Bab 5

1916 Kata
Kumpulan pelajar senior masuk ke aula setelah para siswa baru yang masuk terlebih dahulu kedalam aula. Tak lama kemudian, laki-laki yang nampak sepuh pun ikut masuk dan dipersilahkan duduk di bangku yang sudah disediakan oleh para siswa senior. Seorang wanita yang cantik jelita dengan hijab yang ia pakai memulai acara tersebut. Wanita yang nampak anggun dengan hijabnya itu adalah seorang pembawa acara. "Assalamualaukum wr.wb," ucap wanita itu. "Waakaikum salam wr.wb," jawab semua siswa. Susunan acara pun ia bacakan dengan lantangnya. Ya, pasti lantang, karena menggunakan pengeras suara. "Acara pertama adalah pembukaan, mari kita buka acara ini dengan bacaan basmalah." Serentak ruangan itupun bergema dengan bacaan basmalah. Hingga wanita itu kembali membacakan susunan acara. Suranya terdengar jelas, bahkan sangat jelas. "Kepada Bapak Darmawan, selaku kepala sekolah dipersilahkan untuk memberi sambutan-sambutan." Itulah kata terakhir yang terdengar dari mulut seorang wanita cantik berhijab itu, sebelum suara serak menggantikan lembutnya suara itu. Pak Darmawan pun memberi sambutan-sambutan sekaligus sedikit materi tentang akhlak. Seperti biasa, di pojok belakang sana tengah duduk 2 orang yang terlihat sangat malas dengan suasana di ruangan itu. Bahkan salah satu dari mereka melipat kedua tangannya diatas meja sembari menaruh kepalanya diatas kedua lipatan tangannya. "Hehhhh, siapa sih yang nyalain radio rusak tu?" tanyanya masih dengan kepala yang ia tidurkan di kedua lipatan tangannya. "Radio rusak apaan?" Ardi bingung dengan pertanyaan Awan. Terlintas di otaknya bahwa sahabatnya itu sedang bermimpi. Awan mendongakkan kepalanya, wajahnya benar-benar tidak enak dipandang. Rambut kribonya sudah tidak bisa digambarkan lagi. "Lah, gue pikir radio rusak tadi, rupanya suara orang tua itu," bisiknya pada Ardi. "Parah lo, dia itu Kepala Sekolah kita. Dasar kribo!" balas Ardi. "Ooo... Ya sudahlah," ucap Awan sembari memalingkan wajahnya dari Ardi. Ardi dan Awan dan juga yang lain mendengarkan dengan seksama setiap kata dari sang pemilik suara serak itu. Meski rasa malas masih menyerang Ardi dan Awan, tapi mereka mencoba untuk tetap bertahan. "Lama amat sih," gumam Awan. "Iya," balas Ardi. "Nggak capek apa? Udah keriput juga," ucap Awan. "Woy kribo, sopan dikit! Biar bagaimanapun juga, Pak Darmawan itu adalah orang tua yang patut dihormati. Jangan samakan dia dengan anak seumuran lo!" bisik Ardi dengan nada dingin. "Gitu ya?" ucap Awan. Tak ada jawaban dari Ardi, ia terfokus pada sambutan dan materi yang diberikan oleh Pak Kepala Sekolah. Waktu terus berjalan, pastinya sudah banyak materi dari MOS pertama itu yang telah tersampaikan. Dan selama itu juga, mata seorang Arawan Sinaga atau yang akrab dipanggil Awan tengah terpejam. Hingga datanglah sebuah materi yang semalam membuat Ardi dan Awan geram. Mungkin bukan mereka saja, tapi siswa yang lain juga. "Kalian semua sudah tahu kan tentang tugas yang kemarin diberikan oleh Bu Wita?" tanya seorang wanita berhijab sang pembawa acara. "Sudah," jawab semuanya dengan serentak. Lagi-lagi, sepasang bola mata tak berdosa tengah memandangi seorang wanita sang pembawa acara. Tatapan yang menandakan kekaguman ataupun rasa cinta. "Woy," panggil Ardi kepada Awan yang terlihat melamun. Ardi menggerak-gerakan tangannya tepat didepan mata Awan. Namun sahabatnya itu tetap tak meresponnya. "Woy Awan," panggil Ardi lagi seraya memukul pundak Awan dengan cukup keras. Awan terkejut dengan ulah Ardi. Sahabatnya itu telah merusak khayalan indahnya. "Wah, lo ganggu gue aja," gumamnya. "Bodoh amat," jawab Ardi dingin. "Tu cewek siapa ya? Kok gue baru sadar kalau ada bidadari di aula ini," ungkap Awan. "Dasar lo Wan. Ya iyalah lo nggak sadar, dari tadi lo tidur," ujar Ardi. "Gue nggak tidur," bisiknya. " Terus?" tanya Ardi. "Terjerumus ke alam mimpi," jawab Awan dengan senyum menggelikan. Ardi tak merespon jawaban Awan, ia sibuk mencati sesuatu di tasnya. Awan bingung melihat tingkah sahabatnya itu. Ia sama sekali tak mengerti apa yang sedang dicari oleh Ardi. "Nyari apa sih lo?" tanyanya. "Pisau," jawab Ardi singkat. "Buat apa?" tanya Awan. "Bunuh lo," jawab Ardi tanpa beban. "Astaghfirullah, teganya," ucap Awan. Ardi tak merespon lagi ucapan Awan, perlahan ia mengeluarkan secarik kertas dan meletakkan diatas mejanya. Dari situ Awan baru menyadarinya, ia pun mengambil secarik kertas dan meletakkan diatas mejanya juga. "Pisau lo tumpul," ucap Awan. "Heh, katarak nih orang," ejek Ardi. Kebisingan yang sedari tadi terdengar dan sedari tadi pula ditahan oleh kakak-kakak senior yang berada didepan tak dapat lagi mereka tahan. Di sisi lain, Ardi dan Awan masih bersikap biasa-biasa saja karena memang tak melihat tatapan tajam dari kakak-kakak kelasnya itu. "Berisiiiiiiiikkk!" Sebuah bentakan keras terdengar dari mulut seseorang yang berada di depan. Refleks, Semuanya pun menoleh ke depan, tak terkecuali Ardi dan Awan. Akhirnya didapatkannya seseorang dengan wajah merah padam, seorang wanita berhijab sang pembawa acara. "Kamu maju, dan bacakan karya yang kamu buat didepan semuanya!" perintahnya sambil menunjuk ke arah Awan. Awan menunjuk dirinya sendiri tanda kebingungan, ia tak mengerti dengan semua itu. Yang bisa ia lakukan hanya melongo sambil menatap tajam ke arah para kakak-kakak kelasnya. "Kok saya?" tanya Awan. "Jangan membantah!" bentaknya. "Kakak cantik, jangan marah-marah dong, nanti cantiknya hilang lho," goda Awan. Sontak ungkapan itu membuat seluruh penghuni kelas tak dapat menahan tawa. Sang wanita berhijab itupun tersenyum kecil mendengarnya. Tak bisa dipungkiri bahwa Awan adalah seorang pria yang tampan, namun rambut kribonya itulah yang membuat penampilannya kurang menarik. Senyum tipis dari wanita itu memudar, perlahan wajahnya kembali ke ekspresi semula. "Stop, nggak usah gombal. Cepat laksanakan!" bentaknya lagi. "Buru-buru amat sih kak. Iya-iya, pasti saya laksanakan tugas saya untuk menikahi kakak, tapi nanti ya kalau udah lulus," ucap Awan dengan menampakkan senyumannya. Ardi menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Ia malu dengan sifat bodoh sahabatnya itu. Bisa-bisanya Awan melakukan hal itu pada kakak kelasnya sendiri. "Cepat maju!" ucap sang kakak kelas yang bertambah marah. "Iya-iya kak, untuk tuan putri apa sih yang enggak," ucap Awan tanpa pikir panjang. Berdiri di depan, serta disaksikan oleh banyak orang. Hal itu mungkin terasa sangat mendebarkan bagi kebanyakan orang, tapi tidak dengan Awan. Dia dengan percaya dirinya berdiri dari bangku tempat duduknya dan mulai berjalan ke arah sang kakak kelas. Dan pada akhirnya ia pun berdiri didepan banyak pasang mata untuk membacakan karya tulis yang ia buat semalam. Ia pun mulai menempatkan secarik kertas yang ia bawa beberapa CM didepan matanya. "Ayo baca!" perintah seorang wanita berhijab yang sedari tadi belum diketahui namanya. "Aku nggak bisa baca kak," ucap Awan yang tentu saja mengagetkan semua orang. Semua mata langsung tertuju ke Awan. Merasa aneh dengan dia, apa mungkin seorang anak SMA masih belum bisa membaca. "Apa?" "Iya kak, bisaku cuma membaca hatimu," sahut Awan. Sekali lagi, Ardi merasa malu mempunyai sahabat seperti Awan. Ia mengacak-acak rambutnya tanda kekesalan. Sementara itu kakak-kakak kelas yang lain hanya tersenyum kecil melihat keanehan dari seorang Awan. "Kamu beneran nggak bisa baca?" tanya wanita berhijab itu dengan lembut. "Bisa sih," jawab Awan santai. "Ya udah, baca!" perintahnya. Awan pun mulai membaca rangkaian kata-kata yang ia buat semalam. Sebuah rangkaian kata yang bagus, tapi tidak dengan pembacanya. Tak pernah disangka-sangka bahwa makhluk aneh seperti Awan mampu merangkai kata-kata yang indah, bahkan oleh Ardi sahabatnya sendiri. Ardi tertegun ketika sebuah telunjuk mengarah kepadanya. Awan pun sudah dipersilahkan duduk. Kini giliran dia yang harus maju dan membacakan karyanya di depan banyak orang. Wajah tampannya tentu membuat sebagian gadis tersenyum ketika melihat ia berdiri di depan. Tanpa banyak bicara dan banyak gaya seperti Awan, ia pun langsung membuka secarik kertas yang berisikan karya tulisnya. "Kita adalah makhluk pribumi, hidup di dalam sebuah bangsa yang penuh dengan teka-teki. Kita pula adalah generasi penerus, agar bangsa ini bisa berjalan lurus." "Sekolahan ini, sebuah tempat di mana akan menjadi titik awal perjuangan kita. Menatap dunia dengan bangga, dan percaya bahwa kita selalu bisa." "Gantungkan saja mimpi-mimpi kita, gantungkan saja pada setiap pintu masuk kelas kita. Nanti kita bisa melihatnya dengan sempurna, serta pada akhirnya akan mewujudkannya." Tatapan tajam dari seluruh penghuni kelas tertuju ke Ardi. Ia sedikit canggung dengan keadaan itu. Jujur ia tak se percaya diri sahabat gilanya itu. Salah satu hal yang paling dibencinya, menjadi objek perhatian banyak orang. "Maaf kalau kata-kataku tak begitu indah, karena hidup inipun tak selamanya berjalan indah," Sambung Ardi. Semua orang masih terpaku menatapnya, tak ada satupun yang mengeluarkan kata-kata. Entah karena apa, yang pasti hal itu sangat membuat kepercayaan diri Ardi perlahan menghilang. "Beri tepuk tangan yang meriah!" Sebuah suara mengagetkan seluruh penghuni kelas. Tak salah lagi itu adalah suara wanita cantik sang pembawa acara. Dengan serentak, semuanya pun bertepuk tangan mengikuti perintahnya. Kedua ujung bibir Ardi mengembang dengan sempurna. Ia tak tau harus berbuat apa. Baginya, tampil di depan banyak orang dan diakhiri dengan suara tepuk tangan adalah sebuah kebanggaan yang besar. Ardi pun kembali duduk ditempat duduknya. Rasa bangganya masih belum menghilang. Senyum manis masih diperlihatkannya, membuat banyak gadis yang melihatnya merasa salah tingkah. "Jeh, gue tadi gak diberi tepuk tangan," gumam Awan. "Iri bilang bos!" balas Ardi dengan senyum manisnya. Acara pun dilanjutkan kembali. Satu persatu dari para siswa baru maju dan membacakan karya tulis mereka masing-masing. Tak terasa hari sudah semakin siang, sinar mentari diluar sana sudah terlihat begitu panas. Tapi hal itu jelas sangat berbeda dengan keadaan di aula. Putaran kipas angin yang begitu kencang telah menghilangkan hawa panas di dalam ruangan itu. "Woy Ardi, cewek itu cantik ya," ucap Awan sembari menunjuk wanita berhijab sang pembawa acara itu. "Biasa aja." "Ah yang bener, kalau Syila cantik nggak?" tanyanya. "Sama," jawab Ardi dingin. "Sama apa?" tanya Awan. "Biasa aja," jawab Ardi. "Halah, sok jual mahal lo, dia it...." "Lo mendingan diem deh, daripada kena hukum lagi. Nanti gue kebawa-bawa lagi," potong Ardi. Ardi memotong perkataan Awan yang sedari tadi terus-terusan ngoceh bagaikan burung beo. Awan pun terdiam mendengar bentakan tak keras dari sahabatnya itu. Ia tau Ardi tengah kesal, ia tak ingin membuat Ardi semakin kesal. Bisa-bisa nanti nyawa yang jadi taruhannya. Menit demi menit, jam demi jam telah berganti. Sinar mentari pun sudah tidak sepanas tadi. Dan acara MOS pertama akan segera berakhir. Ya benar, acara MOS menyebalkan itu akan segera berakhir, tapi tidak dengan MOS di dua hari berikutnya. Bel sekolahpun berdering, tanda berakhirnya MOS pertama. Di aula hanya menyisakan beberapa orang yang tak terlalu terburu-buru untuk pulang. "Di, lo laki-laki kan?" tanya Awan ngawur. Tak ada jawaban dari Ardi, ia hanya memandang aneh ke arah Awan. Hari ini ia benar-benar kesal dengan sahabatnya yang satu ini. "Lo juga normal kan?" tanyanya lagi. "Lo ngomong apa sih?" tanya Ardi balik. "Lo itu ganteng Di, lo di...." "Ya lah gue ganteng, baru tau lo?" ucap Ardi dengan kepercayaan diri tingkat tinggi sembari menyisir rambutnya menggunakan tangan. "Nyesel gue muji lo." Ardi tertawa pelan melihat sahabatnya yang memandang tak enak ke arahnya. " Dengerin dulu dong, lo itu ganteng. Apa lo nggak mau pacaran, banyak juga kan cewek yang suka sama lo, contohnya ya Syila," ucap Awan panjang lebar. Ardi terdiam sejenak, menatap sahabatnya dengan serius. Kekesalannya pun perlahan mulai menghilang dibawa terpaan angin. "Gue gak bisa Wan," ucapnya sambil memandang Awan. "Kenapa?" tanya Awan. "Gue gak bisa, pacar itu bisa melupakan kita pada seorang sahabat. Gue gak mau melupakan lo, gue juga gak mau melupakan kisah jomblo abadi lo." Tentu kalimat terakhir yang diucapkan oleh seorang Jonathan Ardilan membuat Awan sedikit geram. "Siapa bilang gue jomblo, gue kan punya kakak berkrudung yang cantik itu," balas Awan dengan percaya dirinya. "Heh, namanya aja nggak tahu, sok-sok an mau jadiin dia pacar," ucap Ardi. "Udah, nggak usah ngayal terus, ayo pulang!" ajak Ardi sembari mengenakan tasnya. "Bodoh itu tak selamanya tidak berguna. Bisa jadi lewat hal-hal bodoh yang kau lakukan, bisa membuat orang lain tersenyum." - Arawan Sinaga -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN