Bab 7

1343 Kata
Kembali ke apartemen di Park Avenue dan Seventy-third setelah hampir sebulan tidak mengunjunginya. Terakhir kali aku ke apartemen hanya untuk mengambil beberapa potong pakaian yang kuperlukan. Apartemen yang menyenangkan sebenarnya dengan desain modern yang minimalis. Kubuka tirai otomatis yang menutup dinding kaca yang menyembunyikan pemandangan bangunan kota Manhattan sore hari dari kedua mataku. Sinar matahari yang mulai tenggelam menyinari seluruh ruangan. Dari dinding kaca terlihat bangunan perkantoran yang menjulang tinggi, namun puncaknya belum mampu menyentuh langit yang mendung. Setelah menikmati pemandangan kota dari ketinggian kurang lebih tujuh puluh lantai dari bawah melalui dinding kaca yang membuatku seperti sedang menonton layar LCD berukuran super besar, aku sadar, dibantu dengan cahaya mendung yang redup, terlihat lah betapa kotornya apartemenku ini. Debu tampak di seluruh permukaan perabotan. Sebagian besar perabotan yang berada di apartemenku ini adalah hasil dari desainku sendiri yang dibantu Alex. Laci-laci, meja nakas, dan detil-detil lainnya. Selain balapan, Alex pandai mengerjakan desain interior. Ruangan yang bernuansa kayu adalah favoritnya, dan dia membawa kesukaannya itu masuk ke dalam apartemenku. Kemudian, sisa perabotan yang lainnya kubeli kubeli ketika menemani Chris ditiap pertandingannya mengelilingi setengah benua. Baiklah, waktunya untuk bersih-bersih. Tidak terlalu kotor atau berantakan sebenarnya, aku hanya mengelap perabotan dan menyedot debu dari karpet bulu bermotif mozaik yang kubeli dari Tibet saat ada acara di sana. Setelah itu, aku mengganti sprei kamar kemudian beralih ke meja kerja untukmu menggosok pigura-pigura foto yang berada di meja sebelah ranjang dari debu. Menatap pigura-pigura itu membuatku dadaku mendadak perih. Pigura-pigura itu berisi foto-fotoku bersama Chris dan Alex. Pigura agak besar berisi fotoku dan Chris ketika dia memenangkan kejuaran Herion Championship dua tahun lalu. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan tangan lainnya membawa botol sampanye. Kami berdua basah kuyup terkena hujan sampanye dan tengah sangat berbahagia waktu itu. Di deretan sebelahnya ada pigura kecil-kecil masih berisi foto-fotoku dengan Chris dan kali ini terdapat sosok Alex di antara kami. Foto kami saat melewatkan liburan dengan bermain ski di Vancouver. Satu lagi berisi kompilasi fotoku bertiga bersama Chris dan Alex mengenakan baju kami yang sama. Chris sering memberiku barang yang sama dengan Alex. Aku sudah berusaha menyingkirkan semua foto itu, tapi tiap kali tanganku mendekati deretan benda itu, hatiku tak pernah mengijinkannya. Rasanya akan benar-benar berakhir seperti mimpi jika aku menyingkirkannya. Chris sudah pergi itulah kenyataannya. Kenyataan yang kuhindari selama hampir setahun ini. Kematiannya bagaikan tembok padat yang menghalangi jalanku untuk berjalan ke depan. Aku mencoba mundur sejauh-jauhnya, berputar ke sana kemari mencari jalan yang lain. Padahal aku paham, semua jalan itu buntu. Hanya ada satu cara untuk keluar dari kungkungan ini, yaitu menabraknya tembok itu sampai hancur, membuat jalan yang bebas untuk melangkah. Tapi aku terlalu pengecut untuk melakukannya. Alex adalah adik kandung Chris. Dia adalah pembalap seperti Chris namun membela tim yang berbeda. Dia adalah orang kedua yang tercepat dan tangguh setelah Chris di arena balap menurutku dan banyak orang. Aku mengenal Alex sangat baik dan kami sangat dekat. Sedekat aku dengan Jessy. Aku mengenalnya saat aku mulai berkencan dengan Chris. Sulit menjelaskan sedekat apa hubunganku dengan Alex. Tentu saja aku tidak berselingkuh dengannya. Hanya saja aku memang terlalu akrab dengannya. Chris tahu dan dia tak pernah mempermasalahkannya. Bahkan dia senang melihat keakrabanku dengan Alex. Chris selalu berkata padaku, hal yang paling membuat hidupnya bahagia adalah selalu bisa melihatku dan Alex di mana pun dia berada. Karena menurutnya aku adalah sebagian dari hatinya dan Alex adalah bagian hatinya yang lainnya. Chris sangat mencintai adiknya dan begitu pula sebaliknya. Seperti Chris, Alex menerima kehadiranku di dalam hidupnya tanpa membuat jarak yang membuatku selalu merasa canggung padanya. Kami selalu bergurau bersamaku seperti sahabat sejak kecil. Mengingat terakhir kali aku bertemu dengan Alex adalah ketika hari setelah pemakaman Chris. Saat itu sudah tidak tahan melihat semua orang yang selalu mengingatkanku padanya, bahkan Alex. Aku sangat memikirkan diriku sendiri saat itu, aku hanya ingin keluar lingkungan yang membuat pikiranku tertekan. Aku hanya ingin menghilang sesaat. Alex bertanya saat aku akan pergi. Tapi aku tak mengacuhkannya dan pergi begitu saja membawa serta barangku yang tertinggal di The Trees, tempat tinggal Alex dan Chris. Sekarang, aku seperti kehilangan teman kecil ketika mengingatnya lagi. Kematian Chris di arena balap setahun yang lalu, adalah hal yang paling berat yang pernah aku alami dalam hidup. Kecelakaan maut antara Chris dan Jake Mirlan, rival pembalap dari tim lain yang membuatku dan dunia kehilangan pembalap nomor satu di ajang balapan motor Herion Championship, sebuah ajang balapan paling terkenal di dunia. Kehilangannya membuatku sungguh hancur. Berhari-hari, berbulan-bulan masih terasa pilu. Kejadian saat Chris meregang nyawa, terekam kuat diingatanku, seperti video yang terus menerus diputar tanpa henti. Berat, sungguh berat. Sama seperti kata seluruh orang di dunia ini ketika kehilangan seseorang yang dia cintai, seperti ada lubang dalam hati, ada sesuatu yang tiba-tiba terasa kosong, sepi sekali. Terdengar sangat klise, tapi itu sungguh benar adanya, dan itu lah yang aku rasakan sekarang. Kematian Chris yang dilihat hampir 200 ribu orang secara langsung di arena balap, menjadi perbincangan dunia. Bukan hanya itu saja, salah satunya adanya kecurigaan sabotase dari Jake Mirlan. Semua orang membicarakannya dan aku percaya itu memang benar. Sayangnya, pengadilan tidak berhasil menemukan adanya bukti adanya sabotase, dan Mirlan, sesuai hasil pengadilan kemarin, yang dimuat di koran New York Today hari ini, bisa berjalan bebas tanpa hambatan untuk kembali meraungkan motornya di perlombaan musim ini. Sejak saat itu, media gempar karena Chris adalah pembalap nomor satu yang sedang disorot dunia dan karena kebetulan pekerjaanku di dunia hiburan, aku menjadi sasaran empuk kerumunan wartawan. Sejak saat itu juga, aku berjuang menghindari mereka. Bukan karena aku tak ingin diwawancarai, tapi karena aku tahu aku tak akan mampu menjawab pertanyaan mereka. Rasanya seperti ada sumbatan di tenggorokanku saat mereka menanyakan hal yang sama, ‘Bagaimana perasaanmu Emily?’, ‘Rindukah kau padanya?’, ‘Bagaimana tanggapanmu dengan dugaan sabotase atas kematian Chris?’ Terus saja begitu berulang-ulang. Seperti simfoni kematian yang tak kunjung berhenti. Aku sangat tidak tahan, setiap hari harus menjawab pertanyaan yang akan membuatku terus menerus dirongrong kenangan pahit yang terpaksa harus kulaui. Lalu kemudian masih ada Alex, yang kutinggalkan begitu saja di tengah reruntuhan bangunan yang kokoh. Segalanya terasa melelahkan. Aku menghembuskan napas berat mendengar semua suara di dalam pikiranku. Mataku menatap langit-langit yang membisu. Apa yang sudah kulakukan selama ini? Kenapa aku pergi begitu saja waktu itu? Aku beringsut ke dalam kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku mengingat pertemuanku dan Marco siang tadi. Jessy hampir-hampir tak berkomentar saat aku menceritakannya kembali padanya. Dia hanya berkata, “Apa pun yang ingin ku katakan padamu sudah disampaikan Marco semuanya. Bahwa bukan hanya kau yang selama ini merasa terpuruk sendiri karena kehilangannya. Kau merasa seperti itu karena kau meninggalkan orang-orang yang berada di sekitar Chris yang juga merasakan hal yang sama denganmu begitu saja. Kau bersama mereka saat tertawa bahagia, tapi kenapa ketika bersedih kau malah memilih sendiri? Orang kedua yang menurutku sama hancurnya sepertimu, dan Marco sudah mengatakannya padamu adalah Alex.” Aku menghembuskan napas berat dan mulai menutup mata. *** Cuaca yang panas, aspal memantulkan sinar matahari yang menyolok mata. Awan berarakan berbentuk aneh. Seperti kumpulan anggur. Aku berada di tepi lintasan membelakangi tribun, memandang Chris yang tengah berdiri di tengah starting grid. Tanpa motor dan helm namun memakai wearpack lengkap. “Kemarilah Chris! Apa yang kau lakukan? Menyingkirlah dari sana!” teriakku khawatir. Chris menggelengkan kepalanya kemudian tersenyum. Melambaikan tangannya lalu menunjuk ke arah paddock yang berada di belakangnya. “Ya Tuhan, kemarilah, beri tahu aku. Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Chris menggeleng, melambai dan tersenyum lagi. Kami hanya terpisah sekitar lima meter. Tapi aku merasa sangat jauh darinya, begitu jauh dan aku bahkan tidak bisa menggerakkan kakiku untuk menggapainya. Aku tahu ini hanya mimpi, tapi aku merasa amat sangat sedih. “Jangan berada di tengah lintasan saat pertandingan berlangsung. Bahaya Chris. Cepat menyingkir dari sana!” Aku melongok ke arah tikungan secara terus-menerus dengan ketakutan. Namun, Chris kembali menggeleng dan tersenyum. Dia kembali menunjuk kuat-kuat ke arah paddock. Kemudian bayangan besar hitam secepat peluru menabraknya. Tubuh Chris buyar seperti kumpulan asap tertiup angin. Aku menjerit. Mimpi yang sama lagi. Mimpi yang aku dapat semalam sebelum kematiannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN