampak sedingin batu saat melihatku.
Ketika mobilnya hilang dari pandangan, muncul perasaan tak menyenangkan dalam dadaku. Aku merasa ada sesuatu yang telah hilang dan hatiku berlubang.
***
Topiku basah dan jaketku tidak melindungiku dari dinginnya air hujan. Seseorang memegang lenganku dan menarikku ke teras sebuah toko untuk berteduh. Aku tak memedulikannya. Aku masih melihat ke arah mobil Alex yang mulai menghilang dari pandangan. Pikiranku dipenuhi olehnya.
“Bukankah dia salah satu pembalap di Herion Championship?” tanya Nicholas menyadarkan lamunanku. Dan juga menyadarkanku bahwa dialah yang menarik tanganku.
“Ya,” jawabku singkat dan memandang kembali tempat terakhir kali aku melihat Alex.
“Dia terlihat terburu-buru ya?” komentarnya.
“Ya,” jawabku lambat. “Dia memang tampak terburu-buru.”
Saat itu kilat menyambar. Aku mendongak menatap langit yang suram. Tunggu, itu bukan kilat, itu lampu blitz kamera. Aku mencari sumber asal lampu itu, dan dia di sana, di depan sebuah toko yang terletak berseberangan denganku dan Nicholas berteduh.
Seorang laki-laki kecil yang botak, dan sedang memamerkan senyum menyebalkan. Terlihat deretan giginya yang meringis di bawah kamera yang menutupi sebelah mata dan sebagian wajahnya. Senyum kemenangan pada akhirnya. Dia berhasil mendapatkan bahan berita. Paulo b******k.
Aku baru sadar bahwa tangan Nicholas masih mengait lenganku sejak tadi.