Akhirnya... tangis itu berhenti.
Bukan karena hati yang tenang, namun karena tubuh yang sudah tak punya tenaga untuk memproduksi air mata lagi.
Helia menelan ludah yang terasa pahit. Napasnya sesenggukan, d**a sesak, matanya perih. Ia tak tau sudah berapa lama ia duduk di lantai—mungkin sepuluh menit, mungkin setengah jam, atau mungkin lebih dari satu jam. Waktu kehilangan bentuk ketika yang ia rasakan hanyalah… hampa.
Tak pula ada yang kembali. Tak ada yang datang untuknya. Tak ada suara pintu diketuk. Tak ada langkah kaki yang mendekat. Yang menyusup justru riuh senang suara dari ruang tamu. Mereka tetap tertawa meski Helia menderita. Seolah beranggapan bahwa ia pasti bisa menerima semua ini begitu saja.
Helia menunduk. Tangannya gemetar saat ia meraih kursi roda yang tak jauh dari tempat ia jatuh. Ia mencoba menarik napas dalam, tapi justru menimbulkan nyeri di bagian punggung bawahnya.
**
“Kamu koma lima bulan, tentu saja tubuhmu harus beradaptasi lagi. Tulang-tulang dan ototmu melemah karena lama tidak digunakan,” jelas Julien sambil memeriksa grafik vital Helia. “Kamu bukan lumpuh. Kamu hanya butuh waktu. Rehabilitasi, fisioterapi, nutrisi tepat… dalam beberapa bulan, kamu akan lebih kuat dari sekarang.”
Helia mengangguk pelan, menatap kedua kakinya yang masih terasa sangat berat.
“Tapi…” lirih Helia, ragu. “Kenapa aku sering merasa nyeri di punggung? Di d**a? Bahkan di wajah juga… kadang tiba-tiba sakit, seperti ditarik, atau panas. Padahal bukankah lukaku sudah bisa dikatakan sembuh?”
Julien menghela napas pelan. Ia menggelapkan layar tablet dengan catatan medis Helia, lalu duduk di kursi single yang selalu tergeletak di samping ranjang pasien. Sang dokter tersenyum lembut.
“Begini, Mademoiselle.” Ia menatap lekat wajah Helia. “Ingatanmu memang terputus. Tapi tubuhmu… tidak.”
Helia terdiam, balas menatap Julien tanpa berkedip.
“Meski kamu tidak mengingat kecelakaannya, tubuhmu mengingat benturannya,” lanjut Julien dengan suara semenenangkan mungkin. “Jaringan otot, ligamen, tulang belakang, dan bahkan sistem sarafmu menyimpan jejak trauma itu. Sama seperti luka yang sudah dijahit tapi masih meninggalkan rasa ngilu… tubuhmu masih memproses apa yang terjadi.”
“Jadi rasa sakit ini… normal?” Helia balas bertanya.
Julien mengangguk. “Normal,” jawabnya mantap. “Tubuh dan psikis manusia lebih rumit dari ingatan. Kamu mungkin lupa detailnya—apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar, apa yang kamu rasakan sebelum dan saat kecelakaan. Tapi tubuhmu bekerja seperti ‘kotak hitam’. Ia menyimpan semuanya. Dan saat kamu bangun, tubuhmu mencoba melengkapi apa yang hilang.”
Ia menepuk pelan bahu Helia, memastikan pasiennya itu mendengarnya.
“Tubuhmu masih kaget, Mademoiselle. Dan tentu saja… psikismu juga.”
Helia mengerjap beberapa kali. Dadanya terasa mengencang, namun bukan sakit. Mungkin semacam pengakuan bahwa kata-kata Julien benar adanya.
“Berarti… sakit ini bukan karena aku akan lumpuh?”
“Bukan.”
“Bukan karena aku lemah?”
“Tidak,” jawab Julien. “Ini karena kamu manusia.”
Helia menunduk, mengatur napas yang tiba-tiba berat. “Berapa lama sampai… semuanya normal lagi?”
“Tergantung kamu mau sembuh sampai sejauh mana,” tanggap sang dokter. “Beberapa pasien butuh tiga bulan. Ada yang enam. Ada yang lebih. Tapi sepanjang kamu mengikuti fisioterapi, menjaga pola tidur, nutrisi, dan yang paling penting… tidak membiarkan stres berat menekanmu…”
Julien menatap Helia lekat namun penuh dukungan.
“…kamu akan pulih. Itu pasti.”
Helia mengangguk lagi.
“Kalau tiba-tiba nyeri hantu itu datang—apa yang harus aku lakukan?”
“Duduk. Tegakkan punggung. Tarik napas. Peluk dirimu. Ingatkan tubuhmu bahwa kamu aman,” jawab Julien. “Trauma butuh waktu untuk dilepas. Bahkan jika pikiranmu tidak mengingat apa-apa, tubuhmu akan melindungimu dengan caranya sendiri.”
Helia mengusap dadanya perlahan, seolah baru menyadari bahwa ia sudah menahan sakit itu sendirian tanpa benar-benar mengeluh.
Julien berdiri.
“Kamu sudah melewati hal paling berat, Mademoiselle,” ujarnya lembut. “Ketika kamu membuka mata setelah lima bulan koma… itu sudah membuktikan kamu kuat. Sekarang, tekadkan lagi mentalmu, untuk pulih seutuhnya—kembali berdiri.”
“Terima kasih, Dok.”
Julien tersenyum lagi. “Kamu akan baik-baik saja.”
Helia mengangguk, meski hatinya belum sepenuhnya yakin.
**
“Bukan lumpuh…” ujarnya pada diri sendiri, suaranya serak dan pecah. “Cuma… butuh waktu…”
Ia mencoba mengulang kalimat dokter, memaksakan logika untuk menenangkan hati yang sudah porak-poranda.
Tetapi dadanya tetap sakit. Bukan tulang. Bukan otot. Bukan bekas jahitan.
Hatinyalah yang patah.
***
Dengan sisa tenaga yang nyaris habis, Helia menggeser tubuhnya perlahan. Tangan kanan dan kiri meraih tepi ranjang untuk menahan berat badan, sekuat tenaga ia menarik tubuhnya hingga telungkup sebagian di atas matras. Ia lalu bergegas duduk, menarik kursi roda dan memposisikannya secermat mungkin sebelum berpindah ke sana. Napasnya tercekat, lutut gemetar, keringatnya mengalir deras.
Ketika akhirnya ia berhasil duduk kembali di kursi rodanya, ia menunduk lama, mengatur napas yang teramat sulit. Rasanya seperti baru selesai mendaki gunung dengan track berat tanpa peralatan apa pun.
“Ya Allah... kuatin Helia…” bisiknya getir. “Maafin Helia kalau karena kesalahan Helia, Helia sampai diuji seberat ini,” tangisnya.
Ia memandang sekeliling kamar yang tampak rapi, dingin, dan asing. Baru satu hari di rumah dan ia sudah merasa seperti penghuni yang tidak diinginkan.
Perawat yang tadi membantu memindahkannya—entah ke mana ia pergi sekarang. Mungkin sedang sibuk ikut membantu pelaksanaan acara pertunangan Arani dan Gavin. Mungkin memang tidak ada yang peduli jika ia baru saja jatuh dari duduknya sendiri.
Atau mungkin…
Mungkin yang paling jujur adalah pikiran yang ia takutkan sejak tadi. ‘Apa sebenarnya mereka berharap aku mati saja waktu kecelakaan itu?’
Air matanya berderai lagi.
Ia menghapusnya cepat—kesal melihat dirinya rapuh, padahal ia dulu tidak seperti ini.
Setelah mengambil napas panjang, Helia mulai menggerakkan roda kursinya. Pelan. Lambat. Setiap gerakan membuat pundaknya ngilu, namun ia tetap memaksakan diri. Diam di kamar hanya membuatnya semakin sesak.
Ia berhenti sejenak, mencondongkan tubuh sembari mendorong pintu kamar. Lorong yang ia ingat pendek, kini terasa amat panjang, dan terbentang di hadapannya. Helia melaju lagi—keheningan menyambutnya, namun dari kejauhan, dari arah ruang tamu yang bersisian dengan kolam renang, terdengar suara—ramai, riuh, penuh tawa dan percakapan.
Acara pertunangan Arani dan Gavin sedang berlangsung.
Helia menahan napas. Ia ingin berbalik. Ingin kembali ke kamar lalu menenggelamkan diri di bawah selimut sambil menangisi nasibnya. Sayang kakinya terlalu lemah, tangannya terlalu lelah, dan hati kecilnya—yang entah kenapa masih berharap ini semua hanyalah mimpi buruk—mendorongnya bergerak maju.
Ia melaju perlahan, melewati meja konsol, melewati lukisan favoritnya, melewati marmer putih yang sering ia injak tanpa rasa takut, melewati semua yang terasa asing.
Helia berbelok ke sisi barat, suara bising kian samar, tergantikan angin sore yang menerobos dari celah pintu kayu besar. Ia berhenti sejenak, meraih gagang pintu yang cukup sulit dijangkau. Ia menarik, pintu terbuka.
Cahaya matahari sore seketika menyapa, menyilaukan wajahnya.
Helia memalingkan muka serta-merta, matanya terpejam sesaat. Sorotan itu terasa hangat sekaligus perih di kulit. Yang lebih aneh, potongan memori samar melintas—sangat cepat—ia menyeduh teh di ruangan asing, cahaya hangat menerpa kulitnya, aroma chamomile menguar, pintu terbuka. “Bonjour, bienvenue!” Seseorang masuk, pemuda.
Lalu menghilang.
Ia mencoba menangkap ingatan itu, namun bayangannya lenyap secepat datangnya.
Helia menghela napas. Lalu menggerakkan kursi rodanya, melewati pintu, keluar.
Roda kursi melewati ambang undakan kecil. Meski tersentak, syukurnya tetap aman.
Namun beberapa meter kemudian, ada stepping dua anak tangga kecil yang lupa ia perhitungkan. Helia terkejut, roda depan tersangkut. Tubuhnya terhuyung, hampir terpelanting ke depan.
“AWAS!”
Sebuah tangan kuat menahan kursinya dari depan. Kedua tangan menahan lengan kursi, satu kaki yang naik ke stepping, menahan badan kursi. Tindakan itu membuat kursi roda Helia tak jadi mengikuti kehendak gravitasi.
Helia menahan napas, jantungnya berdegup kencang, kedua tangannya meremas tepi dudukan.
Ia masih menunduk, kaku.
Penolongnya mendorong kursi tersebut kembali ke deck kayu. “Kamu ngga apa-apa?” tanyanya.
Helia mengangkat pandangannya.
Seorang pemuda asing berdiri di hadapannya. Napasnya agak tersengal, mungkin karena bergerak terburu-buru untuk menolongnya. Titik pandang Helia bergeser, mendapati sebuah buket bunga lotus yang teronggok di rumput.
Semilir angin membawa wangi yang menenangkan. Helia kembali menatap pemuda yang diam berdiri tegap menunggu jawabannya.
“Makasih,” ujarnya.
Pria itu menatapnya lekat, kedua matanya... berkaca-kaca.
Kening Helia mengernyit, mencoba memindai wajah itu. ‘Apa aku mengenalnya?’
Namun, belum sempat ia bertanya... pemuda itu pun belum berkata apa-apa lagi, suara lain mematahkan momen saling tatap keduanya.
“Helia!” seru Fabian.
Helia menoleh, ekspresinya datar. Ia tak menjawab, lalu kembali menatap pria asing di depannya. “Pintu masuknya dari sana. Langsung aja, acaranya sudah mulai.”
Pria itu membuka mulut, seolah hendak mengatakan sesuatu—mungkin nama, mungkin hanya sapaan—namun Fabian kembali menginterupsi, jarak pun nyaris terkikis habis.
“HELIA!” Wajahnya panik melihat kursi roda Helia yang terlalu menepi. “Kok kamu di sini?” Fabian memegang handle kursi. “Minggir banget sih, Ya. Bahaya! Kalau jatuh gimana?”
“Ngga usah repot-repot sok peduli, Mas!” ketus Helia.
Fabian menatap pria yang asing yang mematung menatap Helia. “Anda siapa?”
“Tamu!” Helia yang menjawab. “Entah nyasar, entah lari karena lihat aku nyaris jatuh.”
“Helia...” lirih Fabian. “Kok jutek gini sih sama Mas?”
“Sana pergi! Mas juga sama aja, bikin aku kayak orang tol0l!” Suara Helia sengau di akhir kalimatnya. “Puas, Mas?”
Fabian menghela napas pelan. “Sudah sore tapi masih gerah banget. Kita makan es krim aja yuk, Ya?” ajaknya kemudian.
Helia tak menjawab.
Fabian menatap pemuda yang masih berdiri di sebelah mereka. “Terima kasih sudah nolong adik saya. Saya bawa dia, ya. Anda bisa masuk dari pintu depan.”
Pemuda itu mengangguk pelan. Tak memaksa bicara. Tak memperkenalkan diri.
Fabian mulai mendorong kursi Helia, turun ke jalan setapak taman. Helia diam, tubuhnya kaku, matanya menatap kosong ke depan.
Pemuda itu menunduk mengambil buket bunga yang tadi terjatuh. Ia memandangi buket itu lama, sebelum akhirnya menegakkan tubuh.
Helia tak menoleh ke belakang.
Tak tau bahwa pria yang barusan menolongnya—pemuda yang ia beri tatapan datar, dingin, dan tidak ramah—sedang terdiam di tempat dengan d**a yang terasa ditusuk.
Fabian sempat menoleh sekilas pada pria itu sebelum mendorong kursi Helia menuju gerbang samping. “Sekali lagi… makasih,” ujarnya.
Pemuda itu tak membalas. Tak bisa.
Ia hanya menatap punggung Helia yang semakin menjauh.
Menatap perempuan yang selama ini memenuhi kepalanya, yang ia tunggu kesadarannya selama berbulan-bulan, yang ia harapkan satu hari akan mengenal suaranya kembali.
‘Izora.’
Ia memanggil nama itu di dalam hati—nama yang hanya ia pakai, nama yang ia simpan dengan sayang sejak mereka pertama kali bertemu.
‘Izora.’
Perempuan yang ia tunggu di pinggir danau di Versailles. Perempuan yang membuatnya merasa bersalah. Perempuan yang ia doakan setiap malam agar membuka mata dan memanggil namanya.
‘Izora.’
Yang kini duduk di kursi roda, wajahnya pucat, napasnya pendek, dan sorot matanya kosong—namun tetap... tetap perempuan yang ia kenal.
Sayangnya, Helia tak mengenalinya. Tidak satu pun memori tentang Bintang tersisa.