Sang fajar telah muncul, Ardi terbangun dari mimpi indahnya dan bersiap menjalani hari yang menyebalkan. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama kegiatan MOS di sekolahnya. Ia tau sesuatu yang mengesalkan dan menyebalkan akan terjadi nantinya. Pagi ini saja, ia harus berangkat jauh lebih pagi dari hari-hari sebelumnya.
Namun mau tidak mau ia harus menjalaninya, karena itu adalah hal yang biasa bagi murid baru sepertinya. Ia bergegas memakai seragam sekolahnya dan bersiap untuk berangkat.
"Ardi...!" panggil Ibu Ardi
"Iya Bu," jawabnya sembari menuju arah suara itu.
Tepat dugaannya, sang ibu tengah mempersiapkan sarapan. Di sana juga telah terduduk 2 lelaki yang sudah tidak asing baginya, yaitu kakak laki-lakinya dan juga bapaknya. Ia pun ikut bergabung dan mulai menyendok butiran nasi yang sudah disediakan sang ibu di piring.
"Gimana tugas sekolahnya, Di?"
Sebuah pertanyaan dari bapaknya membuka pembicaraan di pagi itu.
"Perasaan bapak udah nanya deh tadi malam," jawab Ardi
"Oh iyakah, bapak lupa. Ha ha ha ha ha."
Ardi menghela napas berat, lalu melanjutkan melahap butiran nasi itu. Tak lama kemudian, rasa kenyang seolah menjalar di perutnya. Ia bersendawa dan mengelus-elus perutnya.
"Assalamualaikum."
Sebuah ucapan salam terdengar dari rumah sederhana itu. Meski Ardi dan keluarganya berada di meja makan yang jauh dari halaman rumah, tapi suara itu masih terdengar dengan jelas.
"Waalaikum salam," jawab mereka semua
"Ardi...!"
Orang yang berada di depan itu memanggil Ardi. Tak salah lagi, itu adalah suara si kribo. Ardi tak ingin cepat-cepat menemui temannya itu, ia ingin menghabiskan segelas air putih yang telah tersedia di depannya.
Seolah-olah tak ada respon dari Ardi dengan panggilan itu, ibunya pun memutuskan untuk keluar rumah menemui sang pemanggil. Dan benar saja, seorang lelaki berambut kribo tengah terduduk di motor mewahnya.
"Eh Awan, Ardi nya baru selesai sarapan," ucap Ibu Ardi pada Awan.
" Oh.... iya tante, gak apa-apa," jawab Awan.
"Kamu udah sarapan apa belum? Kalau belum ikut sarapan di sini aja," tawar Ibu Ardi.
"Nggak usah Bu, nanti semuanya habis dia embat."
Seorang lelaki keluar dari rumah sederhana itu dan memotong pembicaraan mereka berdua. Siapa lagi kalau bukan Jonathan Ardilan.
"Husss, Ardi.... jangan bicara begitu!"
"Iya Tan, lagipula kita harus bergegas menuju sekolahan," ucap Awan sembari menahan rasa malunya.
Kedua remaja itupun berpamitan kepada wanita paruh baya itu. Ardi mulai membonceng di atas motor mewah milik Awan.
Awan menstarter motor dan mulai melajukan motornya di jalanan yang tak begitu ramai. Tak ada pembicaraan apapun dari kedua anak remaja itu sepanjang perjalanan. Hingga mereka pun sampai di jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang.
"Woy, lo kan belum punya SIM, nanti kalau ditilang gimana?" tanya Ardi dengan nada sedikit cemas.
"Halah, gampang. Nanti motornya gue kasih aja ke Polisinya, biar dijual dan nggak nilang-nilang lagi," jawab Awan dengan percaya dirinya.
"Gue serius, mendung," ucap Ardi kesal.
"Gue juga," balas Awan.
" Hufff, terserah lo lah," ucap Ardi pasrah.
Ardi menghela napas pelan. Itulah jati diri Awan yang selama ini ia kenal. Selalu menyebalkan dan mengesalkan untuknya, namun biar bagaimanapun juga dia adalah sahabat terbaiknya. Seseorang yang tak pernah membeda-bedakan soal kaya atau miskin. Biarpun Papanya punya banyak perusahaan yang tersebar di seluruh antero nusantara, dan Bapak Ardi hanya seorang karyawan biasa, ia tetap mau berteman bahkan bersahabat dengan Ardi.
Awan melajukan motornya dengan cepat, mengingat ia dan Ardi harus sampai di sekolahan tepat dengan waktu yang telah ditentukan. Mungkin itulah alasan kenapa ia pakai motor untuk berangkat sekolah, untuk menghindari kemacetan. Namun di depan sana nampak beberapa Polisi yang sedang memberhentikan para pengguna kendaraan bermotor.
"Waduh, gimana nih, Wan?" tanya Ardi
"Balik arah sajalah," jawab Awan sembari memutar balik motornya.
"Priiiiiitttt" Suara tiupan peluit dari Pak Polisi mengagetkan kedua remaja itu. Ingin sekali Awan langsung tancap gas, tapi entah kenapa tubuhnya seakan terpaku akibat tiupan peluit itu.
"Selamat pagi, bisa tunjukkan surat-suratnya?" tanya Pak Polisi.
"Surat apa ya, Pak?" tanya Awan balik.
"Kalau surat nikah saya belum punya, Pak. Karena saya belum nikah," lanjut Awan.
Ardi hanya menggeleng-nggelengkan kepalanya melihat tingkah bodoh sahabatnya itu. Bagaimana bisa ia berlagak tenang padahal sebenarnya jantungnya berdebar kencang. Ditambah lagi dengan ia menjawab pertanyaan serius itu dengan jawaban yang sangat konyol.
"Surat nikah surat nikah, jangan bercanda! Cepat tunjukkan surat-suratnya!" pinta Pak Polisi dengan nada suara tinggi.
"Nggak ada Pak." jawab Awan santai.
"Kalau begitu kalian saya tilang, kalian telah banyak melanggar tata tertib berkendara. Nggak punya surat-surat, nggak bawa helm dan juga kalian masih di bawah umur," jelas Pak Polisi.
Ardi begidik ngeri mendengarnya. Bagaimana tidak, nantinya motor itu pasti akan disita oleh Polisi.
"Ehhh Pak, plissss pak. Jangan tilang kami, kami mau berangkat sekolah Pak, nanti bisa telat. Tolong Pak, kami ini adalah generasi penerus bangsa. Kalau bapak tilang kami otomatis kami tidak akan bisa sampai sekolah, mau jadi apa bangsa ini kalau pemudanya gak sekolah?" ucap Ardi panjang lebar.
" Ha ha ha ha ha."
Pak Polisi tiba-tiba tertawa, Ardi dan Awan pun ikut tertawa. Ketiga manusia itu bagai orang gila yang tertawa tanpa sebab.
"Saya nggak menerima alasan apapun."
Sebuah suara dengan nada tinggi mengagetkan Ardi dan Awan.
"Pak tolong Pak. Lagipula motor ini adalah milik tetangga kami. Kami ini hanyalah orang miskin yang nggak punya apa-apa. Kami hanya punya mimpi yang besar. Karena itu kami rela menimba ilmu, datang dari kampung terpencil yang sangat jauh dari keramaian ataupun sekolah kami. Tolong pak, kalau bapak nilang kami, gimana caranya kami nebus motor ini. Apa mau jual rumah? Terus di mana kami harus tinggal?" ucap Ardi dengan terisak air mata buaya.
Tak disangka-sangka, Polisi itu menghayati setiap kata yang diucapkan Ardi.
" Baiklah, kalian boleh pergi sekarang," ucap Pak Polisi dengan nada sedih
"Terima kasih pak, terima kasih."
Awan pun langsung melajukan motornya lagi, nampaknya keberuntungan berada di tangan mereka berdua. Banyak pengemudi yang kena tilang tapi mereka tidak. Namun hal itu jelas menguras banyak waktu, mungkin nantinya kedua remaja itu akan telat.
"Harusnya lo nggak perlu begitu tadi, pake bilang kita miskin segala, gue kan kaya," ucap Awan ketika masih berada dalam perjalanan.
"Yang kaya orang tua lo kan bukan lo, lagipula katanya lo mau ngasih motor ini kalau ada Polisi yang nilang," balas Ardi.
"Tadinya sih iya, tapi kan tu Polisi udah keburu baper duluan, ya nggak jadi lah," jawab Awan sekenanya.
"Heh, alasan."
"Kata-kata adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah hati seseorang." - Jonathan Ardilan -
***
Tak lama kemudian, sebuah gerbang pintu masuk sekolahan mereka pun telah nampak. Mereka yakin sekali bahwa mereka telah telat beberapa saat. Namun bagi mereka ya bodoh amat, yang penting mereka berangkat sekolah.
Ardi dan Awan mulai memasuki gerbang sekolahan mereka. Benar saja, seluruh siswa telah berbaris di halaman sekolah. Awan menuntun motornya menuju parkiran yang memang tempatnya juga berada di halaman sekolah. Setelah itu keduanya pun menuju ke arah di mana teman-teman barunya itu berbaris.
"Hey kalian, sini!"
Sebuah suara dengan nada tinggi mengagetkan mereka berdua. Di depan sana nampak seorang lelaki yang tinggi besar tengah menatap tajam ke arah Ardi dan Awan.
Tanpa basa-basi, keduanya pun menuruti panggilan dari kakak kelasnya itu.
"Ada apa kak?" tanya Awan tak berdosa.
Ardi hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar pertanyaan konyol dari sahabatnya itu. Bisa-bisanya ia bersikap biasa saja, sedangkan ia baru saja melakukan kesalahan. Ardi menghela napas berat, pasrah dengan hukuman yang akan diberikan oleh kakak kelasnya itu. Ia yakin hukuman itu akan bertambah berat akibat pertanyaan Awan yang mengesalkan itu.
"Lo tahu ini jam berapa?" tanya kakak kelas mereka.
"Enggak," jawab Awan santai.
"Kemarin lo dan juga lo sudah dikasih tahu kan harus sampai di sekolah jam berapa?" tanya si kakak kelas itu lagi.
"Sudah," jawab Awan
"Terus kenapa telat?!" bentak sang kakak kelas.
Ardi tak ingin Awan memberikan jawaban yang pastinya akan membuat kakak kelasnya semakin kesal. Ia pun langsung menyahut bentakan dari kakak kelasnya itu.
"Maaf Kak, ada sedikit masalah tadi di jalan. Kami hampir ditilang tapi untungnya nggak jadi. Tolong maafkan kesalahan kami kak," ucap Ardi.
"Hmmm gitu, oke gue terima alasan lo berdua. Tapi kalian harus tetap dihukum," ucap sang kakak kelas dengan lantang.
"Kalian, lari 10 kali mengitari halaman ini!" sambungnya.
Jangan ditanya lagi, apa mereka kesal? Pastinya iya. Bagaimana tidak, mengingat luasnya halaman sekolahan mereka, ditambah lagi dengan disaksikannya mereka oleh ratusan pasang mata. Dengan begitu, ada 2 penderitaan mereka, lelah dan malu.
"Sialan!" batin Awan.
Mereka terus berlari hingga nampak tetesan keringat di wajah mereka berdua. Sedangkan siswa-siswa yang lain dipersilahkan duduk dan menyaksikan tontonan gratis pagi itu.
Dari tempatnya berlari, Ardi menatap seseorang yang juga menatapnya dengan tajam. Ya, itu adalah Syila, si gadis cantik yang ia temui kemarin.
"Kenapa dengan dia? Kenapa menatapku seperti itu?" batin Ardi.
Ardi memalingkan pandangannya dari Syila dan fokus untuk mengakhiri hukumannya.
Tak lama kemudian, mereka sudah berlari sebanyak 10 putaran. Dengan naas yang terengah-engah mereka pun ikut duduk bersama teman-teman yang lain sembari meluruskan kaki.
"Siapa suruh duduk?"
Sebuah bentakan keras mengagetkan semuanya. Bentakan keras itu terucap dari mulut seorang kakak kelas yang tadi baru saja memberi hukuman pada mereka.
"Capek kak," jawab Awan ceplas-ceplos.
"Sini! Cepat!"
Terpaksa, Ardi dan Awan pun menuruti perintah dari sang kakak kelas. Ada rasa emosi dari kedua remaja itu, namun selalu mereka pendam.
Ardi dan Awan pun sudah sampai tepat di depan kakak kelas mereka yang tinggi besar.
"Sekarang kalian berdua boleh duduk di sana," ucapnya sambil menunjuk arah yang baru saja ditempati oleh Ardi dan Awan.
Sontak tawa dari murid-murid lain pun pecah. Sedangkan Ardi dan Awan benar-benar sangat merasa dipermalukan. Ingin sekali rasanya menghajar wajah laknat itu, tapi itu tak mungkin mereka lakukan.
Dengan langkah yang lunglai, mereka berjalan kembali ke tempat yang tadi mereka buat duduk. Iringan tawa dari yang lain masih agak terdengar. Sebuah warna merah merona terlihat dari wajah tampan seorang Jonathan Ardilan. Antara marah dan malu, ataupun perasaan yang lain.
Merekapun duduk kembali di tempat yang tadi mereka duduki dan mulai meluruskan kaki yang terasa sangat capek.
"Semuanya berdiri!"
Lagi, lagi dan lagi. Sebuah suara terdengar sangat mengesalkan bagi kedua insan yang tentu saja mempunyai emosi yang besar itu. Baru saja duduk sudah disuruh berdiri lagi.
Ardi dan Awan dengan terpaksa menuruti kembali perintah kakak kelasnya itu, meski berdiri paling akhir serta memasang wajah yang sangat tidak enak.
"Kenapa? Nggak suka?" tanya sang kakak kelas pada Ardi dan juga Awan.
"Nggak kak," jawab mereka serempak.
"Enggak?"
"Maksudnya suka kak," jawab mereka serempak untuk yang kedua kalinya.
"Bagus."
Seorang pria tinggi besar itupun memberi penjelasan tentang alur acara MOS pertama kepada seluruh siswa baru. Atau bisa disebut MOS pertama yang amat mengesalkan bagi Ardi dan Awan.
Semua murid mendengarkan dengan seksama, tak terkecuali Ardi dan Awan. Hingga penjelasanpun berakhir dan dia membubarkan barisan para siswa baru.
"Oke, sekarang bubar dan menuju ke tempat yang telah ditentukan!" perintahnya.
Maksud dari tempat yang ditentukan adalah sebuah aula di sekolahan tersebut. Para murid pun mulai naik lewat tangga karena memang ruangannya yang berada di lantai 2. Namun Ardi dan Awan masih diam ditempat untuk beberapa saat, hingga akhirnya pun melangkahkan kaki untuk menuju aula.
"Eh.... Kiko. Nanti materi pertamanya siapa yang mimpin?" tanya seorang cewek berambut se bahu.
"Kayaknya sih langsung Pak Kepala Sekolah deh."
Ardi dan Awan dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka berdua, karena memang jarak yang belum terlalu jauh.
"Ohhh, tu orang namanya Kiko," gumam Ardi pelan.
"Kiko enak tau," ucap Awan.
"Ha ha ha ha ha, bisa aja lo."
"Kiko ya, akan gue tulis namanya di dalam death book milik gue," ucap Awan asal-
asalan.
"Wah, parah. Lo mau bunuh dia?" tanya Ardi sambil terus berjalan menuju aula.
"Enggak lah, biar keren aja dialog gue," jawab Awan sambil cengar-cengir.
Ardi menghela napas panjang sembari menepuk dengan keras pundak sahabatnya itu. Kaki keduanya terus melangkah menaiki setiap anak tangga. Hingga beberapa saat kemudian, keduanya pun berhasil mencapai tempat yang telah ditentukan, yaitu aula sekolahan itu.