2
Viona mengembus napas lega melihat sosok Christian menjauh meninggalkan kondominiumnya. Ia menutup pintu, lalu dengan langkah goyah berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sana.
Gelas bekas kopi Christian masih berada di atas meja. Bahkan wangi parfumnya yang maskulin masih menguar di udara. Viona memejamkan mata sejenak, berusaha mengusir bayangan sang atasan dari benaknya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bayangan Christian makin jelas terlihat di pelupuk matanya yang tertutup.
Viona menghela napas panjang dan bersandar di sofa. Ia membuka mata dan menatap langit-langit dengan pikiran berkecamuk. Viona tidak mau terpikat oleh pesona Christian, tapi sepertinya ia harus bekerja keras menangkis daya tarik pria itu. Christian memiliki sejuta pesona yang bisa menarik wanita di sekitarnya.
Sekarang Viona tahu mengapa para wanita itu mengejar Christian dan bertekuk lutut di kakinya. Selain memiliki wajah tampan dan kaya raya, Christian juga bersikap hangat dan baik. Siapa saja bisa dengan mudah jatuh cinta kepadanya.
Tanpa sadar Viona menggeleng. Tidak. Ia tidak mau menjadi salah satu wanita yang pernah singgah di ranjang Christian. Sebesar apa pun pesona atasannya itu, Viona akan berusaha menjaga diri sebaik mungkin agar tidak jatuh ke dalam pelukannya. Viona tidak mau menjadi kekasih sepekan Christian.
***
Akhir pekan tiba.
Menjelang jam pulang kerja sore Jumat itu, dengan wajah ceria, Viona mematikan laptop, lalu meraih tas dan mengeluarkan beberapa perlengkapan rias untuk merapikan dandanan. Tak lupa, ia juga menyisir rambut cokelat keemasan sepunggungnya.
Setelah selesai merapikan riasan, ia meninggalkan ruangannya.
Begitu keluar, ia mendekati meja salah satu rekannya yang menjabat sebagai staf administrasi. Navia Renata namanya. Wanita lajang berusia 26 tahun itu sangat tulus dalam berteman. Viona dapat rasakan itu sejak pertama kali mereka bertemu. Sikap dan tutur katanya lembut dan apa adanya, berbeda dengan rekan kerjanya yang lain, yang cenderung banyak mulut dan suka bermuka dua. Seperti halnya Viona, gadis berambut sebahu berwarna hitam pekat itu juga tampak kurang senang dengan sifat rekan-rekan mereka.
Viona sudah membuat janji dengan Navia untuk pergi menonton salah satu film cinta yang sedang hangat diperbincangkan di kalangan anak muda, karena konon penjualan tiketnya laris manis.
"Sebentar, Vi. Aku masih punya sedikit pekerjaan. Aku selesaikan dulu," kata Navia sambil menatap Viona sejenak, lalu kembali memandang layar laptop.
“Vi” adalah nama panggilan Viona yang kerap digunakan oleh teman-teman dekat, juga keluarganya.
Viona mengangguk pelan meski yakin Navia tidak akan melihatnya. "Selesaikan saja dulu."
Beberapa rekan mereka satu per satu meninggalkan kantor setelah mengucapkan salam perpisahan.
Viona duduk di salah satu kursi kosong tidak jauh dari Navia. Sambil menunggu Navia menyelesaikan pekerjaannya, Viona mengambil ponsel dari dalam tas dan mulai mengisi waktu dengan melihat media sosial. Tak lama kemudian sebuah seruan yang menyatakan pekerjaannya telah selesai keluar dari bibir Navia.
Dalam waktu singkat Navia membereskan meja, lalu keduanya meninggalkan kantor dengan langkah ringan.
***
Akhir pekan tiba.
Seharusnya Christian sudah meninggalkan kantornya dan menemui salah satu wanita cantik yang dengan setia menyodorkan kehangatan tubuh untuk ia nikmati semalam suntuk.
Namun berbeda dengan rutinitas yang sudah bertahun-tahun ia lakoni itu, hari ini Christian hanya duduk di balik meja kerjanya dengan mata yang tak lepas memperhatikan sosok sang sekretaris yang cantik nan menggoda hasrat, mulai dari wanita itu merapikan dandanan, sampai menunggu Navia di ruangan staf administrasi.
Hari ini langit cerah. Tidak ada alasan untuk Christian mengantar Viona pulang. Untuk menawarkan diri secara langsung, tidak mungkin ia lakukan. Sebagai atasan, Christian harus pandai menjaga air muka. Kecuali jika Viona dengan murah hati menyodorkan diri, maka Christian dengan beringas akan memangsanya.
Sayangnya Viona terlalu tak acuh pada pesonanya. Sepanjang sejarah sebagai CEO, baru kali ini ada sekretarisnya yang tidak berusaha menggodanya.
Dengan mata tak berkedip, Christian menatap kepergian dua sosok itu. Christian tahu Viona akan menghabiskan sore hingga malam ini bersama Navia. Ia merasa tenang mengetahui kenyataan bahwa Viona tidak pergi berkencan, yang menunjukkan bahwa gadis itu masih sendiri alias tidak memiliki kekasih.
Menyadari ia sudah terlalu lama melamunkan sang sekretaris, akhirnya Christian meninggalkan ruangannya.
***
Dua insan dengan panas b******u di ranjang empuk sebuah hotel bintang lima. Suara desahan demi desahan berpacu dengan deru napas yang memburu.
"Christian ...," desah si wanita yang terus berpacu di atas tubuh Christian.
Christian memejam menikmati setiap sentuhan hasrat yang melambungkannya ke awang-awang. Ia membayangkan tubuh polos yang sedang berguncang mengejar puncak kenikmatan di atas tubuhnya itu adalah Viona.
"Viona ...," tanpa sadar Christian mendesah nama wanita yang akhir-akhir ini memenuhi benaknya itu saat gelenyar nikmat membakar dirinya semakin intens.
Tiba-tiba gerakan yang mengalirkan rasa nikmat itu berhenti. Christian merasa heran sekaligus kesal karena kenikmatan itu perlahan-lahan menjauh. Ia membuka mata dan bertanya, "Ada apa?"
Silvi, model yang sedang naik daun itu, menarik diri. "Jangan bercinta denganku jika yang ada dalam benakmu hanya wanita bernama Viona itu!" gerutu Silvi kesal. Ia turun dari ranjang, memungut pakaiannya satu per satu, memakainya dengan tergesa, lalu meninggalkan kamar begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Christian termangu, hanya bisa memandang kepergian teman kencannya tanpa mampu bersuara.
Viona ....
Ah, Christian ingat tadi ia menyuarakan nama itu saat merasakan kenikmatan terus berpacu di atas tubuhnya. Ia mengumpat pelan. Rasa penasarannya pada Viona sudah berubah menjadi obsesi, bahkan membuat teman kencannya marah dan pergi begitu saja padahal puncak kenikmatan belum mereka raih.
Christian turun dari ranjang dan memungut celananya yang sejak tadi tergeletak begitu saja di lantai.
Kepalanya terasa berat. Bukan hanya karena hasrat yang tak terpuaskan, tapi juga karena kesal memikirkan kenyataan, bahwa wanita yang paling ia inginkan saat ini sama sekali tak tersentuh.
***
Waktu sudah menujukkan pukul sebelas malam saat Viona pulang setelah menghabiskan malam dengan bersenang-senang bersama Navia.
Ia berjalan perlahan menyusuri lorong menuju kondominiumnya dan terkejut tatkala dari jarak yang cukup jauh, ia melihat satu sosok bersandar di dinding dekat pintu kondominium.
Viona mengerut kening. Apalagi setelah semakin dekat, sosok itu semakin jelas untuk dikenali.
"Viona ...," sapa Christian lebih dulu saat melihat gadis itu berjalan ke arahnya.
Viona mengangguk sopan. "Ada apa?" tanyanya heran.
"Aku ..., sepertinya dompetku ketinggalan di sini," kata Christian sambil tersenyum kaku.
Viona mengerut kening. "Oh ya?" Viona membuka pintu kondominium.
"Mungkin terjatuh di dekat sofa," kata Christian lagi.
Pintu terbuka, Viona melangkah masuk. Tanpa dipersilakan, Christian menyusul.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink