COPY RIGHT:
Taming The Playboy
©Evathink
Cerita ini adalah fiktif.
Bila ada kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Penulis tidak ada niat untuk menyinggung siapapun.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetakan, fotokopi, mikrofilm, VCD, CD - Rom, dan rekaman suara) tanpa izin penulis.
Hak Cipta dilindungi undang-undang
All right reserved
-----------------------
-----------------------
1
Hujan lebat mengguyur Jakarta. Viona Keith berdiri di teras menara kantornya dengan perasaan cemas. Ia yang mengenakan setelan blazer dan rok span, menggigil kedinginan saat angin bertiup kencang.
Viona mendongak, menatap langit gelap berselimut awan mendung. Dalam hati ia berharap hujan mereda agar bisa segera pulang.
Tempat tinggal Viona cukup jauh dari kantornya. Biasanya ia menaiki bus kota saat pergi dan pulang kerja. Namun hujan lebat membuatnya tidak bisa ke halte bus yang berjarak sekitar dua ratus meter dari kantornya.
Viona sama sekali tidak menyangka akan turun hujan sore ini. Tadi pagi langit cerah. Awan-awan berarak menghias cakrawala. Namun begitu sore menjelang, awan mendung mulai menggantikan awan-awan cerah itu.
Viona menghela napas panjang sambil menatap rintik-rintik hujan yang menetes ke bumi. Beberapa payung yang tersedia di kantor, sudah dipakai rekan-rekannya hingga ia tidak kebagian.
Tanpa sadar Viona mendesis gelisah. Sesekali ia masih setia mendongak dan berharap mendung tebal itu segera berlalu.
Lama menunggu, bahkan kakinya sudah pegal, akhirnya Viona menyerah. Ia bertekad akan menembus hujan dan pasrah akan kebasahan. Namun tiba-tiba sebuah mobil Ferrari berwarna merah berhenti di depannya. Tak lama kemudian kaca jendela mobil itu terbuka dan terlihat sebentuk wajah tampan dengan rambut gelap yang tersisir maskulin, tersenyum tipis.
"Masuklah!" kata sosok itu dengan suara tegas tapi bersahabat.
Viona masih mematung. Memandang ragu pada pria di dalam mobil sport mewah itu.
"Cepatlah, sebelum kau membuat pengendara lain membunyikan klakson karena mobilku menghambat jalan keluar mereka!"
Akhirnya, karena terpaksa, Viona merapat ke mobil atasannya itu. Dengan cepat ia membuka pintu dan masuk.
Bajunya sedikit basah, tapi masih lebih baik dibandingkan basah kuyup karena berjalan kaki menuju halte bus dalam kondisi hujan lebat seperti ini.
"Terima kasih," bisik Viona pelan sambil mengangguk sopan pada atasannya.
Christian mengangguk samar. Tak lama kemudian pria itu menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan menara.
Sepanjang jalan mereka lewati dengan keheningan yang menggigit. Viona tidak berani memulai pembicaraan. Ia ingin tetap bersikap sopan meski jam kerja sudah berakhir. Bagaimanapun Christian adalah atasannya, ia tidak berani bersikap lancang dengan banyak bicara untuk mengakrabkan diri atau menarik perhatian. Apalagi ia tahu pria muda di sampingnya tersebut terkenal playboy. Viona tidak mau terjerat pesonanya. Ia juga berharap, tidak ada rekan kerjanya yang melihatnya masuk ke dalam mobil Christian atau akan timbul gosip tak sedap.
Bukan rahasia lagi bahwa Christian adalah seorang playboy sejati. Meski baru sebulanan bekerja di perusahaan pengembang properti milik pria itu, tapi Viona sudah tahu semua sepak terjangnya. Rekan-rekan kerja wanitanya sering membicarakan atasan mereka yang masih lajang itu. Hampir setiap kesempatan selalu digunakan sebaik-baiknya untuk membicarakan Christian. Dari kegemarannya berganti pasangan kencan setiap pekan, sampai sepak terjang di atas ranjang.
Dari mulut mereka, Viona tahu, tidak ada rekan kerjanya yang sekarang, yang pernah menjadi teman tidur Christian. Mereka mendapat informasi tentang kehebatan Christian di atas ranjang dari salah satu mantan sekretaris pria itu yang pernah menjadi teman tidurnya, yang akhirnya mengundurkan diri karena dicampakkan begitu saja setelah merasa bosan. Dan waktu untuk Christian merasa demikian hanya butuh satu pekan.
"Ehm!"
Suara dehaman di sampingnya membuyarkan lamunan Viona. Ia menoleh dan tersenyum canggung saat mendapati Christian juga menoleh padanya. Meski hanya sekilas mereka bertatapan mata, tapi d**a Viona berdesir halus. Desir yang selalu hadir saat mereka berdekatan seperti ini. Desir yang ingin Viona usir jauh-jauh karena tahu bahwa Christian tidak akan pernah menjadi kekasih yang setia. Viona tidak mau menjadi salah satu wanita yang pernah singgah di ranjang Christian, lalu dicampakkan begitu saja setelah bosan.
"Jadi alamatmu di mana?" tanya Christian. Ia menoleh sekilas pada Viona, lalu kembali menatap lurus ke depan, pada jalan raya yang padat.
Viona menyebut alamat tempat tinggalnya. Sebuah kondominium kelas menengah yang masih terletak di tengah kota. Kondominium itu adalah milik Dinie, sepupunya.
Ia tinggal di kondominium itu bersama Dinie sejak mereka kuliah, yang kebetulan memilih universitas yang sama. Sekarang sepupunya itu sudah menikah dengan taipan dari Paris dan memilih ikut suaminya, sementara Viona tetap diizinkan tinggal di kondominium itu.
Viona anak tunggal. Orangtuanya tinggal di sebuah rumah sederhana yang terletak di kompleks perumahan kelas menengah di Bogor. Viona memilih untuk tetap tinggal di kondominium sepupunya meski sendirian agar lebih dekat dengan kantornya.
Menit demi menit terlewati dalam keheningan yang kaku. Setelah kekakuan yang seakan tak berakhir, mobil mewah Christian pun berhenti di pelataran parkir kondominium yang Viona tinggali.
Viona melepas sabuk pengaman, lalu menoleh menatap atasannya. "Terima kasih," ucap Viona sopan.
"Hujan semakin lebat. Udara juga semakin dingin. Apakah aku boleh bertamu sejenak?"
Viona sedang bersiap membuka pintu saat suara yang terdengar datar itu menyentaknya. Niatnya itu terhenti, ia menoleh dan menatap Christian ragu.
Christian menyeringai kecil. "Cukup secangkir kopi untuk membuat mataku tetap terbuka. Bukankah bahaya jika aku memaksa mengemudi dalam kondisi mengantuk?"
Viona tahu, menerima Christian di kondominiumnya bukanlah ide yang cemerlang. Namun demi menjaga sopan santun, ia terpaksa mengangguk.
***
Christian Alvaro tersenyum lebar menyambut anggukan Viona. Dengan hati senang, ia membuka pintu mobil disusul oleh Viona. Keduanya keluar dari mobil dan mulai menyusuri pelataran parkir menuju elevator yang akan membawa mereka ke kondominium sekretarisnya itu.
Di dalam hati Christian berharap hujan turun setiap hari agar ia punya kesempatan untuk mulai menebar jala dan menangkap mangsanya. Sudah sebulanan ini Viona menjadi sekretarisnya. Wanita itu jinak-jinak merpati. Jiwa memburu Christian yang selama ini mati karena terlalu mudah mendapatkan wanita mana pun yang ia inginkan, kini terbangkitkan.
Mereka tiba di kondominium Viona beberapa menit kemudian.
Tidak ada menu istimewa yang Viona hidangkan selain segelas kopi dan dua potong cake cokelat. Namun hal itu sudah membuat Christian senang bukan main.
Niat Christian mampir ke kondominium Viona adalah untuk memulai pendekatan. Ia sudah tidak sabar ingin melihat wajah yang selalu tersenyum hangat itu berubah sendu karena hasrat yang terbakar di dalam pelukannya.
"Jadi, kau tinggal dengan siapa di kondominium ini?" tanya Christian sambil menyesap kopi yang dihidangkan oleh Viona.
Viona yang sejak tadi duduk kaku di sofa di hadapan Christian, mendongak kaget. Ia meremas pelan jemarinya dengan gelisah.
"Sendiri," jawab Viona singkat dan kaku.
Gelenyar tak senang bercampur tertantang membanjiri Christian. Viona tampak berharap Christian cepat-cepat menghabiskan kopinya lalu pamit pulang.
Berpura-pura tidak tahu akan hal itu, Christian menatap ke sekeliling ruang tamu. Sebuah ide cemerlang datang begitu saja membuatnya seperti disuntik semangat berdosis tinggi.
"Sepertinya kondominium ini cukup jauh dari kantor. Aku punya kondominium kosong yang lebih dekat. Jika mau, kau boleh menempatinya," ucap Christian sambil menatap Viona intens.
Viona menggeleng cepat. "Tidak apa-apa, Pak. Saya nyaman di sini," tolak Viona halus.
"Jangan bersikap seformal itu saat kita hanya berdua, Viona. Kau boleh memanggil nama depanku. Aku juga ingin kita bersikap layaknya teman, bukan atasan dengan bawahan, oke?"
Viona terdiam, lalu mengangguk dengan berat.
Suasana kembali hening. Sebenarnya Christian cukup terganggu dengan kekakuan seperti ini. Ia lebih suka menarik Viona ke dalam pelukan lalu mencumbunya.
Tanpa sadar Christian mengulum seringai. Ia benar-benar sudah tak sabar mendekap tubuh itu. Mengapa Viona tak merayunya saja? Jalannya akan lebih mudah jika wanita itu menyambut hangat dirinya.
Akhirnya malam itu mereka lewatkan dengan bincang-bincang ringan yang menurut Christian sangat membosankan.
Akal tidak warasnya sudah membuatnya menghabiskan waktu berjam-jam dengan hanya ditemani segelas kopi dan senyum kaku sang sekretaris. Harusnya ia menemui salah satu wanitanya untuk menghangatkan tubuh dalam cuaca dingin seperti ini.
***
Love,
Evathink
(IG/Youtube/Play buku/k*********a: evathink)
*jangan lupa Follow juga akun Dreame & Innovel saya, ya teman2, agar kalian mendapat notif dari saya.
btw, please sentuh love dan komennya, teman2. Love dan komen dari kalian, sangat berarti untuk saya. Terima kasih.