Bab 5

1862 Kata
“Dia wartawan gila,” ujarku pada Nick saat kami berdua berjalan setengah berlari ke belakang toko mengabaikan orang-orang yang memandang heran kami berdua. “Aku tahu.” Sahut Nick. “Hubungi Jessy, suruh dia menjemput kita di simpang Fifth Avenue dan 124th Street tepat di belakang toko aksesoris Fairy Fair. ” Aku meraih ponselku di saku dan menghubungi Jessy. Dengan cepat Jessy menangkap situasi. Tanpa banyak bicara dia menutup ponselnya dan kurasa segera meluncur ke jalan untuk menjemput kami. Di dalam mobil, Jessy bersepekulasi mengenai kejadian barusan. Hanya ada satu kemungkinan yang dia pikirkan dan menurutnya itu bagus. Yang mana aku dan Nicholas langsung tidak menyutujuinya saat Jessy mengatakannya, yaitu sensasi melejitnya film yang kami berdua bintangi. Menurutnya akan lebih menarik penonton dengan adanya skandal cinta kita berdua. Paling tidak aku dan Nicholas sepakat untuk tidak menyukai film kami meledak karena skandal. Bukan karena kualitas filmnya, karena itu sangat memalukan. Namun setelah dipikir-pikir lagi dan dipertimbangkan, berita itu mungkin tidak akan merugikanku dan Nicholas. Lagi pula, pria itu juga tidak tampak keberatan dengan skandal cinta yang mungkin muncul di antara kami. *** Saat sampai di rumah Grandma aku melihat mobil Dad terparkir di halaman. Aku hampir lupa kalau Dad akan berkunjung untuk memperbaiki The Black. Terdengar suara berisik di ruag tengah saat aku memasuki rumah. Dan tanpa kupertanyakan lagi, ada Marvel di sana. Anak itu sedang menatap macbook-nya dengan serius. Telinganya mengenakan headphone dan jemarinya sedang menggesek secara berirama peralatan mini DJ-nya. Marvel menatapku sejenak ketika menyadari kehadiranku, kemudian dia mengangkat alisnya seolah berarti dengan “Hai, Emily” tanpa mengucap sepatah kata pun. Dasar bocah. Aku menemukan Dad di garasi. Lampu tambahan menggantung di dekat The Black yang sedang dibongkar. Dad sedang berjongkok memperbaikinya. “Hai, Dad,” sapaku. Dad mendongak, ada sedikit coretan oli yang menempel di pipinya. “Hai honey, sudah pulang? Aku tidak mendengar suara mobilmu.” Aku mendekatinya dan mengecup pipinya. “Kurasa Dad terlalu asik dengan The Black. Jadi apa yang terjadi dengannya?” tanyaku kemudian duduk di atas kotak peralatan. Mengamati mesin-mesin yang sedang dipereteli dan dibersihkan Dad. “Beberapa suku cadangnya belum diganti,” jawabnya cepat. ”Kurasa Kayle tidak benar-benar mengeceknya sebelum mengirimnya ke sini. Aku memang sengaja mengganti beberapa suku cadang aslinya dengan yang lama, agar ibumu menyangkanya rongsokan.” “Satu hal yang mengesalkanku setengah mati adalah kau tidak pernah benar-benar mengajariku memperbaiki mesin selain memelintir gas dan mengerem tepat pada waktunya.” Aku mengangkat alis tanda protes. Pria tuaku tertawa. “Ibumu akan membunuh kita berdua dalam satu detik yang sama jika dia mengetahui kau memasang satu sekrup di mesin. Tidak masalah Em, The Black akan tetap oke selama ada aku.” “Bukan masalah berarti kalau begitu?” ujarku lega. “Tidak, mungkin besok kau sudah bisa mengendarainya lagi. Tapi lebih baik pakai mobil saja. Cuaca sedang buruk.” Usulnya. Aku menerawang langit yang mendung dan sedikit gerimis. “Kurasa kau benar, Dad. Cuaca sedang buruk. Jadi, kalian akan menginap di sini?” “Tidak, aku harus melatih pria kecil itu besok. Dia akan turun di kejuaraan nasional minggu depan.” Dad menjelaskan dengan nada bangga. Tampak tak bisa menyembunyikan perasaan puasnya. “Jadi Marvel sudah menjadi juara di tingkat daerah?” Dad mengangguk-angguk dengan ekpresi ceria. “Dia menang di kejuaraan tingkat daerah akhirnya. Sedikit lebih antusias dari pada tahun lalu menurutku. Dia dapat dua sponsor untuk itu.” “Wow. Serius? Kemajuan yang bagus sekali.” Aku ikut senang. “Tapi dia benar-benar tidak bisa meninggalkan musiknya, ya?” tanyaku mengingat Marvel yang tengah asik memutar piringan Dj-nya. “Aku harus menerima hobinya itu pada akhirnya. Omong-omong soal kejuaraan, musim baru Herion Championship dimulai bulan depan. Kau masih tetap berhubungan dengan orang-orang tim bukan?” “Tidak,” jawabku singkat, padat dan jelas. Serta jujur. Lebih mudah jujur daripada harus berpura-pura di depan Dad. Dia mendongak menatapku, mengamati air mukaku. Dad membuang napas dalam kemuidan berkata, “seharusnya kau tidak begitu saja menghilang dari mereka. Aku tahu bagaimana perasaanmu, Em.” Suara Dad terdengar memelan penuh pengertian. Tapi aku diam saja. Hanya menunduk memandang kedua sepatuku. “Aku sudah mendengar keputusan akhirnya dan itu sungguh tidak adil,” lanjutnya. “Jake Mirlan bebas. Menyabotase pembalap hebat seperti Chris Walters hanya menunjukkan bahwa kualitasnya berada jauh di bawah Chris.” Aku tertawa pelan dengan lelah. “Ironis sekali bukan?” “Tentu ironis sekali. Tapi tim sekuat RX Speed Racing tidak akan begitu saja membiarkannya. Apalagi di bawah kepemimpinan Marco. Dia itu sebenarnya seseorang yang lebih besar dari pada yang bisa dia tunjukkan. Aku tahu itu.” “Jadi, mereka akan banding?” sahutku tak sabar. Dad menggelengkan kepalanya. “Naik banding bukan hal yang memuaskan, Em. Walaupun Mirlan dijatuhi hukuman mati.” Sejenak Dad menjeda untuk meniup kotoran di ujung sekrup sebelum memasangnya di mesin dan melanjutkan. ”Mereka akan membalasnya dengan lebih sportif. Marco menurunkan Alex Walters untuk menggilas Jake Mirlan dan timnya musim ini.” “Apa?” sahutku terkejut. Seluruh tubuhku rasanya mendadak kesetrum. “Serius?” Dad kembali mengangguk. “Apa itu sudah pasti?” Aku masih ingin dipastikan. “Aku dengar Alex sudah menandatangani kontraknya. Em, kau dekat dengan Alex, kan? Tanyakan saja padanya.” Sekitar pukul sepuluh malam, The Black kembali berdiri dengan gagah, dan Dad beserta Marvel berpamitan karena harus kembali ke Brooklyn. Sebelum mobil meluncur pergi, kali ini Marvel mengatakan ‘Bye Em!’ tanpa memandangku. Mereka meninggalkanku sendirian merenungkan Alex. *** Jadwal kosong untuk hari ini tapi Jessy menyuruhku datang ke kantor manejemennya di kawasan Seventy Fifth dan York dengan nada otoriter. Rencananya aku dan Jessy akan membicarakan cuti liburanku. Selama hampir setahun penuh aku tidak mengambil libur untuk menyibukkan pikiranku. Jessy sebenarnya adalah seorang CEO rumah manajemen artis dengan nama J&J Plus. Dia praktis menjadi CEO stelah ayahnya meninggal karena serangan jantung. Dia memiliki sekitar dua puluh artis dan aktor di bawah pimpinannya. Begitu memasuki kantor, aku melihat Amanda, asisten Jessy yang sedang berada di meja lobi. Sedang serius mengerjakan sesuatu dengan kertas di atas clipboard. “Pagi Amanda,” sapaku sedikit mengagetkannya. “Oh, hai, Emily,” balasnya dengan nada terkejut. Aku terkikik. “Dia di atas?” Amanda mengangguk lalu meluruskan papan clipboardnya. “Dia sedang menunggumu, Emily.” Aku segera ke atas ke ruangan Jessy. Terkadang aku berpikir, jika bisnis Jessy terus berkembang, kemungkinan aku harus mencari asisten untuk menggantikannya. Tapi selama ini Jessy yang mengatur segalanya untukku. CEO manejemen artis mana yang mau ke mana-mana membawa tas anak asuhnya dan bahkan membantu memakaikan sepatu kalau bukan Jessy. Ketika aku menyinggung hal itu beberapa waktu lalu dia hanya menjawab. “Well, aku tak pernah menganggapmu sebagai salah satu artisku yang berada di bawah naungan manajemenku. Kita bersama sejak kecil dan tentang aku selalu membantumu, ke mana-mana membawa baju bekasmu atau terpaksa berjam-jam menunggumu, itu kulakukan karena aku hanya ingin terus bersama sahabatku.” Itulah saat di mana aku percaya, malaikat tak selalu benar-benar berwujud pria perkasa atau wanita lemah lembut. Aku menemukan Jessy di ruangannya. Duduk bersandar di kursinya dan menenggelamkan kepalanya di surat kabar Bomb News. Surat kabar di mana Paulo bekerja. Bisa ditebak dengan mudah, apa yang sedang dia baca. “Apa yang dia katakan?” tanyaku langsung. Jessy melipatnya surat kabarnya dan mendongak melihatku. Aku membuka tirai dinding kaca dan menatap perpustakaan Webster Branch dari kejauhan. “Kau mau aku membacakannya untukmu?” tawarnya. Aku mengangguk menyetujuinya. “Baiklah. Ehemm…” Jessy membersihkan tenggorokannya sebelum membaca. “Judul: Emily Green dan Nicholas West berkencan di tengah hujan. Manhattan. Lama tidak terlihat setelah kematian kekasihnya Chris Walters, Emily Green tertangkap kamera bergandengan tangan dengan lawan mainnya di film Run Off. Mereka sedang berada di kawasan pertokohan Madison Avenue dan tampaknya sedang berteduh dari hujan. Dengan muka merona merah dan ekspresi Emily Green yang malu-malu, menjelaskan kepada semua bahwa mereka sedang berkencan. Akhirnya, setelah lama bersembunyi dari kejaran media tentang kematian mantan kekasih pembalapnya, Chris Walters, Emily Green mulai berani blak-blakan tentang hubungan cinta barunya dengan Nicholas West, mantan nominasi piala Oscar tahun lalu. Hal ini menjelaskan bahwa Emily Green dengan mudah melupakan kekasihnya yang sudah meninggal.” “Sungguh konyol.” Komentarku dengan geli. “Cuma berita picisan. Jauh dari dugaanku,“ sambung Jessy. “Paling tidak sekarang wartawan akan mencecar hubunganmu dengan Nicholas, alih-alih tentang berita mendung kematian Chris. Bukankah itu yang kau inginkan?” “Well, mungkin ada saatnya aku harus mengirimkan buket bunga untuk berterima kasih pada Paulo.” Gurauku. Aku mengambil lipatan surat kabar itu dari meja Jessy. Melihat fotoku dan Nicholas. Terlihat bagus, jujur saja. Tapi rasanya sama sekali tidak menunjukkan kalau wajahku merona merah atau Nicholas tampak malu-malu. Justru sebaliknya, terlihat ekspresiku dan Nicholas yang sama-sama terkejut dengan lampu blitz. Hanya saja, terlihat dengan jelas tangan Nicholas menggandeng tanganku. Omong-omong soal foto itu, aku teringat tentang Alex dan aku menceritakannya kepada Jessy. “Jelas dia marah padamu. Kau meninggalkannya di situasi yang seperti itu. Kau itu memang tega,” seloroh Jessy langsung. “Jessy, kau tahu kenapa alasan aku melakukannya.” Aku sedang tidak ingin membela diri, aku hanya ingin dimengerti. Sedikit saja. “Aku kan sudah bilang berkali-kali, tidak seharusnya kau melakukan hal itu padanya. Menurutmu bagaimana perasaannya sekarang padamu?” “Aku tidak tahu.” Ujarku lesu. Aku duduk di sofa nyaman Jessy, merebahkan punggungku ke sandarannya. “Aku hanya ingin sendiri waktu itu, hanya itu.” “Lalu bagaimana perasaanmu sekarang setelah bertemu dengannya?” tanyanya lagi. Aku merenung sejenak, mengingat segenap perasaanku di bawah air hujan yang dingin itu saat aku bertemu dengan Ales. “Aku merasa sama hancurnya seperti ketika menyadari bahwa Chris tidak akan pernah lagi bisa berbicara denganku.” Jessy mengamatiku dari kursinya. Terlihat simpati denganku, tapi justru aku tidak suka melihat hal itu. Aku tidak terlalu suka jika orang lain sedih melihatku. Biarkan aku sendiri yang merasakannya. Yang lain tak perlu tahu. Atau ikut merasakannya. Itulah yang kupikirkan saat aku pergi meninggalkan The Threes dan Alex pada waktu itu. “Baiklah, baik,” sahut Jessy akhirnya. Dia tampak tak tahan dengan situasi seperti ini. “Tidak perlu membahas hal itu lagi, oke.” Jessy membereskan meja kerjanya dari surat kabar yang berserakan kemudian mengambil tablet-nya dan mulai menyusuri layarnya. “Kapan kau ambil cuti libur? Jadwalmu tidak padat beberapa bulan kedepan. Tapi jangan sampai akhir tahun, jadwal promosi filmmu dimulai awal tahun.” “Entahlah,” ujarku. “Jangan ditunda-tunda, kalau kau tidak mau kehilangan kesempatan liburanmu tahun ini,” jelasnya. “Jessy, aku tidak tahu harus ke mana.” Jawabku. Aku memang tidak punya rencana dan juga sedang tak ingin pergi ke mana pun. “Hawaii, Dubai, Maladewa atau Bali. Lumayan untuk menikmati matahari.” Usulnya dengan asal saja tanpa menatap wajahku. Aku berdecak, dan hendak menjawab ketika pintu diketuk pelan dan dibuka. Amanda masuk masih menggenggam clipboard-nya masuk ke ruangan untuk menghampiri meja Jessy. “Sorry mengganggu, Jessy, tapi ada seorang pria di bawah sana yang sedang mencari Emily,” terang Amanda cepat tanpa jeda seperti biasanya. “Siapa yang mencariku?” aku tertarik. “Dia memberitahuku, namanya Marco Walters,” jawab Amanda dengan mantap. “Marco Walters?” Aku menegakkan punggung dari sandaran kursi kemudian bertukar pandang heran dengan Jessy. Kenapa Paman Walters bersaudara mencariku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN