Bab 6

1690 Kata
Aku beranjak dari sofa nyaman Jessy dan segera turun ke lantai bawah. Marco, apa yang sedang dia lakukan di sini? Aku menghampiri Marco di ruang tunggu. Dia sedang duduk menghadap dinding kaca yang memperlihatkan lalu lintas kota yang sibuk. Dia tampak melamun tanpa menyadari kehadiranku. “Marco,” sapaku, memberitahu kehadiranku. Dia tersentak pelan, tampak terbangun dari lamunannya. “Emily, aku tadi tidak terlalu berharap untuk langsung bertemu denganmu di sini.” Pekiknya senang. Dia berdiri dan merangkulku. “Senang bertemu denganmu lagi.” “Aku juga senang bertemu denganmu, lagi.” jawabku sambil tersenyum ringan. Amanda membawakan dua cangkir teh untuk kami. Menaruhnya di atas meja, kemudian mempersilakan Marco untuk meminumnya sebelum dia kembali ke belakang meja lobi untuk meneruskan pekerjaannya. “Kau sedang sibuk ya, Emily,” tanyanya yang tak terdengar seperti kalimat pertanyaan, melainkan pernyataan. “Kau tahu pekerjaanku Marco,” jawabku. “Aku terkejut kau datang untuk mencariku.” “Tidak buruk kan memberi kejutan pada teman lama? Aku baru saja kembali ke New York setelah melewatkan beberapa saat di tempat tenang untuk menghindari semua kebisingan ini.” Marco menghela napas dalam lalu menghembuskannya kembali. “Duduklah,” ujarku mempersilakannya kembali menempati kursi yang dia duduki tadi, kemudian aku duduk di seberangnya. “Aku masih berada di Finlandia beberapa jam yang lalu dan sekarang duduk di sini bersamamu memandang kericuhan New York kembali. Well, Em, waktu berlalu sangat cepat dan tiap detiknya sangat berarti.” Katanya sambil kembali menghembuskan napas berat. “Aku beruntung bisa langsung menemui hari ini.” Marco, saat kuperhatikan lebih lama, dia terlihat lesu dan kusut. Mata abu-abunya yang biasanya menyala-nyala seperti kembang api, kini tampak redup seperti nyala lilin kecil, ditambah lagi mataku itu tertutup lipatan-lipatan kerutan kelopak matanya. Bahkan rambut alisnya ikut lepek dan menempel di kedua sudut matanya. Hampir setahun tidak bertemu, Marco tidak terlihat semuda waktu itu. Waktu-waktu di mana Chris menjadi pembalap yang tidak mudah untuk dikalahkan. Waktu-waktu di mana aspal sirkuit yang dilintasi Chris semulus permukaan mentega. “Lalu apa yang membuatmu datang ke sini mencariku?” tanyaku heran. Aku tak merasa menjadi seseorang yang perlu dicari orang seperti Marco Walters. “Aku ingin tahu kabarmu Emily. Kau susah dihubungi akhir-akhir ini.” Aku menggigit bibir. “Maafkan aku.” “Aku tahu Emily, aku tahu kenapa kau begitu,” ujar Marco sedih. “Well, paling tidak aku senang melihatmu baik-baik saja di sini. Anak-anak tim sering bertanya padaku bagaimana kabarmu. Aku bilang aku tidak tahu dan jawabanku selalu mengecewakan mereka.” Marco memberiku senyum masam. Bibirku rasanya kelu mendengar hal itu. Anak-anak tim yang selalu akrab denganku, masih mengingatku. “Katakan pada mereka, aku baik-baik saja. Dan sampaikan salamku pada mereka.” “Emily, asal kau tahu mereka juga merasa kehilanganmu,” balas Marco dengan penuh penekanan dan atmosfer pun seketika berubah canggung. Aku membuang pandanganku ke arah meja lobi di depanku sementara Marco memandang kembali dinding kaca di depannya. Kedua tangannya mengait di atas pangkuannya dan mulai memutar-mutar kedua jempolnya. Aku tahu kenapa dia melakukan itu, aku sering melihatnya begitu saat dia gelisah atau cemas. “Marco, sebenarnya apa yang membawamu ke sini?” tanyaku kemudian untuk memecah kesunyian. “Kau tidak mungkin menyeberangi setengah benua hanya untuk menanyakan kabarku bukan? Aku tidak merasa menjadi seseorang yang penting untuk mendapat kehormatan akan kedatanganmu jauh-jauh dari Eropa.” Aku sedikit tidak tahan melihatnya gelisah. Marco mengalihkan perhatiannya dari jalanan di luar dinding kaca ke arahku, membuka mulutnya sebentar kemudian menutupnya lagi. Dia menyandarkan punggungnya di kursi, menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Aku sabar menunggunya menguasai diri. Aku menebak-nebak di dalam pikiranku, hal apa yang membuatnya seperti ini. Mungkin karena kekalahan pihak timnya akan gugatan kematian Chris di pengadilan dua hari yang lalu atau mungkin hal yang lain. Aku tidak yakin. “Maafkan aku jika harus membicarakan hal ini,” katanya kemudian. “Apa kau tidak keberatan?” Aku menggeleng. “Teruskan saja. Aku akan mendengarkan apa pun yang akan kau katakan padaku,” ujarku memantapkannya. “Terima kasih Emily.” Sahutnya lega. “Ya, seperti kau tahu, kehilangan Chris bukan hal yang mudah bagi kami. Aku dan seluruh tim seakan kehilangan arah. Dia pergi begitu saja dan aku sama sekali tidak menyalahkannya. Hanya saja, kami kehilangan pembalap paling hebat pada saat kami terbang ke awan, kemudian tiba-tiba dia pergi. Rasanya seperti dilempar begitu saja ke tanah.” Aku mengangguk mengerti. “Aku paham Marco. Aku juga merasa seperti itu, tapi dalam konteks yang berbeda.” Marco mengangguk menghargai. “Masa-masa yang sulit untuk tim. Chris meninggal dalam arti dia kalah, dan Jake Mirlan berhasil merebut sponsor utama. Aku tahu apa yang dia lakukan pada Chris, aku tidak bodoh. Sayangnya, kau pasti tahu hasil akhir pengadilan, kita kalah. Mereka licik, punya banyak relasi yang bekerja di bawah meja. Aku sebenarnya sudah tahu akan hasil akhir pengadilan. Tapi aku tak ingin terlihat tak melakukan apa-apa untuk Chris, untuk keponakanku sendiri.” ujarnya lelah. Wajahnya sungguh terlihat menderita. Aku kasihan padanya sekaligus merasa sedikit kesal, kenapa dia terlihat begitu sangat memedulikan kelanjutan Herion Championship dan nasib timnya dari pada memperjuangkan keponakannya. Seharusnya dia mengajukan banding apalagi Mirlan dengan mudah lolos begitu saja. “Kenapa kau tidak mengajukan banding? Kau tahu pengadilan tidak adil bukan?” aku menyuarakan kebingunganku selama ini. “Karena aku yakin seribu persen berapa kali pun aku mengajukan banding, tidak akan membawa keputusan yang adil bagi Chris, Emily.” Terangnya dengan tegas seolah berusaha menjernihkan banyak hal yang sedang berputar di pikiranku. Penjelasan Marco barusan memang terasa benar. Karena entah kenapa Herion sangat berpihak pada Jake Mirlan. Banyak orang curiga bahwa ada permainan saham pribadi Jake Mirlan di sana. Dia banyak kuasa. “Lalu apa rencanamu, Marco?” tanyaku. Dia kembali menerawang jauh. Rasanya ingin sekali bisa mendengar apa yang ada di pikiran Marco saat ini daripada menunggunya bicara. “Satu-satunya cara, hanyalah membalas Jake Mirlan melalui jalur yang bisa disaksikan oleh semua orang. Jalan yang sportif, yaitu melawan kembali Jake Mirlan dan timnya di arena balap. Merebut kembali sponsor utama dan melihatnya menderita di depan semua pendukungnya. Kekalahan di arena lebih menyakitkan daripada kalah dalam pengadilan Emily.” Aku terdiam sesaat setelah Marco selesai bicara, lalu menyahut. “Lalu apa kau sudah mendapat pengganti Chris? Kudengar Alex sudah menandatangani kontrak dengan timmu.” Aku berharap dan berharap kalau berita itu salah. Tapi melihat ekspresi kaget Marco, membuat tubuhku rasanya retak seperti pot keramik yang terjatuh di lantai. “Kau sudah tahu berita itu?” tanyanya. Aku mengangguk. Mungkin dia terkejut aku mengetahui hal itu. Rasanya dia sudah akan bertanya darimana aku mendapat berita itu. Tapi ternyata tidak. Dia kembali memandang jalan raya yang kali ini macet. Melihat ekspresinya yang kembali rileks, kelihatannya dia sudah tak ambil pusing darimana aku mengetahui hal itu. “Ya, Alex menyetujui kontrak itu,” jawabnya dengan tidak b*******h. Dia kembali menghembuskan napasnya. Marco terlihat sepuluh tahun lebih tua saat ini. “Kenapa? Bukannya itu bagus? Alex bukan pembalap yang buruk.” Aku menahan diri agar tidak emosi pada saat ini. “Itulah masalahnya, kau tidak akan menemukan Alex dalam keadaan yang bagus saat ini, Emily. Sejak Chris pergi dia ikut terlihat mati. Dia bahkan menandatangani kontrak dengan kondisi setengah mabuk. Emily, dia seperti selongsong kosong saat ini.” Pikiranku melayang kesaat aku bertemu dengan Alex kemarin. Dia memang tampak berbeda. Pandangannya yang suram itu, mengiris ulu hatiku. “Kurasa dia hanya butuh waktu untuk terbiasa dengan semua ini.” Ujarku sama sekali tidak terdengar meyakinkan. Karena aku sendiri pun, sampai pada detik ini, belum merasa baik-baik saja. “Emily, kita tidak punya banyak waktu. Tim akan hancur tanpa sponsor. Semua kontrak dengan perusahaan menengah hanya mampu mempertahankan tim sampai musim ini. Tanpa sponsor utama habis sudah kita untuk musim depan.” Sahutnya kaku dengan wajahnya yang tampak menyerah putus asa. Titik-titik keringat membasahi dahinya, padahal sekarang sedang musim dingin. “Lalu kenapa kau tidak mengambil pembalap lain selain Alex?” tanyaku bingung. Sebenarnya aku tak ingin terlibat lebih banyak lagi dalam percakapan ini, tapi Marco memicuku untuk peduli dengan kondisinya. “Karena aku yakin hanya Alex yang mampu mengembalikan keadaan Emily,” ujarnya pelan penuh penekanan. “Mirlan tidak akan suka jika Alex yang menggantikan Chris, dia orang kedua terbaik setelah Chris. Dan jika Alex akhirnya mampu mengalahkan Mirlan dan merebut sponsor utama tepat di depan hidung semua orang itu akan menjadi kekalahan yang telak bagi dia dan timnya.” “Maksudmu kau akan mengumpankan Alex, begitu? Menjadikan dia taruhan timmu untuk mendapatkan kembali sponsor utama? Seperti mengirim Alex untuk mati?” nadaku mengeras tak percaya. “Astaga Emily, jangan salah paham. Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Chris dan Alex seperti anak-anakku sendiri. Mereka besar di arena bersamaku.” Elaknya. Marco menegakkan punggungnya dari sandaran kursi. “Lalu kenapa kau mengorbankannya? Mengirimnya kembali ke arena dan memberi kesempatan Mirlan untuk menggilasnya, seperti mengumpankan daging segar ke kandang macan. Arena balap bukan gladiator Marco,” suaraku meninggi tak senang. Membuat Amanda yang sedari tadi berada di belakang meja lobi mengintip pelan ke arahku dan Marco duduk. “Em, kumohon jangan bicara seperti itu,” pintanya lesu. “Aku berpikir seperti itu bukan karena terlalu mementingkan tim walaupun, baiklah, memang salah satunya untuk itu. Tapi yang paling aku inginkan hanyalah menyelamatkannya. Aku tidak ingin Alex hancur dengan keadaan ini. Akan apa yang terjadi dengan Chris, saudaranya. Aku tahu dia tidak akan pernah merasa lebih baik melihat ketidak adilan untuk Chris. Aku ingin dia bangkit. Dan itulah alasanku untuk menemuimu hari ini. Terbang setengah benua hanya untuk bicara denganmu.” “Apa maksudmu?” tanyaku setengah kesal setengah ingin tahu. “Aku bicara padamu bukan menjadi pemimpin RX Speed Racing. Tapi aku berbicara sebagai pamannya yang peduli padanya. Aku meminta padamu untuk menemuinya, bantulah dia, Emily. Alex membutuhkanmu.” “Apa?” ulangku pelan. Tak paham. “Aku sangat paham kau sebenarnya peduli dengannya. Untuk itu, temuilah dia Emily, Alex benar-benar membutuhkan orang yang lebih dari sekedar dekat dengannya.” Marco berubah begitu serius. “Lagi pula, apa kau akan tetap berdiam dan bersembunyi selamanya setelah melihat apa yang sudah dilakukan Jake Mirlan pada Chris? Dia membunuh Chris tepat di depan matamu Emily,” imbuhnya membuat dadaku mengeras dan sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN