Terdengar seperti ledakan bom di telingaku, dan aku terbangun dengan kaget. Kucari sumber suara. Ponselku bergetar dan berdering tepat di bawah bantal. Aku terduduk cepat, kusambar ponsel yang berkelap-kelip itu, dan kulihat foto Jessy yang tersenyum artistik memenuhi hampir separuh layarnya.
“Halo,” jawabku berat, menghembuskan napas panjang untuk mengatasi denyut jantungku yang masih tak beraturan.
“Emily, cepat ke sini!” Teriaknya secara langsung, nadanya keras dan panik.
“Apa? Ada apa?” sahutku panik. Jantungku semakin berdetak tak beraturan.
“Alex, Alex ada di sini. Dia sedang tidak baik. Dia berkelahi dengan seseorang,” serunya.
“Alex? Apa maksudnya?” Aku tidak mengerti.
“Nanti kujelaskan. Pokoknya kau cepat ke sini.”
Dengan jantung berdegup kencang, aku bangkit dari tempat tidur, lalu menuju lemari untuk mengambil pakaian.
“Kau di mana sekarang?” tanyaku lagi.
“Aku di North and South’s bar.”
“Baiklah, tetaplah di sana. Aku segera ke sana.”
Aku memakai jeans yang kusambar begitu saja dari lemari. Melapisi badanku dengan kaus yang pertama kali kulihat saat membuka pintu seret lemari. Kunci mobil, mantel panjang dan tas kutarik begitu saja dari meja. Ya tuhan, apa yang sedang terjadi padamu Alex? Otakku berdenyut-denyut. Berkelahi di bar? Apa yang sedang dia pikirkan?
Aku hampir saja terjungkal di lobi apartemen saat memakai sepatuku sambil berlari, untung saja seseorang menangkap tubuhku.
“Maaf,” kataku cepat tanpa benar-benar memandang siapa yang menolongku. “Aku sedang terburu-buru.”
“Emily, ada apa?” tanya seseorang itu. Kurasa aku mengenali suaranya.
“Nicholas,” seruku. Mataku membulat melihatnya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku menghubungi Jessy dan dia bilang kau ada di apartemenmu malam ini. Aku ingin mengajakmu makan malam, karena rasanya kau tidak punya waktu berbicara padaku di telepon. Jadi aku langsung kemari. Kelihatannya kau sibuk. Kau mau pergi ke mana?” tanyanya. Melihat dahiku yang sedikit berkeringat dan mantelku yang belum kupakai, menyentel begitu saja di bahuku.
“Baguslah ada kau,” jawabku, tak menghiraukan penjelasan panjangnya.
“Apanya yang bagus?” Nicholas menatapku heran.
“Ikut aku,” ajakku menggandeng lengannya setengah berlari.
“Ke mana?” tanyanya. Dia merendengi laju kakiku.
“Ke North and South’s bar.”
Nicholas menyetir sambil sedikit-sedikit melirik ke arahku. Aku numpang mobilnya kali ini. Aku tak terlalu memperhatikannya dan dia tidak menanyakan hal lain lagi selagi kami meluncur ke tempat Jessy menungguku. Entahlah, mungkin dia bertanya, tapi pikiranku sedang tidak ada di mobil bersamanya jadi aku tidak benar-benar mendengar apa yang dia katakan. Pikiranku sepenuhnya pada Alex.
Sekitar lima belas menit menurut jam digital yang berada di dasbor mobil, tapi menurutku sudah lima belas jam. Aku sedikit merasa seperti Jessy sekarang. Sensitif dengan waktu. Kota tetap terang benderang seperti siang hari karena sorot lampu berpendar-pendar dari tiap toko dan bangunan di seluruh bibir jalan meski langit telah gelap.
Akhirnya mobil Nicholas menepi. Aku mencelat dari mobil begitu saja, sebelum Nicholas benar-benar memarkir mobil di tempat yang seharusnya. Aku melangkah masuk ke dalam bar dan melihat orang-orang mengerumuni sebuah sudut di bar mewah itu, beberapa pelayan berwajah tegang dan takut sedang membereskan sudut ruangan yang rasanya seperti baru diseruduk banteng ngamuk dan menghancurkan tempat itu.
Pecahan botol di mana-mana, meja berjumpalitan tak berada ditempat seharusnya. Aku mengamati kondisi itu dari celah punggung seorang wanita yang tengah bersembunyi di lengan teman prianya untuk mencari perlindungan, tangannya mencengkeram dadanya seoah-olah ada apa yang terjadi di depannya membuatnya ketakutan. Desas-desus pelan terdengar di seluruh ruangan, sepertinya membicarakan hal yang baru saja terjadi.
“Orang itu memukul kepalanya dengan botol,” kata wanita itu kepada si pria.
Siapa memukul siapa? Batinku. Siapa yang memukul dengan botol, siapa yang dipukul? mendengarnya membuatku panik. Jessy, Alex di mana mereka? Aku menyapukan pandanganku keseluruh ruangan, tak menemukan mereka.
“Ada apa ini?” tanya Nicholas yang baru masuk ke dalam bar, terlihat sama kagetnya melihat bekas kericuhan di depan matanya. “Em, kenapa kita ke sini?”
Seorang pria bertubuh besar turun dari tangga yang berada didekat meja bar di seberang sudut yang tengah dikerumuni orang-orang itu, kurasa salah satu penjaga bar, aku mendekatinya diikuti Nicholas yang masih belum mengetahui alasan kenapa mengajaknya ke tempat ini.
“Di mana mereka?” tanyaku pada pria itu. Membuat orang yang yang berkerumun itu menoleh ke arahku. Dan dengan cepat bisik-bisik kembali ramai terdengar.
“Itukan Emily Green!” seru seorang pria.
“Nicholas West, hei ada Nicholas West!” seru histeris seorang wanita dan terdengar beberapa wanita lain menyahut, “Mana? Mana?”
Kepala-kepala penasaran segera melongok ke suluruh ruangan, mencari sumber perhatian. Untungnya pria besar tadi segera memberitahuku tanpa suara untuk segera mengikutinya, Nicholas merendengiku setelah beberapa kali tersenyum sopan pada penggemarnya yang histeris.
Pria besar itu memimpinku dan Nicholas berjalan melalui koridor panjang dengan beberapa ruangan yang tertutup sampai akhirnya di ruangan paling sudut yang pintunya terbuka. Aku masuk setelah pria besar itu.
“Emily, syukurlah kau cepat datang,” seru Jessy nyaring saat melihatku, dia berdiri di tengah ruangan, berputar-putar cemas. Dia tampak mulus tak tergores apa pun, membuatku lega. “Lihat Alex,” lanjutnya sambil mengedikkan kepalanya ke arah sofa yang berada di pojok depannya. Tampak dua orang sedang berada di sofa itu, seorang pria besar berjenggot, bertato dan terlihat tak terawat tengah ambruk tak sadarkan diri, setengah tubuhnya di lantai dan hanya kepalanya saja yang berada di bantalan sofa. Wajahnya penuh darah, jaketnya terkoyak di berbagai tempat dan di seberangnya, di ujung sofa, Alex duduk melorot dengan pose yang aneh.
“Alex!” pekikku dengan panik. Aku buru-buru mendekatinya. Dia tampak tak sadar. Matanya memejam, dahinya berlumur darah, wajahnya tampak parah dengan banyak luka memar serta tubuhnya berbau alkohol yang menyengat. Dia membuka mata, melirikku sebentar kemudian memejamkan matanya lagi. Mengerang kesakitan.
“Astaga. Apa yang terjadi denganmu?” tanyaku dengan cemas, tapi Alex sepertinya tidak mengenaliku, dia melorot lagi dari tempat duduknya. Kusentuh sisi kepalanya yang berdarah itu pelan-pelan. Membenarkan duduknya dengan hati-hati ke posisi yang lebih nyaman.
“Emily, bukannya dia temanmu waktu itu?” tanya Nicholas sambil mendekati wajah Alex yang sulit dikenali. Dia tampak terkejut.
“Ya, dia temanku.” jawabku dengan lemas melihat keadaan Alex.
“Emily, bawa dia ke rumah sakit,” celetuh Jessy. “Nick bantu dia, aku akan tetap di sini untuk menyelesaikan kerugian. Aku masih menunggu manajer bar ini,” lanjutnya dengan cepat bercampur panik.
“Tapi dia tidak boleh pergi sebelum membayar kerugian,” sahut pria bertubuh kecil yang duduk di belakang meja. Saking kecilnya, aku tidak melihat keberadaannya saat masuk tadi.
“Astaga, jangan khawatir, aku akan tetap di sini sebagai jaminannya,” jawab Jessy dengan ketus. “Cepat bawa Alex Emily,” tambahnya padaku.
“Maaf, sepertinya dia belum boleh pergi terlebih dulu,” balas pria itu dengan garang pada Jessy. Kemudian dia menatapku dengan tersenyum manis. “Maaf miss Grenn, perkenalkan saya Gery Barros, manajer bar,” ucapnya. “Sesuai peraturan kami tidak bisa membiarkan orang yang menghancurkan tempat kami pergi begitu saja sebelum mengganti rugi kerusakan yang mereka timbulkan.”
“Sudah kubilang aku akan mengganti semua kerugian,” sembur Jessy pada pria itu. “Kau saja yang menahan-nahan kami supaya tidak pergi setelah aku bilang Emily Green akan datang ke sini.”
Pria itu tampak salah tingkah. Menatap Jessy jengkel dan kemudian menatapku dengan pandangan lembut menjilat. “Maaf miss Green, kami harus menunggu pihak marketing untuk menotal seluruh kerugiannya. Mereka belum membawa tagihannya ke atas.”
“Aku sudah bilang, aku akan memberimu kartu namaku. Aku harus membawanya ke rumah sakit secepatnya.” Sahut Jessy lagi sambil membanting kartu namanya di atas meja.
“Tapi kita harus menunggu seberapa banyak kerusakan yang ditimbulkan.” Balas Gery.
“Sudahlah, sekarang aku harus bagaimana supaya bisa membawanya pulang?” sahutku menghentikan mereka berdebat. Alex terlihat kesakitan. “Alex, kau bisa berdiri, kan? Kita harus ke rumah sakit,” Bisikku padanya.
Alex menggeleng. “Jangan bawa aku ke rumah sakit.”
“Tapi kau harus mengobati luka-lukamu,” bujukku.
Alex memaksakan otot lehernya untuk menggeleng lebih kuat. “Jangan.”
“Kita bawa dia dulu saja ke mobil, Em,” ujar Nicholas dan aku menyetujuinya. Dia hendak membantunku membopongnya keluar ruangan, namun si Gery botak kembali menyerobot pembicaraan.
“Maaf, aku bilang kalian tidak boleh membawanya pergi sebelum melunasi kerugian,” katanya defensif.
Nicholas mendekati meja pria itu dan berkata dengan tegas. “Kalau begitu. Biarkan mereka keluar. Kau Emily dan Jessy. Aku akan di sini sebagai jaminannya.”
Pria itu tampak terkejut. Tampak berpikir sebentar. “Ehmm, maaf tapi aku harus menahan orang yang benar-benar bersangkutan dengan pria itu,” katanya kaku.
“Tapi dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Kau tidak mau kan kami menuntutmu jika ada apa-apa dengan pria itu, kan?” tegas Nicholas.
“Tapi urusan ini tidak begitu saja selesai,” sahut Gery botak masih tak mau kalah.
“Hei kau,” sembur Jessy dengan tak sabar. “Apa sih yang kau inginkan? Sebenarnya kau masih ingin menatap Emily lama-lama kan? Dasar lak-laki tua!”
Setetes darah hangat menjatuhi punggung tanganku yang menahan tubuh Alex di sofa agar tidak jatuh melorot. Hal itu, membuatku menengok cepat ke arahnya. Darah itu menetes dari pelipisnya yang terluka. Alex mengerang pelan.
“Lalu aku harus bagaimana? Apa yang kau mau?” tanyaku berusaha sabar, kendati dadaku sudah bergemuruh jengkel. “Aku harus segera membawanya ke rumah sakit.”
Pria itu menatapku, sedikit salah tingkah tapi terlihat sangat kagum padaku. “Baiklah Miss, tinggalkan saja nomor Anda yang bisa dihubungi pihak kami. Aku akan mengirimkan tagihan secepatnya.”
Dengan cepat Jessy mengeluarkan kartu namaku dari dompetnya dan menulis nomor dengan cepat di baliknya, kemudian menyerahkannya dengan kecepatan berlebihan sampai seperti sengaja ingin menjejalkan ke dalam mulutnya.
Pria itu membalik-balik kartu namaku, yang memang sengaja tidak tertera nomor apa pun di dalamnya. Setelah menimbangnya beberapa saat dan menatap Jessy yang mendelik, dengan pandangan sedikit tak percaya dengan nomor yang ada di belakang kartu itu, akhirnya dia menyerah.
“Baiklah, ini sudah cukup, Anda bisa membawanya pergi. Tapi Anda,” dia menekan kalimat Anda yang dia tujukan ke Jessy dengan mimik tak suka, “Harus tetap di sini untuk menandatangi beberapa dokumen.”
“Dengan senang hati aku akan tinggal disini,” jawab Jessy ketus. “Emily, bawa Alex pergi.” Tambahnya padaku.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.
“Tentu saja aku apa-apa,” sahutnya tak sabar yang berarti, segeralah pergi, Emily, atau kujambak rambutmu.
Aku mencoba menarik tubuh Alex yang lemas di sampingku. Kemudian dengan cepat Nicholas mendekatiku dan membantuku menarik tubuh Alex dan membopongnya. Dengan susah payah aku dan Nicholas membuatnya berjalan keluar ruangan.
“Tunggu Miss,” sergah Gery menghentikan langkahku dan Nicholas, membuat berat tubuh Alex menggantung menyakitkan di bahuku.
“Apa lagi? Astaga?” sahut Jessy marah.
“Boleh aku minta tanda tangan sebelum Anda pergi?” Tanpa sungkan dan tanpa menghiraukan Jessy, Gery menghampiriku membawa selembar kertas dan spidol.
“Hei, kau!” seru Jessy kasar, bangkit dari tempat duduknya dan berkacak pinggang menghadap ke Gery yang terkejut dan menghentikan langkahnya. “Apa kedua matamu tidak berfungsi dengan baik? Lihat tangan, Emily. Kau pikir dia bisa menggerakan spidol dengan kedua tangan yang sudah kerepotan menahan temannya yang setengah sadar itu? Kau ini benar-benar. Hihh…”
Melihat Jessy seolah ingin mengunyahnya bulat-bulat, Gery membeku di tempatnya dengan spidol dan kertas masih tergenggam di tangannya, kemudian dia pun beringsut kembali ke sudut ruangan dengan wajah merah padam. Jessy memelototinya tanpa ampun.
“Cepat bawa Alex pergi dari sini Emily,” perintahnya tak terbantah sembari melirik Gery sebal dan menggumamkan kata makian.
Aku mengangguk menurutinya, kami Nicholas segera keluar ruangan. Pria besar menggantikanku membopong Alex setelah setengah perjalanan menuju tangga. Bahuku tak kuat menahan tubuh Alex. Kulepas mantelku dan meyelubungkannya ke tubuh Alex serta memakaikan topi yang selalu kubawa di dalam tasku. Membuat bekas darah di wajahnya tersamarkan.
Sampai di bawah, seperti yang bisa aku prediksi, wartawan menunggu kami. Kilatan lampu blitz menyerang kami dari segala penjuru arah. Mereka pasti dengan cepat mencium kericuhan ini, apalagi dengan teriakan histeris pengunjung bar yang terus memanggil namaku dan Nicholas seperti sedang jumpa fans. Baiklah, berita bagus untuk esok hari.
“Hai Emily, apa yang terjadi pada Alex Walters?” tanya seorang pria kecil mungil yang aku kenal sebagai wartawan TV Nine.
“Emily, ada apa dengan Alex? Apakah dia berkelahi? Dengan siapa?” tanya wartawan wanita, entah aku lupa dari media apa.
Kemudian kudengar banyak sapaan ‘Emily, Emily’ yang kata-kata selanjutnya tak dapat kudengar dengan jelas. Aku mengabaikan mereka dan menunduk mencari jalan. Aku kesulitan berjalan di antara mereka yang berdesakan, kanan kiriku bibir kamera, jika aku tidak hati-hati bisa saja kepalaku terantuk.
“Emily, masuk ke dalam mobil cepat,” bisik Nicholas dan memberikan kunci mobilnya padaku. Dia masih menjaga keseimbangan tubuhnya dengan beban tubuh Alex yang tak sadar.
Aku berjalan cepat ke arah mobil, bertemu Paulo di deretan paling ujung para wartawan.
“Hai Emily,” sapanya sambil membawa kamera dan menekan tombolnya beberapa kali untuk mendapatkan foto wajahku. “Bagaimana rasanya diperebutkan dua pria? Merasa sangat hebat bukan? Apa ini caramu menaikkan kepamoranmu?” Dia bertanya sambil meringis menyebalkan.
Aku hanya meliriknya pedas, rasanya sudah ingin menyapukan kunci mobil ini ke kamera yang dipegangnya kemudian menampar wajahnya. Entah kenapa dia selalu menyodorkan wajahnya yang sangat menyebalkanku dan selalu saja memancing amarahku.
“Jangan pedulikan dia, jangan pedulikan!” desis Nicholas di belakangku.
“Nicholas apakah kau berteman dengan Alex? Di mana kau mengenalnya? Nicholas…” tanya wartawan majalah Famous yang sempat kudengar sebelum aku lari ke arah mobil dan membukakan pintu untuk Nicholas dan Alex.
Nicholas segera pergi dari tempat itu secepatnya, aku duduk di jok belakang bersama Alex yang sudah lemas menyandarkan seluruh berat tubuhnya padaku. Pelipisnya meneteskan darah lagi. Kulepas T-shirtku dengan susah payah, meninggalkan kaus dalamku tetap melekat di tubuhku. Kugunakan T-shirt itu untuk menekan luka di pelipisnya.
“Emily, jangan bawa aku ke rumah sakit,” erang Alex. Kepalanya menyandar ke bahuku.
“Baiklah-baik, aku tidak akan membawamu ke rumah sakit,” balasku kemudian. Aku tidak tahu apa alasannya tapi Alex tampak enggan sekali ke rumah sakit. Apakah karena dia membenci rumah sakit gara-gara Chris? Aku tidak tahu.
“Jadi, kita ke mana?” tanya Nicholas melihatku dari kaca spionnya.
“Kembali saja ke apartemenku. Mungkin aku bisa memanggil dokter ke sana.”
“Kau yakin?” tanyanya, agak mendongak untuk dapat melihat kondisi Alex dari kaca spionnya.
“Kurasa begitu.” Jawabku, menggigit bibir bawah, tak begitu yakin. Pikiranku melayang ke penghuni apartemen tepat satu lantai di bawah apartemenku. Eric Benson.