“Luka di pelipisnya tidak terlalu lebar. Tidak perlu dijahit,” kata Erik Benson akhirnya setelah memeriksa seluruh luka Alex di tubuhnya. Memar-memar dan darah itu membuatku bergidik.
Erik Benson adalah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit Lenox Hill dan biasanya dia tidak bekerja saat malam untuk menjaga putri semata wayangnya. Sungguh kebetulan, karena ketika aku menghubunginya, pria itu sedang tidak bertugas di rumah sakit.
Alex sekarang sedang terbaring di kamarku. Tertidur tenang setelah Erik menginjeksi dengan beberapa obat anti nyeri.
“Apakah dia akan baik-baik saja?” tanyaku cemas, sambil membersihkan sisa darah yang menempel di wajah Alex dengan handuk lembut dan air hangat. Nicholas berdiri di belakangku memperhatikan penjelasan Erik Benson.
“Aku tidak bisa memastikan semuanya. Dia lemas karena nyeri dan trauma lukanya. Obat anti nyeri yang sudah kuberikan, aku tidak tahu seberapa kuat pengaruhnya dengan kadar alkohol yang tinggi dalam tubuhnya. Tapi untuk saat ini kondisinya cukup bagus,” terang Erik.
“Apakah masih perlu membawanya ke rumah sakit?” tanya Nicholas.
“Tentu saja, aku hanya bisa memeriksa semua yang tampak dari tubuhnya. Tapi tulang atau syaraf yang mungkin cedera, aku tidak bisa memastikan. Apalagi dia seorang pembalap, kurasa pemeriksaan keseluruhan penting untuknya.”
Aku mengangguk menyutujui. “Dia harus melakukannya, mungkin besok ketika dia sadar aku akan mengantarnya ke rumah sakit,” sahutku dengan singkat karena tidak bisa berpikir lebih banyak lagi.
“Baiklah, hanya itu yang bisa kulakukan Emily, kalau dia terbangun dan kesakitan, tolong berikan obat ini untuknya,” lanjut Erik sambil memberikan beberapa bungkus obat padaku. “Obat itu hanya untuk mengurangi rasa nyerinya. Tapi kalau ada apa-apa, dan kondisinya memburuk, jangan segan untuk memanggilku.”
“Terima kasih Erik, sudah membantuku mau datang malam-malam begini ini,” kataku pada Erik sembari mengantarnya sampai ke pintu depan.
“Terima kasih,” sambung Nicholas dan Erik hanya membalasnya dengan tersenyum.
Penjelasan Erik Benson sedikit mengurangi rasa cemasku. Paling tidak Alex tidak separah yang aku bayangkan. Tapi hal itu tak menghilangnya sepenuhnya rasa cemasku padanya. Dua kali bertemu tidak dihiraukan, dan kali ini, bertemu lagi dengannya dengan kondisi yang tidak pernah bisa kubayangkan. Aku hampir-hampir tidak memperdulikan Nicholas dengan pikiranku yang penuh sesak akan kondisi Alex. Aroma darah yang menguar dari tubuh Nicholas menyadarkanku akan keberadaannya.
“Nick, maaf sudah merepotkanmu,” kataku padanya saat kembali ke ruang tengah.
“Tidak apa Em, aku senang bisa membantumu. Ya walaupun kau benar-benar mengejutkanku malam ini.” jawab Nicholas enteng dengan senyum yang tulus. Membuatku merasa sangat tidak enak.
“Maafkan aku melibatkanmu Nick, wartawan dan sebagainya pasti akan ramai besok pagi.” Aku bergidik membayangkan berita apa yang muncul besok pagi.
Nicholas tertawa pelan, terlihat tak menyesali. “Kurasa aku tetap akan tampak tampan dengan sedikit keringat di musim dingin.”
“Jangan bercanda. Berita besok pasti akan muncul dengan buruk,” ujarku serius.
“Sudahlah Em, paling tidak dia oke,” katanya sambil mengedikkan kepalanya ke arah Alex yang terbaring.
“Kau betul Nick, dia hanya dalam kondisi yang tidak baik, sejak ya, kau tahu, kematian saudaranya,” jelasku padanya.
Nicholas mengangguk mengertik. “Sepertinya hal itu bisa dipahami. Kematian Chris membuat banyak orang terluka, kehilangan seseorang yang disayangi pasti menjadi pukulan berat. Hal yang sama yang sedang kau rasakan bukan?”
Mulutku terkunci. Sekali lagi dan lagi, Nicholas mengatakan kalimat yang langsung mengena di pikiranku. Meski selama ini dia tidak pernah sekalipun terlihat mengusik kesedihanku. Bahkan dia tidak pernah sekali pun menyinggung mengenai aku dan Chris. Namun nyatanya dia terlihat memahami banyak hal tanpa perlu bertanya padaku.
“Di mana kamar kecilmu?” tanyanya membuyarkan ketertegunanku padanya. “Kurasa aku perlu membersihkan darah ini sebelum pulang.” Dia menarik bajunya yang lengket terkena darah Alex.
“Oh, di sebelah sana,” sahutku cepat dan mengantarnya ke kamar kecil. “Aku akan mengambilkan handuk untukmu.”
Aku mengambilkan handuk dan kaus ukuran pria yang kumiliki. Kadang aku memang membeli kaus pria untukku sendiri. Nyaman sekali saat memakainya karena ukurannya yang gombrong.
Salah satu dari kaus itu kurasa cukup untuk dipakai Nicholas. Tubunya tidak besar tapi berotot. Lebih baik dia mencobanya dulu, kalau memang tidak muat, aku akan mencarikannya baju yang lain.
Aku mencari Nicholas di kamar kecil dan tidak menemukannya. Kemudian di ruang tengah, aku juga tak menemukannya. Rupanya dia sudah kembali ke kamarku, melihat kondisi Alex.
“Dia sudah terlihat tenang ya, kurasa dia akan baik-baik saja,” katanya saat aku menyodorkan handuk dan kaus untuknya. Dia sudah melepas kausnya yang terkena noda darah dan hanya memakai jin tanpa atasan. Wajah dan tubuhnya terlihat basah setelah terkena air.
“Aku harap begitu,” sahutku sambil kembali melanjutkan aktivitasku yang terpotong tadi. Membersihkan sisa darah yang masih menempel di tubuh Alex.
Alex tertidur pulas, nafasnya pelan teratur. Membuat kecemasanku menurun satu tingkat, walaupun kenyataannya memar-memar di sekujur lengannya yang terlihat jelas di bawah sorotan lampu kamarku membuatku miris. Aku masih belum tahu dengan tepat kejadiannya, karena memang Jessy tidak sempat untuk memberitahuku.
Tidak apalah, bisa lain waktu, yang penting Alex oke sekarang.
“Kau kelihatan, akrab sekali dengannya,” kata Nicholas. Dia sudah mengenakan kaus yang kuberikan padanya. Nicholas bicara sembari mengamati deretan pigura-pigura yang berisi foto-foto kebersamaanku dangan Chris dan Alex yang baru saja kubersihkan sore tadi.
Aku hanya mengangguk unuk memberi jawaban.
Nicholas mengambil satu pigura yang berisi foto-foto yang banyak terdapat Alex di sana. Dia mengamatinya dengan tertarik. Mata biru gelapnya meneliti satu persatu kumpulan foto itu.
“Kenapa Nick?” tanyaku.
“Tidak. Tidak apa-apa,” jawabnya kemudian mengembalikan lagi pigura ke tempatnya. “Well, Em, kurasa aku harus kembali sekarang,” katanya sambil merilik jam di tangannya.
“Oh. Oke. Baiklah” jawabku kemudian bangkit untuk mengantarnya sampai ke pintu depan seperti mengantar Erik Benson beberapa saat lalu. “Nick, terima kasih banyak, aku sunggguh merepotkanmu malam ini.”
“Sudahlah, kau terlalu banyak berterima kasih dan memohon maaf hari ini,” ujarnya sambil tersenyum. “By the way, it’s really nice shirt.” Dia menarik kausnya dengan girang dan memperlihatkan gambar grup band The Beattles yang tercetak di bagian depan kausnya.
Aku tersenyum. “Ringo Star adalah favoritku.”
“Sungguh? Aku juga,” dia nyengir. “Omong-omong Emily, kau yakin tidak apa-apa kalau kutinggal sendirian?”
Aku menggeleng. “Tidak apa-apa. Lagi pula kau harus terbang ke Los Angeles subuh-subuh. Aku tidak mau kau ketinggalan pesawatmu karena aku. Sekarang sudah sangat larut Nick. Seharusnya kau beristirahat sekarang. Aku berutang banyak padamu.”
“Aku hanya membantu membopongnya Emily,” Nicholas tersenyum tipis. “Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Jangan segan menghubungiku kalau kau membutuhkan apa-apa. Mungkin akan menjadi suatu keajaiban menerima teleponmu,” tambahnya nyengir.
Aku tertawa. “Jangan berlebihan.”
Nicholas melambai lalu pergi.
***
Sekitar pukul empat pagi aku merebahkan tubuhku di sofa kamar untuk menjaga Alex. Mataku sudah panas dan mengantuk tapi aku tidak bisa benar-benar tidur.
Terlalu banyak pikiran yang berkecamuk dalam otakku. Rasa cemas yang belum kunjung turun melihat Alex dan rasa terpukul melihatnya dalam kondisi yang buruk. Alex tidak pernah terlihat mabuk sampai tak sadarkan diri selama aku mengenalnya, dia bukan pecandu alkohol dan bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktunya di bar hanya untuk minum.
Tapi sekarang, entahlah.
Akhirnya aku terlelap di antara pikiran-pikiranku yang cemas. Terasa sangat lama, begitu lama tertidur, sampai membuat diriku sendiri terkejut dan segera membuka mata. Alex! pikirku pertama kali. Aku bangkit dan memeriksanya di ranjangku. Masih tertidur pulas, napasnya pelan dan teratur, membuatku lega. Dia tidak demam saat aku memeriksa keningnya yang terasa dingin di tanganku. Kubetulkan lagi selimutnya yang miring.
Kulirik jam dinding di kamar, pukul delapan pagi dan kuputuskan untuk keluar saja, membeli kopi sebelum dia bangun. Wajahku terlihat sangat buruk di depan cermin ketika aku membasuh wajahku dengan air. Lingkaran hitam muncul di sekitar mataku yang berwarna biru kehijauan, rambut cokelat gelapku tak kalah buruknya dengan benang kusut saat aku merapikannya dengan cepat.
Gerimis lagi sepagi ini saat kulangkahkan kaki menuju Amber’s Breakfast, kafe dekat apartemenku. Sungguh cuaca yang dingin sepagi ini. Kueratkan kerah mantelku di sekeliling leherku. Tanganku mencengkeram gagang payung yang kubeli di minimarket rumah sakit dengan lebih erat untuk mengatasi terpaan angin jahat. Kupercepat langkahku agar sampai ke kafe yang hangat dan kering.
“Pagi,” sapa wanita pelayan kafe ceria. Dia memakai celemek warna kuning cerah, kontras sekali dengan warna rambutnya yang merah dan warna langit mendung di luar sana. Tubuhnya gendut, lipatan lemak di perutnya melimpah tak beraturan ke sekitar tali celemeknya.
“Pagi, apa yang kau punya hari ini?” tanyaku sambil meniup tanganku agar lebih hangat untuk mengurangi rasa kebas akibat dingin.
“Sandwich daging asap yang masih hangat,” jawabnya sambil membuka kaca penutup nampan pajangan yang berisi roti isi gemuk beraroma harum. Aroma itu menggugah penghuni perutku yang sedang tidur kedinginan.
“Aku mau dua sandwich dan dua cangkir kopi. Tolong agak cepat ya. Terima kasih.”
Wanita itu mengangguk dan mulai meracik kopinya lebih cepat. Sementara aku menunggunya sambil melihat televisi yang menggantung di sudut ruangan yang sedang menayangkan berita bursa saham.
Terlalu pagi memang untuk membicarakan sang kertas hijau, tapi lebih baik daripada melihat berita Emily Green yang sudah lama menghilang dari peredaran, Alex Walters yang wajahnya kurang bisa dikenali karena babak belur dan Nicholas West.
Lagi pula apa yang tengah dilakukan Nicholas West bersama Alex Walters dan Emily Green?
Pelayan kafe itu menyelesaikan pesananku dan memberi ucapan, “terima kasih sudah datang Miss Green,” dengan ceria sebelum aku keluar dari kafenya untuk kembali kedinginnya udara pagi yang basah.
Aku berjalan lebih cepat. Merasa cemas Alex akan terbangun dan bingung kenapa tiba-tiba dia berada di rumah sakit. Aku ingin melihatnya saat dia terbangun dan menanyakan kondisinya. Kali ini aku merasa seperti seorang ibu yang cemas karena anaknya sedang sakit, sedikit membuatku merasa konyol.
Aku meletakkan kopi dan sandwich di atas meja ruang tamu sebelum melihat ke kamar. Ruangan masih terdengar sunyi dan sepi, kurasa dia belum bangun. Atau aku harus membangunkannya? Aku sedikit khawatir jika melihatnya terlalu lama tidur. Apa dia tidak apa-apa karena tidur lama? Astaga aku sangat mencemaskannya.
Buru-buru aku ke kamar, namun setelah sampai di sana, ranjangku kosong. Tidak ada Alex.
Seketika aku seperti orang yang sedang terserang struk ringan. Di mana dia?
Kubuka gulungan selimut yang dengan konyol kuharap Alex masih berada di baliknya. Tidak ada Alex. Aku mengecek kamar mandi dan kosong, kemudian seluruh ruangan. Aku kembali ke ruang depan, ke rak sepatu, dan sepatu Alex sudah tidak ada di sana.
Aku kembali ke kamar, lalu terduduk lemas.
Kenapa dia pergi lagi? Rasanya perih sekali ditinggal Alex begitu saja.
Lampu tidur di atas nakas nyala meski aku sudah mematikannya saat akan pergi tadi. Kulihat secarik kertas dan bulpoint tergeletak di atasnya. Itu tulisan Alex. Dia meninggalkan sebuah pesan sebelum pergi.